Hak Milik

2. Hak Milik

Pengertian umum mengatakan bahwa hak milik tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melaku- kan hak itu sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh

Masalah Agraria di Indonesia Undang-Undang dan hukum adat yang berlaku:

a . menghormati hak wilayah desa atau daerah,

b . m enghorm ati kepentingan m ilik tanah lainnya,

c . m enghorm ati hukum adat yang berlaku m engenai tanah, um pam an ya kewajiban m em berikan kesem patan tern ak orang lain masuk dalam sawah atau ladang pada waktu tidak ada tanam annya (bero).

Menurut Dom ein Verklaring tanah m ilik rakyat adalah kepunyaan Negeri. Maka m enurut pengertian itu, hak m ilik rakyat dikatakan sebagai hak memakai saja, yang biasa disebut “erfelijk in div idueel gebruiksrecht (hak m em akai turun -te- murun), tetapi biasa juga disebut “erfelijk individueel bezits- recht” (hak milik perseorangan turun-temurun), sebab menu- rut kenyataannya, si pem ilik itu berhak m enujual, m engga- daikan, menyewakan, memberikan kepada orang lain, mewa- r iskan baik d en gan h u ku m war is m au p u n d en gan wasiat (testam en ).

H ak m ilik ada yan g kepun yaan perseoran gan (in divi- dueel), ada pula yang kepunyaan Badan Hukum atau Daerah, seperti di J awa kepunyaan Desa, di luar J awa kepunyaan Suku, Marga, Kuria, Famili. J adi perkataan “individuel gebruiks, atau bezitsrecht ” ini tidak selam anya berarti kepunyaan individu (perseorangan) melainkan juga berarti kepunyaan Badan Hu- kum .

Tan ah m ilik perseoran gan bisa juga din am akan tan ah y asan , yang berarti bahwa tanah itu berasal dari y asan (mem- buat sendiri) yang berasal saat membuka hutan di zaman dahu- lu un tuk dirin ya dan un tuk keturun an n ya kem udian . H ak membuka tanah itu adalah hak nenek moyang atas tanah yang belum dibuka. J uga biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai

Mochammad Tauchid hubungan warisan (pusaka) nenek m oyang yang dulu m em -

buka h utan . Ada juga yan g ber asal dar i pem ber ian or an g lainnya (tilaran, pusaka, cukil, J awa; songkelan, posoka, lar olar, Madura; turunan, Sunda; dsb.) Tanah y asan biasa juga din am akan tan ah kitri, bakalan , cokrah, trukah, patokan , y asan sorangan, pribadi, usaha, m enurut nam a di m asing- m asing tem pat.

Hak membuka hutan yang dijadikan tanah milik perseo- rangan (y asan) adalah hak asli bangsa Indonesia. Tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Buka Tanah (Ontginningsordonnan- tie , Stbl. 1874, yang diubah dan ditambah dengan Stbl. 1896 no. 44, Stbl.1925 no. 649) maka kesempatan membuka tanah itu sangat terbatas, yang di beberapa tem pat lainnya sudah tidak ada kemungkinan lagi.

Tanah milik desa di J awa juga di beberapa tempat lainnya, ada berm acam -m acam sifat dan fungsinya:

1. untuk keperluan um um se-desa: tanah pangonan tem pat m en ggem b a la ka n t er n a k or a n g-or a n g se-d esa ; p a sa r umum, dan kepentingan pekerjaan umum lainnya,

2 . untuk dipergunakan hasilnya buat biaya-biaya desa: tanah kas desa (Yogya) titisara, (Cirebon): tanah suksara (Banyu- mas): saw ah banda desa, dsb. Di beberapa tempat di J awa ada “sawah blanjan slametan”, yang diserahkan kepada Lu- rah desa, hasilnya untuk biaya selam atan um um se-desa (sedekah bumi, atau sedekah desa). Di Purbalingga ada “sa- w ah sem en” yang hasilnya untuk kas desa. Tanah kas desa biasa dikerjakan oleh rakyat, dengan menyewa atau maro,

3 . untuk penghasilan Kepala Desa dan Pamong desa lainnya: bengkok, lungguh, tanah pecaton, tanah ganjaran, carik. Ad a ju ga yan g d ised iakan u n tu k p en siu n an lu r ah atau

