Perwujudan Prinsip Good Coorporate Governance di Indonesia” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun sudah ada
beberapa judul penelitian tentang CSR, tetapi jika dilihat dari rumusan masalah yang dibahas jelas nampak perbedaannya. Misalnya Tesis Hariyanto 087005007 dengan
judul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Stakeholder”, Tesis Masitah Pohan 027005018 dengan judul “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Untuk
Perlindungan Buruh”, Tesis Faisal 057005006 dengan judul “Analisis Yuridis Penerapan Manajemen Risiko di Dembaga Perbankan Dalam Mewujudkan Good
Coorporate Governance. Jadi, penelitian ini adalah asli dan menjunjung tinggi asas- asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan
masalah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Paradigma lama yang dikenal pada sistem liberal kapitalis klassik, perusahaan-perusahaan pada umumnya bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya, Direksi melakukan pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan, dan fungsi sosial perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan. Namun, setelah
bergesernya paradigma lama kepada paradigma baru, menimbulkan kesadaran- kesadaran perusahaan akan pembangunan yang berkelanjutan. Seperti yang
Universitas Sumatera Utara
disebutkan dalam World Business Council on Sustainable Development WBCSD bahwa dalam CSR mengenal suatu komitmen perusahaan untuk berperilaku etis
behavioral ethics dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sustainable economic development bersifat sukarela. Komitmen ini
tentunya sangat terasa akibatnya terhadap peningkatkan kualitas hidup stakeholders.
31
Komitmen perusahaan pada dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab
sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”.
32
Keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan, yang dimaksud adalah adanya keselarasan dalam pencapaian tujuan
bersama antara perusahaan dengan stakeholders tersebut sebagai dasar dalam penerapan CSR.
Perubahan paradigma tersebut, muncul sebagai akibat pembangunan berkelanjutan yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan akan pentingnya
perusahaan itu dapat hidup bertahan lama. Dengan demikian, pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam suatu kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena
ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Pendekatan ini disebut dengan prinsip no harm, pendekatan ini
31
Muh. Arief Effendi., “Implementasi GCG melali CSR” Artikel, Harian Suara Karya, Edisi Rabu, Tanggal 15 Maret 2006, Kolom Opini, hal. 6.
32
Hendrik Budi Untung., Loc. Cit., hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan secara gamblang bahwa ditempuh demi kepentingan bisnis yang bersangkutan. Artinya supaya bisnis dari perusahaan dapat berhasil dan bertahan
lama, perusahaan manapun dalam kegiatan bisnisnya dituntut atau menuntut dirinya untuk menjamin dan menghargai hak dan kepentingan semua yang terkait dengan
bisnisnya karena kalau salah satu saja dari pihak-pihak yang berkepentingan dirugikan, maka pihak tersebut tidak akan mau lagi menjalin kerja sama bisnis
dengannya juga akan menganggap bawa perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang harus diwaspadai dalam relasi bisnis selanjutnya. Maka konsep tanggung jawab
sosial perusahaan melalui pendekatan stakeholders merupakan jawaban untuk menjawab dengan sebisa mungkin untuk menghindari relasi yang buruk antara pelaku
bisnis perusahaan dengan stakeholders.
33
Sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap stakeholders, terlihat dari munculnya Pekerjaan Sosial Industri PSI yaitu sebagai lapangan praktik pekerjaan
sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial pada dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode pertolongan yang
bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dengan lingkungannya terutama lingkungan kerja.
34
Kontribusi yang dapat diberikan oleh stakeholders terhadap perusahaan misalnya dapat berbentuk keahlian, pengetahuan, peraturan yang dibutuhkan
perusahaan selama menjalankan kegiatan usahanya, modal, bahan baku produksi,
33
Ibid.
34
Edi Suharto., Op. cit., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
pasokan Sumber Daya Manusia yang memiliki persyaratan jabatan job requirement sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
35
Imbalan yang diharapkan akan diterima oleh pemangku kepentingan dari perusahaan dapat bermacam-macam dan sangat
bergantung kepada kepentingan dan tuntutan pemangku kepentingan tersebut. Imbalan yang diharapkan stakeholders dapat berupa dividen bagi pemegang saham,
gaji dan bonus yang memadai atas pasokan bahan baku yang berkelanjutan bagi pemasok, pembayaran pajak bagi pemerintah, serta keberadaan perusahaan yang
dapat membantu menyelesaikan masalah masyarakat bagi masyarakat sekitar. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengorganisasikan dan
mensistematiskan masalah yang dibicarakannya.
