Riwayat Hukum Agraria di Indonesia

I. Riwayat Hukum Agraria di Indonesia

Pada permulaan kekuasaan penjajahan Belanda di Indo- nesia, pada zam an kom peni (V.O.C) sam pai beberapa ratus tahun kemudian, belum terpikir oleh Belanda untuk langsung m en gu sa h a ka n sen d ir i t a n a h -t a n a h d i I n d on esia u n t u k mengambil hasilnya, buat Negeri Belanda dan kompeni pada waktu itu. Yang penting ialah bagaimana dapatnya terus men- dapatkan hasil bumi Indonesia yang sangat dibutuhkan untuk pasar Eropa, dari tan am -tan am an rakyat In don esia sen diri yang sudah ada, seperti yang terdapat di Maluku dan kemudian

Mochammad Tauchid di J awa dan kepulauan lainnya. Belanda m em beli hail-hasil

itu dari rakyat. Untuk mendapatkan jaminan ketentuan dapat- n ya bar an g-bar an g it u , Belan d a m en gad akan p er jan jian den gan pen duduk, secara lan gsun g atau m elalui raja-raja. Kem udian dikuatkan dengan adanya perjanjian “m onopoli” dan pungutan paksa. Cara monopoli pemungutan hasil bumi Rakyat oleh Belanda ini dilindungi dengan kekuatan tentara. Cara ini dijalankan oleh kompeni dan kekuasan Belanda sesu- dah itu. Baru pada pertengahan abad ke-19 berangsur-angsur penghapusan peraturan m onopoli dijalankan. Penghapusan tanaman paksa tem bakau dan nila pada tahun 1865. Pengha- pu san m on opoli cen gkeh pad a tah u n 18 69. Pen gh apu san monopoli lada dan pala 9 tahun kemudian sesudah itu.

Disam ping cara pem ungutan paksa dan m onopoli yang dijalan kan kom pen i dan Pem erin tah Kolon ial selan jutn ya, Belan da m en jual tan ah-tan ah secara besar-besaran den gan hak eigendom pada pembelinya, yang pembelinya, yang ber- nam a “tanah partikelir” di m ulai sejak perm ulaan abad 17. Dengan pengum um an 18 Agustus 1620 , diberikanlah tanah percum a kepada oran g asin g, den gan m em beri kewajiban menyetorkan sebagian hasilnya. Pada waktu Daendels sangat kekurangan uang untuk Pem erintahnya, dia m enjual tanah- tanah kepada orang partikelir.

Harga tanah itu tidak selamanya dapat diterima dengan tunai. Banyak juga dengan jalan diangsur. Umpamanya terjadi dengan pem belian “tanah Probolinggo” oleh seorang Tiong- hoa, dengan harga 1.0 0 0 .0 0 0 rupiah, dengan perjanjian dapat dian gsur pem bayaran n ya dua puluh kali. Karen a Daen dels memerlukan uang dengan segera, dia mengeluarkan uang ker- tas dengan nam a “Probolinggo-papier” dengan tanggungan

Masalah Agraria di Indonesia uang angsuran penjualan tanah itu. Akhirnya “Kertas Probo-

lin g g o ” m er osot h ar gan ya sam p ai m en jad i 40 %. Den gan mengeluarkan “Kertas Probolinggo” itu Daendels dapat mene- rim a 3.50 0 .0 0 0 rin ggit.

Kecuali itu Daendels juga membeli tanah untuk dia sendiri di sekitar J akarta dan bogor. Tanah itu dijual lagi kepada Pe- merintah untuk keperluan istana Gubernur J enderal di Bogor. Lainnya dijual kepada partikelir. Dengan dagang tanah itu, Daendels mendapat keuntungan 9 ton (f. 90 0 .0 0 0 ) untuk diri sen diri.

Kekuasaan In ggris di In don esia yan g biasa din am akan “Tusschen Bestuur” (Pem erintah Selingan), dalam pim pinan Let. Gubernur J enderal Thom as Stam ford Raffles, bermaksud m en ghapuskan cara-cara yan g dijalan kan oleh pem erin tah sebelum nya itu. Untuk ini Raffles m engadakan penyelidikan m en gen ai kedudukan hukum tan ah bagi Rakyat In don esia, dengan secara sistim atis. Hasilnya kem udian dipergunakan untuk m enentukan dasar-dasar landrente-nya.

Cara lev erancien dan contingenten paksaan yan g dija- lankan oleh kompeni dan diteruskan oleh Daendels, dan mono- poli rem pah-rem pah dengan hongitochten-nya dihapuskan. Di Bengkulen masih terus di jalankan untuk beberapa waktu kem udian.

Setelah Belanda kembali di Indonesia dengan nama dan bentuk Pem erintahan Hindia Belanda, peraturan-peraturan m on opoli dihidupkan kem bali. Baru beberapa puluh tahun kem udian cara m onopoli itu dihapuskan.

Dalam soal tanah Raffles berpandangan atas satu teori yang dibawa dari Inggris dan India, ditambah dari hasil pengli-

h a t a n n ya d i d a er a h Ker a ja a n Yogya ka r t a d a n Su r a ka r t a

Mochammad Tauchid (Vorstenlanden) selayang pandang.

Pada tahun 1811 Raffles membentuk sebuah panitia, ang- gota-an ggotan ya ter dir i dar i 9 or an g In ggr is dan seor an g Belan da, yan g diserahi kewajiban un tuk m en y elidiki kedu- dukan hukum tanah di Jaw a serta soal-soal kemasyarakatan yang berhubungan dengan itu. Setelah m enjalankan penye- lidikannya, panitia memberikan laporannya, berisi pandapat, bahwa:

“H an y a Gubern n em en lah y an g m em pun y ai hak atas tanah ”. Menurut laporan Panitia itu selanjutnya, semua tanah dalam daerah kerajaan itu menjadi kepunyaan raja. Raja ada- lah pem ilik tanah y ang tidak terbatas kekuasaanny a. Pen- duduk m endapat tanah sebagai pem aro, dengan kew ajiban m eny erahkan hasil dari tanah y ang dikerjakan itu . Disamping it u h ar u s m en yer ah kan t en aga sebagai kewajiban , t id ak den gan bayaran . Atas laporan itulah, Raffles m en etapkan : Raja-raja sudah hilang. Gubernem en y ang m enggantikan- n y a. Karen a itu Gubern em en lah y an g m en erim a hak -hak y ang dulu ada pada raja itu sem ua, y aitu hak m ilik sem ua tanah, juga tenaga Raky at bilam ana di perlukan ”.

