Usaha Pemerintah dalam Mengatasi Keadaan dan Cara Penyelesaian lain-lainnya
IV. Usaha Pemerintah dalam Mengatasi Keadaan dan Cara Penyelesaian lain-lainnya
Sebagai salah satu soal yang pertama harus diselesaikan oleh Pemerintah Nasional kita ialah soal tanah. Soal penentuan politik tanah dan penyelesaian yang berhubungan dengan soal- soal itu. Ketegangan-ketegangan keadaan di daerah meminta segera penyelesaian. Tetapi hingga sekarang, belumlah Peme- rintah memulai melangkah kepada penyelesaian yang prinsipil yang menjadi pangkal segala sengketa dan penyelesaian. Kesi- bukan dalam politik, dan soal-soal lainnya yang dianggap be- sar, mengurangi dan membelokkan perhatian Pemerintah dan masyarakat akan soal-soal yang pokok yang harus dipecahkan lebih dulu.
Umumnya sedikit saja kita memperhatikan soal tersebut,
Masalah Agraria di Indonesia seolah-olah dianggap hanya sebagai soalnya satu golongan,
yaitu golongan Tani yang tidak berarti yang disangkanya akan berhenti dengan sendirinya nanti kalau didiamkan saja.
Masyarakat dan um um n ya oran g-oran g yan g m estin ya harus m em perhatikan soal ini, kurang m engetahui sebenar- benarnya persoalan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dari per- buatan-perbuatan rakyat tentang ini diterimanya sebagai keja- dian yang timbul karena ketidaktaatan rakyat kepada Peme- rintah. Dianggapnya sebagai perbuatan yang sengaja membuat onar dan kacau, tidak dicarinya pangkal-pangkal dan sebab- sebab yang sebenarnya. Alat-alat Pemerintah yang selalu ha- nya berpegangan pada huruf-hurufnya peraturan dan undang- u n dan g yan g ada, u n dan g-u n dan g yan g lam a yan g m asih ber laku , m asih ban yak yan g belu m d apat m em ah am i ke- inginan rakyat.
Apa yan g sudah dikerjakan oleh Pem erin tah Nasion al Indonesia sesudah merdeka ini masih sedikit sekali, dan baru m erupakan penyelesaian yang kecil-kecil dan belum m enge- nai prinsipnya, belum m em bongkar akar yang pokok.
Yang dapat dikatakan penyelesaian prinsipil ialah peng- hapusan Hak Konversi atas tanah-tanah daerah Yogyakarta dan Surakarta dengan Undang-undang Republik Indonesia di Yogyakarta No. 13 tahun 1948 (lihat lampiran No. VIa dan VI b). Penghapusan Hak Konversi itu berarti penghapusan hak- hak istim ewa bagi kaum m odal asing di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dengan Undang-undang itu terhentilah ber- lakunya hak sejarah, disetop (dihentikan) oleh revolusi, yang oleh Belan da dulu dijam in berlakun ya sam pai tahun 1968 . Usaha ke arah penyelesaian yang pokok, oleh Pemerintah Re- publik Indonesia di Yogyakarta dimulai dengan terbentuknya
Mochammad Tauchid Panitia Agraria.