Masalah Agraria di Indonesia pam on g desa lain n ya (tan ah gan jaran , pen garem -arem )

yang diberikan selam a orang itu m asih hidup, dan kalau mati maka kembali kepada desa. Dulu ada tanah yang disediakan hasilnya untuk membayar “guru desa” yang biasa dinamakan “bengkok guru”. Tanah bengkok ini tidak boleh dijual atau digadaikan oleh yang m em egan g, tetapi di beberapa tem pat dapat disewakan kepada ondernem ing. Kalau lurah berhenti dalam waktu persewaan itu, maka ondernem ing berkewajiban mengganti kerugian kepada Lurah yan g m en ggan tikan n ya. Di desa- desa pegunungan, umumnya lurah tidak mempunyai beng- kok, tetapi menerima “orang bengkok” yang diganti dengan m em bayar u an g d en gan ju m lah yan g r elatif an tar a f 4 sampai f 8 per-orang. Tan ah ben gkok in i dikreditkan oleh pem ilikn ya sen diri dengan bantuan tenaga penduduk desa dengan m em beri m akan dan m inum atau sebagai kewajiban (kuduran). Di beberapa daerah tanah bengkok ini dapat diuraikan seperti di bawah ini:

1. Di Sukapura, distrik Ciawi (Priyangan) terdapat tanah yang disediakan sebagai bengkok yang dinamakan “sa- wah sahab”, untuk menjamin kehidupan pamong desa,

2 . Di Limbangan bagian sebelah utara ada kira-kira 40 bau

hutan (kebun jati) yang disediakan sebagai bengkok,

3 . Di Pekalongan dan Kudus, bengkok Lurah dikerjakan oleh penduduk secara gotong royong.

4 . Di Pati, tanah dikerjakan oleh penduduk (gogol) sebagai kewajiban herendienst (kuduran).

5 . Di Sidoarjo, bengkok lurah dikerjakan penduduk dengan mendapat makan dan minum.

Mochammad Tauchid

6 . Di daerah Malang, tanah bengkok (Petinggi) dikerjakan

penduduk dengan dasar dasar tolong m enolong.

7 . Di daerah Probolinggo tanah bengkok dikerjakan oleh pen duduk den gan perjan jian m aro, karen a sawahn ya t er la lu lu a s u n t u k d iker ja ka n sen d ir i, d a n ka r en a m engerjakan sawah dalam satu desa dan dalam waktu yang bersam aan sukar m endapatkan bantuan tenaga,

8 . Di desa Bugur, daerah Penarukan, pernah terjadi bengkok Lurah dijual kepada pabrik Olean dan diganti dengan tanah lain. Hal ini dilakukan tanpa mengetahui apakah bengkok boleh dijual atau tidak, ataukah tanah bengkok dapat ditukar begitu saja.

9 . Di daerah Sulawesi Selatan, ada tanah yang hasilnya di- pergun akan un tuk keperluan raja (kepala n egeri), se- perti:

(1).Tanah Aw atarang, terdapat di daerah Pare-pare. Ter- jadi sejak kira-kira 80 tahun yang lalu. Tanah ini berasal dari tanah yang dibuka oleh rakyat di tem pat itu atas perintah Hadattuang (Raja). Sesudah dibuka, tanah itu dikerjakan oleh Pakkabekka (rakyat yang mengerjakan) dan diharuskan m em bayar tesang (sewa) sebesar 2% dari hasilnya. Tanah-tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada 12 orang anak Hadattuang yang masing-masing m em egan g pem er in tah an ber sam a den gan ayah n ya. Oleh anak-anaknya itu tesang dinaikkan m enjadi 5%, dan tidak lama lagi dinaikkan jadi 10 %. Yang 5% untuk raja seperti biasan ya, sedan gkan yan g 5% lagi un tuk zakat, karena katanya, orang-orang yang m engerjakan tidak perlu lagi langsung membayar zakat kepada yang bersangkutan, sebab anak-anak raja itulah yang m em -

