Persoalan Mengenai Dasar-dasar Hak Tanah

II. Persoalan Mengenai Dasar-dasar Hak Tanah

Dalam membuat dan menentukan Undang-undang Agra- ria serta peraturan yang mengikutinya, selalu menjadi perso- alan ialah tentang: dasar-dasar hak tanah bagi Raky at Indo- nesia , apakah dasarnya untuk m enentukan hak-hak Negara (Pemerintah Hindia Belanda) atas tanah di Indonesia ini, untuk m enentukan hukum dan peraturan bagi kepentingan m odal asing. Yang m enjadi persoalan pokok ialah: “Pegangan dan dasar hukum apa y ang kirany a dapat dipakai untuk m em - ben a r k a n t in d a k a n n y a , ba g i k ep en t in g a n p olit ik p en ja - jahanny a di lapangan tanah, agar dapat dipertanggungja- w abk an sepan jan g huk um atas adat y an g berlak u dalam

Mochammad Tauchid m asy arakat In don esia ”.

Karena itu selalu dicari dasar yang terdapat dalam masya- rakat, yang kiranya dapat dijadikan pegangan dan alasan untuk m em benarkan tindakan itu.

Sampai pada waktu pembentukan Undang-undang (RR) 1854, m asih belum lagi cukup pengetahuan orang m engenai dasar-dasar hukum dan hak tanah bagi Rakyat Indonesia. Sejak dulu orang-orang sudah sangsi akan kebenarannya teori “do- m ein” yang m elahirkan Dom einverklaring.

Dalil Raffles, yang dasarnya dibawa dari Inggris, berda- sarkan anggapan bahwa Raja adalah pem ilik tanah, sebagai orang yang mempunyai Negeri dengan seisinya, sebagai Raja seru sekalian alam. Pengetahuan yang didapat selayang pan- dang di daerah Kerajaan (Vorstenlanden), dengan adanya isti- lah “tanah itu m enjadi kepuny aan raja” (kagungan dalem ), menambah kuatnya pegangan seterusnya di dalam menentu- kan sekalian Undang-undang dan peraturan tentang tanah.

Orang berbantah dan berselisih faham tentang ini, tentang benar tidaknya dalil Raffles. Tetapi kepentingan jajahan me- nuntut keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya dari jajahannya. Untuk maksud ini tafsir atas kebiasaan yang berla- ku dijadikan pegangan dan patokan.

Raffles menggunakan dalilnya untuk menjalankan sistem lan dren te -nya. Kom isaris-kom isaris J enderal Belanda yang meneruskan pemerintah sesudah Raffles, dengan tidak selidik seksama menerima dalil Raffles sebagai suatu aksioma. Diper- gunakannya untuk menjual tanah “miliknya” itu kepada orang partikelir, meneruskan yang dulu-dulu dijalankan. Disamping itu, meneruskan sistem landrente Raffles.

Penjualan “tanah partikelir” dengan hak kenegaraan su-

Masalah Agraria di Indonesia dah terang diketahui keburukannya. Sejak zaman Raffles sudah

mulai dihapuskan, tetapi karena kekurangan uang masih juga dijalankan.

Van de Bosch m em pergunakan dalil itu untuk Cultuur- stelsel -nya. Begitulah seterusnya, segala Undang-undang dan peraturan tanah Hindia Belanda selalu didasarkan dalil terse- but. Sem uanya itu berpegangan pada pangkal pikiran (ang- gapan ) bahwa R ak y at tidak m em pun y ai hak tan ah, y an g p u n y a a d a la h R a ja . Ka r en a R a ja Bela n d a su d a h hila n g kekuasaanny a, diganti Pem erintah Belanda, m aka kekuasa- an Raja dulu jatuhlah m enjadi hakny a Raja Belanda y ang m em puny ai Indonesia (Hindia Belanda). Gubernur Jenderal m enjadi Maharaja seru sekalian alam di Indonesia, berkuasa atas bum i den gan seisin y a . Anggapan inilah yang m enjadi sumbernya segala Undang-undang tanah dan peraturan-pera- turannya di Indonesia ini.