Sistim landrente yang dijalankan Raffles dan diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda itu didasarkan atas pengertian di atas. Dian ggap sudah seadil-adiln ya kalau Rakyat yan g m em injam (m em aro) tanah Pem erintah itu m em bayar sewa atau pacht (di dalam bahasa Inggris : rent), yang dinamakan “landrente” kemudian biasa disebut “pajak bum i” atau “pajak tan ah ”. Besarnya landrente um um nya ditetapkan tidak ku- rang dari ½ , V! atau S! besarnya hasil. Dianggap tidak kurang adilnya, kalau si pemaro tanah membayar separo hasil kepada pem ilikn ya.

Masalah Agraria di Indonesia Menurut laporan “Onderzoek naar de belastingdruk” dari

Dr. J .W. Meyer Ranneft dan Dr. Heunder pada tahun 1924, landrente itu terkadang—karena rendahnya hasil padi— meru- pakan h am pir 10 0 % d ar i pen gh asilan n ya. Ter kadan g ad a sawah yan g disewakan yan g besarn ya sewa han ya sekedar

untuk dapat melunasi pajaknya. Penarikan pajak itu dasarnya dikenakan kepada perseo- rangan pemilik (pemaro) tanah. Karena kekurangan alat-alat yang mengerjakan dan belum adanya bahan-bahan keterangan yang cukup tentang tanah dan baik buruknya tanah itu, pena- rikan dijalankan melalui desa (dorpsgew ijs). Cara ini menim- bulkan ketidakadilan dan tindakan pem erasan. Oleh Raffles kem udian diusahakan un tuk m en jalan kan pen arikan pajak menurut perseorangan dari pemilik tanah, dengan ditentukan besar kecil dan baik buruknya tanah m asing-m asing. Kalau dulu segala pen arikan hasil dari Rakyat dijalan kan m elalui Bupati, kem udian dijalan kan lan gun g dan buat sem en tara waktu m elalui desa. Penarikan “pajak bum i” kepada perseo- rangan tidak dapat segera dilaksanakan. Sampai waktu Raffles meninggalkan Indonesia, baru sebagian saja yang dapat dija- lankan. Dari 270 0 desa dalam daerah Surabaya, baru dapat dijalan kan di 50 desa saja, karen a kuran gn ya syarat-syarat dan alat-alat untuk menjalankan.

Sistim landrente ini diteruskan oleh Pemerintah Belanda. Dengan Beslit Komisaris-komisaris J enderal 9 Maret 1818 No.

1, dasar-dasar yang dipakai oleh Raffles diteruskan. Dengan Keputusan Komisaris-komisaris J enderal 1819 No. 5, diakui- nya bahwa belum cukup syarat-syarat dan bahan-bahan kete- rangan yang didapat untuk menetapkan dasar penarikan pajak bumi secara perseorangan. Berhubung dengan itu usaha yang

Mochammad Tauchid sudah m ulai dijalan kan oleh Raffles un tuk m en ggan ti cara

menurut desa dengan perseorangan, belum dijalankan. Kepu- tusan tahun 1819 No. 5 di atas (yang akhirnya dicabut pada tahun 18 72), m en etapkan peraturan lan dren te sebagai be- rikut:

1. Kepala-kepala Desa dengan orang tua-tua desa bersam a- sama menetapkan pembagian tanah desa kepada penduduk dengan seadil-adilnya;

2 . J um lahnya pajak ditetapkan m enurut desa, tidak kepada tani perseorangan;

3 . Residen mengawasi agar dalam pembagian tanah ini, orang-

orang pembuka tanah pertama (de eerste ontginners) atau turunnya, tidak dikurangi haknya.

H erendienst yang akan dihilangkan oleh Raffles belum juga dapat dilaksanakan. Hanya kewajiban blandong (bekerja di hutan-hutan kayu) sudah dapat dihapuskan. Sedang kewa- jiban m enanam kopi Pem erintah di Priyangan (Priy angan- stelsel ) baru dapat dihapuskan pada tahun 1916.

Maksud Raffles untuk menghapuskan sisa-sisa peraturan yang dijalankan oleh Daendels, di antaranya tentang penjualan tanah partikelir, karena kekurangan uang untuk menjalankan pem erintahannya, m asih terpaksa terus dijalankan.

Pen cicilan pem bayar an h ar ga tan ah par tikelir Pr obo- lin ggo oleh Tion ghoa yan g m em beli dari Daen dels den gan an gsur an 20 kali, m en galam i kesukar an . Kar en a desakan Raffles, terjadi pem erasan atas penduduk-penduduk di situ. Pem erasan ini m enim bulkan pem berontakan. Sesudah pem - berontakan itu ditindas pada bulan Mei 1813, tanah partikelir yang ada di tangan ahli waris Tionghoa tadi diambil kembali oleh Raffles. Sejak itu tidak lagi terdapat tanah partikelir di

Masalah Agraria di Indonesia kabupaten Probolin ggo.

Sesudah pengem balian kekuasaan Belanda di Indonesia dari tangan Inggris pada tahun 1816, timbul pemikiran Belanda untuk mengusahakan sendiri kekayaan bumi dan alam Indo- nesia. Dengan jalan itu dimaksudkan akan lebih banyak keun- tungan dan kekayaan yang akan didapat, baik bagi kaum modal partikelir, maupun bagi Negeri belanda sendiri, daripada cara membeli hasil dari penduduk.

Mulai itulah tim bul persolan tanah, bagaim ana m em a- kainya. Sesudah lama dipertimbangkan, jalan apa yang mesti ditem puh un tuk m en utup kekuran gan uan g yan g diderita Negeri Belanda, akibat peperangan terus menerus untuk mele- barkan jajahannya di Indonesia dan peperangan dengan Belgia, raja Willem I memberikan kuasa penuh kepada Gubernur J en- der al Johan n es v an den Bosch un tuk m en jalan kan usah a besar-besaran atas tanah Indonesia. Oleh van den Bosch itu dijalankan m ulai tahun 1830 / 1832 dengan nam a Gouverne- m ents Cultuurstelsel yang sangat terkenal itu.

