Advokasi Petani, Dalam Upaya Pembebasan Lahan Sengketa Oleh Smapur Sebagai Bagian Dari Pekerjaan Sosial Di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang

(1)

ADVOKASI PETANI DALAM UPAYA PEMBEBASAN LAHAN SENGKETA OLEH SMAPUR SEBAGAI BAGIAN DARI PEKERJAAN SOSIAL DI PERSIL IV DUSUN

TUNGKUSAN , DELI SERDANG.

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Strata satu (S1) di Fakultas Ilmu Sosila dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

ELBIANDO LUMBAN GAOL 060902039

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : ELBIANDO LUMBAN GAOL

Nim : 060902039

ABSTRAK

ADVOKASI PETANI, DALAM UPAYA PEMBEBASAN LAHAN SENGKETA OLEH SMAPUR SEBAGAI BAGIAN DARI PEKERJAAN SOSIAL DI PERSIL IV DUSUN TUNGKUSAN , DELI SERDANG

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 86 halaman, 33 tabel, 3 gambar, 2 lampiran serta 59 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Advokasi dalam perjalanannya bermakna meluas , tidak lagi milik advoocat (pengacara) yang bertendensi ke disiplin ilmu hukum namun juga sudah melingkupi seluruh kerja pendampingan yang dilakukan setiap orang dan kelompok. Advokasi petani adalah bahan kajian yang sangat jarang diangkat kepermukaan , tidak saja karena kompleks , perlu pemahaman mendalam , hingga perhitungan waktu untuk penyelesaiannya. Dalam disiplin ilmu social terkhusus ilmu kesejahteraan social , advokasi adalah salah satu poin yang menjadi lapangan praktek dari pekerjaan sosial selain dari kerja – kerja mediator , broker , fasilitator, dan sebagainya. Advokasi petani menjadi menarik untuk diteliti karena petani adalah kelas social masyarakat yang produktif namun sering kali menjadi korban dalam kasus – kasus perampasan lahan. Keminiman sumberdaya baik itu pengetahuan , akses terhadap informasi , hingga materi untuk membiayai proses persidangan persengketaan lahan menjadi alasan dari banyak kekalahan perjuangan pembebasan lahan petani. SMAPUR adalah lembaga yang dibentuk untuk mengadvokasi kasus-kasus pembebasan lahan seperti ini. Terkhusus dalam kasus pembebasan lahan petani persil IV dusun tungkusan deli serdang yang diadvokasi SMAPUR menjadi menarik karena keberhasilannya dalam pembebasan lahan petani dari tuntutan perampasan lahan oleh PTPN II. Dalam beberapa kasus , persoalan sengketa lahan memakan waktu hingga puluhan tahun , namun oleh pendampingan SMAPUR penyelesaian persengketaan lahan hanya memakan waktu tidak lebih dari 10 tahun. Sesuatu yang menjadi alasan menarik untuk diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana advokasi petani dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari pekerjaan sosial di Persil IV Dusun Tungkusan Deli Serdang.

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa advokasi petani dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari pekerjaan sosial di Persil IV Dusun Tungkusan Deli Serdang adalah sangat positif. SMAPUR mampu menjawab kebutuhan petani Perssil IV dengan program-program advokasi baik litigasi maupun non litigasinya.Dalam berbagai kesempatan juga ditemukan bagaimana SMAPUR berhasil menarik hati masyarakat untuk bersemangat kembali memperjuangkan hak atas tanahnya.


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : ELBIANDO Lumban Gaol Nim : 060902039

ABSTRACT

ADVOCACY FARMERS, LAND DISPUTE IN EFFORTS BY SMAPUR EXEMPTION AS PART OF SOCIAL WORK IN Persil TUNGKUSAN Hamlet IV, DELI SERDANG This thesis is composed of 6 CHAPTER, 86 pages, 33 tables, 3 images, 2 attachment as well as 59 literature and other sources from the internet.

Advocacy in a meaningful way is widespread, no longer belongs to advoocat (lawyers) who tend to the disciplines of law but also covers all advocacy work carried out every person and group. Advocacy study materials that the farmers are very seldom raised surface, not only because of the complex, it needs deep understanding, to calculate the time for its completion. In the disciplines of social sciences especially its social welfare, advocacy is one of the points into the field of social work practice apart from work - labor mediator, broker, facilitator, and so on. Advocacy farmers be interesting to study because the farmer is the social class of a productive society, but often the victim in the case - the case of land grab. Keminiman good resource is the knowledge, access to information, to the materials to finance the land dispute proceedings be many reasons for the defeat of the liberation struggle of farmers' land. SMAPUR is an institution that was formed to advocate for land acquisition cases like this. Especially in the case of parcels of land acquisition peasant hamlet IV tungkusan deli serdang advocated SMAPUR become attractive because of its success in land acquisition farmers from land seizures by the demands of PTPN II. In some cases, the problem of land disputes take up to tens of years, but by assisting SMAPUR land dispute resolution only takes no more than 10 years. Something interesting is the reason for examination. This study aims to determine how the advocacy efforts of farmers in land acquisition by SMAPUR dispute as part of social work at Persil IV Hamlet Tungkusan Deli Serdang.

The results of the study can be concluded that the advocacy efforts of farmers in land acquisition by SMAPUR dispute as part of social work at Persil IV Hamlet Tungkusan Deli Serdang is very positive. SMAPUR respond to the needs of farmers Perssil IV with advocacy programs both litigation and non litigasinya.Dalam opportunities SMAPUR also discovered how to successfully attract people to come to life again fight for the rights to the land. Keywords: Advocacy, farmers, social work.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas Rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa Penulis ucapkan dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini dengan baik, yang berjudul: Respon Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Terhadap Program Pelayanan Sosial Oleh Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Ujian Komprehensif untuk mencapai gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu membuka diri untuk saran dan kritik yang dapat membangun guna perbaikan di masa akan datang.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin , Msi. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Drs. Khairani Siregar,S.sos. M.SP., selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan

Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Mastauli Siregar, S.Sos, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Kesejahteraan

Sosial yang memberikan semangat awal kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Husni Thamrin, S.Sos. M.SP selaku dosen pembimbing yang membantu saya

dan sekaligus sebagai berdiskusi tentang hal – hal yang saya tidak pahami tentang penyusunan skripsi.


(5)

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan dan dengan segala jasa-jasanya.

6. Orangtua tercinta, B. Lumban Gaol dan T.E. br Sumbayak yang telah dengan sabar menanti penamatan kuliah saya ini. Hehehehe….

7. Adekku iwan , ria dan arga. Yang selalu jadi alasan pamungkas untuk ku cepet – cepet namatin kuliah.

8. Sahabatku di GEMAPRODEM (gerakan mahasiswa pro demokrasi) yang telah menempah dan mengizinkanku selama 3 tahun berproses bersama kalian memperjuangkan hak – hak rakyat tertindas. Mengajariku berpikir kritis ala MDH dan menenggelamkanku dalam lautan ilmu tiada batas. Semoga harapan dan semangat selama ini dapat terus kita transformasikan hingga kaderisasi selanjutnya. Buat Alm.Aden , semoga tenang dialam sana dan trimakasih telah menjadi partner diskusi ku selama ini. Ada juga rekan se dikpol (Yudha, Elim, Nomika, Ramlan, Powel,waduh sp lg ya….?) ; trus ada upline dikpol (Hendra ‘psikolog error’ , Mangasi ‘terlalu bnyak tertekan ginilah’ Juniwan ‘si ganteng’ , Mega ‘dosmeg’ , Mikha-Iqbal-Lae ‘trio prp’ , Jeni

ester ‘hidup feminisme!!!’ , Jeni ‘yang ga pernah diri katanya’ , Lena ‘ayo..hijaukan

bumi!!!’ , Yon yance ‘tetep terasing yo…’ , n smua yg lg susah diinget) ; buat downline dikpol ( Rizal ‘sayang x kita ga gabungin ilmu lagi’ , Ucil ‘selalu merdeka apalagi rambutnya’ , Sunario ‘knapa u bs ancur gini lontong?’ , Adela ‘cin-lok yang dipaksa profesional’ , Resty ‘kek mananya perahu ini ketua?’ , Sulis ‘jangan ampe terjun bebas lis berjuang’ , Hendrik ‘mana janji u pas q wawancarai pra dikpol dulu-Knp skrg mhilang?’ , Ferry ‘percayai temanmu dan mrk akn sllu ada buatmu’ , Leni-dan trio kwek


(6)

kwek na yang lupa Q namanya 2 lagi). Smuanya yang sempat berproses bersamaku , mari tetap pelihara dan abadikan ke-7 nilai sakral qt selama bergemaprodem (Keterbukaan , Solidaritas, Kesetiakawanan , Kesetaraan antar generasi , Kesetaraan gender , anti eksploitasi , dan lintas SARA)