“Dom einverklaring” sebagai pernyataan hukum , adalah pernyataan hak m aharaja yang berdaulat atas bum i dengan seisinya di Indonesia. Kekuasaan ini tidak dipergunakan guna kepentingan Rakyat, tetapi untuk kepentingan kaum m odal. Pernyataan itu sebagai pemberitahuan bahwa segala tindakan- nya di lapangan tanah, sudah menurut hukum, yang dianggap sesuai dengan kebiasaan dan adat asli yang ada.

Bantahan dan perdebatan tentang benar tidaknya teori dan anggapan itu tidak berguna apabila kepentingan kolonial sudah ditonjolkan ke m uka. Sekalipun dalil itu sudah lam a disan gsikan keben ar an n ya, tetapi tu n tu tan kolon ial tidak menyangsikan pemakaian dalil itu untuk dasar politiknya.

Sesudahnya mendapat ilham dari dalil Raffles, berturut- turut mulai dinyatakan hak-hak itu. Mula-mula dengan samar-

Mochammad Tauchid samar, makin lama makin terang dan tegas, akhirnya berupa

“Dom einverklaring” itu. Domeinverklaring itu yang kemudian m enjadi pangkalnya segala Undang-undang dan peraturan- peraturan tan ah, tidak diwujudkan dalam Un dan g-un dan g Dasar atau Undang-undang Pokok. Hanya berupa sisipan dalam satu Keputusan Raja (Agraris Besluit). Satu keganjilan juga dalam sejarah hukum.

Cara pengam bilan kekayaan yang lam a, yang kasar dan t er la lu m en colok m a t a , ya n g d ija la n ka n oleh Kom p en i, Daen dels, dan Cultuurstelsel, sudah kuran g m en arik h ati. Mudah menimbulkan benci dan marah rakyat, karena terlalu teran g-teran gan n am pak cara-cara pen gisapan dan pem e- rasan. Sebab itu setelah terdapat dalil yang baru, bergantilah cara m enghisap kekayaan dari Rakyat Indonesia.

Dalam R egeerin gs R eglem en t tahun 18 18 No. 8 0 dan

18 27 No. 8 3, den gan sam ar-sam ar telah m ulai din yatakan pem ilikan tanah di Indonesia oleh pem erintah. Makin jelas kem udian din yatakan den gan R.R. 18 36 ten tan g hak m ilik tanah bagi Negara, dengan pernyataan Negara sebagai eige- naar (pemilik) tanah.

Pernyataan itu kemudian dimuat dalam Gouvernements Besluit 18 53 No. 9 (Bijblad 18 2) berbunyi : …. akan diper- t a h a n k a n d a sa r -d a sa r ba h w a sem u a t a n a h y a n g t id a k dikenal pem ilikny a, m enurut protokol justisi ataupun dalam k an tor p en daftaran tan ah, terhitun g sebagai k ep un y aan n eg er i” .

Dalam rancangan Fransen van de Putte (Cultuurweton- twerp) tahun 18 66, pasal 6 berbun yi: “Sem ua tan ah y an g tidak m asuk dalam pasal-pasal di m uka (pasal-pasal itu berisi pem berian hak eigendom m enurut Hukum Perdata sebagai

Masalah Agraria di Indonesia

g a n tin y a ha k m ilik m en u r u t hu k u m a d a t) y a n g sebelu m berlakuny a Undang-undang ini belum m endapat hak eigen- dom , m asuk kepuny aan N egeri ”.

Dalam m en jalan kan Cultuurstelseln ya, Van den Bosch berdasarkan pengertian dan anggapan bahwa : “Raja adalah pem ilik sem ua tanah, y ang berhak m enuntut upeti atas tanah y ang dikerjakan itu, dan juga dapat m em inta tenaga pancen atas pem akaian tanah itu ”.

Pelaksan aan Cultuurstelsel dian ggap sesuai dan tidak berten tan gan den gan teori yan g m en yatakan bahwa Pem e- rintah adalah pemilik tanah. Dengan melalui desa Pemerintah dapat m en yewakan tan ahn ya itu kepada pen duduk den gan hak minta pancen (rodi) kepada Rakyat.

“Kecuali pasal dua dan tiga dari Undang-undang y ang

d a hu lu , m a k a teta p d ip erta ha n k a n d a sa r, ba hw a sem u a tanah y ang tidak dapat dibuktikan dengan m ilik eigendom seseorang, m enjadi hak m ilik N egeri ”.