Pada waktu Pemerinthan Belanda mengalami kesukaran uang yang sangat berat itu, teringat oleh Willem I usaha yang dulu dijalankan oleh kompeni yang ternyata sangat mengun- tun gkan .

Rancangan Menteri Elout untuk memberikan tanah-tanah yan g belum dibuka kepada kaum m odal partikelir den gan per sewaan atau p acht (On tw erp Kon in k lijk Besluit tah un 1828), berhubung dengan maksud Willem I dengan Cultuur- stelsel van den Bosch itu, dikesampingkan dulu, karena kebu- tuhan uang yang sangat mendesak. Usaha yang cepat meng- hasilkan harus segera dijalankan. J alan yang ditempuh dengan “Cultuurstelsel” itu dipandang sebagai satu-satunya jalan yang

Mochammad Tauchid akan sangat menguntungkan. Sedang menurut hukum, diang-

gap tidak m enyim pang dari adat kebiasaan yang berlaku di Indonesia tentang hak tanah, dengan adanya kewajiban Rakyat terhadap Pemerintah (dulu kepada Raja). Atas anggapan bah- wa tanah yang ada semua itu dulu kepuny aan raja dan kemu- dian m en jadi k epun y aan H in dia Belan da serta kewajiban Rakyat m en yerah kan ten aga, sebagai yan g dijalan kan dan didalilkan oleh Raffles, van den Bosch menjalankan Cultuur- stelsel itu.

Cultuurstelsel dijalankan dengan meminta U!-nya tanah Rakyat untuk ditanami tanaman yang hasilnya menjadi bahan ekspor yang sangat dibutuhkan di pasar Eropa. Pertama-tama nila dan tebu. Tanah itu harus dikerjakan oleh Rakyat “pemi- liknya” atas dasar kewajiban kerja paksa. Tindakan ini dianggap tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang ada. Kalau dulu Raja memungut separo hasil, Raffles menjalankan landrente- nya yang besarnya kira-kira separo dari hasil. Dianggap sudah ringan kalau Rakyat disuruh menyerahkan U! tanahnya, dan mengerjakan tanah itu untuk hasilnya diserahkan kepada Pe- merintah. Batas luas U! tanah miliknya, dan batas maksimum ban yakn ya pem akaian ten aga percum a, praktekn ya selalu lebih. Menurut kebiasaan Rakyat dikenakan rodi 52 hari dalam satu tahun, tetapi prakteknya sampai 64 atau 75 hari.

Pengolahan dan pemasakan hasil itu diserahkan kepada pabrik-pabrik kepunyaan orang Eropa atau Tionghoa. Hasil- nya yang sudah dim asak itu diserahkan kepada Pem erintah dengan biaya yang sudah ditetapkan.

Pengangkutan barang-barang itu ke negeri Belanda dise- rahkan kepada Nederlandsch Hendel Maatschappy di Indo- nesia terkenal dengan nama Factory didirikan oleh Raja Willem

Masalah Agraria di Indonesia

I sejak t ah u n 18 24 , d en gan kap al-kap aln ya. Selan ju t n ya Nederlandsch Handel Maatschappy m enjual barang-barang hasil bumi Indonesia itu di pasar dunia. Uang penjualannya, sebagian untuk Pemerintah Belanda dan sebagian untuk Peme- rintah Hindia Belanda.

Sesudah tanaman tebu dan nila, menyusul tanaman kopi. Untuk tanaman kopi ini tidak memakai tanah pertanian Rak- yat, tetapi tanah yang masih berupa hutan belukar yang terle- tak di luar daerah perkam pungan Rakyat. Dengan dem ikian dianggap tidak m engganggu tanah pertanian Rakyat, karena tidak mengurangi luas tanah pertanian Rakyat yang ada. Tetapi karena tanah itu letaknya jauh dari tempat kediaman Rakyat, Rakyat yan g harus m en gerjakan itu, terpaksa m en in galkan kam p u n g d an t an ah p er t an ian n ya. Ter p aksa t id ak d ap at m engerjakan tanahnya sendiri.

Kekurangan uang negeri Belanda yang sangat mendesak mendorong Gubernur J enderal Van den Bosch yang merang- kap juga Komisaris J enderal, bertindak sebagai diktator, men- jalankan usaha Cultuurstelsel dengan sekeras-kerasnya dan sehebat-hebatnya. Semua pegawai, baik Belanda maupun bu- m ip u tr a, d iker ah kan u n tu k m en gawasi p eker jaan Rakyat secara keras. Akhirnya beban Rakyat m enjadi sangat berat, tidak dapat dipikul lagi.

Karena hasil kekerasan Van den Bosch, yang secara hebat dan kejam mengerahkan tenaga Rakyat untuk Cultuurstelsel tidak lama tanah J awa, dari selat Sunda sampai selat Bali men- jadi kebun yan g in dah m en ghijau den gan tan am an bahan - bahan ekspor, sumber kekayaan yang tidak ternilai.

Tanah yang dipergunakan untuk Cultuurstelsel semua ±

18 luas tanah J awa. Untuk m engerjakan ini dipakai tenaga

Mochammad Tauchid

80 0 .0 0 0 keluarga atau ¼ dari jumlah penduduk tanah J awa pada waktu itu. Pegawai-pegawai Pem erintah dengan kejam mengerahkan tenaga Rakyat di kebun-kebun. Mereka menda- patkan hadiah besar dari pemerintah, yang dinamakan “Cul- tuur -, atau koffie-procenten” buat pegawai-pegawai Belanda dan hadiah pangkat tinggi turun temurun bagi pegawai bumi- putr a.

Karena “jasa” Cultuurstelsel, karena buah kerja keras dan kekejaman Van den Bosch dengan bantuan pegawai-pegawai Pemerintah yang dengan kejam mengerahkan Rakyat, kapal- kapal maskapai dagang Nederland selalu penuh dengan mu- atannya; membawa hasil bumi Indonesia, masuk ke pelabuhan den H elder dan Hellev oetsluis. Am esterdam kem bali hidup menjadi pusat perdagangan “barang-barang kolonial” di selu- ruh dunia. Kebobrokan keuangan Negeri Belanda segera dapat

d ipu lih kan . Pen an ggu n g-pen an ggu n g pajak yan g ber at d i Negeri Belanda mulai dapat bernafas dengan lega, karena mulai dapat keringanan bebannya, Factory dapat membagikan keun- tungannya, sekalipun baru 5%.