Usaha-usaha lainnya baru merupakan penyelesaian yang tidak prin sipil, baru sekedar usaha-usaha m en en teram kan keadaan yan g hasiln ya belum tercapai. Usaha-usaha in i di antaranya :
1. In struksi Kem en terian Dalam Negeri R.I. di Yogyakarta, No. 3.H.50 tanggal 15 Maret 1950 , No. surat H.4/ 1/ 12 kepa-
da segen ap Gubern ur RI di J awa dan Sum atera, berisi: Pen y elesaian soal tan ah-tan ah erfpacht buat pertan ian besar (perkebunan groot landbouw) y ang diduduki raky at” (lihat lampiran No. VIII di belakang). Instruksi itu kecuali memberi petunjuk-petunjuk cara-cara pen yelesaian tan ah -tan ah yan g diduduki rakyat selam a zam an J epan g dan revolusi, juga m em uat sekedar gam - bar an bagaim an a p en d ir ian Pem er in t ah R.I. t er h ad ap keadaan-keadaan tanah erfpacht yang tidak menurut Dasar- dasar Hukum Agraria Kolonial yang lama (pelanggaran atas kontrak yang ditentukan). Di antaranya dinyatakan tentang adanya tanah-tanah erfpacht yang sejak dulu diusahakan melanggar ketentuan kontrak erfpacht, yaitu tanah erfpacht yan g diusahakan sebagai pertan ian rakyat den gan dipa- rokan atau disewakan kepada rakyat dengan syarat-syarat yang merupakan penghisapan secara lintah darat. Pendirian Pem erintah R.I. tentang ini ialah bahwa atas tanah-tanah sem acam itu harus selekas m un gkin hapus den gan jalan yang sesuai dengan persetujuan K.M.B. yang m enyatakan di antaranya : “seberapa boleh dengan jalan perundingan, kalau perlu dengan “onteigening” untuk kepentingan um um , y ang barang tentu harus dijalankan m enurut ketentuan hukum , kecuali bilam an a sam pai kejadian hal-hal y an g
Masalah Agraria di Indonesia m em aksa sebagai y ang term aktub dalam pasal 3 perse-
tujuan tersebut”. Dalam penyelesaian tanah-tanah yang diduduki rakyat di- tunjukkan cara kebijaksanaan yang harus ditempuh, jangan sampai memberatkan dan merugikan rakyat, dengan diben- tuknya Panitia Penyelesaian, di antaranya duduk di dalam- nya wakil organisasi Tani dan organisasi Buruh yang ber- sangkutan.
2 . Instruksi Kem enterian Dalam Negeri R.I. Yogyakarta, No.
4.H. 50 surat No. H.4. 1. 13, kepada segenap Gubernur R.I. di J awa dan Sumatera, yang berisi “Peny elesaian soal-soal tanah erfpacht” klein landbouw percelen voor m inverm o- gende Europeanen” (lihat lampiran No. IX di belakang): Dalam instruksi tersebut kecuali ditunjukkan tentang cara pen yelesaian n ya, juga din yatakan pen dirian Pem erin tah R.I. bahwa hak-hak semacam itu (erfpacht klein landbouw ) tidak akan ada lagi di dalam Republik Indonesia. Sedang tanah-tanah semacam itu yang sudah ada akan segera digan- ti dengan hak lain dan dibatasi luasnya kalau pemiliknya itu kemudian menjadi warga Negara. Yang pemiliknya bukan warga Negara tidak akan diberikan lagi hak milik atas tanah kecuali den gan peraturan pen yewaan yan g peraturan n ya akan ditentukan kemudian, dengan batas waktu dan luasnya (dalam instruksi itu disebut-sebut m aksim um luas 10 ha, dan m aksim um lam anya penyewaan 10 tahun).
3 . Surat Edaran Kem enterian Dalam Negeri R.I. Yogyakarta No. H.20 5 7 tanggal 9 Mei 1950 kepada segenap Gubernur R.I. di J awa dan Sumatera, Kepala Daerah Istimewa Yogya- karta dan Residen Surakarta, yan g berisi: “Pen y elesaian ten tan g tan ah-tan ah y an g dahulu diam bil oleh Pen du-
Mochammad Tauchid dukan Jepang”. (lihat lampiran No X di belakang).
Surat edaran itu menyatakan bahwa pemerintah mengakui terjadinya pengambilan tanah rakyat dengan paksaan oleh kekuasaan Pem erintah Militer J epang dulu yang dipergu- nakan untuk kepentingan perang J epang. Sesudah zam an Republik ada yang diteruskan dipakai, ada juga yang tidak dipergunakan lagi. Pendirian dan sikap pemerintah RI dalam soal ini ialah: Tanah-tanah yang tadinya diambil dengan paksa dari tangan rakyat, harus kembali kepada yang berhak semula atau ahli warisnya, dengan kewajiban m engganti kerugian yang su- dah diterim an ya. Adapun ten tan g kedudukan tan ah itu dinyatakan: Bilamana tanah milik Indonesia itu dulu diambil den gan tidak m en dapat pen ggan ti kerugian (uan g pem - belian), maka tanah itu menurut hukumnya tetap menjadi kepunyaan pemilik semua. Sedang tanah-tanah yang dulu waktu diambilnya sudah mendapat uang “pembelian” (ganti kerugian), dianggap sudah dibeli oleh pemerintah, dan ta- nah itu yuridis sudah lepas dari haknya pemilik semula dan m enjadi tanah negeri (tanah G.G atau vrij landsdom ein). Dan atas tanah ini m aka m enurut pendirian di atas, oleh pem erintah akan dikem balikan kepada pem iliknya.