Pada waktu terjadinya Undang-undang dalam R.R. itu, su d a h b a n ya k t er d en ga r p er n ya t a a n -p er n ya t a a n ya n g menyangsikan kebenaran dalil yang menyatakan bahwa Peme- rintah itu pemilik atas tanah-tanah, baik yang sudah dikerjakan rakyat atau yang belum. Pada tahun 1853 (mengenai landren- t est elsel, p asal 4 8 I.S, yan g m en gen ai p asal-p asal t an ah negeri), Pem erintah m enyatakan keragu-raguannya, apakah hak eigendom Negeri atas tanah-tanah di J awa itu dapat dibe- narkan seperti sangka orang pada tahun 1836. Apakah penda- pat itu masih dapat diterima.

Pada pertengahan abad ke-19 mulai timbul keragu-raguan dan ketidakpastian pendapat tentang dasar hak m ilik tanah Rakyat Indonesia hubungannya dengan hak Gubernemen atas

Mochammad Tauchid itu. Sebab itu dalam R.R. 1854 pedoman dan peraturan ber-

dasarkan teori itu ditinggalkan. Dalam hal ini terdapat selisih paham dan pendapat di an- tara beberapa orang-orang Belanda sendiri. Pengetahuan tentang dasar-dasar hak tanah Rakyat In- don esia sam pai pada waktu pem ben tukan Un dan g-un dan g (R.R.) 18 54, sedikit saja dikenal orang-orang Belanda, yang ber kewajiban tur ut m en en tukan dasar -dasar n ya Un dan g- un dan g tan ah di In don esia. Pen yelidikan secara luas baru diadakan pada tahun 1867 terhadap tanah-tanah yang sudah dan belum dikerjakan oleh rakyat di J awa. Laporan pertama

d isia r ka n t a h u n 18 71 seb a ga i p er cob a a n d a la m Resu m e Banten, dan seterusnya dalam 3 jilid Resum e berturut-turut pada tahun 1876, 1880 dan 1896 redaksinya di bawah pim - pinan Mr. W .B. Bergsm a sebagai ketuanya. Kecuali itu, dija- lankan juga penyelidikan atas tanah-tanah di luar J awa dengan sepuluh Eindresum e sebagai laporan penyelidikannya.

Dasar Agr ar is Wet gevin g (Un d an g-u n d an g Agr ar ia), sudah disebutkan dalam pasal 51 I.S (pasal 62 R.R. dulu). Tiga ayat sudah sejak tahun 1854 term uat dalam R.R. dan ayat 5 yang terakhir disisipkan mula-mula dalam Agraris Besluit.

Tentang arti hak sepanjang adat, sedikit sekali orang me- mikirkan. Hal ini menyebabkan bahwa dalam membicarakan Rancangan Undang-undang Agraria itu tidak didasarkan atas pengetahuan yang cukup.

Oran g lebih dahulu m en getahui adan ya hak eigen dom istim ew a atas tanah seperti adanya tanah partikelir (pasal 51 ayat 1 I.S.) daripada adanya hak eigendom m enurut hukum Barat (pasal 51 ayat 2 I.S.).

“Hak domein” (domeinrecht) adalah kelanjutan dari teori

Masalah Agraria di Indonesia lama tentang kekuasaan Negara dan daerah tanahnya. Menu-

rut pendapat itu kedaulatan Negara adalah di antaranya keku- asaan dan hak benda atas tanah.

Tanah adalah benda kepunyaan Negara. Menurut stelsel feodal kekuasaan Negara atas tanah; digunakan untuk keun- tungan kaum bangsawan sebagai pemilik tanah, sedang pendu- duk hanya diberi hak untuk meminjamnya.

Bekas-bekas stelsel in i m asih n am pak, seperti adan ya tan ah-tan ah partik elir , stelsel lun gguh (ben gkok, apan age stelsel), aturan sew a tanah y ang lam a di Vorstenlanden, dan kem udian adanya Dom einverklaring itu.

Ada lagi teori yang mengatakan bahwa kekuasaan Negara itu berupa kekuasaan atas orang (penduduk) dan tanah. Teori baru yang dianggap modern tentang kekuasaan Ne- gara mengatakan bahwa apa yang ada dalam daerah Negara masuk dalam kekuasaan Negara. Negara mengatur semuanya itu termasuk di antaranya soal tanah.

