Pembagian Warga Desa Berhubungan dengan Hak Milik Tanah di Desa

10. Pembagian Warga Desa Berhubungan dengan Hak Milik Tanah di Desa

Atas dasar hukum dan kepemilikan di dalam desa, maka kedudukan oran g desa dibagi m en urut tin gkatan n ya yan g tidak didasarkan atas perbedaan turunan dan kekayaan:

1. Warga desa yang pokok (kerndorpers), yaitu orang yang

Masalah Agraria di Indonesia m em punyai bagian tanah kom unal dan m ungkin di sam -

pingnya mempunyai bagian tanah komunal, dan mungkin di sam pingnya m em punyai tanah yasan dan pekarangan. Orang inilah yang mempunyai hak sebagai warga desa yang penuh. Mempunyai hak suara dalam desa, memilih lurah, dsb. Di samping itu juga berkewajiban penuh atas pekerjaan- pekerjaan untuk desa. Orang ini dinamakan: w ong baku (orang pokok), w ong ken- ceng ( orang yang kuat hak tanahnya), w ong ngay ah (orang yang menjalankan kewajiban negara, ayahan negara), kra- m an , gogol, sik ep, n garep, k uli k ereg, som ahan k uw at, kuli baku, kuli ajeg , kuli, buat di daerah J awa; oreng ken- ceng, orang pangajé (daerah Madura; pribumi, jalm a bum i, bum én w antok, kuren tani, tani cekel (daerah Pasundan). Oran g-oran g in i dian ggap sebagai turun an “cikal bakal” (eerste ontginners).

2 . W ong kendo (tidak begitu kuat haknya), yang dinamakan: lindung ,w ong ngindung, budi, budijan, m ondok tem pel, m ondok karang, m agang tani (J awa), oreng paroan oreng teloan (Madura); yaitu orang-orang yang sekalipun punya tanah yasan (milik perseorangan) tetapi belum punya tanah gogolan (kongsen, tanah sanggan, pekulen), yaitu tanah ba- gian dari desa. Ada juga yang tidak punya tanah pekarangan dan rumahnya menumpang di pekarangan orang lain (me- nempel, mengindung). Orang kendo ini menjadi calon gogol (m angan tani) , kalau nanti ada lowongan tanah gogolan tidak ada yang memegangnya maka dia naik jadi orang ken- ceng . Karena haknya kurang (tidak mendapat tanah bagian tanah komunal), sekalipun mempunyai tanah yasan kewa- jibannya kurang dari orang kenceng.

Mochammad Tauchid

3 . W on g m on d ok (r a y a t ), or a n g ya n g t id a k m em p u n ya i

rumah, pekarangan dan sawah. Di Minangkabau dinamakan “anak sam ang”. Dia m endapat m akanan dan pakaian dari orang yang ditumpangi (induk samang), tetapi tidak menda- pat upah tiap-tiap bulan atau harian. Setelah beberapa tahun nanti mendapat upah, biasanya berupa lembu atau lainnya yan g dapat dijadikan m odal selan jutn ya un tuk m en cari makan. Orang ini biasanya tidak dianggap orang yang lebih rendah dari keluarga lainnya. Mereka biasanya makan ber- sama-sama dan pakaiannya sama. Tidak jarang oleh masya- rakat kemudian diambil menantu. Terhadap desa, dia tidak m em punyai kewajiban apa-apa, karena dia m em ang tidak m endapat hak dari desa itu. Tetapi dia bisa m enjalankan kewajiban desa mewakili orang yang ditumpanginya. Orang kendo dan rayat dapat dinaikkan kedudukannya m enjadi orang baku seperti tersebut dalam bagian 1, kalau kemudian berjasa dan berkelakuan baik. Orang semacam ini dinama- kan “wong unggah-unggahan” (orang yang naik kedudukan- n ya). Pem bagian sem acam ini tidak sam a di beberapa daerah, tetapi pada dasarnya sama. Di daerah Banyumas, penduduk desa dibedakan dengan adanya:

1. kuli - pemilik tanah komunal (kongsen, sanggan), dengan hak dan kewajiban penuh,

2 . lindung - pemilik tanah pekarangan, tetapi tidak punya tanah pekulen, mungkin punya tanah yasan sendiri,

3 . pondok tem pel - orang yang mempunyai rumah di pe- karangan orang lain,

4 . pondok ringkuk - orang (atau dengan keluarganya) ting- gal di rumah orang lain, dengan mencari penghidupan

Masalah Agraria di Indonesia sen diri,

5 . raky at - orang yang m ondok di rum ah orang lain dan hidup dari oran g yan g dipon doki, dan bekerja un tuk orang yang dipondoki itu.

Di daerah Bantul (Yogyakarta), kuli kenceng (yang mem- punyai tanah dan pekarangan) yang m enjual sawahnya lalu hanya mempunyai pekarangan saja, menjadi kuli karang ko- pek (kuli kenceng yang tidak m em punyai sawah; perkataan karang kopek juga berarti : desa yang tidak mempunyai sawah). Kalau dia menjual pekarangannya, hanya tinggal mempunyai sawah saja, menjadi kuli gundul. Kalau hanya menjual peka- rangannya separo (sebagian), m asih tetap m enjadi kuli ken- ceng . Orang yang membeli sebagian pekarangan itu menjadi kuli gandok . Kuli gandok dapat mewariskan tanahnya kepada anaknya. Dia membayar separo pajak kepala (dulu), terkadang kepada kuli kenceng, terkadang langsung kepada Bekel.

Dengan dihapusnya kebekelan dan berdirinya kelurahan di daerah Yogyakarta tahun 1918 (di daerah itu mulai berlaku tahun 1920 ) dan hak tanah rakyat dinyatakan dengan Doim ein Verklarin g (Rijksblad 1918 n o.16) m aka kuli gan dok turun derajatnya m enjadi “indung tem pel”, atau m enjadi kuli ken- ceng dengan sawah sendiri.

Di beberapa daerah (J epara, Kudus) “tiy an g dun un g” (orang yang m ondok) juga berkewajiban m enjalankan “pan- cendiensten ” (tungguk, kemitan ) yang dapat dibayar dengan uang yang dinam akan uang “prancangan”.

Kewajiban desa yang harus dijalankan di antaranya ialah: jaga gardu, patrol, ronda, memelihara jalan-jalan, pengairan, m em buat ben dun gan , m em elihara halam an lum bun g desa, dan halaman sekolah desa. Kewajiban untuk lurah dan perang-

Mochammad Tauchid katn ya, di an tar an ya ialah : jan ggolan (kewajiban beker ja

untuk lurah yang dapat diganti dengan uang atau m em beri padi sehabis panen), kuduran yaitu kewajiban bekerja untuk mengerjakan sawah lurahnya. J anggol tetap untuk lurah atau carik yang di situ dinamakan “sentana” dibebaskan dari kewa- jiban lain-lainnya. Di desa perdikan orang janggol tetap dina- makan “kuli gambléh”.