Sepertinya halnya pemberlakuan pengaturan CSR baik dalam bentuk UU maupun guidelines atau standart antara negara Indonesia dan negara Cina adalah
sebagai berikut:
1. Indonesia
Sistem perekonomian negara Indonesia berasaskan kekeluargaan dan berdasarkan demokrasi ekonomi, serta pelaksanaan pengaturan CSR sebenarnya tidak
terlepas dari makna pancasila itu sendiri yang merupakan landasan filosofi. Dalam konstitusi , prinsip CSR ini berkaitan dengan maksud dan tujuan bangsa dan
bernegara sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang menegaskan bahwa, ”...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,......”.
Selain dalam pembukaan UUD 1945 juga terdapat dalam Pasal 33 Ayat 1 dan 4 yaitu, Ayat 1 disebutkan, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asa kekeluargaan”, dalam Ayat 4 disebutkan, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Oleh karena itu sifat CSR yang ada di Indonesia yang pada mulanya bersifat sukarela menjadi wajib bagi perusahaan-perusahaan untuk menjalankan program
Universitas Sumatera Utara
CSR. Dan tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR dalam aktivitas usahanya. Sehingga agar kewajiban ini bersifat imperatif maka harus
disertai dengan adanya regulasi sehingga muncullah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas UUPT yang memasukkan klausul CSR
dalam Pasal 74 UUPT tersebut. Selama ini pelaksanaan aturan CSR dibarengi oleh undang-undang yang lain
yang diharapkan mendukung pelaksanaan CSR di Indonesia, seperti UUPLH, UU Penanaman Modal, UU Ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah terkait BUMN.
Dengan adanya aturan yang lebih khusus membahas CSR memang harus dibarengi oleh sanksi apa yang akan diterapkan dalam pelaksanaan CSR. Kalau dalam UU
selain UUPT sudah diatur sanksinya tapi masih bersifat umum. Selain itu pengaturan yang ada di Indonesia masih bersifat khusus yaitu hanya
perusahaan yang bergerak dalam bidang Sumber Daya Alam yang wajib terkena CSR sehingga perusahaan-perusahaan lain tidak wajib melakukan CSR. Dalam hal ini akan
berkaitan dengan pelaporan tahunan perusahaan, bursa efek Indonesia bukan lembaga yang secara khusus memeriksa laporan CSR, akan tetapi peranan bursa efek
Indonesia lebih karena adanya kewajiban keterbukaan di pasar modal, sehingga belum ada penekanan yang jelas terkait seberapa pentingnya laporan tahunan
perusahaan yang melaporkan kegiatan CSR mereka. Bahkan belum ada sebuah kesadaran bagi perusahaan akan pentingnya laporan CSR.
Pada dasarnya pembentukan pengaturan terkait CSR juga tidak terlepas dari adanya teori stakeholders dan teori legitimasi. Dalam hal ini adanya pengaturan CSR
Universitas Sumatera Utara
dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak terlepas peran dari pemerintah mencoba untuk mempertimbangkan kondisi
stakeholders yang berada di sekitar perusahaanperusahaan besar yang terdapat di Indonesia. Selain itu tidak mengherankan jika saat ini masyarakat resah, bahkan
ketakutan akan dampak dan implikasi langsung yang ditimbulkan terhadap aktivitas perusahaan yang melakukan eksplorasi sumber daya alam. Memang pengaturan CSR
di Indonesia lebih dikhususkan pada perusahaan sumber daya alam, seperti PT Freeport, PT. Exxon Mobil, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan perusahaan SDA
tersebut terkadang menimbulkan damapak psikologis yang buruk bagi masyarakat. Hal tersebut juga dapat menimbulkan berbagai konsekuensi logis bagi masyarakat
sekitarnya. Diantaranya adalah berubahnya struktur dan tatanan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kondisi fisik dan kerusakan lingkungan, serta beban psikologis
dan trauma masyarakat sekitar. Atas dasar kekhawatiran dari masyarakat sekitar peruasahaan-perusahaan
SDA tersebut yang membuat pemerintah untuk menggoalkan aturan terkait CSR di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sehingga
dengan itu teori stakeholder yang mengartikan bahwa perusahaan akan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan kepada stakeholder khususnya
masyarakat sekitar agar perusahaan tersebut mampu untuk bertahan dalam usahanya. Pada saat ini kegiatan bisnis perusahaan eksplorasi pertambangan dituntut untuk
mengerjakan lebih dari sekedar meghasilkan keuntungan atau laba perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai wujud tanggungjawab sosial perusahaan eksplorasi pertambangan haruslah memberikan manfaat pada masyarakat yang ada di lingkungan perusahaan.
Selain teori stakeholders bila dikaitkan dengan teori legitimasi, proses pengaturan di Indonesia ternyata terpengaruh akan teori legitimasi. Hal tersebut
dikarenakan pengungkapan tanggungjawab sosial dilakukan perusahaan dalam upayanya untuk mendapatkan legitimasi dari komunitas dimana perusahaan itu
berada. Pengungkapan CSR yang dilakukan memang sudah diatur dalam Pasal 66 ayat 1 dan 2 c, pengungkapan tersebut dengan cara dicantumkan dalam laporan
tahunan perusahaan. Pasal 66 UUPT berbunyi: 1.
Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah tahun buku
Perseroan berakhir.
2. Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memuat
sekurang kurangnya laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Laporan tahunan yang diatur dalam UUPT aturannya memang belum tegas untuk menekan perusahaan dalam melaksanakan CSR mereka. Bahkan sanksi atau
peringatan yang diberikan pada perusahaan jika laporan tahunannya tidak mencantumkan CSR belum jelas.
172
Hal tersebut menjadi koreksi tersendiri dan dibutuhkan kontrol dari pemerintah serta masyarakat akan keberadaan peruasahaan di
Indonesia. Terlebih lagi ternyata laporan tahunan yang mencamtukan kegiatan- kegiatan CSR tersebut bukan merupakan hal yang urgen bagi kepentingan
perusahaan. Sehingga peranan teori legitimasi sebagai dasar bahwa pentingnya
172
Yusuf Wibisono., Loc. cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
laporan tahunan untuk diatur lebih tegas lagi dalam hal mencantumkan program- program real CSR dari suatu perusahaan. Karena secara tidak langsung memang
laporan tahunan merupakan bentuk legitimasi perusahaan dari masyarakat sekitar terhadap eksistensi dan kebermanfaatan suatu perusahaan.
2. Cina