Instruksi dan surat edaran diatas itu ternyata umumnya belum dapat dijalankan dan buat daerah-daerah bekas negara- negara bagian sering orang-orang pemerintah di sana merasa tidak terikat oleh instruksi-instruksi itu karena instruksi itu dikatakan hanya berlaku buat bekas daerah republik (Yogya- karta).
Rakyat tan i d en gan or gan isasin ya ban yak m en giku ti in st r u ksi-in st r u ksi it u d a n d ija n d ika n p ega n ga n d a la m
Masalah Agraria di Indonesia m enghadapi usaha pengem balian tanah-tanah bekas onder-
nem ing dari tangannya. J uga pasal-pasal K. M. B. mengenai soal tan ah-tan ah yan g diduduki rakyat m en jadi populer di kalangan rakyat di daerah ondernem ing.
Rakyat yang mempertahankan tanah yang diduduki yang m erasa dibenarkan oleh pasal-pasal K. M. B. serta instruksi Kementrian Dalam Negeri serta penerangan-penerangan yang didapat tentang sikap Pem erintah Republik dan Pem erintah R. I. S. seperti dinyatakan dalam jawaban Pemerintah (Menteri Dalam Negeri dan Kemakmuran R. I. S) di muka, menghadapi alat-alat pemerintah dan pihak ondernem ing yang memberi- kan tafsiran sen diri m en gen ai pasal-pasal itu. Rakyat yan g telah m en duduki sebidan g tan ah bebas ondernem ing sejak zaman J epang dan revolusi, sekalipun selama itu pernah me- ninggalkan tempat itu karena diusir oleh militer Belanda dan kaki tangannya, menafsirkan bahwa atas tanah-tanah itu mere- ka tetap berhak kembali sesudah kekuasaan Belanda mening- galkan tempat itu.
Hal ini banyak terjadi di daerah ondernem ing, rakyat di- usir oleh tentara Belanda pada waktu agresi m iliter Belanda pertama dan kedua. Tanah bekas diduduki rakyat itu selama agresi militer belum juga dapat diusahakan oleh ondernem ing, sekalipun sudah ada yang mendapat izin dari Pemerintah Pen- dudukan Belanda (T.B.A.), karena “pengacauan-pengacauan” gerilya R.I.
Atas tanah itu, rakyat merasa berhak kembali menduduki sesudah Belanda meninggalkan daerah itu, berdasarkan atas bunyi pasal-pasal persetujuan K. M. B. dan sikap pemerintah R. I. dan R.I.S. seperti diutarakan di muka.
Sebaliknya pihak ondernem ing menafsirkan bahwa tanah-
Mochammad Tauchid tanah ondernem ing bekas diduduki rakyat sebelum Belanda
m enyerbu di daerah itu, tetapi selam a pendudukan Belanda tidak dikerjakan rakyat, sekalipun on dern em in g juga tidak menguasai tanah itu sudah tidak masuk “tanah pendudukan rakyat” dan m en jadi hakn ya ondernem ing kem bali den gan sendirinya. Penafsiran sem acam ini m enim bulkan tindakan balas-m em balas. Di salah satu daerah terjadi: rakyat yan g mengerjakan tanah yang dengan izin pihak pemerintah telah dikembalikan kepada ondernem ing dituduh melanggar pasal 550 buku Hukum Pidana, yaitu m enginjak tanah orang lain dengan tidak izin. J adi bukan tuduhan okupasi yang tidak sah. Sebaliknya di daerah lainnya terjadi: rakyat mengakui hak on- dern em in g atas sebidan g kebun yan g m asih ada tan am an karetn ya, tetapi di kelilin gn ya kebun itu sudah m erupakan tanah-tanah bekas bumi hangus yang diduduki rakyat. Sebagai tindakan pembalasan atas sikap pihak ondernem ing dulu yang m empersukar orang lalu lintas di tanah ondernem ing untuk masuk ke kampungnya di tengah-tengah kepungan onderne- m ing , sekarang rakyat berganti melarang orang-orang onder- nem ing m elewati tanah yang diduduki untuk m asuk kebun- n ya.