Masalah Agraria di Indonesia bayarkannya. Namun oleh raja yang menggantikannya,

kira-kira 20 tahun kem udian , tesan g din aikkkan lagi menjadi 20 %, yang 5% untuk raja, yang 5% untuk zakat, yang 10 % untuk persediaan perbekalan perang, supaya kalau timbul perang, rakyat tidak usah menyediakan per- bekalannya sendiri. Hal ini terjadi sampai tahun 1934, dan setelah ada sang- gahan yang hebat dari rakyat yang tidak kuat lagi mem- bayar tesang yang sebesar itu, di sam ping berm acam - macam beban lainnya, maka oleh pemerintah diturun- kan menjadi 10 %. Di samping harus membayar tesang sebesar itu, pakkabekka m asih harus berjanji kepada Raja:

a. kalau raja mengadakan perhelatan (mengawinkan, me- lahirkan, dan perhelatan lainnya) pakkabekka harus bersedia dengan isterinya m enerim a kewajiban yang akan diberikan oleh raja,

b. harus ikut kalau raja mengadakan perburuan rusa dll, kem elaratan rakyat karena berbagai kewajiban yang ber at it u m en im bu lkan p er t ikaian t er u s-m en er u s m engenai tanah aw atarang dengan tesang-nya ini. Karena itu, pada tahun 1941 diputuskan pem erintah un tuk m en jual aw ataran g kepada rakyat, tiap hak antara f 20 -f 25. Dari lk. 20 0 0 ha. tanah aw atarang, sekarang masih tinggal 20 0 ha. yang belum dibeli dan sampai sekarang masih menimbulkan pertikaian di sa- n a.

(2). Tanah Ongko (ornam entsveld), sebagai tanah jabatan bagi raja-raja untuk penghasilannya. Tanah ini berasal dari tan ah yan g dibuka oleh rakyat atas suruhan raja

Mochammad Tauchid sebagai kewajiban herendienst. Sesudah jadi, tanah itu

dikerjakan rakyat den gan m en yewa kepada raja dan kepala negeri. Ongko-ongko ini selain berupa sawah juga berupa telaga dan kali, yang di-ongkoi (dikungkungi, dimonopoli) oleh raja. Orang yang akan mengambil ikan dalam kali atau telaga harus m em bayar dulu kepada raja. Selain, ongko-ongko yang berasal dari tanah yang dibu- ka oleh rakyat atas perintah raja seperti diuraikan tadi, ada juga ongko-ongko yang berasal dari rampasan tanah rakyat sebagai hukum an n karen a dituduh m elan ggar salah satu adat. Banyak peraturan-peraturan adat yang tidak tertulis (ongeschreven w etten), di antaranya ada adat yang menentukan barang siapa (petani) yang men- curi bajak (w eluku) m aka tanahnya diram pas sebagai hukumannya. Menjadi kebiasaan di sana bajak itu diting- galkan di sawah. Kalau raja mau memfitnah orang tani yang sawahnya dikehendaki, dia menyuruh orang mem- berikan tanda pada bajak itu, um pam anya diberi paku di bawah bajak itu. Raja mengatakan kehilangan bajak, dan menyuruh orang mencari, dan menuduh orang yang dikehendaki sawahnya itu bahwa yang ada di sawahnya itu adalah bajak raja. Para petani tidak m engerti akan tipu muslihat raja yang mengatakan kalau nanti ternyata ada tanda paku di bawahnya itulah tandanya bajak ke- punyaan raja. Orang tani yang jujur itu mengiakan saja apa yang dikatakan raja, sebab tahu bahwa bajaknya sen- diri tidak ada tanda paku di bawahnya. Setelah ternyata terdapat tan da paku di bawahn ya, karen a tadi sudah m en giakan dan tidak lagi berdaya, sawahn ya diam bil

Masalah Agraria di Indonesia (dirampas) oleh raja, karena tipu muslihat itu.

Tanah-tanah di Sulawesi Selatan sebagian besar dimiliki oleh raja yang m em iliki sawah ribuan bau, di sam ping r akyat n ya yan g h an ya m en jad i bu r u h m en ger jakan tanah orang kaya-kaya itu.

