Pembatalan Analisis Hukum Terhadap Permohonan Pailit Atas Developer Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen ( Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 331 K/PDT. SUS/2012 Tanggal 12 Juni 2012)

53 pembeli, maka Developer dikatakan gagal melakukan prestasinya.Developer telah berutang kepada para konsumennya yang merupakan kreditor schuldeiser.Sebagai debitor schuldenaar, Developer wajib melaksanakan “prestasinya”, yaitu menyelesaikan pembangunan Apartemen dan melakukan penyerahan unit Apartemen kepada pembeli atau kreditor schuldeiser. Adanya utang disini bukan saja menunjuk kepada kewajiban Developer selaku debitor dalam hal pembangunan dan penyerahan unit Apartemen kepada para pembeli atau kreditor tapi juga mengacu kepada adanya sejumlah uang pembayaran dari para pembeli atau konsumen yang telah melaksanakan kewajibannya dalam membayar secara angsuran unit Apartemen yang telah mereka pesan tersebut.

2. Pembatalan

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Antara Developer PT. Graha Permata Properindo Dengan Para Konsumen Apabila seorang debitur dalam hal ini Developer, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka krediturnya dapat menuntut : a. Pemenuhan prestasi; b. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai gantinya kreditur dapat menuntut : c. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi. 79 79 F. Tengker, Hukum Suatu pendekatan Elementer, Log. Cit. Universitas Sumatera Utara 54 Meskipun ternyata pihak Developer, yaitu PT. GRAHA PERMATA PROPERINDO telah menyelesaikan pembangunan Apartemen namun para konsumen atau pembeli Apartemen telah terlebih dahulu membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara mereka. Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB yang mereka buat dengan pihak Developer disebutkan bahwa Pihak Developer akan mengembalikan seluruh uang pembayaran atas unit Apartemen yang dibeli itu tanpa bunga dan potongan – potongan apapun dalam hal jika perjanjian itu dibatalkan. Ketiga pembeli Apartemen ini pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB yang mereka buat dengan pihak Developer karena mereka menganggap pihak Developer telah wanprestasi. Kemudian mereka meminta uang mereka untuk dikembalikan oleh pihak Developer tanpa bunga dan potongan apapun, karena tidak adanya itikad baik dari pihak Developer untuk mengembalikan seluruh uang pembayaran mereka, maka ketiga pembeli tersebut memasukkan gugatan permohonan Kepailitan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan berlandaskan keyakinan bahwa pihak Developer telah berhutang kepada mereka dikarenakan pihak Developer tidak mengembalikan seluruh uang pembayaran mereka padahal Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB antara mereka dengan pihak Developer telah batal. Khusus mengenai pembatalan PPJB atas Rumah Susun, di dalam Kepmenpera No.111994 tidak diatur secara khusus mengenai syarat-syarat batalnya suatu PPJB. Universitas Sumatera Utara 55 Namun di dalam Peraturan tersebut di atur bahwa PPJB dapat menjadi batal akibat adanya kelalaian dari pihak Pengusaha Pembangunan Perumahan dan Permukiman untuk menyerahkan satuan rumah susun, termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna pada tanggal yang ditetapkan. Hal ini tercantum di dalam Bab III angka 5.3 Poin ke-10 Lampiran Kepmenpera No.111994, seperti yang terkutip berikut ini: “kewajiban developer adalah menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosialsecara sempurna pada tanggal yang ditetapkan, dan jika pengusaha belum dapat menyelesaikan pada waktu tersebut diberi kesempatan menyelesaikan pembangunan tersebut dalam jangka waktu 120 seratus dua puluh hari kalender, dihitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut. Apabila ternyata masih tidak terlaksana sama sekali, maka perikatan jual beli batal demi hukum, dan kebatalan ini tidak perlu dibuktikan atau dimintakan Keputusan Pengadilan atau Badan Arbitrase ,kepada perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman diwajibkan mengembalikan pembayaran uang yang telah diterima dari pembeli ditambah dengan denda dan bunga setiap bulannya sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat konsekuensi atas terjadinya pembatalan tersebut adalah pengenaan denda dan bunga terhadap Pengembang setiap bulan sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku, serta konsekuensi selanjutnya adalah pengembalian uang para konsumen atau pembeli Apartemen yang telah dibayarkan kepada Developer. Dalam khasanah hukum perjanjian yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian, maka eksistensi perjanjian dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan Universitas Sumatera Utara 56 yang menghapus eksistensi perjanjian selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya perjanjian. Pembatalan ialah suatu cara untuk memulihkan keadaan atau keseimbangan.Pendekatan ini sejalan dengan asas keseimbangan, yakni yang ditujukan untuk menjaga kepentingan para pihak dan sekaligus membatasi dan mencegah kemungkinan kebatalan demi hukum atau pembatalan suatu keadaan dan situasi tidak seimbang di dalam perjanjian. Pembatalan perjanjian bukanlah semata- mata “hak dari seseorang”, melainkan juga “kepentingan para pihak”. Kewenangan untuk membatalkan perjanjian dengan cara itu dibatasi atau bahkan ditiadakan. Jika bagi pihak kreditor terbuka upaya hukum lainnya di luar pembatalan, sedangkan bagi debitor pada saat sama ditimbulkan kerugian yang tidak perlu atau sangat tidak patut sebagai akibat pembatalan tersebut.Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan perjanjian penutupan perjanjian. Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah ”pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan perjanjian”. Misal: dalam perjanjian jual beli yang dibatalkan, maka barang dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan obyek yang sejenis atau senilai.Konsekuensi lanjutan dari efek atau daya kerja pembatalan, apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya mengembalikan apa yang telah diperolehnya, maka pihak yang lain dapat mengajukan gugat revindikasi vide Pasal Universitas Sumatera Utara 57 574 KUH Perdata untuk pengembalian barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar pembayaran yang tidak terutang vide Pasal 1359 KUH Perdata. Pengikatan jual beli Apartemen juga dapat digolongkan ke dalam perikatan bersyarat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 1253 KUHPerdata yang menyebutkan : Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat.Pasal 1265 KUH Perdata menyebutkan bahwa apabila suatu syarat batal dipenuhi, maka syarat tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Dalam perikatan dengan syarat batal, perjanjian itu sudah melahirkan perikatan, hanya perikatan itu akan batal apabila terjadi suatu peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian sebagai suatu conditional clause. 