Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini
18
18
http:penghunilangit.blogspot.com200508strategi-advokasi.html tak lain adalah advokasi yang bertujuan
memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial
melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.
Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau
organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja
organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah charity belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa
yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain
yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
2.2 Petani
2.2.1 Petani : Entitas Inklusif
Universitas Sumatera Utara
Dalam wacana akademis, terutama postmodernisme yang berperspektif non kelas, petani di dunia ketiga term ‘dunia ketiga’ selalu asosiatif miskin sering dipandang semata
sebagai subyek kultural bagian dari identitas gender, etnis, regional atau nasional. Serentak dengan itu mereka menjadi bagian dari angkatan kerja dalam rezim industri global.
Terminologi petani selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam pemahaman awam Noer Fauzi, 2003, petani adalah orang atau keluarga yang memiliki danatau
menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks
sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi di atas empat hal berikut.
Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu. Petani bukanlah satu golongan yang homogen. Petani hidup dalam suatu konteks ekonomi dan
politik agraria tertentu. Konteks itu mengkondisikan nasib petani. Nasib petani dalam konteks feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam bangunan kapitalisme kolonial, dan berbeda pula
dengan nasib petani dalam kapitalisme pascakolonial.
Kedua, dalam cara produksi, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi petani selalu menggantungkan nasibnya terhadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali
menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja, kecuali pada kantung-kantung masyarakat suku asli terisolasi. Dalam rezim feodalisme, nasib petani
penggarap tanah-tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan para penguasa tanah raja dan aparatnya. Dalam kapitalisme kolonial, nasib petani ditentukan oleh
program-program agraria penguasa kolonial. Dalam rezim Orde Lama, nasib petani ditentukan
Universitas Sumatera Utara
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara.
Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa dibedakan. Ekonomi adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam
produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Pertemuan ekonomi
dan politik sangat jelas. Feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi sekaligus politik.
Keempat, petani selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan intervensi yang datang dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa
terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani sulit berintegrasi dengan usaha-usaha inovatif. Tingkat penolakan ini bisa berwujud menjadi
gerakan, bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Bentuk gerakan petani bukan hanya bersifat pemberontakan yang terbuka. Banyak gerakanpergerakan petani yang tertutup atau
tersembunyi dan diam-diam sehingga sulittidak terdokumentasi sebagaimana dikemukakan James Scott.
Maka, petani bukanlah entitas eksklusif. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang
bukan petani
19
Petani juga memiliki kultur khas sendiri yang dari waktu ke waktu mengalami proses adaptasi dan resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari
.
19
Noer Fauzi, 2003.radikalisasi perlawanan petani era orba
Universitas Sumatera Utara
mana petani berinteraksi. Dengan demikian petani bekerja dengan cara produksi tertentu kultur bertanikultur agraris, hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu dinamika cara
pandang yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial yang menyertai petani akan ikut mengubah petani sebagai sebuah entitas yang berdinamika secara khas.
2.2.2 Resistensi Petani