Bagi Negeri Belanda, betul-betul tanah J awa sebagai gan- tun gan hidupn y a , sebagai din yatakan oleh M en teri Baud: “Jav a w as de kurk,w aarop N ederland dreef” (Tanah J awa menjadi gabus tempat Negeri Belanda terapung). Artinya kalau Indonesia lepas, Nederland akan tenggelam .

Atas jasa-jasa yang besar itu, yang telah dapat mengangkat Negeri Belanda dari jurang kehancuran dan kebobrokan, yang tadinya tenggelam dalam kemiskinan, Van den Bosch menda- pat hadiah gelar Baron dan kemudian Graaf. Pegawai-pegawai bangsa Belanda m endapat hadiah kekayaan yang besar dari k offie-p rocen ten , pegawai-pegawai Bum iputera m en dapat

Masalah Agraria di Indonesia hadiah pangkat dan kehormatan turun-temurun, bintang dan

payun g kehorm atan . Sebalikn ya rakyat In don esia m en dapat hadiah berupa kemiskinan, kelaparan, kematian, dan malapetaka yang sebe- sar-besarnya. Rakyat m ati kelaparan di jalan dan ladang-la- dang serta di perkebunan sumber kekayaan itu.

Di atas timbunan mayat Rakyat itu, yang diperas dan dihi- sap darah dan sungsumnya, Van den Bosch naik pangkat dan kehorm atannya, diikuti oleh pegawai Belanda dan Bum ipu- tera, karena persem bahan m ayat Rakyat Indonesia.

Rakyat di Kabupaten Grobogan dan Demak, karena kela- paran dan kekejamann tindakan pegawai-pegawai yang sewe- n an g-wen an g, m en galam i m alap et aka yan g m en ger ikan . Kematian penduduk tak dapat dihitung. Pada tahun 1849, pada waktu Belanda m enghitung untungnya, pada waktu Factory m em bagi keuntungannya, yang dapat ditunjukkan oleh Mr. N. G. Pierson angka keuntungannya bersih dari Cultuurstelsel selama 1840 - 1875 sejumlah f .781.0 0 0 .0 0 0 untuk kas Nega- ra Belan da, pada waktu itu Rakyat Grobogan m en gh itun g kematian dan kelaparan. Rakyat di daerah itu 10 % saja yang masih ketinggalan, lainnya mati dan meninggalkan tempat itu.

Sejarah keem asan yang gem ilang bagi penjajah Belanda di Indonesia, dihias dengan darah Rakyat Tani yang ditindas dan diperas.

Kepada m ayat-m ayat Rakyat In don esia itulah Belan da dari jauh menyampaikan ucapan “cere schuld” (hutang budi) dengan tiada balasan disertakannya.

Celaan terhadap tin dakan sem acam itu kem udian ter- dengar di Negeri Belanda, makin lama makin keras. Terutama set ela h keja d ia n b a h a ya kela p a r a n ya n g m en ger ika n d i

Mochammad Tauchid Grobogan dan Dem ak dengan m enghabiskan sebagian besar

penduduk di sana. J eritan kelaparan Rakyat yang tertindas dan diperas oleh Cultuurstelsel itu rupanya membisikkan kepada orang-orang Belanda yang tidak berhati batu.

Di Staten Generaal (Parlemen) Negeri Belanda kemudian timbul persoalan mengenai bagaimana pemakaian tanah dapat diatur, hingga dapat memberikan keuntungan sebesar-besar- n ya bagi Belan da den gan tidak usah m en gulan g cara yan g lam a.

Rancangan Regeerings Reglem ent tahun 1854 yang ber- dasarkan Undang-undang Dasar (Grondw et) Negeri Belanda t a h u n 18 4 8 d id a h u lu i d en ga n Un d a n g-u n d a n g ker a ja a n (Rijksw et), menetapkan dasar-dasar dan cara-cara penyeleng- garaan perkebun an Pem erin tah (Gouvern em en ts cultures) yang dianggap masih perlu dilanjutkan.

Dalam pasal 56 RR tahun 18 54 ditetapkan cara perlin- dungan kepada Rakyat atas tanah pertaniannya, disam ping penyelenggaraan perkebunan Pemerintah itu. Dalam Undang- undang yang baru itu ditetapkan, bahwa Gubenur J enderal memegang kekuasan yang tertinggi dalam urusan perkebunan Pemerintah, kemudian ditambah dengan 5 pasal lainnya lagi yang m engatur pem akaian tanah selanjutnya.

Undang-undang Gula (Suiker W et) tahun 1870 , sebagai pen ggan ti paal 56 RR, ditetapkan un tuk m en gubah “peru- sahaan gula paksa” dengan “perusahaan gula merdeka”dengan tenaga pekerja merdeka (vrije arbeiders). Pemakaian tenaga paksa dengan berangur-angsur dihapuskan. Perturan peng- gantian pemakaian tenaga kerja paksa dengan tenaga merdeka, tidak dijalankan sekaligus karena dikhawatirkan akan tidak

Masalah Agraria di Indonesia m endapat tenaga yang cukup buat keperluan ondernem ing

gula Pem erintah. Dikhawatirkan m aksud usaha pem erintah tidak akan tercapai kalau penghapusan tenaga kerja paksa dija- lankan sekaligus. Sebab itu ditetapkan masih berlakunya pera- turan yang lam a selam a 20 tahun. Selanjutnya, dan dengan beransur-angsur perkebunan paksa itu dikurangi, dan di bebe- rapa tempat mulai dihapuskan. Pasal 56 RR akhirnya dicabut pada tahun 1915.

Likuidasi perkebunan pem erintah diganti dengan pera- turan yang baru. Peraturan ini membuka kesempatan kepada kaum m odal partikelir untuk m em buka perkebunan-perke- bunan bahan ekspor, sebagai ganti pekerjaan Pem erintah di lapan gan usaha perkebun an n ya. Kejadian -kejadian seperti yan g sudah-sudah yan g m en yedihkan diperin gati. Den gan usaha yang baru itu dimaksudkan akan memberi jalan:

1. Mem berikan kesem patan sebaik-baikn ya dan seluas-lu- asnya kepada modal partikelir untuk mengusahakan tanah; diam ping itu

2 . “m elin dun gi” Rakyat dalam usaha pertan ian n ya, den gan

m elin dun gi h ak-h ak tan ah n ya jan gan sam pai pertan ian Rakyat terdesak karena pemberian hak kepada orang asing itu.