4. Untuk dikerjakan oleh warga desa; tanah kongsen, gogolan, pakulèn, norowito, tanah kom unal. Orang-orang yang mendapat bagian tanah (tanah komunal) dinamakan: gogol, w ong baku, w ong kenceng, w ong nga- y ah, kram an, sikep, sikep ngarep, kuli kereg, som ahan ba- ku, kuli ajeg, kuli ( J awa); orang kenceng, oreng pangaje, ( Madura); pribum i, jalm a bum i, bunen w antok, kuren tani, tanicekel ( Sunda) dsb. Tanah komunal tidak berarti bahwa tanah ini menjadi ke- punyaan orang banyak dan dikerjakan hasilnya untuk orang banyak bersama-sama. Tanah ini dikerjakan orang seorang, dan hasilnya juga untuk orang seorang, sebab sering disebut juga Com m unaal individueel bezit. Tanah komunal ini menurut keterangan Van Vollenhoven, sesun gguhn ya bukan asli In don esia. Tan ah kom un al in i adalah m ilik perseorangan dengan batasan yang kuat hak wilayah (beschikkingsrecht) daerah atau desa. Tan ah kom un al dih idupkan dan diperkem ban gkan oleh Kumpeni untuk memudahkan menjalankan leverancien dan con tin gen ten yang pertanggungjawabannya kepada desa. Hal ini kem udian diteruskan oleh Raffles yang dilakukan dalam pem ungutan landrente yang dasar pem bayarannya dibebankan kepada desa. Hal ini dilakukan untuk m em u- dahkan dan m endapatkan jam inan m asuknya landrente. Begitu juga seterusnya yang dijalankan oleh Cultuurstelsel

Mochammad Tauchid

d an oleh r aja-r aja d u lu . Pem asu kan p ajak (bakti d sb.) dijalan kan m elalui desa, dem ikian pen dapat van Vollen -

h oven . Tan ah gogolan (kom un al) dian ggap kepun yaan bersam a para gogol dalam satu desa, yang kem udian m enjadi ke- punyaan desa dan dikerjakan oleh para gogol. Gogol adalah warga desa yang m endapat bagian tanah dari desa untuk dikerjakan yang diikuti oleh kewajiban desa, untuk perang- kat desa. Hak-hak warga desa (gogol) ialah ia dapat bersuara dan m em punyai hak suara dalam rapat desa, dapat turut memilih lurah, di samping kewajiban yang harus dijalankan, yang kemudian tidak seimbang dengan hak yang diterima. Sebab itu sering terjadi orang-orang gogol melepaskan se- bagian tanahnya dan diserahkan kepada desa untuk dija- dikan tanah kas desa, agar hasilnya sekedar m engurangi beban yang ditimpakan kepadanya berupa macam-macam pungutan dan penyerahan tenaga. Karena tanah komunal itu tidak sama baik dan suburnya, m aka un tuk adiln ya, tan ah kom un al ada yan g dibagikan bergan ti-gan ti atau bertukaran . Ada yan g bergan ti-gan ti tempatnya, ada pula yang berganti tempat serta perubahan luas tanahnya. Tanah komunal itu ada macam-macam:

a . tanah komunal dengan andilan tetap (com m unaal bezit m et vaste aandelen , biasa dinamakan: norow ito m atok, pak ulen m atok , k on gsen m atok . Di beberapa daerah kongsen matok dapat dijual (dipindahkan haknya), tetapi

d i d aer ah lain n ya tan ah peku len m atok tid ak boleh dijual,

b . tan ah kom u n al den gan an dilan gilir an (com m u n a a l bezit m et w iselende aandelen ) atau dinam akan kong-

Masalah Agraria di Indonesia sen, norow ito, pekulen giliran,

c . tanah komunal dengan pembagian berkala (com m unaal bezit m et periodieke verdeeling ), seperti poin b di atas, dengan pergantian tempat dan mungkin juga perubahan luasnya. Bahkan karena tidak cukup luasnya tanah untuk

dibagikan seluruh gogol, maka bisa kejadian pada satu ketika seorang gogol tidak menerima sawah untuk dibe- rikan kepada orang lain, dan di tahun lainnya nanti mene- rima bagian lagi. Tanah komunal ini terutama terdapat di J awa Tengah dan Timur. Di J awa Barat hanya terdapat di daerah Cirebon.