9. Rekan – rekan juangku di LMND SUMUT (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) dan PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang telah memfasilitasi keraguanku pada gerakan politik parlementariat. Ada Reinhard ’mancung yang mulai error akibat jarang konsultasi m psikiater’ , Nanda ‘tetep progresif wak’, Yogie ‘sesama anarko yang tak tobat-tobat’ , Huget ‘baca buku jgn lupa makan men’ , Agus ‘badko awak’, Rio ‘cukuplah retorika, maenkan langsung’ , Bahri ‘pemimpin tidak harus marah , cukup merakyat dan berprinsip’ , Roy ‘ knp terlihat begitu eksklusif u pak bos?’ , tak lupa menyapa kwn2 PRD yang laen (Randy-Reguna-Radi-Rida ‘baru kusadari nama klen R smua’. Oia ada lagi Reinhard dan elbiando Roberto. Hahaha….) Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan selama 2 periode untuk memimpin LMND SUMUT dalam menggapai cita cita tripanji pembebasan nasional kita. Pengen sih terus – terusan jadi mahasiswa biar bisa terus bergerak bersama kalian , tapi apa daya tau lah… budaya konvensional batak masih melekat di darahku pak bos….

10.Kepada semua teman – teman organisasi dan elemen mahasiswa , buruh , kaum miskin perkotaan , tani , LSM/NGO ,seniman jalanan (ada Formadas , Famud , Barsdem , Front Peta , Barani , kelompok cipayung , SRMI , STN , Rumah musik , rumah kita , FNPBI , SPI , PI , FPTR , FIS , SOROT MERAH , KS FISIP , CC , KDAS , Komunitas Bawah Tangga , Aliansi Bawah Tanah-nya kessos , KAMMI , dan banyak lagi yang tak mungkin


(7)

disebutkan) yang selama ini turut berjuang untuk rakyat termarginalkan. Tetap semangat dan jangan letih berjuang… REVOLUSI TIDAK SAMPAI SKRIPSI!!!

11.Teman-teman di kampus baik di USU maupun diluar , tanpa memandang stambuk salam dari sang phoenix untuk kawan – kawan sekalian. Hehehe…

12.Bu khairani dan Kak Nancy beserta para awak di perahu konsultan lingkungan PT.

Bawana Mawada Rekatama yang memberikanku peluang untuk mempelajari dunia baru plus pengalaman tambahan terjun langsung ke basis masyarakat yang kadang jauhnya ‘ngak ketulungan (tapi asik juga kerja pake deadline ketat). Hehehe…

13.Para sohibku dikampus , Diky – Bobby - Mustaqim. Kalo ngak gara – gara klian yang bertamatan duluan pasti aku lupa tamat juga. Ternyata melihat tak senikmat memahami. Teringat ama diskusi dengan si kawan , kalo misalnya uang kuliah, uang kost , n uang makan bisa gratis pasti kita ga dapat desakan cepet tamat kek gini y… wkwkwkwk… 14.Para sohibku di SMA doloe , Ryan , Dadang , Alvin , Indra , Naldo , Petrus , Putra ,

Ni Wayan , Melly , Rini , rindu nge-genk bareng lagi. Maunya kita buat kawinan massal

kl da nikah ntar , abis tu manggang-manggang sbagai bentuk balas dendam karna dari kemaren ga jadi.

15.Buat kelompok si gumoang (Frangky-wallet-herlan) , lama tak bersuo tak dinyana udah serem – serem pangkat klian sekarang. Frenk, thanks udah nampung tulisanku selama ini ya! Wallet ‘lupa aku namamu’ sama rupanya garis tangan kita y, sama2 anak kessos. Hahaha… Herlan terkhusus untukmu , kalo udah jadi jenderal jangan tembakin mahasiswa ato demonstran ya. Sama aja u nembakin aku geng…


(8)

16.Buat orang-orang yang tidak tersebutkan namanya yang sudah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, saya ucapin terima kasih dan sukses buat kita semua.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna menyempurnakannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK……….………..………...i

KATA PENGANTAR………..ii

DAFTAR ISI……….………..……….iii

DAFTAR TABEL………..…….……….iv

DAFTAR GAMBAR……….v

DAFTAR LAMPIRAN………vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……….………...1

1.2. Perumusan Masalah....………..….………..9

1.3. Tujuan Penelitian………..…….….………..9

1.4. Manfaat Penelitian…….……….……….………...9

1.5. Sistematika Penulisan……….….………...11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Advokasi……….12

2.1.1. Defenisi……….………12

2.1.2.Advokasi : Alasan , sasaran dan tujuan……….………15

2.1.3.Kerja-kerja advokasi: Tantangan dan strategi……….………17

2.2. Petani...………16


(10)

2.2.2.Resistensi Petani………23

2.2.3.Semangat pembaharuan agraria………..………25

2.3. Jenis-jenis hak atas tanah………...18

2.3.1. Hak milik……….………28

2.3.2. Hak guna usaha………..………29

2.3.3. Hak guna bangunan……….………29

2.3.4.Hak pakai……….………30

2.3.5. Hak sewa……….………30

2.3.6. Hak membuka hutan……….…….………30

2.3.7. Hak memungut hasil hutan………31

2.3.8. Hak hak lain………31

2.4. Masalah kepemilikan kolektif hak atas tanah…………..………...31

2.5. Pengakuan adat oleh hukum formal……….33

2.6. Pekerjaan Sosial………..36

2.6.1. Pengertian……….………36

2.6.2. Karakteristik……….………37

2.6.3. Advokasi petani dalam pekerjaan sosial………38

2.7. Kerangka pemikiran………..………40

2.8. Defenisi konsep dan defenisi operasional………43

2.7.1. Defenisi Konsep...43


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian………..………..46

3.2. Lokasi Penelitian….……….………..46

3.3. Populasi dan Sampel………..………47

3.4. Teknik Pengumpulan Data……….………..………47

3.5. Teknik Analisis Data……….………..……….48

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1. Latar Belakang berdirinya SMAPUR………..……49

4.2. Letak dan Kedudukan Lembaga ... …………...42

4.3. Struktur Organisasi Lembaga dan Staff Pendukung ... …………...43

4.4. Pola dan kronologis advokasi yang pernah dilakukan………51

BAB V ANALISIS DATA 5.1. Data Identitas Responden ... …………...58

5.2. Data Pengetahuan Anak terhadap Program Pelayanan Sosial ... …………...63

5.2.1. Layanan Hukum ... …………...63

5.2.2. Konseling ... …………...68

5.2.3. Pendampingan bidang litigasi ... …………...74

5.2.4. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... …………...76


(12)

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan ... …………...84 6.2. Saran ... …………...85

DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

TABEL JUDUL HALAMAN

5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 58

5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 59

5.3. Karakteristik Responden berdasarkan Suku Etnis ... 60

5.4. Karakterstik Responden Berdasarkan Agama ... 60

5.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 61

5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Tempat Tinggal ... 62

5.7. Informasi Tentang Program Layanan Hukum bagi Responden ... 63

5.8. Tingkat Pengertian Responden terhadap Program Layanan Hukum ... 64

5.9. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Layanan Sosial ... 65

5.10. Tingkat Manfaat Program Layanan Hukum bagi Responden ... 65

5.11. Tingkat Kebaikan Lembaga dalam Menanggapi Pengaduan ... 66

5.12. Tingkat Bantuan oleh SMAPUR dalam Menyelesaikan Masalah... 66

5.13. Tingkat Kemudahan dalam Prosedur Layanan Hukum SMAPUR ... 67

5.14. Tingkat Kepuasan Responden Terhadap Penanganan Kasus ... 67

5.15. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Layanan Hukum ... ….68

5.16. Tingkat Keaktifan menjalani Program Konseling selama 1 Bulan ... 69

5.17. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Pelaksanaan Program Konseling ... 70

5.18. Tingkat Manfaat Program Konseling bagi Responden ... 71

5.19. Tingkat Penjiwaan SMAPUR Terhadap Klien ... 72


(14)

5.21. Tingkat Kenyamanan Dalam Proses advokasi bagi klien………. 74

5.22. Tingkat Kepuasan Responden tentang Program advokasi ... 75

5.23. Pengalaman Tidak Menyenangkan Responden ketika Proses Penjemputan Penyelamatan ... 75

5.24. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Penjemputan Penyelamatan Korban ... 76

5.25. Jenis Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 77

5.26. Tingkat Kepuasan Responden terhadap Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 77

5.27. Tingkat Kesesuaian Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan terhadap Kebutuhan Klien... 78

5.28. Penilaian Responden Berdasarkan Skala Program Pemeriksaan Kondisi Kesehatan ... 79

5.29. Tingkat Keikutsertaan Responden dalam Program Monitoring ... 80

5.30. Tingkat Kepuasan Responden tentang Program Monitoring ... 81

5.31. Tingkat Gangguan Program Monitoring bagi Responden ... 81

5.32. Harapan SMAPUR terhadap Proses Pemantauan Kondisi Klien ... 82


(15)

DAFTAR GAMBAR

2.1. Bagan alur pemikiran ... 42 4.1. Struktur organisasi SMAPUR dan staff pendukung... 51

DAFTAR LAMPIRAN


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : ELBIANDO LUMBAN GAOL

Nim : 060902039

ABSTRAK

ADVOKASI PETANI, DALAM UPAYA PEMBEBASAN LAHAN SENGKETA OLEH SMAPUR SEBAGAI BAGIAN DARI PEKERJAAN SOSIAL DI PERSIL IV DUSUN TUNGKUSAN , DELI SERDANG

Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 86 halaman, 33 tabel, 3 gambar, 2 lampiran serta 59 kepustakaan dan sumber lain yang berasal dari internet.