Di daerah itu juga terjadi persoalan kebun karet yang dibu- mi-hanguskan dan diduduki rakyat, pada waktu agresi militer ditin ggalkan rakyat. Bekas pohon -pohon karet itu tum buh tunasnya yang baru (tunggul-tunggulnya). Pada waktu “penye- rahan kedaulatan” karet-karet tunggul itu sudah dapat disadap kem bali. Rakyat m en ggan ggap tan ah itu tan ah bekas bum i hangus, dan m enjadi kepunyaannya. Tetapi pihak onderne- m ing menganggap bahwa kebun itu adalah kebun karet yang lam a bukan kebun bekas bum i hangus. Karena itu m enjadi
Masalah Agraria di Indonesia kepun yaan on dern em in g.
Sesudah penggabungan Negara-Negara Bagian dan Re- pu blik In d on esia m en jad i Negar a Kesatu an , h al-h al yan g sudah m ulai diran can gkan oleh republik m en gen ai pen ye- lesaian agraria, begitu juga hasil Panitia Agraria disumbangkan kepada pemerintah RI (negara kesatuan) untuk diselesaikan.
4 . Hal-hal yang selanjutnya dikerjakan oleh pemerintah ialah:
Undang-undang darurat No 6 tahun 1951, tanggal 2 Maret 1951, mengubah Undang-undang Sewa Tanah (Grondhuur- ordon n an tie Stbl. 1918 No 8 8 dan Vorstelan dsch Gron - dhuurreglement Stbl. 1918 No 20 ) yang kemudian disahkan oleh p ar lem en m en jad i u n d an g-u n d an g, d en gan p er u - bahan-perubahan dan tambahan. Perubahan dari Undang- undang Sewa Tanah tahun 1918, beberapa pasal, yaitu pasal
8 dari Stbl (statblad). 1918 No 88 ditambah dengan pasal 8a dan 8b, dan Stbl. 1918 No 20 pasal 15 ditambah dengan pasal 15a dan 15b. Pasal 8 a dan 15a dari m asin g-m asin g Stbl. Itu mengubah waktu lamanya persewaan, diubah men- jadi paling lama satu tahun buat keperluan tanaman yang umurnya tidak lebih dari 1 tahun, dan tidak boleh lebih dari umur tanaman, buat tanaman yang berumur lebih dari satu tahun. Pasal 8b dan 15b tambahan itu mengubah cara pe- netapan uang sewa minimum, dengan peraturan pemerin- tah yang m engatur tiap-tiap tahun. Perubahan undang-undang ini belum mengenai soal pokok perubahan hukum tanah seluruhnya, baru merupakan usa-
ha untuk m engatasi perselisihan sebagai “conflicten rege- ling ” (lihat lampiran No XI).
5 . Untuk mengatur persewaan tanah bagi kepentingan onder-
n em in g gula yan g akan m ulai bekerja, oleh pem erin tah
Mochammad Tauchid diadakan beberapa peraturan di antaranya:
a . Oleh Kem en terian Dalam Negeri Republik In don esia Yogyakarta dikeluarkan in struksi No 1. H .50 , tan ggal
19 J anuari 1950 yang berisi penetapan sewa tanah buat perusahaan pertanian (perusahaan gula) di daerah R.I. Di antaranya ditetapkan bahwa persewaan tanah antara rakyat den gan pabrik itu berdasarkan suka rela dan hanya diperbolehkan buat satu tahun tanam an (plan- caar ). Buat tanam an yang um urnya tidak lebih dari 1 tah u n , h an ya d iper boleh kan selam a-lam an ya bu at 1 tahun (12 bulan). Luas tanah dari tiap-tiap desa yang boleh disewa tidak boleh dari ½ -nya luas tanah per- tan ian d i d esa ter sebu t. Dalam u sah a m en d apatkan tan ah, pihak perusahaan harus berhubun gan den gan Pam ong Praja yang akan mempertemukan wakil-wakil organisasi tani yang ada. Dipesankan dalam instruksi itu agar jangan sampai timbul kesan bahwa pemerintah akan lebih memihak kepada pabrik daripada melindungi rakyat tani. Dipandang sangat perlunya organisasi-or- ganisasi tani turut serta dalam soal ini untuk mengurangi kejadian -kejadian yan g tidak diin gin kan dar i akibat perhubungan antara pabrik dan rakyat Tani. Dalam m en etapkan sewa tan ah dipakai dasar bahwa orang tani tidak boleh menerima kurang dari hasil bersih yan g dapat diharapkan kalau ia m en an am i tan ahn ya sendiri seperti biasa (lihat lampiran no. XII).