Men urut pen gertian in i, tan ah adalah ben da diberikan kepada penduduk untuk dipergunakan dan diambil manfaat- n ya sebagai hak m ilik. Kekuasaan Pem erin tah berupa hak m engatur sebagai juga terhadap barang lainnya.

Negara tidak m em punyai hak m em akai sendiri sebagai m ilik perseorangan atas tanah, bilam ana m asyarakat um um memerlukan untuk memakai tanah itu. Negara hanya menga- tur dengan Undang-undang.

Prof. Mr. Dr. A.A. Struy cken dan Mr. C. van Vollenhoven berpendapat bahwa kekuasaan m engatur bagi Negara terha- dap sem ua yang untuk kepentingan um um itu tidak berarti dengan memiliki tanah itu sendiri.

Kepentingan ekonomi atas tanah bagi masyarakat menye-

Mochammad Tauchid babkan perlu adan ya pem batasan atas hak m ilik tan ah itu.

Dasar-dasar sosial ekonomi bagi masyarakat menuntut; bahwa pem akaian tanah oleh yang punya harus berguna juga buat um um (m asyar akat). Dem ikian lah Un dan g-un dan g Dasar Weim ar (1919) pasal 153 m enyatakan: “Hak m ilik m em beri kew ajiban kepada pem ilikny a. Cara m em akainy a hendak- ny alah m em baw a m anfaat pula bagi kepentingan m asy a- rakat um um ”. Dan pasal 155 berbunyi: “Penggarapan dan pem akaian tan ah m ejadi kew ajiban pem ilikn y a bersam a- sam a dengan m asy arakat ”. Mengingat kepentingan um um m aka tim bul adanya pem batasan hak m ilik. Pem batasan itu sesu ai d en gan ked u d u kan tan ah yan g m em p u n yai fu n gsi sosial. Milik (eigendom) sebagai hak perseorangan, harus di- artikan, tidak hanya diberikan untuk perseorangan (individu) pemiliknya, tetapi juga dengan tujuan untuk memberi manfaat dan kebahagiaan m asyarakat.

Banyak dan macam-macam pendapat terhadap teori hak m ilik yang sebagian m enjadi dasar-dasarnya Dom einverkla- ring dan Agraris Wet Hindia Belanda. Setengah orang tidak mengakui kebenaran dasar-dasar itu, golongan lainnya mem- benarkan dasar-dasar tersebut, dan setuju dipakainya sebagai dasar politik tanah Hindia Belanda.

Golon gan yan g m em ben arkan dasar-dasar Dom ein ver- klaring di antaranya Rouffaer, Dev enter, N olst Trenite dan beberapa orang pengikutinya. Golongan yang anti Domeinver- klaring terutama Van Vollenhoven, Ter Haar Bzn, Logemann dan pengikutnya.

Perbedaan faham dan alasan-alasan yang dikem ukakan oleh m ereka, perlu diketahui, untuk m engetahui bahwa soal tanah di Indonesia itu selalu m enjadi persoalan dan perde-

Masalah Agraria di Indonesia batan di kalangan orang-orang ahli berfikir. Riwayat lahirnya

Undang-undang Agraria, perdebatan dalam Parlemen Negeri Belanda atas rancangan Cultuurwet van de Putte yang makan waktu 14 hari untuk pasal 1 saja, dan beberapa kali percobaan Menteri-menteri J ajahan Negeri Belanda untuk mengatasi soal ini, menunjukkan bagaimana penting dan sulitnya persoalan tan ah yam g m erupakan “m asalah pen jajahan ”. Sulit un tuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat menguntungkan kepentingan kolonial, yang dapat dicari kebenarannya menu- rut adat yang ada.

Pihak yang membenarkan dasar-dasar Domeinverklaring mengajukan alasan-alasan dan pertahanannya sebagai berikut: Raja adalah pem ilik (eigenaar) tanah, atau: tanah adalah m ilik Raja . Dasar-dasar hak tanah di J awa berdasarkan penger- tian tersebut. Tanah di J awa berdasarkan pengertian tersebut. Tanah itu milik yang berdaulat yaitu Raja. Dalam hubungan yang erat, penduduk mengerjakan tanah-tanah itu dengan hak memakai. Atas pemakaian tanah itu Rakyat harus menyerah- kan sebagian hasil tanah itu.

