Masalah Tanah Jaman Penjajahan Jepang

I. Masalah Tanah Jaman Penjajahan Jepang

Pem erintah Balatentara J epang di Indonesia yang ber- maksud menjadikan Indonesia ini sebagai benteng pertahanan menghadapi kekuatan Sekutu, dalam pengepungan (blokade) ekonomi dari luar negeri, berusaha dengan sekeras-kerasnya, untuk “m elipatgandakan hasil bum i”. Agar Indonesia (tanah J awa terutama) dapat menjadi gudang dan sumber perbekalan perang, untuk kuat bertahan bertahun-tahun. Penanaman ba- han makanan digiatkan, dengan mewajibkan Rakyat memper- gunakan syarat-syarat dan pengetahuan pertanian yang baru. Pen an am an padi larikan, pem buatan kom pos un tuk rabuk tanam an-tanam annya dan sebagainya dipaksakan. Hasilnya dimaksudkan akan dapat dipakai persediaan dan perbekalan peran g, un tuk m em beri m akan ken yan g kepada balaten ta- ranya. Rakyat harus “m eny erahkan bakti”, berupa hasil bumi, di sam ping itu harus m enyerahkan tenaganya sebagai pem -

Mochammad Tauchid bantu tentara (heiho) dan bekerja membentengi garis belakang

sebagai rom usha (prajurit pekerja). Beras untuk Balatentara yang tempur di garis depan. Sing- kong dan ubi untuk rakyat di garis belakang. Rakyat harus giat melipatgandakan hasil bumi. Di samping itu harus tetap sanggup berbakti, dan sedia untuk lapar, kare- na padinya perlu untuk bekal perang guna mendatangkan “ke- makmuran bersama”. Pungutan padi yang biasanya ditetapkan

20 % dari hasil panennya, atas kegiatan dan ketaatan tukang- tukang pungut, yang bekerja di bawah ancaman bayonet, prak- tekn ya lebih dari itu. Biasa juga oran g “m en curi” padin ya sendiri di sawahnya sebelum ditunai, untuk sekedar mengu- rangi setoran bakti yang ditetapkan, yang sangat berat itu.

Beribu-ribu, ya, bahkan jutaan tenaga tani dikerjakan di

ga r is b ela ka n g p er t a h a n a n , u n t u k m em b u a t b a n gu n a n - bangunan perang. Mereka m eninggalkan sawah ladangnya, meninggalkan anak bininya yang hidup merana karena lapar, karena perampasan padi dan hasil bumi lainnya.

Riwayat kekejaman Daendels dan Cultuurstelsel terulang di abad ke 20 . Orang tani pulalah yang langsung menjadi sa- saran n ya.

Un tuk m en am bah h asil bum i, tan ah pertan ian rakyat diperluas, den gan m em bon gkar hutan -hutan dan on dern e- m in g m ilik “im perialis kapitalis Barat” yang hasilnya pada waktu itu tidak dapat diekspor ke luar n egeri. Digan tin ya dengan tanam an bahan m akanan: ubi, singkong, kapas dan jarak.

Pembongkaran hutan-hutan dan ondernem ing, disambut oleh rakyat tani dengan gembira, karena kehausan akan tanah yang sudah lam a, disertai rasa benci dan dendam terhadap

Masalah Agraria di Indonesia kekejaman penjajah Belanda yang telah merampas dan meng-

habiskan tanahnya. Kebencian rakyat ini oleh J epang disalur- kan, dibelokkan pikiran dan hatinya untuk membenci “im pe- rialis dan kapitalis Barat ” serta segala yang bernama Barat, Seku tu , Am er ika, In ggr is, Belan d a, agar tid ak m em ben ci “im perialis Tim ur”, J epang sendiri. Berpuluh-puluh onderne- m in g den gan ber puluh -puluh r ibu h ektar e tan ah , disulap den gan seketika m en jadi tan ah pertan ian rakyat. Tan am an ondernem ing dengan seketika berubah m enjadi tanam an ja- gung, singkong, huma, kapas, dan jarak. Hasilnya, untuk keper- luan perang. Rakyat harus menahan nafsunya dulu untuk ingin m akan kenyang.

Tiga setengah tahun di dalam kekuasaan J epang—yang dengan segala m endadak pula jatuhnya—m erupakan m im pi dengan segala ceritera yang hebat-hebat, dahsyat dan menge- rikan .