36
Maka tepatnya dalam kerangka teori digunakan teori yang berkenaan dengan keadilan dan teori stakeholders.
Hubungannya adalah bahwa penerapan CSR oleh perusahaan sangat bersinggungan dengan stakeholders dimana bahwa tanpa tanpa adanya CSR keadilan akan langka
ditemukan oleh para stakeholders begitu pula sebaliknya, tanpa stakeholders niscaya perusahaan akan banyak menuai masalah baik masalah profit maupun masalah
eksistensinya di mata stakeholders tersebut. Berikut ini teori keadilan dikemukakan Plato adalah, ”Nilai kebijakan yang
paling tertinggi”, dalam bahasa Inggris, ”Justice is the supreme virtue which
35
T. Donaldson, dan L.E Preston, “The Stakeholders Theory of Corporation: Concepts, Evidence and Implications”, Academy of Manahgement Review, Januari, 1995.
36
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 253.
Universitas Sumatera Utara
harmonize all other virtues”.
37
H.L.A. Hart mengemukakan keadilan mengarah kepada aspek hukumnya yaitu, ”Nilai kebajikan yang paling legal”, dalam bahasa
Inggrisnya, ”The most legal of vitues”, atau dengan meminjam istilah Cicera, menyebutkan tentang keadilan adalah habitus animi yakni merupakan atribut pribadi
personal atribute.
38
Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual individual virtue.
39
Apabila terjadi tindakan yang tidak adil unfair prejudice di dalam kehidupan manusia, maka sektor hukumlah yang sangat berperan
untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang the lost justice, Aristoteles menyebutnya sebagai keadilan korektif.
40
Keadilan menurut Aristoteles terbagi tiga yakni keadilan komutatif, keadilan distributif, dan keadilan hukum legal justice yaitu:
41
1. Keadilan komutatif adalah suatu kebijakan untuk memberikan kepada setiap
orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya to give each one his due. Mengusahakan keadilan komutatif ini adalah pekerjaanya para Hakim. Misalnya
menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan
keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain;
2. Keadilan distributif adalah sebagai suatu tindakan memberikan setiap orang apa
yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik merits dan kecuranganketercelaan demerits, yang merupakan pekerjaan yang
lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, dapat didistribusikan kepada yang
berhak sesuai dengan keadilan distributif itu; dan
37
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hal. 92.
38
Ibid.
39
Ibid, hal. 93.
40
Ibid.
41
Ibid, hal. 111-112.
Universitas Sumatera Utara
3. sementara itu, keadilan Hukum legal justice adalah; Keadilan yang telah
dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditagakkan melalui poses hukum, umumnya di
pengadilan.
John Rawls tidak tinggal pula mengemukakan mengenai keadilan ini. Keadilan menurutnya merupakan campuran dari unsur-unsur keadilan yang
disebutkan oleh Aristoteles dan mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum. Menurutnya John Rawls, “Keadilan akan diperoleh jika
dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing justice fairnes”. Prinsip keadilan menurut John Rawls
dapat dirinci sebagai berikut:
42
1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar aqual liberties;
2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang
positif yaitu; a.
Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah maximum minimorium; dan
b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.
Teori tentang keadilan menurut paham utilitarian banyak mengemukakan teori-teori manfaat adalah jika mesin diukur dari manfaatnya utility, maka institusi
sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya itu. Karena itu, unsur ”manfaat” utility merupakan kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum
seperti terlihat dalam kalimat berikut ini, ”...and the test of what laws there ought to
42
Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
be, and what laws ougnt to be obeyed, was utility”. Mengenai hal ini dikenal dengan ungkapan the greatest happiness of the greatest number.
43
Teori manfaat utilitarisme yang relevan untuk mempertajam pembahasan dalam penelitian ini diambil dari teroi yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham
dalam karya tulisannya “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” disebutkannya bahwa;
44
“Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang
seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat
erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam sumua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita
pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang
manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka tapi pada kenyataannya ia akan tetap berada dibawah kekuasaan mereka. Asas manfaat
utilitas mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan
nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya, dengan dorongan sesaat
ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang”.
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi
43
Ibid., hal. 95.
44
Ian Saphiro., Asas Moral dalam Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bekerjasama Dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institusi, 2006, hal. 13, Jeremy
Bentham 1748 -1832 , Karyanya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan locus classicus tradisi
utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi
sebanyak mungkin orang.