Advokasi dalam perjalanannya bermakna meluas , tidak lagi milik advoocat (pengacara) yang bertendensi ke disiplin ilmu hukum namun juga sudah melingkupi seluruh kerja pendampingan yang dilakukan setiap orang dan kelompok. Advokasi petani adalah bahan kajian yang sangat jarang diangkat kepermukaan , tidak saja karena kompleks , perlu pemahaman mendalam , hingga perhitungan waktu untuk penyelesaiannya. Dalam disiplin ilmu social terkhusus ilmu kesejahteraan social , advokasi adalah salah satu poin yang menjadi lapangan praktek dari pekerjaan sosial selain dari kerja – kerja mediator , broker , fasilitator, dan sebagainya. Advokasi petani menjadi menarik untuk diteliti karena petani adalah kelas social masyarakat yang produktif namun sering kali menjadi korban dalam kasus – kasus perampasan lahan. Keminiman sumberdaya baik itu pengetahuan , akses terhadap informasi , hingga materi untuk membiayai proses persidangan persengketaan lahan menjadi alasan dari banyak kekalahan perjuangan pembebasan lahan petani. SMAPUR adalah lembaga yang dibentuk untuk mengadvokasi kasus-kasus pembebasan lahan seperti ini. Terkhusus dalam kasus pembebasan lahan petani persil IV dusun tungkusan deli serdang yang diadvokasi SMAPUR menjadi menarik karena keberhasilannya dalam pembebasan lahan petani dari tuntutan perampasan lahan oleh PTPN II. Dalam beberapa kasus , persoalan sengketa lahan memakan waktu hingga puluhan tahun , namun oleh pendampingan SMAPUR penyelesaian persengketaan lahan hanya memakan waktu tidak lebih dari 10 tahun. Sesuatu yang menjadi alasan menarik untuk diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana advokasi petani dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari pekerjaan sosial di Persil IV Dusun Tungkusan Deli Serdang.

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa advokasi petani dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari pekerjaan sosial di Persil IV Dusun Tungkusan Deli Serdang adalah sangat positif. SMAPUR mampu menjawab kebutuhan petani Perssil IV dengan program-program advokasi baik litigasi maupun non litigasinya.Dalam berbagai kesempatan juga ditemukan bagaimana SMAPUR berhasil menarik hati masyarakat untuk bersemangat kembali memperjuangkan hak atas tanahnya.


(17)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : ELBIANDO Lumban Gaol Nim : 060902039

ABSTRACT

ADVOCACY FARMERS, LAND DISPUTE IN EFFORTS BY SMAPUR EXEMPTION AS PART OF SOCIAL WORK IN Persil TUNGKUSAN Hamlet IV, DELI SERDANG This thesis is composed of 6 CHAPTER, 86 pages, 33 tables, 3 images, 2 attachment as well as 59 literature and other sources from the internet.

Advocacy in a meaningful way is widespread, no longer belongs to advoocat (lawyers) who tend to the disciplines of law but also covers all advocacy work carried out every person and group. Advocacy study materials that the farmers are very seldom raised surface, not only because of the complex, it needs deep understanding, to calculate the time for its completion. In the disciplines of social sciences especially its social welfare, advocacy is one of the points into the field of social work practice apart from work - labor mediator, broker, facilitator, and so on. Advocacy farmers be interesting to study because the farmer is the social class of a productive society, but often the victim in the case - the case of land grab. Keminiman good resource is the knowledge, access to information, to the materials to finance the land dispute proceedings be many reasons for the defeat of the liberation struggle of farmers' land. SMAPUR is an institution that was formed to advocate for land acquisition cases like this. Especially in the case of parcels of land acquisition peasant hamlet IV tungkusan deli serdang advocated SMAPUR become attractive because of its success in land acquisition farmers from land seizures by the demands of PTPN II. In some cases, the problem of land disputes take up to tens of years, but by assisting SMAPUR land dispute resolution only takes no more than 10 years. Something interesting is the reason for examination. This study aims to determine how the advocacy efforts of farmers in land acquisition by SMAPUR dispute as part of social work at Persil IV Hamlet Tungkusan Deli Serdang.

The results of the study can be concluded that the advocacy efforts of farmers in land acquisition by SMAPUR dispute as part of social work at Persil IV Hamlet Tungkusan Deli Serdang is very positive. SMAPUR respond to the needs of farmers Perssil IV with advocacy programs both litigation and non litigasinya.Dalam opportunities SMAPUR also discovered how to successfully attract people to come to life again fight for the rights to the land. Keywords: Advocacy, farmers, social work.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latarbelakang Masalah

Persengketaan lahan adalah satu kajian studi yang hingga kini menarik untuk diteliti. Baik dari perspektif hukum (hukum tanah dan hukum adat) maupun sosial ekonomi. Ketika persoalan tanah ini menjadi makro , dalam artian maasif dari segi issu dan menyeret banyak elemen masyarakat didalamnya maka tidak jarang terdistorsi bahkan melebar menjadi gerakan politik. Perlawanan petani (si empunya lahan) disokong oleh gerakan moral (yang berlandaskan anti penindasan) dalam kerangka ekonomis (menyelamatkan tanah warisan/ulayat dan dapur keluarga) kemudian mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial yang lebih besar.

BPN (Badan Pertanahan Negara) yang semestinya menjadi mediator dan perwalian pemerintah dalam penyelesaian sengketa terkadang terlihat begitu mandul dalam beberapa kasus. Tidak bisa dipersalahkan memang , karena posisi BPN sedari awal secara falsafah sudah prematur dalam aturan perundang-undangan. BPN hanya diberi ruang untuk legitimasi areal lahan secara hukum formal. Di sisi lain persengketaan lahan terkadang melibatkan tanah adat/ulayat yang secara hukum pertanahan internasional hukum formal menjadi subordinat pada hukum adat. Lemahnya penguasaan terhadap intisari hukum adat terkadang menafikan sejumlah institusi hingga menomorsatukan hukum legal formal. Kesenjangan inilah yang terkadang mengakibatkan penyelesaian sengketa lahan begitu lama , tidak jarang memakan waktu puluhan tahun.


(19)

Konflik yang sering terjadi diantara mayarakat tani adalah konflik agraria. Salah satu penyebab konfik agraria adalah ketidakadilan dalam struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber – sumber agraria.

Pola penguasaan tanah didesa tempat petani melakukan usaha pertanian terlihat begitu rumit untuk dikuasai karena meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi , politik , hukum maupun sosialnya. Pada akhirnya menempatkan posisi tanah menjadi rentan terhadap manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan memposisikan tanah sebagai faktor produksi mutlak.