80 Dengan demikian si kreditur yang telah menerima prestasi yang diperjanjikan harus mengembalikan apa yang telah diterimanya. Selanjutnya Pasal 1266 ayat 1 KUH Perdata menjelaskan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik, manakala 80 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa kasus Ed. 1. Cetakan ke. 5, Jakarta: Kencana, 2008, hal. 62. Universitas Sumatera Utara 58 salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat 1, wanprestasi adalah merupakan syarat batal.Akan tetapi, dalam Pasal 1266 ayat 2 KUH Perdata disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Ada beberapa alasan yang mendukung klausul melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dalam perjanjian, misalnya berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga pencantuman klausul yang melepaskan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata harus ditaati oleh para pihak. Selain itu jalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama, sehingga hal itu tidak efisien bagi pelaku bisnis. Pencantuman klausul mengenai syarat-syarat batal merupakan salah satu klausul yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan Pengembang.Demikian pentingnya klausul itu bagi Pengembang, sehingga seandainya klausul itu tidak ada di dalam PPJB, maka berakibat pelaksanaan pembatalan perjanjian hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses litigasi yang panjang dan lama, sehingga Pengembang dalam hal ini pihak Developer akan sangat enggan untuk melakukan penjualan unit Apartemen dengan sistem angsuran. Pada sisi lain, beberapa ahli hukum maupun praktisi hukum berpendapat bahwa wanprestasi tidak secara otomatis mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi harus memintakan pembatalan terlebih dahulu kepada hakim. Hal ini didukung oleh Universitas Sumatera Utara 59 alasan bahwa jika pihak debitur wanprestasi, maka kreditur masih berhak mengajukan gugatan agar pihak debitur memenuhi perjanjian. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1266 ayat 4 KUH Perdata, hakim berwenang untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk memenuhi perjanjian dalam jangka waktu paling lama satu bulan meskipun sebenarnya debitur sudah wanprestasi atau cidera janji. Dalam hal ini hakim memiliki penilaian untuk menimbang berat ringannya kelalaian debitur dibandingkan kerugian yang diderita jika perjanjian dibatalkan. Mengenai Pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa dwingend recht, sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi aanvullend recht, sehingga dapat disimpangi oleh para pihak. 81 1. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat memaksa dwingend recht.Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan, bahwa: a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya; b. Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Permintaan ini juga 81 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal. 271. Universitas Sumatera Utara 60 harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam kontrak; c. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan. Rumusan Pasal 1266 KUH Perdata tersebut menentukan 3 tiga syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu: 1 harus ada persetujuan timbal balik 2 harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitor harus dinyatakan lalai pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling 3 putusan hakim. Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan …, kata ”harus” pada ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa dwingend recht 82 dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui klausul kontrak mereka. putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusannya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan 82 Menurut Pitlo, untuk mengetahui suatu undang-undang bersifat memaksa atau melengkapi kadang-kadang tidak mudah. Namun demikian, dengan rumusan kata-kata ”memerintahkan”, ”melarang”, ”tidak boleh”, ”tidak dapat” menunjukkan sifat memaksanya.Begitu juga apabila menyangkut kepentingan umum menunjukkan karakter memaksanya suatu aturan. Periksa A. Pitlo, Het Systeem van Het Nederlandse Privaaterecht, terjemahan D. Saragih, Bandung: Alumni, 1973. hal.13-20. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid. hal. 272. Universitas Sumatera Utara 61 hakim sekedar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus. Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan: 83 a Alasan historis sejarah, bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim; b Pasal 1266 ayat 2 KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak; c Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace tenggang waktu bagi debitor untuk memenuhi prestasi kepada kreditor, dan ini berarti bahwa kontrak belum putus; d Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan. 2. Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 KUH Perdata merupakan aturan yang bersifat melengkapi aanvullend recht.Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut: a. Pasal 1266 KUH Perdata, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur b. Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak 83 Periksa Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. IV Jakarta: Binacipta, 1987, hal. 66-67. Bahkan menurut Subekti, selain putusan itu bersifat konstitutif, hakim juga mempunyai kekuasaan ‘descretionair’ , artinya ia mempunyai wewenang untuk menilai kadar wanprestasinya debitor. Apabila kelalaian itu dinilai terlalu kecil Hakim berwenang menolak permintaan pemutusan kontrak, meskipun tuntutan ganti ruginya dikabulkan. Periksa Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1982, hal. 148. Dalam Agus Yudha Hernoko. Ibid. Universitas Sumatera Utara 62 c. Praktik penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata, sehingga hal ini dianggap sebagai ”syarat yang biasa diperjanjikan” bestandig geberukikelijk beding dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 KUH Perdata yang bersifat mengatur. Dan para konsumen atau kreditor ini menuntut pengembalian uang mereka, bahkan tanpa ada potongan apapun.Mengingat Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara Developer dengan para konsumen telah dibatalkan, maka seharusnya pihak Developer mengembalikan uang pembayaran yang telah dibayarkan secara angsuran oleh para konsumen.