Tan ah p er tan ian d i J awa ad a d u a m acam , yaitu tan ah komunal dan tanah yasan. Perbandingan antara tanah yasan dan tanah komunal adalah 3 : 4.

Macam-macam hak tanah pertanian rakyat di Jawa dan Madura

Tanah Jenis hubungan tanah

Sawah

kering Jumlah

1932 1922 1882 Hak milik perseorangan

59,6% 88,5% 76,% 75% 38% Komunal dan andilan tetap

8,5% 13,7% 14% 24% Komunal dengan giliran

0,5% 4% 5% - Bengkok

1,3% 4,7% 5% 25% Tanah desa yang belum

1,2% 1,2% 1,2% - dikerjakan

Pada tahun 1932 di Surabaya kira-kira 68% dari luas sawah berupa tanah komunal dengan andilan bergiliran. Di Madiun 32% dari 274.70 0 ha sawah dengan hak sem acam di atas pada waktu itu (1932), terdapat di J awa Tim ur yang 86% dan di J awa Tengah 14%. Luas ben gkok yan g jum lahn ya rata-rata di seluruh J awa 9,4% sawah dan 1,3% tanah kering itu, di tiap-tiap daerah

Mochammad Tauchid berbeda-beda prosen tasin ya.

Di Priangan tidak sampai 1,4%. Kediri 14 %. Besuki

Di daerah Kedu yang sebelum tahun 1870 terdapat tanah komunal sekarang sudah tidak ada lagi. Di beberapa tempat lainnya ada tanah ladang (tegal) yang berganti-ganti diker- jakan oleh penduduk se-desa, yang dinamakan “tegal ide- ran” , juga dinamakan talun atau pengalang-alangan, ter- utam a ini terdapat di daerah pegunungan. Asal tanah itu dulunya tanah G.G. (Gouvernem ents Ground), yang diberi- kan kepada desa (terdapat dulu di Wangon, Purwokerto). Tanah sem acam itu kem udian banyak yang dikem balikan kepada desa. Tanah komunal dapat dijadikan tanah yasan, dengan persetujuan ¾ suara semua gogol se-desa, seperti tersebut dalam Inl. Gem eente Ordonnantie sesuai dengan Conversie besluit, firm an Raja 1885. Dengan Conversie bes- luit dimaksudkan untuk memberi jalan kepada desa mengu- bah hak m ilik kom unal dan dikonversikan m enjadi m ilik yasan. Lalu tim bul soal baik buruknya hak yasan dengan hak kom unal, oleh karena itu diberikan kesem patan atas kemauan sendiri untuk memilih jenis hak tanah yasan atau kom un al. Di J awa, jika terdapat tanah pekarangan dengan hak yasan, maka di sampingnya ada sawah komunal. Tanah kering (te- galan) dan empang umumnya juga menjadi hak yasan. Di beberapa tem pat di daerah Ban yum as, adan ya on dern e- m ing tebu mempengaruhi juga perubahan tanah komunal. Di daerah yang tidak ada pabrik gula, tidak ada persewaan tanah, tanah komunal bagiannya tetap dan turun temurun,

Masalah Agraria di Indonesia

malah praktiknya juga dapat dijual. Tetapi tempat-tempat yang ada persewaan tanah oleh ondernem ing, tanah komu- nal dengan pembagian giliran terus dipertahankan. Tanah ini terkenal dengan nama “saw ah giliran” atau “saw ah pla- jangan”. Dengan m enjadikan desa sebagai pem ilik tanah, dengan begitu pabrik gula akan m udah m endapat tanah , karena atas tanah kom unal itu (sawah playangan), rakyat (perseorangan) tidak kuat haknya. Di daerah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan), ta- nah pekarangan dim iliki oleh rakyat dengan “w ew enang an ggaduh” (gebruiksrecht) dari kepun yaan raja (n egeri) dengan surat tanda milik dari pemerintah (lajang pikukuh) sebagai tanda hak itu, tidak dengan hak hipotik. Sejak tahun 1934 “w ew enang anggaduh” diganti dengan “w ew enang ndarbeni” (erfelijk individueel bezitsrecht)