Universitas Sumatera Utara
kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu.
45
Utilitarisme disebut juga teori teleologis dari kata Yunani telos = tujuan , sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya
tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.
46
Teori utilitas lebih menekankan bahwa pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya the greatest
good for the greatest number. Artinya, bahwa hal yang benar didefinisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya
bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan
relative paling banyak digunakan. Aliran atau paham Utilitarium sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.
47
Perlu dipahami bahwa utilitarisme menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik
45
Ibid., hal. 14, lihat juga Johannes Ibrahim, Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.2, hal. 14 yang menyebutkan
teori keutamaan moral yang dikemukakan oleh Adam Smith “Keadaan batin yang waspada, jeli, dan sangat hati-hati, selalu penuh perhatian terhadap konsekuensi-konsekuensi yang paling jauh dari setiap
tindakan, untuk memperoleh kebaikan yang paling besar dan untuk menghindari kejahatan yang paling besar.” Keutamaan ini menyangkut kebijakan yang ditempuh hendaknya tidak saja memperhatikan
kepentingan untuk masa kini, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang ditempuh.
46
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisus, 2000, hal. 67.
47
Erni R. Ernawan, Op.cit., hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
buruknya-tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat,
perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini memang menentukan seluruh kualitas moralnya.
48
Prinsip utilitarisme menyatakan bahwa, “Suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah
total utilitas yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan.
49
Sehubungan dengan itu pengaturan CSR menuju GCG baik di negara Cina maupun di negara Indonesia perlu memperhatikan teori-teori yang disebutkan di atas.
Khususnya perusahaan-perusahaan yang sangat besar peranannya terhadap lingkungan sekitar untuk memperhatikan kalangsungan hidup masyarakat setempat.
Perusahaan merupakan pihak yang kaya dibandingkan dengan masyarakat stakeholders yang masih banyak miskin dan perli diperhatikan.
Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya utilitarianisme yang
selalu ada, tetapi tidak merupakan daftar utama kekhawatiran Bentham ketika ia memikirkan tentang redistribusi yang dapat memaksimalkan hasil bersih manfaat
sosial. Pertanyaan yang jelas mendesak bagi Bentham, mengingat besarnya kekayaan
48
K. Bertens, Op. cit.
49
Manuel G. Velasquez, dalam Bismar Nasution I, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
yang dimiliki oleh segelintir orang dan begitu banyaknya kaum miskin pedesaan, juga kaum miskin kota yang makin meningkat, adalah apakah redistribusi dari kaum kaya
ke kaum miskin akan menghasilkan hasil bersih perbaikan sosial?. Bentham menjawab bahwa retribusi dari kaum kaya ke kaum miskin akan menghasilkan hasil
bersih perbaikan sosial, mengingat keyakinannya tentang apa yang kemudian dikenal sebagai asas manfaat marjinal yang semakin menurun. Meskipun kekayaan
meningkatkan kebahagiaan, namun Bentham menekankan bahwa “sepuluh ribu kali jumlah kekayaan tidak akan membawa sepuluh ribu kali jumlah kebahagiaan”.
Bahkan Bentham meragukan apakah itu akan membawa kebahagiaan dua kali lipat?. Alasannya adalah bahwa dampak kekayaan dalam menghasilkan kebahagiaan terus
menurun ketika jumlah kekayaan yang diperoleh seseorang meningkat dengan kata lain, jumlah kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu partikel kekayaan setiap partikel
mempunyai besaran yang sama akan semakin berkurang pada setiap partikel-partikel kedua akan menghasilkan kebahagiaan yang lebih sedikit dibandingkan yang
pertama, yang ketiga lebih sedikit dari yang kedua, dan seterusnya.
50
Asas manfaat marjinal yang semakin menurun sejak itu menjadi standar dalam ilmu ekonomi dan ekonomi politik. Jika segala sesuatu lainnya dianggap
setara, dengan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang sebagai tujuan, akan cukup alas an untuk mengambil kekayaan dari yang paling kaya dan
50
Ian Saphiro, Op.cit., hal. 24, pernyataan ini merupakan pernyataan Jeremy Bentham dalam tulisannya The Psychology of Economic Man, dicetak ulang dalam W. Stark, ed ., Jeremy Bentham’s
Economic Writings. Vol.3 London : George Allen Unwin, 1954, hal. 113. Judul ini diberikan oleh Stark untuk koleksi tulisan-tulisan Bentham yang mempunyai pengaruh terhadap psikologi ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
mengalihkannya ke orang yang kurang kaya sampai akhirnya keberuntungan semua orang menjadi setara atau ketidaksetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari
kesetaraan yang ada begitu kecil perbedaannya dari kesetaraan yang sempurna sehingga perbedaan itu tidak ada artinya. Selanjutnya, Bentham menyatakan
“Semakin besar kekayaan seseorang individu, semakin besar pula kemungkinan bahwa, pengurangan sejumlah tertentu dari kekayaannya, sama sekali tidak berarti
ada yang dikurangkan dari jumlah kebahagiaannya.”