R.R. 18 54 yan g baru itu dalam dasarn ya m asih m em - pertahankan terus penyelenggaraan perkebunan pemerintah. Ada ditetapkan juga larangan penjualan tanah oleh Gubernur J enderal kepada orang partikelir, seperti yang dulu dijalankan oleh kompeni, Daendels dan Raffles. Penjualaan tanah hanya boleh dilakukan atas tanah-tanah yang kecil untuk mendirikan ban gun an -ban gun an dan kerajin an den gan hak eigen dom , m enurut pasal 2 dari undang-undang tersebut.

Mochammad Tauchid Kecuali itu, untuk menyediakan tanah bagi kaum modal

buat membuka kebun yang luas-luas ayat 3 dari pasal 62 R.R. memberikan tanah kepunyaan Negeri dengan hak sewa. Tanah- tan ah yan g tidak boleh disewakan un tuk in i ialah: “tan ah- tanah y ang dibuka dan dikerjakan Raky at, atau tanah pango- n an atau un tuk k eperluan um um lain n y a y an g term asuk dalam desa” demikian perumusan yang dibuat oleh Anggota Parlem en J .C. Baud. Dengan begini m aka ditentukan dasar: p em ber ia n k esem p a t a n p en y ew a a n t a n a h seca r a besa r kepada pengusaha partikelir asing, tetapi penjualan secara besar-besaran dengan hak eigendom tidak lagi diperboleh- kan . Ditentukan bahwa persewaan tanah itu hanya atas tanah yang ada di luar daerah penduduk dan tidak diperkenankan atas tanah-tanah yang disediakan untuk pertanian rakyat.

Persewaan dengan “hak orang” (persoonlijke rechten) ini terbatas waktunya (lam anya 20 tahun). Atas tanah itu tidak dapat dibebani hipotik, tidak dapat tanah sewaan itu (dija- dikan) tanggungan meminjam kepada Bank.

Karena waktu yang sempit itu (20 tahun) kesempatan itu dianggap tidak dapat memberi waktu yang cukup luas kepada modal, dan tidak dapat dipakai sebagai tanggungan pinjaman. Untuk kepentingan tanaman seperti tebu, nila, dan sebagainya m em erlukan tanah giliran.

Segera sesudah berlakunya Undang-undang (RR 18 54) dirasakan perlu adanya jaminan tanah bagi modal partikelir, dan untuk ini perlu:

1. Adanya izin persewaan dengan hak tanah (zakelijk recht) yang dapat dibebani hipotik dalam waktu yang lama, yaitu

d en gan p em ber in h a k er fp a cht atas tan ah -t an ah yan g berupa semak belukar (untuk w oestegrondencultures);dan

Masalah Agraria di Indonesia

2 . p em b er ia n izin kep a d a or a n g I n d on esia u n t u k d a p a t menyewakan tanahnya langsung kepada orang asing untuk kepentingan tanam an yang bergiliran (w isselcultures).

Masalah tanah ini dianggap sebagai satu m asalah kolonial (koloniaal kwastie) yang besar, yang harus diselesaikan. Soalnya berputar di sekitar: “bagaim ana dapat m enja- m in kepentingan tanah kaum m odal seluas-luasny a, dan di sam ping itu bagaim ana untuk m elindungi hak-hak Raky at atas tan ah”.

H al in i m en im bulkan persoalan selan jutn ya: bagaim an cara m encapai kedua m acam tujuan, y ang satu den gan lain n y a sesun gguhn y a tidak dapat dipersatuk an . M elin dun gi hak -hak R ak y at atas tan ahn y a, berarti ak an m engurangi atau akan m enghalang-halangi perkem bangan dan kepentingan m odal asing. Sebalikny a m enjam in kepen- tin gan d an k eu n tu n gan m od al besar asin g, ak an berarti m erugik an R ak y at karen a yan g m en jadi sum bern ya satu, yaitu tan ah.

Persoalan inilah yang menjadi “m asalah kolonial” (kolo- niaal kwestie) yang terpenting. Beberapa Menteri J ajahan Be- landa berganti-ganti dan berturut-turut m encoba m em ecah- kan masalah yang sulit ini. Akhirnya Menteri de W aal-lah yang

d ap at ber h asil, d en gan d it er im an ya r an can gan Un d an g- undangnya oleh Parlem en Negeri Belanda m enjadi undang- undang yaitu lahirnya Agraris W et (Undang-undang Agraria)

9 April 1870 (Indische Staatsblad No. 51) terdiri dari pasal 62 R.R. ditambah dengan 5 pasal yang berisi peraturan-peraturan yang pokok dan perlu segera diselesaikan. Atas dorongan Men- teri tersebut dim asukan lah dalam firm an Raja (Kon in klijk Besluit) 20 J uli 1870 (Indisch Staatsblad No. 118), dinamakan “Agrarisch Besluit”, berisi Dom einverklaring (pasal 1). Lahir-

Mochammad Tauchid n ya un dan g-un dan g Agr ar ia 18 70 itu m em pun yai r iwayat

yang panjang juga, yang baik juga diketahui. Mula-mula Menteri J ajahan Fransen van de Putte (dari golon gan liberal) pada tahun 18 65 m eran can gkan satu un - dang-undang dengan nama “Ontw erp Cultuurw et”, resminya ber n am a m en u r u t isi m aksu d n ya. “On tw er p v a n w et tot v aststellin g der gron dslagen , w aarop on dern em in gen v an landbouw en nijverheid Nederlandsch Indíë kunnen w orden

g ev est ig d ”. Rancangan Undang-undang ini dinam akan oleh peran- cangnya sebagai jalan pemecahan “m asalah kolonial” dengan jalan:

A. M em berik an (m en y ediak an ) ban tuan y an g diperluk an kepada perusahaan pertanian partikelir Barat , dengan:

1. pem berian tanah-tanah bebas (woeste gronden) m ilik Negara dengan erpacht, lamanya 99 tahun;

2 . Persewaan tanah milik Indonesia kepada bangsa asing, buat lam anya 10 tahun;

3 . Peraturan perjan jian kerja den gan oran g-oran g In do- n esia.