Penguasaan atas perkebunan , kehutanan , pertambangan saat ini didominasi segelintir individu dan perusahaan besar nasional dan asing seperti London Sumatera , Exxon , Nem Mont , Freeport , Caltex , dan lainnya hingga mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan konflik – konflik yang bersandar pada perebutan penguasaan , pengelolaan , pemanfaatan , dan kepemilikan atas sumber – sumber agrarian , baik yang sifatnya vertikal , horizontal , maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang terjadi selalu mengakibatkan petani , masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan lainnya.1

Keberadaan tanah bagi petani selain bersifat ekonomis sebagai sumber kehidupan , juga bermakna magis religio-kosmis dan bahkan hingga tataran ideologis. Ironisnya , sejak zaman kolonial , bahkan jauh sebelumnya , yakni zaman kerajaan hingga kini sejarah pertanahan yang identik dengan nasib petani itu tidak banyak menunjukkan tanda – tanda perbaikan. Kehidupan petani selalu terombang-ambing akibat ketidakpastian Negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.2

1

Ahmad Yakub,2007:3

2


(20)

Ketika Inggris menjajah Hindia Belanda (1811-1816) , legalitas agraria diatur dalam Doman Theory Rafles ,yaitu kebijakan agraria ditujukan untuk penarikan pajak bumi dengna dalil bahwa tanah adalah milik raja/Negara/pemerintah. Kemudian di era Van den Bosch diterapkan sistem tanam paksa dan pengerjaan proyek besar seperti pembangunan waduk, jalan raya dan kereta api. Kebijakan ini diganti dengan Agrarische Wet yang dengan asas domein veklaring menetapkan tanah terlantar adalah domein Negara. Setelah itu dikeluarkanlah UU agraria 1870 yang membuka keran investasi swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka , Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk penataan agraria. Asumsinya, penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dlakukan industrialisasi. Lahirnya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria atau dikenal dengna UU PA menjadi sinyal bagi keadilan penguasaan tanah dan sangat representatif untuk menyelesaikan konflik tanah dimasa itu. Ini karena UU PA dijalankan dengna orientasi penyediaan tanah untuk penggarap.3

“Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan agrarian dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali

struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan,sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, system kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran


(21)

rakyat.”4 Sukarno , dalam ketertarikannya mengenai isu perjuangan tani bahkan pernah mengatakan “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.”5

Secara mendasar penyelesaian problem-problem pokok ini bermuara pada bagaimana negara dapat mengabdi pada satu tatanan yang mampu mengadilkan kepemilikan alat produksi kepada kelas-kelas yang terlibat langsung dalam proses produksi (buruh tani, tani kecil, tani penggarap) di atas basis kemajuan tenaga produktif, yaitu dengan jalan sentralisasi dan

Jika diperhatikan secara cermat , latara belakang konflik pertanahan dipedesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik Negara maupun swasta) dengan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan disatu sisi didapat dari sejarah lahirnya hak erfpacht yang kemudian dikonversi menjadi hak guna usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Pengelolaan HGU tersebut dalam prakteknya sering terjadi ketimpangan peruntukan , penguasaan , dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar atas peran ko-eksistensi sehingga memicu manifestasi konflik laten.

Kecenderungan tersebut menegaskan bahwa yang dihadapi petani begitu pelik , tidak saja Negara dengan perundang-undangannya tetapi juga kekuatan pasar global yang pengaruhnya semakin kuat. Keseluruhan hal tersebut mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama , rakyat petani selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui institusi – institusi , juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan – persoalan yang muncul kemudian diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal , destruktif dan radikal terhadap sasaran –sasaran yang dianggap menjadi simbol kekuasaan (Negara ,atributnya , dan pasar).

4Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998 5


(22)

sosialisasi alat-alat produksi di bawah kontrol dewan rakyat (termasuk kaum tani) atas alat produksi; agar ia berada dan diabdikan sepenuhnya pada kepentingan kelas-kelas tertindas— yakni Pemerintahan Persatuan Nasional Anti Imperialisme.6

Adapun latar belakang persengketaan lahan di dusun tungkusan deli serdang adalah sebagai berikut

Dalam perjalanannya perlawanan petani ini tidak terlepas dari aktivitas – aktivitas organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan kaum tani. Karena dalam berperilaku organiasasilah petani dapat distimulus kesadaran akan ketertindasan mereka.

Skripsi ini coba mengambil salah satu contoh kasus persengketaan petani di deli serdang dengan melihatnya dari sudut pandang ilmu sosial. Penekanannya lebih pada sisi yang selama ini jarang terpublikasi yaitu advokasi petani. Rasionalitas mengapa harus advokasi petani yang diangkat adalah karena petani tidak memiliki prasyarat untuk mengadvokasi dirinya sendiri. Secara modal petani berada dalam strata sosial terendah setelah kaum miskin perkotaan dan secara ideologis petani tidak melakukan perlawanan ideologis karena cenderung pragmatis. Oleh karena itu menjadi menarik untuk diteliti bagaimana sepak terjang pihak yang mendampingi petani baik secara litigasi maupun non-litigasi. Ini menjadi penting karena sebenarnya pihak inilah yang memainkan peran sentral dalam perjuangan petani. Pihak atau dalam beberapa kasus dipayungi oleh organisasi menjadi jalur yang menkanal perjuangan petani agar lebih cerdas dan tidak destruktif seperti yang dijelaskan diatas. Advokasi advokasi seperti ini kedepannya akan membanjiri ranah pekerja sosial dengan meramalkan gencarnya perjuangan pembebasan lahan ditengah himpitan ekonomi yang mau tidak mau penguasaan akan tanah menjadi isu pokok untuk setidaknya mampu bertahan hidup (skema yang sangat mirip dengan watak petani yang cenderung defensif).

7


(23)

Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon Durian, jengkol, Petai, Pisang, Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani. Selanjutnya oleh Negara tanah tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai TANAH SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, terletak diwilayah Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa Tadukan Raga, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara adalah sah menurut hukum maupun dalam kebijakan Badan Pertanahan Nasional sendiri. Akan tetapi pada tahun 1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar tanah tersebut, yaitu seluas lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX secara paksa (sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan tanaman-tanaman yang telah ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah tersebut, yang mengakibatkan rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan pihak PTPN II dengan seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka nikmati tanpa mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan atas tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan penderitaan yang cukup panjang.

Setelah menungu cukup lama sampai akhirnya pecah reformasi tahun 1998 peluang untuk mengambil kembali tanah yang dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya Pertemuan Dengar Pendapat Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihadiri oleh Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur, Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan Kades. Lau Barus

7


(24)

Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27 Oktober 1998, dimana telah menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap menjadi milik rakyat.

1. Oleh karena tanah terperkara seluas 922 Ha tersebut berada diluar areal tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah diusahai oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi beberapa bulan berselang pada tahun yang sama PTPN II kembali mengambil alih paksa tanah dengan membabat habis tanaman palawija yang menghijau, bahkan beberapa orang petani juga menjadi korban hingga harus menjalani operasi bedah rutin sampai sekarang. Namun karena tidak ada pertanggung jawaban dari pelaku maka operasi bedah belum dapat dituntaskan sebab korban tidak mampu lagi membayar biaya operasi.

2. Sejalan dengan itu, maka rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak PTPN II untuk mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang ditaksir sebesar 2,5 milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti rugi tersebut dipenuhi. Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi sebesar 500 milyar rupiah karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia. Dengan tuntutan seperti itu maka PTPN II melakukan Banding sampai akhirnya mereka mengajuakn PK atas putusan MA. Pada tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri lubuk pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik rakyat akan tetapi kembali lagi diajukan banding oleh PTPN II dengan dalil bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT. Secara otomatis tanah tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga kedua pihak tidak boleh menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah dilakukan PTPN II melalui Perjanjian


(25)

dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian untuk memanen kelapa sawit diatas tanah terperkara tersebut. Jelas ini adalah tindakan melawan hukum. Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan mencoba menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak yang sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di lokasi tersebut, sebab jika ditanya mereka selalu mengatakan “kami hanya menjaga buah, ini perintah atasan”. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan beberpa warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat, akhirnya masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara bebas melakukan aktivitas memanen. Merasa tidak puas masyarakat kembali melakukan perlawanan dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan cara berbaris tanpa senjata. Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu, maka kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak masyarakat yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi korban dan harus dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat sekitar menjadi trauma untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan haknya atas tanah. dan sampai saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi militerisme oleh kepolisiaan dan oknum TNI.

Persoalan ini mulai mengemuka saat sejumlah mahasiswa yang kebetulan sedang melakukan praktek lapangan di lokasi mendapat informasi dari hasil perbincangan ringan dengan warga setempat. Seiring berjalannya waktu para mahasiswa ini melakukan pendampingan pada petani dan pendidikan kepada warga (masyarakat dan anak anak di sekolah). Dalam


(26)

perjalanannya mahasiswa yang mulai jengah melihat kondisi ini mengambil sikap yang cukup maju , melakukan penyatuan perjuangan petani dalam satu payung gerakan. Maka mahasiswa dan pemuda atas nama Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda untuk Rakyat (SMAPUR) membantu persoalan yang dialami masyarakat persil IV ini, dengan melakukan investigasi kasus selama 1 (satu) bulan , dengan bermodalkan pendidikan dan keberanian melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk membicarakan hal-hal seputar kasus yang dialami masyarakat serta informasi penting lainnya yang berhubungan dengan perjuangan tanah persil IV tersebut.