Pendapat ini dibenarkan oleh pendapat hakim, di antara- nya putusan pengadilan di Yogyakarta yang menyatakan bah- wa sejak dah u lu kala tan ah -tan ah di daer ah Ker ajaan itu (Surakarta dan Yogyakarta) adalah kepunyaan Raja.

Raja di Bali disebut “Sang Am urwa Bum i” (yang m em - punyai, menguasai tanah). Di Lombok terdapat juga pendapat sem acam itu, bahkan lebih kuat lagi. Sem ua orang Bali dan Sasak di Lombok menyatakan bahwa tanah itu, baik yang su- dah maupun yang belum dikerjakan rakyat adalah Kepunyaan Raja, Sang Amurwa Bumi. Tanah itu milik eigendom Raja, hak Rakyat atas tanah adalah hak m engerjakan dan m em ungut

Mochammad Tauchid hasil .

Liefrinck m enerangkan tentang Bali, diantaranya: “Raja itu berkedudukan di atas segala-galanya. Kalau ia m enghen- daki barang kepunyaan rakyat, isteri atau anak perem puan seseorang, atau nyawa orang sekalipun, orang akan m enye- rahkan, karena semuanya itu adalah kepunyaan Raja”. Di sana ada juga pendapat bahwa Raja tidak boleh m em pergunakan tanah itu semau-maunya sendiri, karena tanah dan air itu se- sungguhnya kepunyaan Tuhan (Dewa).

De Waal dalam mempertahankan rancangan Undang-un- dang Agraria-nya di Parlemen menerangkan bahwa menurut ajaran Hindu dan Islam, milik tanah itu ada pada Raja, sesuai dengan pendapat Margadant dan de Roo de la Faille.

Golongan yang anti dan tidak membenarkan dasar yang dipakai untuk mengadakan Domeinverklaring, dan tidak setuju adanya Domeinverklaring itu sendiri, membantah dan menya- takan bahwa:

Perum usan yang dinyatakan oleh Landraad Yogyakarta, yang menerangkan bahwa Raja adalah eigenaar tanah, sebe- narnya pernyataan sem acam itu hanyalah sebagai “perny a- taan penghorm atan raky at kepada raja ”, pernyataan seder- hana sebagai tanda hormat, demikian pendapat Ter Haar yang dibenarkan Vollenhoven. Vollenhoven m em bantah apa yang dinyatakan de Waal bahwa menurut ajaran Islam dan Hindu, tanah itu kepunyaan Raja. Vollenhoven m enyatakan bahwa “teori landrente” Raffles yang dipropagandakan, tidak berda- sarkan adat asli, tidak terdapat dalam ajaran Islam m aupun Hindu.

Menurut pengertian lama di Indonesia, tanah itu bukan- ny a kepuny aan Raja tetapi kepuny aan suku , yang kemudian

Masalah Agraria di Indonesia menjadi kepunyaan desa. Tiap-tiap penduduk berhak berburu,

m engam bil ikan, m engum pulkan hasil hutan dan m em buka tanah untuk pertanian di situ.

Hak membuka tanah memberikan hak kepada pembuka- nya atas tanah yang sudah dibuka itu untuk dimiliki selama- lam an ya, m en jad i h ak tu r u n -tem u r u n . Tetapi d esa m em - pun yai h ak wilayah atas tan ah itu. Kalau oran g tidak lagi m engerjakan tanahnya, atau m eninggal tidak m eninggalkan waris, tanah itu menjadi hak desa untuk mengatur pemakaian selanjutnya. Karena itu terdapat kebiasaan bahwa tanah itu tidak dapat dijual kepada orang di luar desa, karena kalau begi- tu tidak lagi desa mengatur dan mempergunakan serta men- dapat manfaat tanah itu. Keadaan semacam itu berubah dise- babkan karena: (1) adany a m ilik kom unal; dan (2) kekuasaan Raja-raja terlalu besar (despotiek verstengezang).