51
Menurut teori ini suatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan. Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Dalam rangka pemikiran utilitarisme utilitarianism kriteria untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah
perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup, misalnya, merupakan tanggung jawab moral induvidu atau korporasi? Utilitarisme menjawab:
karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan. Korporasi atau perusahaan tentu bias meraih banyak manfaat dengan
menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri, hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu, menurut utilitarisme upaya pembangunan
51
Ibid., hal. 24-25
Universitas Sumatera Utara
berkelanjutan sustainable development menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan.
52
Ada suatu pola pikir masyarakat yang membuatnya mudah untuk dipahami adalah bahwa konsep yang paling masuk akal dan adil bagi masyarakat adalah konsep
utilitas manfaat. Suatu masyarakat dapat diatur dengan baik bila perusahaan mampu memaksimalkan saldo bersih dari kepuasan. Prisnsip ini merupakan pilihan yang
diperuntukkan bagi banyak orang. Prinsip keadilan adalah prinsip dari kebijaksanaan yang masuk akal dan diberlakukan bagi suatu konsepsi kesejahteraan bersama.
53
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan cost benefit analysis
analisis biaya manfaat yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme bias dihitung juga sama seperti menghitung untung dan rugi
atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Keputusan diambil pada manfaat terbesar dibanding biayanya.
54
Prinsip utilitarisme dianggap mengasumsikan bahwa kita bias mengukur dan menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu
tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan tersebut, dan selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar
atau biaya yang paling kecil.
55
52
K. Bertens., Op. cit., hal. 66.
53
John Rawls, A theory of Justice, London: Harvard University Press, 1971, hal. 23-24.
54
K. Bertens, Op. cit., hal 66-67.
55
Manuel G. Velasquez., Op. cit., hal.13.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai teori manfaat utilitarisme, John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya berjudul, “Utilitarianism”,
diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran utilitas masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill
mempostulatkan bahwa, “Suatu nilai tertinggi, kebahagiaan, yang mengijinkan kesenangan heterogen dalam berbagai bidang kehidupan”. Juga disebutkannya
bahwa, “Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang
tahan lama”. Teori ini dikenal dengan teori utilitarianisme eudaemonistik. Kriteria utilitas menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang
lebih awet sebagai hasil yang diinginkan, yaitu kebahagiaan.
56
Berdasarkan teori keadilan dan teori manfaat yang telah dipaparkan di atas, jelas sekali hubungan dari penagturan dan pelaksanaan CSR untuk kepentingan
stakeholders dan kepentingan perusahaan yang terjadi secara sustainable development sehingga perusahaan dimungkinkan dapat bertahan lama.
Mengenai apa sebenarnya stakeholders itu, berikut ini dipaparkan pula stkakeholders tersebut karena stakeholders inilah yang perlu diperhatikan oleh
56
Peter Pratley, Etika Bisnis The Essence of Business Ethic, diterjemahkan oleh Gunawan Prasetio, Yogyakarta: Penerbit Andi bekerjasama dengan Simon Schuster Asia Pte.Ltd,1997, hal.
191-192, James Mill 1773-1836, ayah John Stuart Mill, adalah seangkatan dan menjadi pengikut Bentham yang antusias, membesarkan anaknya, John Stuart Mill 1806-1873 , dengan mendoktrinnya
paham utilitarianisme. Teori Utiliarianisme eudaemonistik yang dipopulerkan oleh John Stuart Mill memiliki kriteria tindakan utilitarianisme yang berbeda dengan teori utilitarianisme hedonistic yang
dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yang mempertahankan hasil terakhir haruslah kesenangan individual atau ketiadaan sakit. Kriteria utilitas hedonistik adalah kesenangan Lihat juga buku ini hal.
190.
