laporan tahunan untuk diatur lebih tegas lagi dalam hal mencantumkan program- program real CSR dari suatu perusahaan. Karena secara tidak langsung memang
laporan tahunan merupakan bentuk legitimasi perusahaan dari masyarakat sekitar terhadap eksistensi dan kebermanfaatan suatu perusahaan.
2. Cina
Negara Cina penganut sistem ekonomi sosialis yang mana semua terkait kebijakan pasar dikendalikan oleh Negara. Akan tetapi pengaturan terkait CSR sedikit
banyak mengacu pada barat yang menggunakan sistem kapitalis. Munculnya aturan disana memang wujud respon pemerintah Cina terhadap kesejahteraan dan
perlindungan stakeholder baik internal maupun eksternal. Cina memang memiliki masalah yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan, hak asasi manusia dan hak-
hak pekerja. CSR di Cina memang lebih fokus pada hak-hak buruhpekerja. Selain itu penerapan CSR di Cina juga masih bersifat sukarela karena tidak diatur dalam UU
Perusahaan dan lebih khusus pada UU Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hak-hak pekerja atau buruh. Dan pengaturan CSR di Cina dalam
pembentukkannya juga dipengaruhi oleh teori stakeholder dan teori legitimasi. Sehingga tidak ada keraguan bahwa pertumbuhan industri dan perdagangan dengan
dunia luar merupakan hal yang signifikan bagi ekonomi Cina yang terus mengalami pembangunan dan kemampuan untuk mengangkat lebih banyak orang dari
kemiskinan. Pemerintah Cina telah menarik minat perusahaan dalam kegiatan sosial dan lingkungan untuk berkontribusi ke Cina dari pembangunan berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga kepentingan stakeholder sangat mempengaruhi keberadaan perusahaan di Cina. Untuk pemerintah sendiri memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan CSR
pada UU Perusahaan Cina, UU Ketenagakerjaan, UU Serikat Pekerja, Peraturan Pemerintah mengenai Upah Minimum Perusahaan, dan lain-lain. Selain aturan yang
bersifat formal terdapat standar atau pedomana yaitu CSC9000T yang merupakan standar pertama dari industri tekstil untuk melindungi hak-hak pekerjanya.
Dikaitkan dengan teori legitimasi, pengaturan CSR memang masih bersifat sukarela. Bahkan yang diatur dalam beberapa undang-undang bukan aturan CSR
secara detail tetapi komponen-komponen yang berkaitan CSR. Teori legitimasi yang merupakan pengungkapan CSR melalui laporan keuangan tahunan perusahaan dan
yang menjadi bentuk pengakuan dari masyarakat. Maka sama halnya dengan apa yang terjadi di Australia, Cina juga mempubliskan laporan keuangan tersebut kepada
publik melalui Shenzhen Stock Exchange Shenzhen Bursa Saham. Pada 27 September 2006, the Shenzhen Stock Exchange mengeluarkan, “The “Social
Responsibility Instructions to Listed Companies”, which defines CSR as “the obligations listed companies should assume for the comprehensive development of
the nation and the society, for natural environment and resources, and for stakeholders including the shareholders, creditors, employees, customers, consumers,
suppliers and communities”.
173
173
Young Ho Peng., Op. cit, hal. 233.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu sebagai contoh seperti yang sudah diterangkan diatas pada bulan Maret 2006, State Grid Corporation meluncurkan Laporan Tahunan CSR-nya, yang
merupakan negara pertama yang dimiliki perusahaan untuk menunjukkan kinerja CSR-nya kepada publik. Pada 23 Juni 2006, Shanghai Pudong Development Bank
mengeluarkan CSR-nya pada kedua Lapor publik internal dan website, yang menjadi bank komersial pertama Cina yang menerbitkan laporan CSR. Laporan keuangan
tahunan ini merupakan bentuk pengakuan masyarakat akan kegiatan-kegiatan program CSR perusahaan. Hal ini merupakan sanksi moral terhadap perusahaan akan
pentingnya pemenuhan CSR bagi stakeholders.
174
Dalam pelaksanaan kedua teori tersebut sebagai salah satu motivasi seperti yang diungkapkan oleh Hasnas, 1998; Donaldson and Preston, 1995; Freeman and
Red 1983 bahwa terdapat keyakinan dari pihak manajer bahwa masyarakat memiliki hak yang tidak dapat dicabut untuk mendapatkan informasi yang memuaskan tanpa
menghiraukan hubungan dengan biaya dan karenanya perusahaan bertanggungjawab untuk melaporkan pengungkapan sosial-lingkungan seharusnya menjadi motivasi
utama bagi manajer.
175
Suatu pendekatan yang memberikan kritik atas teori stakeholder adalah pendekatan teori kritis yang diajukan oleh Brown dan Fraser 2004. Menurut
mereka, sementara konsep seperti stakeholders, partisipasi dan demokrasi kedengarannya begitu menyenangkan, ketidakseimbangan kekuasaan akan
174
Ibid., hal. 231.
175
http:Mymeutia.Blogspot.com, diakses terakhir tanggal 7 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan usaha-usaha yang dilakukan tidak ada arti bahkan akan membuat masalah yang lebih besar.