Dari beberapa dusun yang telah dilakukan pertemuan maka digagaslah sebuah pertemuan yang di sebut Rembuk Akbar dari seluruh dusun yang ada di persil IV yang akan digelar di lapangan SD Negeri Tungkusan pada hari minggu 26 Agustus 2007 pukul 13.00 Wib s/d selesai. Adapun isi yang akan dibicarakan dalam rembuk akbar adalah suara-suara dari masyarakat 5 dusun tentang kondisi mereka, gagasan untuk memenangkan secara mutlak perjuangan tanah, sampai kepada Ikrar perjuangan rakyat atas tanah.

Keseluruhan ketertarikan ini akan coba penulis teliti dan akan dirangkum dalam skripsi dengan judul : “Advokasi Petani dalam upaya Pembebasan Lahan Sengketa oleh SMAPUR

sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latarbelakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

“Bagaimana advokasi Petani dalam upaya Pembebasan Lahan Sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang”


(27)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana advokasi petani , dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial di Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan gambaran harapan-harapan peneliti akan hasil akhir dari penelitian tersebut, dimana apabila terdapat kesesuaian atau kecocokan antara hasil dan harapan berarti bahwa penelitian ini sukses. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai pembelajaran bagi penulis untuk mengetahui lebih dalam ranah advokasi sosial yang menjadi bagian pekerjaan sosial.

2. Sebagai persembahan penulis pada diri sendiri sebelum menginjak fase pasca mahasiswa , yang akan selalu mengingatkan penulis untuk tidak individualistis dan ikrar untuk membukukannya di kemudian hari.

3. Sebagai materi rujukan bagi rekan – rekan dan pembaca yang tertarik mengangkat isu advokasi petani.

4. Sebagai persembahan bagi para pejuang pembebasan lahan yang gigih tanpa lelah meski harus memakan waktu puluhan tahun , semoga karya ini menjadi suntikan semangat untuk tetap teguh dalam prinsip.


(28)

5. Sebagai sumbangan pemikiran bagi elemen yang terlibat di SMAPPUR (baik individu maupun kolektif/kelompok) dalam memperkaya referensi advokasi petani kedepannya. 6. Sebagai pelengkap referensi di ruang ruang ilmiah (perpustakaan , diskusi , bacaan ilmiah

dan sebagainya) sehingga kedepannya penulis mengharapkan akan lahir akademisi kritis yang berpijak pada rasionalitas dan bekerja secara jujur dan realistis.

7. Sebagai stimulus kepada calon penulis dan pencari referensi untuk menekankan karyanya kelak pada orisinalitas dan keobjektifan memandang akar masalah dan fenomena sosial. 8. Terakhir , kepada para praktisi masyarakat yang sudah terbiasa berpihak pada masyarakat

dan berpikir secara multi-sektoral , semoga karya ilmiah (skripsi) ini punya manfaat untuk menggugah para pekerja dan pemikir mono-sektoral untuk mengurangi sifat ego-sektoralnya dan ikut mempertimbangkan kepentingan sektor lain sehingga pembangunan dan pemberdayaan semua sektor dapat dilaksanakan secara sinkron dan seimbang.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan ini disajikan dalam 6 (enam) BAB dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN


(29)

Bab ini menguraikan tipe penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknis analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang lokasi penelitian, sejarah dan latarbelakang berdirinya lembaga.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini menguraikan bagaimana menganalisis data, berisikan penganalisaan data-data yang diperoleh dalam penelitian

BAB VI : PENUTUP

Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran-saran penulis, atas penelitian yang telah dilaksanakan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Advokasi

2.1.1. Sebuah Definisi

Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata.

Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.


(31)

Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan atau maksud tertentu.

Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik, pengertian advokasi yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang di advokasi adalah sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.

Berbicara advokasi, sebenarnya tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Setidaknya ada beberapa pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi advokasi, yaitu:

1. Usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara sistematis dalam menyikapi suatu kebijakan, regulasi, atau pelaksanaannya (Meuthia Ganier).8

2. Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung jawab menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja.9

8

Beliau merupakan Direktur Lembaga Dakwah dan Pengabdian Masyarakat Yayasan KODAMA Yogyakarta, Direktur Jogja Corruption Watch (JCW), dan Sekretaris LAZIS PWNU DIY.

9

Artikel ini merupakah hasil olah dari Power Point yang disampaikan oleh pemateri (Yusuf Effendi) pada sesi materi Advokasi dan Manajemen Aksi dalam PKD PMII Komisariat Gadjah Mada di PP Sunan Pandan Aran, 18-20 April 2008.


(32)

3. Upaya terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata (Institut Advokasi Washington DC).

4. Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi).10

5. Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).11

6. Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik.

12

7. Menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. 13

10

http://bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B16&sub=B1601&prod=B160101&t=3&ty=2

11

http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html


(33)

Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.

2.1.2 Advokasi: Alasan, Tujuan, dan Sasaran14

1. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan

Bagi sebagian orang yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi, tentu mereka tidak akan menanyakan kembali mengapa mereka melakukan hal itu. Namun, bagi sebagian lainnya yang belum begitu memahami, atau bahkan belum pernah mengenal, seluk-beluk advokasi, jawaban atas pertanyaan “Mengapa beradvokasi?” menjadi cukup relevan dan urgen untuk dijawab. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang harus, dan diharuskan, untuk melakukan kerja-kerja advokasi. Secara umum alasan-alasan tersebut antara lain adalah:

2. Perusakan dan kekejaman kebijakan selalu menghiasi kehidupan kita

3. Keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur pada lingkungan kita 4. Yang kaya semakin kaya dan yang melarat semakin sekarat

Dari beberapa poin di atas ini kemudian melahirkan kesadaran untuk melakukan perubahan, perlawanan, dan pembelaan atas apa yang dirasakan olehnya. Salah satu bentuk perlawanan dan pembelaan yang “elegan” adalah advokasi.

14

Artikel ini disampaikan oleh pemateri (Elbiando Lumban Gaol) pada sesi diskusi tematis gemaprodem dalam materi pengantar advokasi di Sekretariat gemaprodem ,Jamin ginting gg ganefo Padang Bulan-Medan 14 agustus 2006.


(34)

Tujuan dari kerja-kerja advokasi adalah untuk mendorong terwujudnya perubahan atas sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai dengan yang diharapkan. Secara lebih spesifik, dalam praksisnya kerja advokasi banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa. Mengapa kebijakan publik? Kebijakan publik merupakan beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan.

Siapa Pelaku Advokasi?15

1. Mahasiswa (individu) atau organisasi/komunitas kemahasiswaan (GEMAPRODEM , HMI, GMKI , FORMADAS, SMI , FMN, dan lain-lain).

Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat diklasfikan sebagai berikut:

2. Organisasi masyarakat dan organisasi politik (SRMI , FNPBI ,STN , JAKER , LMND PRD , SPI dan lain sebagainya)

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau disebut juga organisasi non-pemerintah 4. Komunitas masyarakat petani, nelayan, buruh , KMK dan lain-lain

5. Organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok yang mewakili interest para anggotanya, termasuk organisasi akar rumput (Serikat Tolong Menolong atau perwiritan)


(35)

6. Organisasi masyarakat keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, PHDI, PWI, PGI, Walubi, dan lain-lain)

7. Asosiasi-asosiasi bisnis 8. Media

9. Komunitas-komunitas basis (termasuk klan dan asosiasi RT, Dukuh, Lurah, dan lain-lain). Contoh: FBR, Pandu, Apdesi, dan Polosoro

10.Persatuan buruh dan kelompok-kelompok lain yang peduli akan perubahan menuju kebaikan

2.1.3 Kerja-kerja Advokasi: Tantangan dan Strategi16

Lapisan pertama mencakup permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan dalam praktik kelembagaan dan program-programnya. Contoh, sekelompok anak jalanan dan “gepeng” menolak Raperda yang telah dirancang kepada anggota dewan dan pejabat pemerintahan. Lapisan kedua, mengembangkan kemampuan individu para warga, ormas, dan LSM. Dengan penolakan dan penentangan adanya Raperda, anggota komunitas belajar bagaimana mengkomunikasikan pesan mereka pada segmentasi yang lebih luas untuk memperkuat basis dukungan kelembagaan mereka. Lapisan ketiga, menata kembali masyarakat. Kita mengubah pola pikir dan memberdayakan masyarakat marjinal (gepeng dan anjal) untuk berinisiatif

Advokasi selamanya menyangkut perubahan yang mengubah beberapa kebijakan, regulasi, dan cara badan-badan perwakilan melakukan kebijakan. Dalam melakukan perubahan kebijakan pun tidak semudah yang kita bayangkan; ada beberapa lapisan yang harus kita lewati untuk melakukan perubahan tersebut.