B. Perlindungan hak-hak tanah bagi raky at Indonesia. Ran can gan itu d im u lai d en gan d asar bagian B, yaitu pemberian hak tanah Raky at Indonesia dari hak “erfelijk indi- vidueel gebruiks/ bezits recht ” m enjadi hak eigendom (pasal 1), dan pen gakuan hak desa atas tan ah-tan ah y an g biasa dikerjakan R aky at dalam w aktu y ang tertentu,y ang biasa dinam akan “tanah kom unal”. (pasal 2).

H ak-hak eigen dom in i m en urut pasal 3 ran can gan itu

d id asar kan at as h ak-h ak m en u r u t bu ku Un d an g-u n d an g

H ukum Perdata H in dia Belan da (Burgerlijk W etboek v an

Masalah Agraria di Indonesia N ed er la n d sch In d ³ ¸ ), kecu ali h al-h al yan g ber san gku tan

dengan hukum agama dan adat. Maksud Van de Putte mem- persam akan h ak-h ak tan ah ban gsa In don esia den gan h ak eigen dom ban gsa Barat, supaya hak tan ah In don esia lebih ku at u n t u k m en jaga d ar i t in d akan sem au -m au n ya p ih ak Pem erin tah den gan hak dom ein n ya atas tan ah yan g bukan eigendom . Pasal 12 rancangan itu menerangkan bahwa tanah milik eigendom Rakyat tidak boleh dijual kepada orang yang bukan ban gsa In don esia, kecuali den gan izin perkecualian karena hal-hal yang luar biasa. Pelanggaran atas hal ini dapat dinyatakan tidak sah atas jual beli yang sudah dijalankan.

Untuk persewaan tanah antara bangsa Indonesia dengan oran g asin g diperlukan surat perjan jian , den gan keten tuan tidak boleh lebih lam a dari 10 tah un , den gan persetujuan Kepala Pemerintah Gewes atau Kepala Daerah (pasal 14). Pasal

4 m en yebu tkan bah wa tan ah -tan ah u n tu k r u m ah -r u m ah ,

b a n gu n a n , ja la n -ja la n , p a sa r -p a sa r , a ir p ip a d a n sem u a bangunan-bangunan untuk kepentingan um um , yang pem e- liharaannya dijalankan oleh desa, masuk lingkungan kekuasaan desa.

Pasal 5 rancangan itu m engakui kedudukan hukum nya “Desa Perdik an ”, dan tan ah -tan ah lain n ya yan g dian ggap keram at. Pasal 6 m erupakan perm ulaan Dom einverklaring, yang bermaksud: “Sem ua tanah, y ang tidak term asuk dalam p asal-p asal d i m u k a, y an g sebelu m berlak u n y a u n d an g- undang itu, tidak dapat diny atakan dengan hak eigendom , m asu k k ep u n y aan N egeri” . Dari pen galam an n ya puluh an tahun di tengah-tengah masyarakat Indonesia di J awa sebagai orang pabrik gula (suiker fabrikant), F. v. de Putte mengenal adat-adat yang ada di daerah J awa, bahwa m enurut hukum

Mochammad Tauchid adat, Rakyat m em pun yai hak atas tan ah-tan ah yan g m asih

bebas belum diusahakan, yaitu hak buka tanah (ontginning- srecht), dan dengan jalan itu dapat menerima hak milik, serta hak mengambil hasil hutan.

Pasal 18 dan 19 menerangkan tentang tanah-tanah yang m asuk kepunyaan Negeri. Pasal 18 berisi peraturan, bahwa Rakyat yan g h en d ak m em bu ka t an ah koson g kep u n yaan negeri harus m inta izin kepada Pem besar Daerah. Pasal 19 m en eran gkan pen gakuan atas tan ah-tan ah itu den gan hak memakai. Kalau tanah itu akan diambil harus diganti kerugian. Ra n ca n ga n Un d a n g-u n d a n g it u d en ga n jela s m en ga t u r perlindungan m ilik Rakyat, disam ping m em berikan jam inan secukup-cukupn ya un tuk kepen tin gan on dern em in g. Ran - cangan Undang-undang itu juga memuat tentang hutan-hutan kepun yaan Negeri (dom an iale bosschen ) dan perkebun an Negeri, yang menurut R.R. pasal 56 masih diteruskan.

Dengan rancangan Undang-undang itu dimaksudkan akan dapat memecahkan masalah penjajahan bagi kedua pihak dan menentukan batas-batas yang terang antara tanah-tanah yang didiam i dan diusahakan Rakyat, dengan tanah-tanah di luar itu yang menjadi tanah Negeri y ang bebas.

Rancangan Undang-undang Fransen van de Putte akhir- nya ditolak oleh Parlem en, diantaranya karena oposisi dari kawan separtainya Torbecke. Parlemen dalam pemandangan umum selama 14 hari (tanggal 1 sampai 17 Mei 1866) berputar kepada pem bicaraan pasal 1, dan karena pasal 1 itulah Parle- m en m enolaknya.

Suara terban yak dalam Parlem en m en en tan g m aksud pasal 1 itu, yang akan memberikan hak eigendom atas tanah- tan ah m ilik rakyat, karen a katan ya tidak sesuai hak Barat

Masalah Agraria di Indonesia dikenakan bagi m asyarakat Indonesia.

Am an d em en Poor tm an m en gh en d aki su p aya kep ad a bangsa Indonesia tidak diberi hak eigendom atas tanahnya, tetapi dijamin dengan hak turun temurun. Oleh karena maksud Van de Putte yang pokok ialah pemberian hak eigendom atas tanah bagi Rakyat Indonesia, dia tidak dapat menerima aman- demen Poortman. Dia menarik rancangan Undang-undangnya

d an m en gu n d u r kan d ir i d ar i jabatan n ya sebagai Men ter i J ajahan . Mr. P. Mey er , Menteri jajahan yang mengantikannya (dari golongan konservatif) segera m engadakan peraturan sem en- tara yang segera diumumkan oleh Gubernur J enderal, terkenal dengan nama “Proclam atie des Konings” (Indisch Staatsblad 1866 No. 80 ), menyatakan dengan resmi hak-hak orang Indo- nesia atas tanah dengan hak perseorangan turun-temurun dan hak memakai tanah desa, dengan jaminan bahwa akan dijaga benar-benar terhadap pelanggaran atas hak-haknya dari pihak m anapun juga.

Rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer Trakranen. Untuk m em ajukan ondernem ing pertanian m odal besar

asing Menteri J ajahan Meyer, mengajukan rancangan undang- undang yang lebih terbatas dari rancangan Cultuurwet Van

de Putte, maksudnya hany a untuk m em berikan tanah-tanah y an g berup a sem ak beluk ar den gan hak erfp acht . Meyer diangkat m enjadi Gubernur J enderal. Dalam tahun itu juga rancangan Undang-undang Meyer dioper oleh penggantinya N. Trakranen. Sejak itu rancangan Undang-undang tersebut terkenal dengan nam a rancangan Undang-undang Erfpacht M ey er Trakranen (tahun 1866/ 1867).

Rancangan Undang-undang Erfpacht Meyer/ Trakranen

Mochammad Tauchid ditolak oleh perlamen, karena dianggap tidak penting. Perde-

batan m engenai persoalan “tanah-tanah kepuny aan pendu- duk y ang m ana y ang dikecualikan dari pem berian erfpacht ” waktu membicarakan rancangan itu, memberi juga bahan un- tuk isi peraturan-peraturan yang dirancangkan kemudian oleh

Menteri de Waal. Pada tahun 1868 E de W aal (dari golongan Liberal) men- jadi m en teri J ajahan . Akhirn ya dialah yan g berhasil dapat m en yelesaikan m asalah kolon ial d alam lap an gan t an ah . Ran can gan n ya d ap at d it er im a m en jad i Un d a n g -u n d a n g Agraria (Agrarisch Wet) 9 April 18 70 . Usahan ya berhasil, karena dia m encari akal dengan pem batasan rancangannya. Dia tidak mengajukan rancangan yang luas dengan Undang- undang yang tersendiri.

Kepada Parlemen sebagai Badan Politik dia hanya menge- m ukakan 5 dasar-dasar yan g dian ggap pokok harus disele- saikan. Peraturan dan pelaksanaannya lebih luas selanjutnya dari dasar-dasar itu akan diatur den gan Peraturan Um um (Algem eene verordening) sebagai peraturan yang tidak usah diten tukan dalam Parlem en . Cara in i dian ggap akan lebih m en yem p u r n a ka n isi p er a t u r a n ya n g d ia d a ka n , ka r en a pen gertian keadaan daerah lebih luas dan dalam daripada orang-orang di pemerintah Pusat (Negeri Belanda). De Waal sen d ir i seger a m en ga ju ka n u su l m em a su kka n ke d a la m Koninklijk Besluit yang pertama, dan masuklah isi rancangan itu dalam “Agrarisch Besluit” 20 J uli 1870 , sebagai peraturan dari 5 pokok dalam undang-undang yang singkat.

Pihak Parlem en um um nya berkeberatan dengan keten- tuan bahwa peraturan-peraturan selanjutnya hanya akan dite- tapkan oleh Badan-badan Pembuat Undang-undang yang lebih

Masalah Agraria di Indonesia rendah. Begitu juga bekas G. Dj. Duymaer van Twist, sekalipun

menyetujui rancangan itu dalam Eerste Kamer. Memang menu- rut pengalaman Duymaer van Twist sendiri sebagai Gubernur J enderal di Indonesia, tidak mungkin Parlemen di Negeri Be- landa akan dapat mengatur soal-soal lebih jauh daripada soal- soal pokok tentang keadaan di Indonesia.

Pengakuan akan hak Rakyat atas tanah serta peraturan yan g m en gatur pem berian tan ah yan g belum dibuka (n iet- on tgon n en gron den ), den gan hak erfpacht dan tan ah-tan ah yang sudah dibuka (tanah-tanah kepunyan Rakyat) dengan perjanjian persewaan suka rela, dianggap sudah cukup dapat m em ecahkan m asalah yang pokok.

Ditam bahkannya 5 ayat lagi dalam pasal 62 R.R. (pasal

51 dari Indische Staatsregeling) dengan ayat 4 sampai 8, diang- gap sudah dapat dipecahkan masalah kolonial yang besar dan sulit itu.

Pasal 51 I.S. ayat 4 m em uat pem berian tan ah den gan hak erfpacht buat w aktu y ang panjang (dengan maksimum

75 tahun). Ayat 8 m em uat tentang: persew aan tanah m ilik orang Indonesia oleh orang asing y ang akan diatur dalam Peraturan Um um .

Bunyi ayat 4 : “Dengan Undang-undang akan diberikan t a n a h d en g a n h a k p a k t u r u n -t em u r u n (er fp ach t ) u n t u k selam a-lam an y a 75 tahun ”.

Ayat 8 berbunyi : “Persew aan tanah dari raky at Indone- sia kepada orang asing berlaku m enurut Undang-undang ”. Dengan adanya peraturan-peraturan itu, dianggap sudah cukup m en jam in kepen tin gan m odal besar partikelir Barat untuk m endapatkan tanah baik untuk kepentingan tanam an keras (dengan hak erfpacht) m aupun untuk tanam an giliran

Mochammad Tauchid (dengan peraturan persewaan). Dikatakan juga, dengan begitu

berarti m em berikan hak-hak Rakyat lebih luas akan tanah, (den gan hak m en yewakan itu diartikan lebih besar hakn ya atas tanah) seperti yang dimaksudkan dalam Proklamasi tahun

18 6 6 . Ayat 5 ber bu n yi: “Gu ber n u r J en d er a l m en ja g a a g a r

jan gan sam p ai p em berian tan ah itu m elan ggar hak -hak Raky at Indonesia ”, dan selanjutnya ayat 6 berbunyi: “Guber- nur Jenderal tidak boleh m engam bil tanah-tanah y ang telah dibuka oleh Raky at Indonesia untuk keperluan m ereka sen- diri atau un tuk keperluan lain , kecuali un tuk kepen tin gan um um , berdasarkan pasal 133 I.S dan untuk keperluan perke- bunan y ang diselenggarakan oleh pem erintah m enurut pera- t u r a n -p er a t u r a n y a n g ber la k u u n t u k it u . Sem u a n y a it u dengan pem berian pengganti kerugian y ang lay ak ”, Ayat 5 dan 6 di atas bermaksud “melindungi” hak Rakyat.