Tentang tanah komunal Vollenhoven menerangkan bah- wa sesungguhnya yang dinamakan tanah komunal itu bukan milik bersama dari para gogol, tetapi adalah tanah milik perse- orangan Rakyat Indonesia, tetapi dengan pem batasan yang kuat dari hak wilayah desa. Menurut pendapat Pem erintah dulu, tanah kom unal itu sebagai m ilik desa, dan penduduk

h an ya sebagai p em akai. Men u r u t p en d ap at Vollen h oven orang-orang itu adalah pem ilik tanah tetapi dalam lingkungan (pembatasan) hak wilayah desa.

Adanya tanah kom unal dengan pem akaian giliran, m e- nurut Vollenhoven tum buh karena paksaan, dan sebagainya bentuk yang salah kejadian. Menurut penyelidikan, hak-hak tanah Rakyat (sejak tahun 1867) hak kom unal itu bukanlah dasar adat yan g asli. Milik kom un al terutam a terjadi pada zaman V.O.C. dengan cara monopoli dan kerja paksa melalui

Mochammad Tauchid desa, zam an Raffles den gan lan dren ten ya dan terutam a di

zaman Cultuurstelsel van den Bosch, yang menimpakan beban kepada desa sebagai kesatuan. Tentang hal yang kedua di atas, dapat dimengerti mula-mulanya bahwa Raja menguasai tanah- tan ah yan g m asih berupa hutan belukar (woeste gron den ) yang belum dibuka. Tetapi kemudian juga mengambil hak atas tanah-tanah yang dikerjakan Rakyat di sekeliling istananya. Biasanya atas tanah-tanah pertanian Rakyat yang baik. Akhir- nya Rakyat kehilangan haknya, tinggal hak mengerjakan dan hak memakai saja. J adi perubahan hak ini disebabkan karena usurpasi (pengambilan hak) oleh Raja dengan secara lambat laun dari hak perseorangan Rakyat.

Menurut Domeinverklaring 1870 dan Stbl. 1875 No. 119a semua tanah di daerah Gubernemen di J awa dan Madura dan juga di luar itu menjadi tanah Negeri, kecuali: (a). tanah-tanah eigendom menurut hukum perdata, (b). tanah-tanah partike- lir; (c). tanah-tanah dengan hak agraris eigendom .

Domeinverklaring sendiri mengakaui hak tanah menurut hukum adat. Dengan begitu hak Negeri atas tanah itu seharus- n ya ialah atas sem ua tan ah, dikuran gi den gan tan ah-tan ah Rakyat Indonesia menurut hukum adat yang diakui itu.

J adi m enurut itu hak tanah Indonesia harus dihorm ati sebagai hak tanah dengan hak eigendom, dan karenanya harus dikeluarkan dari hak domein Pemerintah.

Tetapi karena tidak ada keterangan mengenai hak daerah lingkungan desa dengan ketentuan Undang-undang, maka sela- lu dapat diartikan dengan bermacam pengertian menurut ke- m auan orang.

Dom einverklaring dikatakan oleh yang anti sebagai pi- kiran dan pendapat Pemerintah yang kolot, pikiran dan cara-

Masalah Agraria di Indonesia cara kun o, yan g den gan cara gam pan g m en yatakan bahwa

semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigen- dom adalah menjadi kepunyaan Negeri.

Domeinverklaring dipandang dari sudut teori yuridis itu ganjil, ruwet dan tidak berguna. Ruwet, karena terdapat su- sunan yang membingungkan. Tanah yang menjadi hak m ilik (bezit sr ech t ) or a n g In d on esia , d alam Dom ein ver klar in g dinyatakan sebagai hak (dom ein) negeri. Ganjil lagi, karena setelah Negara m engatakan tanah itu sem ua kepunyaannya, jadi Negara sebagai eigen aar tan ah, m asih perlu eigen aar tanah itu “m eng-onteigen” dari Rakyat bilamana orang Indo- nesia pemiliknya tidak suka melepaskan tanahnya itu dengan su ka r ela . Pen ga m b ila n oleh Pem er in t a h d en ga n ist ila h “onteigenen”’ berarti m engakui m ilik yang punya tanah itu.