b . Oleh Kem en tr ian Kem akm u r an Rep u blik In d on esia Serikat (RIS) dikeluarkan Nota No. G 193/ PKB tanggal
20 J anuari 1950 yang memberikan pedoman persewaan tanah dengan perhitungan hasil-hasil menurut masing-
Masalah Agraria di Indonesia masing tanah dan harga hasil itu sebelum perang diban-
dingkan dengan waktu tersebut di m asing-m asing da- erah (lihat lampiran no. XIII). Ketentuan ini untuk da- erah-daerah yang ada di luar daerah RI pada waktu itu.
c . Oleh Kem enterian Kem akm uran R.I.S. J akarta dengan
surat No 220 / SD tan ggal 20 J an uari 1950 diberikan pedom an ten tan g persewaan tan ah buat pabrik gula 1950 / 1951, yang m em berikan pedom an cara m enetap- kan uang sewa tanah dengan melipatkan sekian kali uang sewa tanah sebelum perang dengan pembayaran berupa uan g, sebagian berupa gula dan bahan pakaian (lihat lam piran no XIV).
d . Pedoman persewaan tanah buat pabrik gula 1950 / 1951,
surat Kementerian Kemakmuran RIS jakarta, No G 337/ Pkb, tanggal 4 Februari 1950 , yang menyusuli surat tang- gal 20 J anuari 1950 No 220 / SD, menyetujui sewa tanah di daerah R.I besarnya 4 kali sewa tanah sebelum perang ditambah dengan 150 %. Yang 4 kali uang sewa sebelum perang dibayarkan berupa uang, yang 150 % tuslah diba- yar den gan tekstil 45 m eter tiap h a, lain n ya dibayar den gan gula m en urut harga pasar. Yan g m en etapkan dan memimpin persewaan itu ialah panitia yang diben- tuk di daerah (lihat lampiran no XV).
6 . Un tu k m en gh ad api per sewaan tan ah tah u n 1951/ 1952, dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 tahun 1951 ditetapkan besarnya uang sewa tanah buat tanam an tebu sebesar Rp. 1.50 0 ,- (sedikit-dikitn ya) den gan tam bahan selebihnya hasil pokok 750 kuintal tiap-tiap kuintal tebu Rp. 2,- dengan ketentuan bahwa tidak boleh kurang dari Rp 150 0 ,- buat segala m acam jenis tanah (lihat lam piran No.
Mochammad Tauchid XVI).
7 . Selan jutn ya un tuk m en gh adapi persewaan tan ah un tuk tanaman tebu tahun 1952/ 1953, dengan Keputusan Mente- ri Agraria No. 1/ KA/ Per.52 tanggal 7 J anuari 1952, ditetap- kan uang sewa tanah untuk tanam an tebu dengan perhi- tungan tiap-tiap bulan tiap-tiap hektar buat masing-masing jenis dan macam tanaman tebu (tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit), dengan tambahan uang hasil kelebihan dari yang sudah ditentukan (hasil pokok 850 kuintal tiap-tiap hektar buat tanam an tebu biasa, dan 650 buat tebu tunas, lihat lam piran No. XVII). Perlu dicatat di sini bahwa semasa zaman Kabinet Sukiman/ Suwirjo diadakan lah Kem en terian Urusan Agraria yan g dijabat oleh Mr. Dr. Gondokusum o. Tetapi dalam kabinet yang berikutnya kementerian itu tidak diadakan lagi sebab dianggap tidak perlu diadakannya kementerian sendiri, dan kembali urusan agraria masuk dalam Kementerian Dalam Negeri. Mengenai ketentuan besar kecilnya sewa tanah, ternyata m enghadapi kesukaran-kesukaran di daerah-daerah, oleh karena sering-sering terlalu jauh perbedaan perhitungan antara pihak pabrik gula dengan perhitungan pihak tani. Kalau di masa sebelum perang orang tani biasa hanya menu- rut saja perhitungan yang sudah ditentukan oleh pihak on- dernem ing bersam a am tenar BB dan J awatan Pertanian, sekarang ternyata tidak begitu saja pengusaha-pengusaha itu akan menentukan sewa. Rakyat tani dengan melalui orga- nisasinya telah dapat memperhitungkan penghasilan yang bisa didapat dari penanaman tebu itu, dan karena itu dapat m en gajukan tun tutan -tun tutan sewa tan ah yan g sesuai
Masalah Agraria di Indonesia dengan perhitungan untung dengan penanaman tebu itu di
atas sawahnya. Keuntungan yang besar dari penyewaan tanah dan pengu- sahaan gula dulu hanya menjadi haknya kaum modal saja, sekarang tani m engetahui perhitungan-perhitungan yang selama itu tertutup sama sekali. Dalam lampiran-lampiran No. XVIII dan XIX di belakang kita dapat melihat bagaimana panitia setempat memperhi- tu n gkan besar n ya u an g sewa tan ah , d an d iban d in gkan dengan perhitungan pabrik dan pihak tani (organisasi-orga- nisasi tani). Begitu juga pernyataan-pernyataan, baik beru- pa mosi, resolusi dari organisasi tani sebagai ternyata dalam lampiran No. XX dan XXI di belakang ini menggambarkan mulai timbulnya kesadaran rakyat tani dan tambah penger- tiannya m engenai harga hasil tanahnya.