Ayat 7 m em beri kem ungkinan untuk m endapatkan hak yang lebih kuat bagi orang Indonesia, dengan peraturan, bahwa gebruiksrecht (hak m em akai) dapat digan ti hak eigen dom . Ayat 7 itu berbunyi: “Tanah-tanah y ang dim iliki oleh Raky at In don esia dapat diberik an k epadan y a den gan hak eigen - dom , den gan sy arat-sy arat dan pem batasan y an g diatur dalam un dan g-un dan g dan harus tercan tum dalam surat ten tan g tan da eigen dom itu, y aitu y an g m en gen ai k ew a- jiban-kew ajiban pem ilik tanah itu kepada Negara dan Desa dan pula tentang hak m enjualny a kepada orang y ang bukan oran g In don esia ”.

Tentang pem berian hak eigendom kepada Rakyat Indo- nesia atas tanahnya, sebelumnya itu juga diajukan dalam ran- cangan Cultuurw et van de Putte. Tetapi mengingat tentangan

Masalah Agraria di Indonesia dalam Parlemen, de Waal mengajukan rancangannya menge-

nai pemberian hak eigendom kepada Rakyat itu tidak sebagai keharusan , tetapi fakultatif. Ran can gan Van de Putte dulu m en yatakan sebagai perubahan hak yan g m esti dilakukan , tidak secara fakultatif. Rancangan Van de Putte oleh Parlemen dianggap sebagai “paksaan” berlakunya hak eigendom menu- rut hukum Barat untuk orang Indonesia. Hal itu menimbulkan keber atan or an g-or an g Par lem en , dan m en yebabkan r an - cangan itu ditolak. Dengan perumusan yang baru dari de Waal itu (pemberian hak eigendom atas tanah Rakyat secara fakul- tatif), Parlem en m en erim a den gan suara terban yak. Un tuk membedakan hak eigendon Barat dengan hak eigendom orang Indonesia atas tanah, maka atas hak eigendom Indonesia itu biasa disebut “agrarisch eigendom ”.

Orang Indonesia umumnya tidak merasakan keuntungan- nya dengan hak tanah semacam ini, karena prakteknya beban- beban dari hak tanahnya itu tidak tambah ringan, sedang jalan untuk mendapatkan hak itu mudah. Prakteknya sedikit sekali rakyat m em pergunakan kesem patan itu.

Dalam pem bicaraan Rancangan Undang-undang tahun

18 70 (ran can gan de Waal), ban yak soal-soal yan g terdapat

d alam p em bicar aan tah u n 18 66/ 18 67 (p em bicar aan r an - cangan Cultuurwet) diulangi lagi. Dasar-dasar hukum agraria seperti yang sudah dikem u- kakan itu sem ua, bertujuan m en jam in k epen tin gan tan ah bagi on dern em in g , dan disam ping itu m elindungi hak-hak tanah Raky at Indonesia .

Dilaran gn ya Gubern ur J en deral m en jual tan ah secara besar-besaran kepada oran g partikelir seperti yan g sudah- su d a h , d iga n t i d en ga n h a k p em b er ia n er fp a ch t . Bu ka n

Mochammad Tauchid penjualan tanah, tetapi secara persewaan dengan secara luas,

dengan waktu yang lam a (75 tahun). Waktu yang 75 tahun, den gan kesem patan un tuk m em perpan jan g, dan luas 50 0 bahu , dengan kesem patan untuk m inta tam bah lagi, dengan

ha k hip otik (zakelijke r ech t), adalah h ak-h ak yan g besar . Ketentuan m endapat tenaga untuk tanah partikelir dijam in den gan h ak feodal (p an cen , heren dien st), un tuk kon sesi/ erfpacht di Sumatera Timur dijamin dengan Kulieordonnann- tie dengan poenale sanctie-nya. Sedang buat di J awa cukup terjam in den gan tersedian ya pen duduk yan g m iskin yan g tanahnya diambil itu. Bedanya hanya nama. Akibatnya kepada rakyat sam a saja. Perbudakan m odel lam a, m odel abad per- ten gahan , digan ti den gan perbudakan m odel baru, den gan jaminan hukum baru.

Untuk perlindungan tanah Rakyat, disamping pemberian hak erfpacht kepada orang asing, ditentukan bahwa tanah- tanah yang diberikan untuk erfpacht itu hanya tanah-tanah bebas, yang belum diusahakan Rakyat. Tetapi ada perkecu- alian , yaitu tan ah -tan ah Rakyat yan g pem ilikn ya “den gan kem auan sen diri ” suka m elepaskan haknya. Dengan istilah m en g em ba lik a n ha k k ep a d a N eg er i , -tid ak m en ju aln ya-, Pemerintah sudah dapat menyewakan tanah itu kepada orang asing dengan hak erfpacht, sebagai dinyatakan dalam Kepu- tusan Kerajaan (Koninkljik beslissing) 4 Agustus 1875 (Bijblad No. 30 20 ).

Undang-undang tahun 1875 No. 179 melarang penjualan tanah orang Indonesia kepada bangsa asing, dikatakan sebagai perlindungan untuk menjaga agar orang Indonesia tidak gam- pang menjual tanahnya. Untuk menjaga undang-undang itu, m aka d en gan u n d an g-u n d an g 14 Febr u ar i 1912 Stbl. 177,

Masalah Agraria di Indonesia dian cam den gan hukum an terhadap pelan ggaran Un dan g-

undang 18 76 No. 179 itu. Selanjutnya berturut-turut diadakan Undang-undang se- wa tanah untuk kepentingan tanam an giliran, yang terkenal dengan Grondhuur Ordonnantie, berulang-ulang diubah dan ditambah (1871 No. 163, 1895, 190 0 dan yang terakhir tahun 1918 Stbl. No. 88) untuk J awa. Undang-undang itu oleh Peme- rin tah Republik In don esia diubah den gan Un dan g-un dan g Darurat No. 6 tahun 1951, dan seterusnya disahkan sebagai undang-undang biasa dengan beberapa perubahan dan tam- bahan, yang diterima oleh Parlemen R.I (lihat lampiran XIa di belakang).

Dengan adanya m acam -m acam Undang-undang tanah, seperti: erfpacht, konsesi, serta persewaan, lengkaplah m a- camnya peraturan untuk membuka segala jalan guna menja- m in kepen tin gan per kem ban gan m odal besar asin g di la- pangan agraria.