Kalau Negara sudah m en yatakan dirin ya sebagai eige- naar, apakah perlunya untuk m em beri keharusan m em per- tim bangkan dulu dengan Rakyat sebagai orang yang bukan pemiliknya. Dengan begitu berarti pemerintah tidak tahu akan

h akn ya sen d ir i, sep er ti yan g su d ah d in yatakan : seba g a i eigenaar tanah . Bilamana undang-undang sudah memberikan

h ak eigen dom , dapatlah dia lan gsun g bertin dak, lan gsun g mempergunakan hak itu. Tidak usah mengadakan perundingan dengan orang partikelir, diantaranya untuk keperluan pembe- rian erfpacht itu. Vollenhoven selanjutnya mengatakan bahwa di daerah-daerah kerajaan yan g m em erin tah sen diri (yan g mestinya berarti masih diakui kekuasaannya), harus diakuinya juga kekuasaan Raja atas tanah, konsekuen dengan pernyataan bahwa Raja adalah pemilik tanah. Seharusnya difikirkan juga oleh pembuat Undang-undang adanya Domeinverklaring buat Swapraja lebih dulu. Tetapi nyatanya tidak dem ikian. Raja-

Mochammad Tauchid raja yang dikatakan masih memerintah sendiri, tidak lagi ber-

kuasa atas tanah dalam daerah kerajaannya. Stbl. 1915 No.474 dapat m engubah hak m enurut dasar- dasar Tim ur m en jadi peraturan Barat. Den gan tidak usah m em akai d om ein leer , h ak-h ak Bar at d apat d iatu r kar en a kekuasaan Pem er in tah . Dom ein leer yan g didasar kan atas pengertian bahwa Raja itu eigenaar tanah, teranglah tidak da- p at d ijad ikan u ku r an u m u m n ya ba g i selu r u h In d on esia . Dasar-dasar dan teori yang ruwet dan meragukan kebenaran- nya itu seharusnya segera dilepaskan saja, demikian dari go- longan yang anti.

Keberatan yang terutam a terhadap adanya dom einver- klaring ialah bahwa hak wilyah daerah tidak dijamin di dalam- nya. Ini berarti bahwa yang dibuka Rakyat tidak dengan izin Pemerintah, tanah tersebut tetap menjadi landsdomein, sekali- pun tanah itu m asuk dalam wilayah desa. J uga tanah-tanah bekas perkebunan pemerintah (cultuurgronden), yang sudah ditinggalkan Pemerintah, Pemerintah tidak mengakui hak pen- duduk. Sekalipun tanah itu sudah dim iliki penduduk, tetapi masih tanah Pemerintah. Van Vollenhoven dengan keras dan tajam m encela putusan-putusan tuan-tuan besar Buitenzorg dan Batav ia yan g m en jalan kan dan m em praktekkan pera- turan -peraturan agraria, dikritik ah li-ah li h ukum pegawai pengadilan yang berbolak-balik putusannya, ketidakbenaran- n ya pu tu san dan ser in g-ser in g ber ten tan gan satu den gan lainnya. Selanjutnya dia mengatakan dengan keras bahwa hak negeri atas tanah hanyalah teori om ong-kosong dan khay al. Bagaim anapun juga, tidak dapat dipertahankan perum usan dom ein yang m em batasi hak-hak m enurut adat atas tanah- t a n a h p er t a n ia n Ra kya t ya n g m en yeb a b ka n keka ca u a n .

Masalah Agraria di Indonesia Domeinverklaring yang akan mewujudkan ketertiban hukum

menjadi pangkalnya segala kegoncangan hukum, yang terang ialah yang mengenai tanah-tanah pertanian Rakyat. Dasarnya Domeinverklaring salah dan antipatik, mengingat keadaan juga sudah tidak dapat dipertahankan. Gunanya tidak ada malahan membahayakan. Domeinverklaring bagi Pemerintah mestinya harus berarti hanya hak terhadap sisa tanah sesudah diambil tanah-tanah yang menjadi hak milik penduduk Indonesia. J adi hanya atas satu pulau kenang-kenangan manusia yang belum didiami orang, di sanalah Pemerintah mempunyai kekuasaan pen uh den gan dom ein verklarin gn ya itu. Di daerah-daerah pegunungan di Priangan di luar tanah-tanah kepunyaan Rak- yat, di sanalah Pemerintah mendapat hak-hak itu.

H ak Pem er in tah atas tan ah -tan ah p er tan ian Rakyat, hanya nam a dan om ong kosong, seperti halnya dengan per- nyataan hak eigendom seseorang atas jalan-jalan desa, demi- kian Vollen hoven .