8 . Dengan keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1952 termuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nr 318 tanggal
6 Mei 1852, ditetapkan besarnya uang sewa tanah buat ta- naman tembakau, rosela/ corchorus yang menentukan juga waktu-waktu penyewaan tanah (lihat lampiran No. XXIII).
9 . Berhubung dengan keadaan hubungan kerja antara pihak pemaro tanah dan pemilik tanah yang sangat jelek di bebe- rapa tempat di Sunda Kecil yang memberikan bagian hasil yang sangat sedikit kepada pihak yang mengerjakan tanah (ada yang hanya menerima 1/ 5 dari hasil, di J awa umumnya menerima separo), maka dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 3, 1952 tanggal 9 J uli 1952 termuat dalam Tam- bahan Lem baran Negara Nr. 319 tahun 1952, ditetapkan peraturan tentang mengusahakan tanah pertanian dengan cara bagi hasil di daerah propinsi Sunda Kecil, yang menen-
Mochammad Tauchid
tukan agar Gubern ur berusaha secepat m un gkin den gan jalan damai agar supaya oleh pemilik dan pengusaha diada- kan perjanjian tertulis di depan pegawai yang ditunjuk oleh Gubernur, tentang mengusahakan tanah dengan cara bagi hasil, baik buat tanaman yang ada pada waktu itu, maupun buat tanam an yang akan m enyusul. Dalam perjanjian itu supaya ditegaskan, berapa hasil tanah itu akan menjadi ba- gian pem ilik dan pen gusaha m asin g-m asin g, den gan pe- dom an gubern ur yan g seadil-adiln ya. (lihat lam piran n o XXIV)
10 .Un tuk m en ghadapi pen an am an tem bakau m usim tahun 1952/ 1953, maka dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nr 4 tahun 1952 termuat dalam Tambahan Lembaran Ne- gara R.I. Nr. 320 , ditetapkan besarn ya uan g sewa tan ah buat tanaman tembakau di daerah Bondowoso dan J ember Rp. 60 0 (enam ratus rupiah) tiap hektar buat lam anya 6 bulan (lihat lampiran No XXV)
11.Dengan undang-undang darurat Nr 1 tahun 1952, termuat dalam Lembaran Negara RI tanggal 2 J anuari 1952, diten- tukan larangan buat sem entara m em indahkan hak tanah dan barang tetap lainnya yang lebih dari 1 tahun, yaitu bagi tan ah-tan ah atau baran g tetap lain n ya yan g m em pun yai titel m enurut hukum Eropa. Pem indahan itu hanya dibo- lehkan dengan izin Menteri Kehakiman. Tentang pelaksanaan Undang-undang Darurat ini dijelaskan dengan penjelasan termuat dalam Tambahan Lembaran Nr.
18 2 dan Tam bahan Lem baran Negara Nr. 18 3 tan ggal 7 J anuari 1952, ditambah dengan Keputusan Menteri Keha- kiman RI termuat dalam Tambahan Lembaran Negara Br. 211 tanggal 22 Februari 1952 (lihat lam piran No. XXVIa,
Masalah Agraria di Indonesia XXVIb, XXVIc, dan XXVId).
12.Terhadap persen gketaan tan ah di Sum atera Tim ur oleh Kementerian Dalam Negeri dengan surat keputusan 28 J uni 1951 No. Agr. 12 5-14, yang bermaksud memberikan terus hak memakai tanah kepada Deli Planters Vereeneging tanah seluas 125.0 0 0 ha den gan hak ben da dan selebihn ya itu
d ikem b a lika n kep a d a P em er in t a h . (b a ca sela n ju t n ya lampiran No. XXVIIa dan XXVIIb).