16


(36)

melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil apabila kita mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan aspirasinya sendiri.

Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk memetakan dan mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi hukum formal, yaitu:

1. Mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan memeriksa kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut

2. Pelajari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut. Siapa saja yang akan mendapat manfaat dari kebijakan tersebut

3. Siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan 4. Siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi mereka 5. Tentukan jaringan formal maupun informal melalui mana kebijakan sedang diproses.

Jaringan formal bisa termasuk institusi-institusi seperti komite legislatif dan forum public hearing. Jaringan informal melalui komunikasi interpersonal dari individu-individu yang terlibat dalam proses pembentukan kebijakan

6. Mencari tahu apa motivasi para aktor utama dan juga jaringan yang ada dalam mendukung kebijakan yang telah dibuat

Perlu dipahami bahwa advokasi tidak terjadi seketika. Advokasi butuh perencanaan yang matang. Agar advokasi yang dilakukan dapat terwujud secara maksimal, maka kita perlu menggunakan beberapa strategi. Berikut beberapa strategi dalam melakukan advokasi:

1. Membangun jaringan di antara organisasi-organisasi akar rumput (grassroots), seperti federasi, perserikatan, dan organisasi pengayom lainnya


(37)

2. Mempererat kokmunikasi dan kerjasama dengan para pejabat dan beberapa partai politik yang berorientasi reformasi pada pemerintahan

3. Melakukan lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah)

4. Melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi 5. Melewati aksi-akasi peradilan (litigasi, class action, dan lain-lain) 6. Menerjunkan massa untuk melakukan demonstrasi

7. Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara terencana terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan, rencana program atau rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam masyarakat yang menjadi kepentingan seluruh anggota masyarakat haruslah diprioritaskan.

8. Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.

Kendala-kendala yang dihadapi17

17

http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/29/optimalisasi-peran-advokasi-dalam-mempengaruhi-kebijakan-publik/

Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala pokok.


(38)

Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai bisa timbul antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi. Para pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus, sastrawan, dan pekerja seni) menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno bertentangan dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi dapat membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang merupakan sumber mata pencaharian mereka.

Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan dibidang perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran dalam kacamata hukum pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi perjudian dan pelacuran dengan beban pajak yang cukup tinggi dapat menjadi sumber bagi pendapatan daerah.

Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik. Sebenarnya kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas perguruan tinggi, kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena terlalu banyak isu-isu yang diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil menjadi terpecah-pecah. Bahkan adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara kekuatan masyarakat sipil.

Akhirnya, kondisi demokrasi dalam kehidupan ketatatanegaraan kita yang belum mapan. Meskipun reformasi politik telah berlangsung sejak 1998, tapi peran partai dan aktor politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat masih jauh dari harapan masyarakat. Partai dan aktor politik terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga memunculkan apatisme politik dan ketidakpercayaan terhadap partai politik.


(39)

Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini18

18

http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html

tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.

Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.

2.2 Petani


(40)

Dalam wacana akademis, terutama postmodernisme yang berperspektif non kelas, petani di dunia ketiga (term ‘dunia ketiga’ selalu asosiatif miskin) sering dipandang semata sebagai subyek kultural bagian dari identitas gender, etnis, regional atau nasional. Serentak dengan itu mereka menjadi bagian dari angkatan kerja dalam rezim industri global.

Terminologi petani selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam pemahaman awam (Noer Fauzi, 2003), petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi di atas empat hal berikut.

Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu. Petani bukanlah satu golongan yang homogen. Petani hidup dalam suatu konteks ekonomi dan politik agraria tertentu. Konteks itu mengkondisikan nasib petani. Nasib petani dalam konteks feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam bangunan kapitalisme kolonial, dan berbeda pula dengan nasib petani dalam kapitalisme pascakolonial.

Kedua, dalam cara produksi, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi petani selalu menggantungkan nasibnya terhadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja, kecuali pada kantung-kantung masyarakat suku asli terisolasi. Dalam rezim feodalisme, nasib petani penggarap tanah-tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan para penguasa tanah (raja dan aparatnya). Dalam kapitalisme kolonial, nasib petani ditentukan oleh program-program agraria penguasa kolonial. Dalam rezim Orde Lama, nasib petani ditentukan


(41)

oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara.

Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa dibedakan. Ekonomi adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Pertemuan ekonomi dan politik sangat jelas. Feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi sekaligus politik.

Keempat, petani selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani sulit berintegrasi dengan usaha-usaha inovatif. Tingkat penolakan ini bisa berwujud menjadi gerakan, bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Bentuk gerakan petani bukan hanya bersifat pemberontakan yang terbuka. Banyak gerakan/pergerakan petani yang tertutup atau tersembunyi dan diam-diam (sehingga sulit/tidak terdokumentasi) sebagaimana dikemukakan James Scott.

Maka, petani bukanlah entitas eksklusif. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang bukan petani19

Petani juga memiliki kultur khas sendiri yang dari waktu ke waktu mengalami proses adaptasi dan resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari

.

19


(42)

mana petani berinteraksi. Dengan demikian petani bekerja dengan cara produksi tertentu (kultur bertani/kultur agraris), hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu (dinamika cara pandang) yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial yang menyertai petani akan ikut mengubah petani sebagai sebuah entitas yang berdinamika secara khas.

2.2.2 Resistensi Petani20

Berbeda cara melihat dari kelompok Marxian (penganut Karl Marx).

Perspektif Scottian (penganut James Scott), resistensi petani selalu di dalam semangat moral ekonomi subsisten yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Ciri utamanya, masyarakat bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Maka etika yang dihayati dan dikembangkan masyarakat petani subsisten yaitu safety first ethics dengan mekanisme risk avoidance strategy. Para petani akan berusaha menghindari risiko dan karena itu resistensi pun sedemikian rupa diupayakan untuk tidak mengorbankan moralitas subsisten.

21

20

Mereka menilai petani tidak mungkin diajak melakukan resistensi yang lebih keras karena mereka takut kehilangan tanah. Petani bukanlah elemen revolusioner, sebab meski mereka sangat miskin, tetapi toh mereka masih memiliki akses dan kontrol atas tanah sepotong tempat tinggal mereka. Buruh lebih sanggup melakukan revolusi, terutama terhadap ekspansi kapitalisme yang angkuh dan serakah.


(43)

Sedangkan penganut kapitalisme22 memandang resistensi petani sebagai salah satu ancaman dari elemen faktor produksi. Sebab, petani adalah mesin produksi dalam skema akumulasi modal, sekaligus konsumen yang membeli barang-barang kebutuhan dasar yang diproduksi mesin industri kapital. Tanah petani adalah faktor produksi yang bernilai tinggi. Ceritera tentang tanah sebagai faktor produksi itu dimulai dari kisah land rent. Adam Smith dan David Ricardo, dari madzab klasik, memiliki relevansi historik dengan semangat kapitalisme. Tanah selalu dikaitkan dengan tekanan jumlah penduduk. David Ricardo (1921) mengaitkan proses produksi dengan jumlah penduduk yang kian bertambah. Permintaan terhadap sumberdaya produksi meningkat sedemikian rupa, agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Untuk itu, semakin banyak tanah diperlukan. Tekanan jumlah itu terus berlangsung, hingga akhirnya kebutuhan hidup minimal itulah yang secara umum menentukan tingkat upah bagi semua tenaga kerja23

Sudah sejak Orde Baru, ekonomi politik di sini diorientasikan untuk mengabdi pada pemilik modal. Akibatnya jelas. Petani tertindas dan tersingkirkan. Rezim penguasa tetap tak selalu siuman, bukan karena mereka bodoh dalam pengertian tak bersekolah atau berpendidikan, melainkan karena mereka telah terkena candu kapitalisme yang akut sehingga mereka tampak bebal. Sehingga pikiran lain (the other alternative solution) tidak dimengerti karena mereka sudah membusuk dalam nikmatnya pragmatisme uang

.

24

2.2.3 Semangat Pembaruan Agraria

.

25

22

ibid

23

Teori ekonomi leninis

24

Sumber :

25

http://frisztado.wordpress.com/2010/10/19/problema-agraria-dan-nasib-petani-pius-rengka-pos-kupang-com-22-september%C2%A02010/


(44)

Semangat rezim pembaruan agraria jelas. Yaitu menolong dan merehabilitasi nasib petani tertindas. Tetapi dalam skema itu mereka harus bersentuhan dengan sejumlah regulasi yang diproduksi oleh mesin kekuasaan yang terdikte pragmatisme pasar modal kapitalis. Regulasi diproduksi oleh intelektual tukang atau dalam bahasa Gramsci cendekiawan organik yang berorientasi membela elit. Rezim pembaruan agraria juga berjumpa dengan sejumlah kepentingan ekonomi politik di level nasional dan internasional.