Kungkungan penjajahan fasis J epang sebagai pengganti penjajahan Belanda, m eninggalkan bekas-bekas kehancuran dan kelaparan serta malapetaka yang tidak dapat dihitung dan diukur besar dan hebatnya. Tetapi di samping semuanya itu, menanamkan juga harga diri pada rakyat Indonesia.

Belanda yang pada mulanya dianggap rakyat tidak dapat digan ggu kedaulatan n ya, tern yata dikalahkan oleh J epan g yang nampak serba sederhana dan kecil dalam sekejap mata, membuka pikiran dan menimbulkan perasaan harga diri bah- wa Belanda yang disangkanya tidak dapat diganggu kedaula- tannya itu ternyata dapat dijatuhkan dengan gampang.

Perampasan senjata oleh rakyat dari tangan J epang yang m asih serba lengkap— tetapi dalam kehancuran jiwa—, m e- nambah perasaan harga diri yang lebih besar lagi.

Mochammad Tauchid Kebencian terhadap segala yang nam a dan sifat J epang

m eluap-luap, dan akan disapunya bersih dari dunia Indone- sia. Pengetahuan yang bagaimanapun baiknya dan betapapun besar faedahnya, karena berasal dari J epang yang dipaksakan, m en gin gatkan akan kekejam an dan keben gisan , karen a itu dilemparnya jauh-jauh. Penanaman padi larikan ditinggalkan, pem buatan kom pos yan g tadin ya terdapat di pekaran gan - pekarangan atas anjuran “tonari gum i”, seketika disapu bersih. Rakyat tidak mau melihat apa yang tersisa dari J epang.

Tanah-tanah pertikelir oleh Pem erintah Balatentara J e- pang dimasukkan dalam urusan Pemerintah, dengan menga- dakan Kantor Urusan Tanah Partikelir (Syriichi Kanri Kosha). Uang kompenian dihapuskan. Seolah-olah tanah partikelir itu sem uanya dikuasai oleh Pem erintah, dan tuan tanah sudah tidak berkuasa lagi.

Sikap ini pada perm ulaanya dapat m enarik hati rakyat, dan dianggapnya sebagai tindakan yang akan melepaskan rak- yat dari kekuasaan tuan tanah yang selama ini dirasakan seba- gai siksaan dan penderitaan.

Tetapi semuanya itu hanya siasat untuk mengambil hati rakyat yang sudah lama dendam terhadap adanya tanah-tanah partikelir den gan peraturan -peraturan serta tin dakan tuan tanah yang kejam dan sewenang-wenang. Penguasaan tanah partikelir langsung oleh Pemerintah Balatentara J epang hanya siasat untuk m em udahkan pengum pulan padi bagi keperlu- an n ya, terutam a di tan ah-tan ah partikelir Pem an ukan dan Ciasem (Pemanukan & Ciasem-landen), yang terkenal sebagai sum ber dan gudan g beras itu. H apusn ya uan g kum pen ian, kemudian diganti dengan kewajiban dan pemerasan lain-lain- nya. Sebagai juga di daerah-daerah lainnya rakyat dikerahkan

Masalah Agraria di Indonesia untuk m enam bah hasil bum i dan untuk bekerja bagi kepen-

tingan J epang sebagai rom usha. Hak-hak feodal tuan tanah lainnya m asih tetap berlaku.

Kecuali itu pemerintah J epang banyak mengambil tanah rakyat untuk keperluan militer, untuk lapangan kapal terbang baru atau memperluaskan lapangan terbang yang sudah ada. Tan ah pertan ian rakyat beribu-ribu hektar diam bil den gan paksa, dengan ganti kerugian “harga paksa”. Petani dengan sedih m enyerahkan tanahnya, dengan m endapat ganti keru- gian yang sangat rendah.

Kep er lu a n u n t u k la p a n ga n t er b a n g d a n b a n gu n a n - bangunan militer ini jumlahnya beribu-ribu hektar. Beberapa kilo meter keliling, orang-orangnya harus pergi meninggalkan tanah pekarangan dan pertaniannya, membongkar rumahnya supaya pindah ke tempat lain.

Den gan sedih dan den dam r akyat tan i m en in ggalkan tanah dan kam pung halam annya, dengan m engutuk perbu- atan kejam itu, pindah ke tempat lain, dengan mendapat ganti biaya yang sangat sedikit, jauh dari cukup untuk biaya mendi- rikan rumahnya di tempatnya yang baru itu. Tanah yang ditun- juk sebagai gan tin ya biasan ya tan ah yan g kurus dan tidak m em beri hasil bagi penghidupannya.