D. Yang Masuk Kategori Pailit

Nilai-nilai utama yang dapat menjadi titik awal pengaturan kepailitan pada dasarnya dapat ditemukan pada Buku I, II, III dan IV KUHPerdata dan pada Buku I KUH Dagang. Diawali dengan pertanyaan siapa yang dapat dinyatakan pailit. Apa sajakah yang dapat dijadikan jaminan dan transaksi yang bagaimana yang terjamin. Ketiga hal utama tersebut merupakan konsep dasar menuju pada proses pernyataan Universitas Sumatera Utara 63 dan keputusan pailit. Konsep dasar tersebut kemudian secara jelas diatur dengan lebih rinci pada ketentuan kepailitan. 84 Pengaturan suatu kepailitan selain khusus diatur dengan Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga terdapat dalam beberapa Undang - Undang yaitu sebagai berikut:  KUH Perdata, misalnya Pasal 1139, 1149, 1134 dan lain-lain;  KUH Pidana, misalnya Pasal 396, 397, 398, 399, 400, 520 dan lain-lain;  Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996;  PerUndang-Undangan di bidang Pasar Modal , Perbankan, BUMN, dan lain- lain.

1. Subjek Hukum Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

8 151 149

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

PEMBATALAN PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT OLEH MAHKAMAH AGUNG (Studi Putusan No. 02/Pailit/2012/PN.Niaga.Smg dan No. 522 K/Pdt.Sus/2012)

0 6 80

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN PERMOHONAN KASASI PT TELEKOMUNIKASI SELULER ATAS PUTUSAN PAILIT PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 704 K/Pdt.Sus/2012).

0 2 16