Universitas Sumatera Utara
perusahaan-perusahaan yang menerapkan CSR. Tanpa stakeholders perusahaan tidak akan bisa menerapkan CSR dan tentunya tidak mampu untuk beroperasi. Untuk lebih
jelasnya, maka berikut ini dipaparkan teori-teori yang berkenaan dengan stakeholders tersebut.
Kata stake dapat diartikan sebagai kepentingan. Selanjutnya, stakeholders diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang memiliki satu atau lebih
kepentingan stake yang berbeda dalam sebuah perusahaan. Stakeholders dapat diartikan juga sebagai setiap orang atau sekelompok orang yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktik atau tujuan dari sebuah perusahaan.
57
Stakeholders yang jamaknya diterjemahkan dengan para pihak, Yusuf Wibisono meminjam istilah yang dipergunakan oleh Wheelen dan Hunger adalah,
“pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya
kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan”. Defenisi lain dilontarkan Rhenald Kasali yang menyatakan bahwa yang dimaksud
para pihak adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Stakeholders
57
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op, cit, hal. 47. Gunawan Widjaja dkk. Mengilustrasikan sebagai berikut, sekelompok orang berencana untuk menonton film di bioskop dan
dilanjutkan dengan makan malam. Setiap orang dalam kelompok tersebut memiliki kepentingan stake dalam keputusan kelompok tersebut. Walaupun belum ada orang yang mengeluarkan uangnya,
tetapi setiap orang dalam kelompok tersebut melihat adanya kepentingan pribadinya misalnya jenis film yang disukai, makanan yang disukai, dan lain-lain yang diharapkan dapat terakomodasi oleh
kelompok tersebut. Stake juga dapat diartikan sebagai tuntutan atas hak yang dimiliki oleh seseorang.
Universitas Sumatera Utara
bisa diartikan pula setiap orang yang mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan, ibarat sebuah jagad yang dikelilingi planet-planet, maka perusahaan juga dikelilingi
dengan stakeholders-nya.
58
Jelas, antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan
mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Perusahaan selera publik, misalnya akan mendorong kebijakan yang akan diambil oleh perusahaan. Jadi,
Stakeholders dapat terpengaruhi dan juga dapat mempengaruhi tindakan, keputusan, kebijakan, atau praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam dunia usaha yang global dan sangat kompetitif sekarang ini, banyak pihak yang dapat menjadi stakeholders perusahaan. Dari sudut pandang perusahaan
ada beberapa orang atau sekelompok orang yang secara pasti dapat digolongkan sebagai stakeholders perusahaan, yaitu mereka yang memiliki legitimasi, kepentingan
langsung, atau hak dalam kegiatan perusahaan. Mereka dalam golongan ini di antaranya adalah pemegang saham, karyawan dan pelanggan. Tetapi dalam sudut
pandang masyarakat yang lebih plural, para stakeholders tidak hanya mereka yang disebutkan di atas, tetapi juga termasuk pesaing usaha, komunitas sekitar, LSM, pers,
dan masyarakat pada umumnya, yang sebenarnya tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan inti dalam perusahaan.
58
Yusuf Wibisono., Op. cit, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan stake seseorang atau sekelompok orang atas suatu perusahaan dapat timbul karena dua macam hak, yaitu hak hukum legal right dan hak moral
moral right, seperti kutipan berikut ini:
59
1 Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki hak hukum legal right
adalah orang yang memiliki kepentingan berdasarkan aturan yang berlaku bahwa mereka harus diperlakukan sebagaimana aturan yang berlaku tersebut;
2 Sedangkan mereka yang memiliki hak moral moral right adalah seseorang
atau sekelompok orang yang kepentingannya timbul secara moral atau etika dimana perlakuan yang mereka terima adalah semata-mata berdasarkan moral
dan etika dari perusahaan tersebut, yang sebenarnya tidak wajib.
David Wheeler dan Maria Sillanpaa dalam bukunya ”The Stakeholders Corporation: A Blueprint for Maximizing Stakeholders Value”, menggolongkan
stakeholders berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholders terhadap suatu issue yang dapat diketegorikan ke dalam beberapa kelompok
stakeholders yaitu stakeholders primer, sekunder dan stakeholders kunci. Sebagai gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan, program, dan proyek
pemerintah publik dapat dikemukakan kelompok stakeholders tersebut sebagai berikut:
60
1 Stakeholders primer meliputi pemegang saham, investor, karyawan, pelanggan,
komunitas lokal, pemasok dan rekanan bisnis. Stakeholders primer atau utama merupakan stakeholders yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan:
a.
Masyarakat dan tokoh masyarakat; b.