Tesis pokok pembaruan agraria (agraria reform), tanpa ada pembaruan agraria tidak akan ada demokrasi di desa. Dipercaya, demokrasi ekonomi akan memproduksi demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian. Agraria reform lalu dengan sendirinya menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat. Berkembangnya diferensiasi memproduksi berbagai profesi dan pekerjaan, yang selanjutnya menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. Jika asosiasi dan kelembagaan baru ini lahir dan menguat, ia akan dengan sendirinya menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat pluralis. Pada akhirnya akan tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik.

Tesis penganut agraria reform disambut sorak gembira kalangan masyarakat sipil dunia (world civil society). Tetapi ada soal, karena pada saat bersamaan hampir semua negara miskin terbimbing visi IMF. Juga negara-negara periferal itu ikut menandatangani GATT (General Agreement on Trade and Tarift), WTO (World Trade Organization). Apalagi sejumlah blok ekonomi regional seperti APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) maupun yang lebih kecil seperti BIMEAGA (Brunay, Indonesia, Malaysia and Philipines – East Asia Economic Growth


(45)

Area) mau tak mau, suka tak suka bertemu dengan kepentingan petani karena kebijakan nasional akan terkait dengan masalah tanah. Maka tanah dan petani lagi-lagi jadi soal.

Bagaimana pandangan kelompok Posmo? 26

Faktanya, petani pragmatis, mata duitan. Tambang dalam tanahnya ditukar dengan problem masa depan (Dr. Oloan Sitorus

Sikap utama para Posmo adalah rasional kritis tanpa ada keharusan mengabdi pada satu definisi tunggal, apalagi hegemoni struktural. Bagi mereka, tudingan sepihak atau dominasi tunggal adalah penghinaan terhadap kreativitas manusia. Bagi mereka, semua pikiran kaum positivistik harus digugat, dibongkar sekaligus diperbaiki demi kepentingan manusia. Sebab positivistik view adalah instrumen akademik oligarkhis yang dilegitimasi teori. Tidak boleh ada rezim teori yang mengklaim diri paling benar, paling waras. Untuk petani, mereka berkotbah begini. Petani adalah komunitas dunia yang berada di medan tugas tertentu yang bebas memperjuangkan kepentingannya sendiri secara kritis seturut perspektif dan konteksnya sendiri. Tetapi, meski kotbah kaum Posmo demikian itu, toh petani Indonesia tetap saja miskin, terpinggirkan, tertindas dan tetap saja menjadi obyek mobilisasi politik. Lalu bagaimana?

27

26

sumber : home.unpar.ac.id/~hasan/doc

27

Dr. Oloan Sitorus, SH M.S Rachmat Riyadi, SSi, M.Si adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.

). Pemerintah setempat kurang menguasai konteks, sementara arus pengaruh oligarki global kian deras. Para politisi lokal sibuk menangkap dangkal permukaan soal, sambil siap-siap diri re-election. Tanda tangan izin tambang bak pasar bebas mendapat untung. Sebagian dipakai untuk mobilisasi dukungan politik, lainnya melayani kepentingan daging sendiri. Penegak hukum, sama saja. Seolah-olah menegakkan hukum, tetapi apa hasil? Pejabat, rutin upacara tanam batu atau disebut peletakan batu pertama bukan tanda adanya development pertama, tetapi tanda envelopment pertama untuk selanjutnya diteruskan


(46)

dengan rangkaian envelop. Sementara istri pejabat, wah lebih gawat lagi. Perilakunya seperti dialah pejabat itu. Andalannya rebonding dan seterika rambut. Namun, sekali lagi. Petani selalu kalah bahkan kalah berkali-kali. Saat kebijakan import beras, petani secara eksistensial dibunuh, karena impor beras itu terkait langsung dengan pelecehan terhadap tanah para petani yang memproduksi padi dan beras. Mungkin, sekali waktu entah kapan dan di mana, mereka perlu meneguk segelas anggur (wine) entah apa pula rupa warnanya (Rachmat Riyadi, SSi, M.Si).28

Dari pengalaman perjuangan kita beberapa waktu terakhir, di tengah kondisi bahwa secara umum gerakan tani belum berdaya sebagai satu kekuatan yang diperhitungkan dalam mendesakkan kepentingannya kepada Negara, tercapai kemajuan-kemajuan; terutama, pertama, dalam segi-segi meningkatnya kesadaran bagaimana kekuatan tani dapat mengambil peran yang lebih besar dalam persoalan ketatanegaraan. Artinya, gerakan tani bukan hanya menjadi gerakan ekonomis yang sekedar bereaksi atas berbagai kebijakan politik pertanian yang dianggap tidak menguntungkan, tapi juga bagaimana memastikan posisi Negara dapat sepenuhnya mengabdi pada kepentingan mayoritas rakyat tertindas, terutama kaum tani. Proses ini sering diistilahkan dengan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik. Salah satu contohnya adalah keterlibatan kaum tani dalam praktek politik praktis, seperti dalam Pemilu, Pilkada hingga Pilkades dan Pilkadus. Kedua, Adanya keinginan melakukan persatuan, dari tingkat terendah hingga nasional. Kendati proses konsolidasi tersebut belum mampu memberikan andil yang cukup untuk membesarkan dan meluaskan struktur organisasi secara merata di tiap territorial.29

28

Ibid


(47)

2.3 Jenis – Jenis Hak Atas Tanah30

Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 7

Hukum Agraria Nasional membagi hak – hak atas tanah ke dalam dua bentuk:

a . Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai).

b. Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat dan penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Menyewa atas Pertanian).

31

2.3.1 Hak Milik

, yaitu:

Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal dunia, dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik atas tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1) Menjadi tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela, c. dicabut untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara asing; (2) Tanahnya musnah.

2.3.2 Hak Guna Usaha (HGU)

30

Sumber : UU Pokok Agraria (UU PA)

31


(48)

Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal 28(1), (2), (3) UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal atau badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal 30 UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:1. jual beli; 2. tukar menukar; 3. penyertaan dalam modal; 4. hibah; 5. pewarisan. Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996 terjadi karena 7 sebab, yaitu: 1) Berakhirnya jangka waktu; 2) Tidak terpenuhi syarat pemegangnya; 3) Pencabutan hak; 4) Penyerahan suka rela; 5) Ditelantarkan; 6) Kemusnahan tanahnya; 7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang memenuhi syarat.

2.3.3 Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang dapat mempunyai HGB adalah: 1) Warga Negara Indonesia dan; 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan, dapat beralih, dapat dialihkan, jangka waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.


(49)

2.3.4 Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai yaitu wajib didaftarkan, dapat dialihkan, dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

2.3.5 Hak Sewa

Hak sewa adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan UUPA Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan, cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila Hak Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

2.3.6 Hak Membuka Hutan

Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena maksud dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat


(50)

dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung, suaka, dan hutan konservasi.

2.3.7 Hak Memungut Hasil Hutan

Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 68(2) huruf (a) UU Kehutanan).

2.3.8 Hak-hak lain

UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak Gadai (pasal 7 UU No. 56 Prp/1960) , Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa Tanah Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum bagian A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.

2.4 Masalah Kepemilikan Kolektif Hak Atas Tanah

Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10 UUPA menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan hukum. Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan kepemilikan hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya,


(51)

hal terlihat khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak dapat dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).

Hak Ulayat

Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing.

Pemerintah mengeluarkan PMNA/KABPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .

Didalamnya terkandung kriteria penentu keberadaan Hak Ulayat yang terdiri dari 3 unsur yaitu:

a. adanya masyarakat hukum adat tertentu.

b. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu.

c. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Pengakuan terhadap


(52)

hak tersebut memberikan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat32

2.5 Pengakuan adat oleh Hukum Formal

.

33

1. Hukum Adat mengenai tata Negara.

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum

perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Indonesia).

Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di


(53)

Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia34

Menurut

menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :

34


(1)

Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial . 2006. “Pemberdayaan Komunitas”. Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Jurnal LATEN GEMAPRODEM , edisi 2003-2005.

Jurnal SPARTAN (PRD,LMND,SRMI,STN,JAKER,FNPBI) diterbitkan tahun 2008.

Kelompok Pelita Sosial (KPS) , makalah diskusi kelompok-kelompok tani Serdang Berdagai.

Dimiliki sejak 2007.

Makalah Campus Concern (CC) Medan , dimiliki sejak 2010.

Makalah HMI Komisariat FISIP USU , dimiliki sejak 2011.

Makalah Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) , dimiliki sejak 2007.