176
Bagi pendukung pendekatan teori kritis dibalik pengungkapan sosial- lingkungan perusahaan terdapat strategi politik perusahaan yang mendalam untuk
mendapatkan pengakuan dunia sehingga perusahaan dibolehkan untuk bertindak dengan caranya sendiri melalui aturan sukarela voluntary, win-win partnership dari
pada aturan dan regulasi yang mengikat. Di bawah aturan pengungkapan sukarela voluntary disclosure perusahaan memiliki kemampuan untuk membuat agenda
pelaporan tersendiri. Perusahaan memutuskan apa yang harus diungkapkan, kapan harus
mengungkapkan serta bagaimana pengungkapan itu harus dibuat. Seperti diindikasikan di atas pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan lebih didorong
oleh keinginan perusahaan untuk memperkuat status quo perusahaan dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian seperti Belkoui dan Karpik
1989, Hackston dan Milne 1996, Adam, Hills dan Robert 1998 serta Choi 1999 yang mendapati adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dan isi
CSRD. Sesuai dengan teori bahwa perusahaan besar akan mengungkapkan lebih banyak informasi dalam laporan tahunannya karena mereka sadar bahwa tindakan
mereka dimonitor oleh pihak ketiga dan karenanya perusahaan perlu legitimasi atas perilakunya. Penelitian yang dilakukan oleh Teoh dan Thong 1984 juga
176
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan bahwa perusahaan yang terdaftar di pasar saham akan mengungkapkan lebih banyak CSRD daripada yang tidak terdaftar. Ini merupakan
indikator bahwa perusahaan sadar bahwa apa yang dilakukannya terkait dengan pengungkapan tanggungjawab sosial-lingkungan akan membawa pengaruh yang
signifikan atas keberlangsungan hidup perusahaan tersebut.
177
Selain teori legitimasi, praktek pengungkapan sosial dapat dijelaskan dengan teori stakeholder. Baik teori legitimasi maupun teori stakeholders dikembangkan dari
perspektif teori ekonomi politik. Walaupun terdapat perbedaan antara kedua teori ini, namun keduanya sama-sama memberikan perhatian atas hubungan antara organisasi
dan lingkungan dimana organisasi tersebut menjalankan kegiatannya. Teori stakeholders mengakui bahwa terdapat sejumlah stakeholders dalam
masyarakat yang berinteraksi dengan cara yang dinamis dan kompleks. Teori stakeholders menjelaskan pengungkapan sosial perusahaan sebagai cara untuk
berkomunikasi dengan stakeholders. Semakin penting stakeholders bagi organisasi, maka semakin besar usaha yang dilakukan untuk mengelola hubungan tersebut.
178
177
Ibid. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk
menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari masyarakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan
sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Hal tersebut dapat mendorong atau membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi.
178
Ibid, hal. 10. Pandangan ini merefleksikan kerangka pertanggungjawaban yang dikemukakan oleh Gray yang menyatakan bahwa organisasi bertanggung jawab kepada semua
stakeholders untuk mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan. Analisis stakeholders memberikan kemampuan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang berkepentingan di
masyarakat kepada siapa organisasi dianggap bertanggung jawab. Dengan mempertimbangkan keberagaman stakeholders organisasi, dan secara khusus ketidakmampuan pengungkapan secara
umum untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan, pengungkapan tanggungjawab sosial
Universitas Sumatera Utara
BAB IV FAKTOR-FAKTOR HAMBATAN DALAM PENGATURAN CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY DI INDONESIA DALAM UPAYA PEMENUHAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE UNTUK MEWUJUDKAN
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
A. Faktor-Faktor Hambatan Dalam Pengaturan Corporate Social Responsibility
di Indonesia
1. Peranan Hukum Responsif Sebagai Pelaksanaan Pengaturan Corporate
Social Responsibility di Indonesia
Pelaksanaan CSR merupakan awal dari aspirasi masyarakat sekitar perusahaan-perusahaan Sumber Daya Alam yang mana mereka belum mendapat
sesuai yang memberikan manfaat atas adanya perusahaan yang berdiri. Sehingga pemerintah mulai khawatir dengan adanya perusahaan-perusahaan besar yang hanya
memikirkan keuntungan tanpa tanggung jawab sosial. Adanya Pasal 74 UUPT merupakan bentuk pemerintah yang aspiratif dalam mengatur dan membuat kepastian
hukum terhadap masyarakat. Dalam hal ini ternyata diberlakukannya CSR dalam UU Perseroan Terbatas pada tahun 2007 merupakan salah satu tipe hukum yaitu hukum
responsif.
menimbulkan konflik di antara stakeholders. Resolusi dari konflik ini merupakan refleksi dari besarnya kekuasaan dari kelompok stakeholders dalam lingkungan organisasi. Hal ini konsisten
dengan teori stakeholders yang menyatakan bahwa “ tujuan utama dari perusahaan adalah untuk mencapai kemampuan untuk menyeimbangkan konflik dari berbagai stakeholders dalam suatu
perusahaan”. Pengungkapan sosial merupakan strategi yang digunakan utnuk mengelola hubungan dengan stakeholders dengan mempengaruhi level permintaan yang berasal dari stakeholders yang
berbeda. Semakin penting stakeholders itu bagi kesuksesan organisasi, semakin besar kemungkinan organisasi akan memenuhi permintaannya.
Universitas Sumatera Utara