Pihak Manajer publik. 2
Stakeholders sekunder meliputi pemerintah, institusi sipil, LSM, pers, pesaing usaha, asosiasi pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Stakeholders
59
Gunawan Widjaja., dan Yeremia Ardi Pratama., Op, cit, hal. 48.
60
Ibid, hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
pendukung sekunder adalah stakeholders yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek,
tetapi memiliki kepedulian concern dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah: a.
Lembaga pemerintah aparat dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung.
b. Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki
kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan. c.
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM setempat yaitu: LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang
memiliki concern termasuk organisasi massa yang terkait.
d. Perguruan Tinggi yaitu: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting
dalam pengambilan keputusan pemerintah. e.
Pengusaha atau badan usaha yang terkait. Stakeholders kunci merupakan stakeholders yang memiliki kewenangan
secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholders kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai level-nya, legisltif, dan instansi. Misalnya, stakeholders
kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek di level daerah kabupaten seperti:
61
1. Pemerintah Kabupaten.
2. DPR Kabupaten.
3. Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
Karakteristik stakeholders selain pengelompokan berdasarkan hubungan antara stakeholders dengan issu, stakeholders publik atau apa yang diistilahkan
dengan publik relevan peneliti mengelompokkannya berdasarkan karakteristik pengorganisasiannya, yaitu:
62
61
Ibid.,hal. 40.
62
Ibid., hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
1. Stakeholders publik yang tidak terorganisir yaitu stakeholders individu yang
tidak dapat diwakili oleh pihak lain. Masyarakat, tokoh masyarakat, pengamat, dan sebagainya.
2. Stakeholders publik yang terorganisir yaitu stakeholders yang terhimpun
dalam suatu organisasi atau kelompok tertentu, dimana pimpinan atau anggota yang ditunjuk dapat mewakili organisasinya memberi pandangan dan sikap
dalam proses pengambilan atau implementasi suatu keputusan.
3. Stakeholders yang terorganisir secara semu yaitu stakeholders yang memiliki
organisasi atau kelompok tertentu, tetapi tidak memiliki perwakilan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin dan anggota diberi kebebasan bersikap
dan berpandangan sehingga biasanya anggotanya tidak bisa bertindak atas nama organisasi. Misalnya, beberapa organisasi informal di masyarakat, LSM,
dan sebagainya.
Sementara itu, Rhenald Kasali membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:
63
1 Stakeholders internal dan stakeholders eksternal. Stakeholders internal adalah
stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham shareholders. Sedangkan stakeholders
eksternal adalah stakeholders yang berada di luar lingkungan organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat,
pemerintah, pers, kelompok social responsible investor, licensing partner dan lain-lain;
2 Stakeholders primer, stakeholders sekunder, dan stakeholders marjinal. Tidak
semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholders yang paling penting disebut
stakeholders primer, stakeholders yang kurang penting disebut stakeholders marjinal. Urutan prioritas ini bagi setiap perusahaan berbeda-beda, meskipun
produk atau jasanya sama. Urutan ini juga tidak kaku, bisa berubah dari waktu ke waktu;
3 Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan
konsumen dapat disebut stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholders pada organisasi
seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial;
4 Proponents, opponents dan uncommitted. Di antara stakeholders ada
kelompok yang memihak organisasi proponents, menentang organisasi opponents dan ada yang tidak peduli atau mengabaikan uncommitted.
Organisasi perlu mengenal stakeholders yang berbeda-beda ini. Agar dengan
63
Rhenald Kasali dalam Yusuf Wibisono., Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
jernih dapat melihat permasalahan, menyusun rencana dan strategi untuk melakukan tindakan yang proposional; dan
5 Silent majority dan vocal minorty. Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam
melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal aktif namun ada pula yang
menyatakan secara silent pasif.
Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan perusahaan, sehingga bersifat controllable. Stakeholders internal antara lain terdiri
dari; pemegang saham; direksi dan manajer profesional; karyawan; dan keluarga karyawan.
Stakeholders eksternal adalah pihak-pihak yang berada di luar kendali perusahaan uncontrollable. Pimpinan perusahaan perlu membekali dirinya dengan
teknik untuk mendesain organisasinya sesuai dengan keadaan lingkungan eksternalnya. Beberapa stakeholders eksternal perusahaan dapat dilihat sebagai
berikut; konsumen; penyalur dan pemasok; pemerintah; pers; pesaing; dan komunitas masyarakat.
2. Landasan Konsepsional