Yusuf Effendi , pada sesi materi Advokasi dan Manajemen Aksi dalam PKD PMII Komisariat

Gadjah Mada di PP Sunan Pandan Aran, 18-20 April 2008.

Sumber Internet

Pius Rengka / Pos Kupang.com diposting pada 22 September 2010

http://bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B16&sub=B1601&prod=B160101&t=3&ty=2

diakses tanggal 4 januari 2011 , jam 11:10 WIB

http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html diakses tanggal 4 januari


(2)

http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/29/optimalisasi-peran-advokasi-dalam-mempengaruhi-kebijakan-publik.html. diakses tanggal 4 januari 2011 , jam 11:30 WIB

WIB

home.unpar.ac.id/~hasan/doc diakses tanggal 4 januari 2011 , jam 11:40 WIB

Hukum adat – Wikipedia bahasa indonesia , ensiklopedia bebas. tanggal 7 januari 2011 , jam

11:44 WIB


(3)

LAMPIRAN

Nomor Responden :

STUDI KASUS ADVOKASI PETANI PERSIL IV DALAM UPAYA PEMBEBASAN LAHAN SENGKETA OLEH SMAPUR SEBAGAI BAGIAN DARI PEKERJAAN SOSIAL DI DUSUN TUNGKUSAN DELI SERDANG

Lingkungan ( Dusun ) Penelitian :

Kelurahan ( Desa )/ Kecamatan / Kabupaten : Tanggal wawancara :

A. IDENTITAS RESPONDEN

1 Nama KK/Penanggung Jawab Keluarga

2 Jenis Kelamin a. Laki-laki

b. Perempuan

3 Berapakah usia/umur anda ………tahun

4 Suku/etnis Anda

a. Mandailing c. Pak-Pak e. Simalungun g. Melayu i. Lainnya………… b. Toba d. Aceh f. Jawa h. Minang

5 Pendidikan terakhir Anda

a. Tidak sekolah c. Tamat SD e. Tamat SLTA g. PT

b. Tidak tamat SD d. Tamat SLTP f. Tamat Akademi/D3 h... 6 Sejak tahun berapa Anda menetap di desa atau kelurahan / daerah ini ?

a. Kurang dari 1 tahun c. > 3 – 6 tahun e. > 10 tahun b. > 1-3 tahun d. > 6 – 10 tahun

7 Status dalam masyarakat

a. Masyarakat biasa d. Aparat pemerintahan desa/kelurahan b. Tokoh masyarakat/tokoh adat e. Pemimpin/anggota organisasi/ Parpol c. Tokoh agama

8 Apakah Anda termasuk penduduk asli atau pendatang a. Penduduk asli

b. Pendatang 9 Mata pencaharian utama :

Mata pencaharian sampingan : 10 Apakah istri anda bekerja ?

a. Iya b. Tidak


(4)

11 Penghasilan dalam satu bulan ?

a. < Rp. 500.000 d. > Rp. 2000.000 s/d Rp. 3000.000 b. > Rp. 500.000 s/d Rp. 1000.000 e. > Rp. 3000.000 s/d Rp. 4000.000 c. > Rp. 1000.000 s/d Rp. 2000.000 f. > Rp. 4000.000 s/d Rp. 5000.000 g. Lainnya > Rp. 5000.000

12 Menurut Anda gambaran tingkat pengangguran di lokasi tempat tinggal ? a. Tingkat pengangguran 75 %

b. Tingkat pengangguran 55 - 75 % c. Tingkat pengangguran 30-55 % d. Tingkat pengangguran 10 - 30 % e. Tingkat pengangguran < 10 %

B. KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT SAAT TERJADINYA SENGKETA LAHAN 1 Gambaran kondisi adat istiadat yang masih dianut masyarakat ?

………... ... 2 Bagaimana sebenarnya kronologis sengketa lahan ini?

... ... ... ... ... ... ... 3 Apa yang masyarakat ketahui tentang ketentuan agraria dan peraturan pertanahan ?

... ...

4 Bagaimana partisipasi masyarakat sendiri dalam memperjuangkan lahan yang dipersengketakan? ...

... ...

5 Apa yang menjadi dasar perlawanan masyarakat terhadap klaim lahan dalam kasus sengketa ini ? ...

... ... ... ... ...

6 Bagaimana penilaian masyarakat mengenai sikap yang diambil pemuka agama , adat , ataupun pemimpin instansi pemerintahan (keppling misalnya) dalam usaha penyelesaian sengketa lahan?

... ... ... ... ... ... 7 Apakah sistem sosial budaya terganggu saat merebaknya sengketa lahan ?


(5)

... ... ... ...

8 Gambaran sikap masyarakat terhadap perampasan lahan yang dilakukan di tengah masyarakat ? ...

... ... ... ...

9 Gambaran komunikasi didalam masyarakat ? ( sesama etnis, beda etnis, sesama keyakinan, beda keyakinan, strata sosial )

a. Tidak ada b. Kurang lancar c. Agak lancar d. Lancar e. Sangat Lancar

C. MANAJEMEN DAN SUMBER KONFLIK

1 Tokoh masyarakat yang sangat disegani/percaya oleh masyarakat ?

1. Nama :... Jabatan :... 2. Nama :... Jabatan :... 3. Nama :... Jabatan :...

2 Gambaran kekuasaan atau kewenangan dari orang-orang yang disegani/percaya oleh masyarakat ? ( Misal : Membuat satu keputusan )

... ...

3 Konflik apa yang pernah terjadi di lingkungan tempat tinggal anda ?

Misalnya : perkelahian antar agama, perkelahian antar pemuda

... ...

4 Bagaimana cara penyelesaian terhadap suatu masalah ( konflik ) yang terjadi didalam masyarakat ? ...

... D. PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP SMAPUR

1 Apa yang anda ketahui mengenai SMAPUR ?

……… ……….. ……….. 2 Bagaimana pendapat anda tentang advokasi yang dilakukan SMAPUR di wilayah anda ini ?

a. Sangat Setuju b. Setuju

c. Tidak Tahu ( tidak punya pendapat ) d. Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

3 Bagaimana sikap masyarakat ketika SMAPUR mulai melakukan advokasi (pendampingan) ? ... ... ... 4 Apa yang menjadi dasar ketertarikan masyarakat untuk bergabung dalam SMAPUR ?

... ...


(6)

... 5 Bagaimana partisipasi masyarakat dalam kegiatan – kegiatan yang dilakukan SMAPUR ?

a. Tidak pernah b. 1 kali sebulan c. 2 kali sebulan d. 3 kali sebulan > 3 kali sebulan

6 Bagaimana penilaian masyarakat mengenai prospek advokasi yang digalang SMAPUR ? a. Pasti berhasil.

b. Besar kemungkinan berhasil.

c. Keberhasilan ada meski dalam tingkat minimal. d. Mungkin saja berhasil.

e. Tidak berhasil/gagal.

F. PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ADVOKASI

1 Dampak yang menjadi kekhawatiran dari kegiatan yang dilakukan selama advokasi ?

... ... 2 Harapan terhadap advokasi yang dilakukan SMAPUR ?

... ... 3 Saran terhadap kegiatan yang akan dilakukan selama advokasi untuk meminimalisir dampak yang terjadi?

... ... 4 Bagaimana sikap Anda dengan adanya kegiatan advokasi yang digalang SMAPUR diwilayah sekitar

pemukiman anda?

a. Sangat Mendukung b. Mendukung c. Tidak Tahu ( Tidak punya pendapat)

d. Tidak Mendukung e. Sangat Tidak Mendukung

5 Apakah di lingkungan Anda pada saat ini ada kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat atau pemerintah setempat ?

a. Ada, misalnya... b. Tidak Ada

6 Menurut Anda seperti apa semestinya bentuk program pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan kondisi masyarakat disekitar lingkungan tempat tinggal Anda ?

Misal : Program bidang ekonomi misalnya, pemberian kridit untuk usaha kecil, Program bidang kesehatan misalnya penyuluhan hidup sehat, pemberian bantuan makanan bergizi untuk Balita , Program bidang keahlian misanya keterampilan-keterampilan ?

... ...


Dokumen yang terkait

Peranan Perempuan dalam Konflik Agraria (Studi Kasus Gerakan Petani Persil IV)

4 85 129

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

4 35 117

PERGESERAN KETOPRAK DOR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA DALAM MEMPERTAHANKAN INDENTITAS JAWA DELI DI DUSUN VII, DESA SEI MENCIRIM, KECAMATAN SUNGGAL, KABUPATEN DELI SERDANG.

1 5 32

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 14

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 27

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 17

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

3 4 3

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Teologi Pembebasan dalam pemikiran asghar

0 0 18