N oslt Tren ite den gan keras m em bela dom ein leer yan g dihina oleh Vollenhoven itu. Dalam notanya yang dinamakan dom ein n ota tahun 1912 m en eran gkan , bahwa: “perlu dija- lankan teori dom ein itu sebagai sandaran kekuasaan hak- hak N egara”. Den gan tegas dia bertan ya: “Ap ak ah un tuk kepentingan eksploitasi tanah y ang sangat dibutuhkan itu, Pem erintah Hindia Belanda akan m enjadi Tuan y ang m engu- asai tan ah, atauk ah m en y erahk an k ek uasaan itu k ep ada pengurus Desa, kepala Marga, Kepala-kepala kuria, orang- ora n g sem a ca m itu , y a n g sa m a sek a li tid a k m em p u n y a i perasan, pengertian dan pandangan ekonom i?”

Menurut Trenite, hak wilayah desa (beschikkingsrecht) itu hanya berlaku di zaman dahulu, waktu tanah di J awa masih

Mochammad Tauchid berlebih-lebihan. Dengan bertambahnya penduduk dan kema-

juan perkebunan di Indonesia, maka sudah lain lagi soalnya. Pem erin tah harus m em pun yai kekuasaan yan g pen uh atas sesuatu yang tidak dapat diatur oleh desa.

Pokoknya soal ini perlu untuk penguasaan. Menurut piki- ran itu, m aka kekuasaan dan kedaulatan desa-desa yang dulu sebagai negara kecil-kecil sudah pindah ke tangan Negara, de- m ikian golongan Pem bela Dom einverklaring.

Dem ikian lah per soalan yan g tim bu l m en gen ai dasar - dasar hak milik tanah bagi Rakyat Indonesia. Bagaimanapun perdebatan itu hebatnya, tetapi untuk kepentingan kolonial, untuk kepentingan kekuasaan Negara, dan untuk m enjam in eksploitasi tanah oleh modal besar, perlu Pemerintah mengu- asai tanah itu dengan Dom einverklaring sebagai pernyataan yang tidak boleh disangkal. Bagaimanapun juga untuk kepen- tingan Pemerintah perlu dipergunakan dalil Domeinverklaring itu. Pendapat Vollenhoven betul, tetapi tidak sesuai dengan kepentingan jajahan.

Keraguan Pemerintah tentang dasar-dasar mengenai hak tanah itu ternyata pada waktu itu, pada waktu Syarikat Islam dan Budi Utom o bersam a-sam a akan m engadakan “Kongres Tani”. Dalam perundingan antara Cokroam inoto dengan Dr. Radjiman di Madiun diputuskan untuk minta bantuan biaya kongres itu kepada pemerintah. Kira-kira setengah bulan men- dapat balasan bahwa Pemerintah akan memberi uang berapa saja kekurangannya asal dalam Kongres Tani tadi jangan diper- debatkan: “Siapa yang mempunyai tanah di Indonesia’.

Kemudian timbul lagi persoalan tentang pokok yang dipa- kai sebagai dasar Undang-undang Agraria selanjutnya. Timbul persoalan, dilanjutkan atau tidaknya dasar itu. Dengan Kepu-

Masalah Agraria di Indonesia t u san Pem er in t ah 19 28 No. 17, Pem er in t ah m em ben t u k

Panitia Agraria yang diberi tugas menyelidiki dan memberikan pertim ban gan , dapatkah dom ein verklarin g dilepaskan dari dasarn ya Un dan g-un dan g Agraria. Kalau dilepaskan , dasar apakah yang dipakai untuk menentukan Undang-undang Agra- ria selanjutnya. Di samping itu juga supaya memberi pertim- bangan dan usul-usul dalam garis besarnya, perubahan-peru- bahan apa yan g perlu diadakan yan g sesuai, baik m en urut hukum maupun menurut paktek.

Pan itia m en cela dom ein leer, dan m en gusulkan supaya domeinleer sebagai dasar hak milik dilepaskan dari dasar-dasar hukum Agraria. Supaya m engakui hak wilayah desa dengan tidak ada ikatan.

Dem ikian persoalan ten tan g dasar-dasar hak tan ah di In don esia.