Dasar hukum pencatatan perkawinan

68 BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG ITSBAT NIKAH

C. Urgensi Pencatatan Perkawinan

1. Dasar hukum pencatatan perkawinan

Sebagai sebuah institusi tertua, perkawinan merupakan lembaga hukum yang sangat sentral. Campur tangan intervensi negara terhadap lembaga perkawinan dapat dipahami, karena akibat yang ditimbulkan dari sebuah perkawinan sangat luas sehingga negara menginginkan agar semua akibat tersebut berjalan teratur dan pasti. Pada dasarnya, pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam Al-Qur’an maupun hadist. Namun baik Al-Qur’an maupun hadist mengandung semangat ketentuan pencatatan dan pengumuman yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan menghindari lahirnya sengketa. Misalnya, di dalam Al-Qur’an perintah pencatatan terdapat dalam transaksi muamalat yaitu pada Q.S. Al Baqarah ayat 282. Ayat ini dikenal oleh para ulama dengan ayat al mudayanah ayat utang piutang yang terjemahannya adalah sebagai berikut : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu, tulislah mu`amalah mu itu, kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah Maha mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 137 Dapat disimpulkan bahwaayat tersebut berbicara tentang anjuran, bahkan menurut sebagian ulama bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya. Selain itu, ayat ini juga menekankan perlunya menulis utang walaupun hanya sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya. 138 Selain ketentuan yang diberikan Al-Qur’an tersebut, semangat pencatatan terkhusus untuk perkawinanterdapat dalam hadist Rasulullah SAW yang artinya “umumkanlah berita pernikahan” Tujuannya untuk menghindarkan adanya pengingkaran yang menyebabkan sengketa di kemudian hari. 139 . Hadist lain juga mengatakan, Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: ”umumkanlah pernikahan itu dan jadikanlah tempat mengumumkannya di masjid-masjid dan tabuhlah rebana- rebana”. 140 137 Departemen Agama RI, Op. Cit, h.48. 138 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta, Lentera Hati, 2004, h.602. 139 Hadist Riwayat Imam Ahmad Nomor 1072. 140 Hadist Riwayat Turmudzi Nomor 1009. Kandungan hadist-hadist ini diaplikasikan dalam bentuk i`lan al nikah mengumumkan suatu perkawinan di tengah masyarakat setempat yang pada masa awal Islam merupakan salah satu hal sunnah dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Contoh dari i’lan al nikah adalah khutbah nikah, nyanyianrebana dan walimah al `urusy. Menurut pendapat yang kuat, i`lan al nikah merupakan salah satu syarat sahnya aqad nikah. Artinya, apabila perkawinan tidak diumumkan, maka perkawinan tersebut tidak sah. Bahkan menurut pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara perkawinan dan perzinahan adalah bahwa perkawinan diumumkan sedangkan perzinahan tidak diumumkan. 141 Selain itu, terdapat beberapa hal yang juga dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam. Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain Al- Qur`an yang bertujuan untuk mencegah tercampurnya Al-Qur`an dari yang lain. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur lisan.Kedua sebagai lanjutan dari alasan pertama, bahwa masyarakat pada masa awal Islam sangat mengandalkan ingatan hafalan sehingga mengingat suatu peristiwa perkawinan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimah al `urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi di samping saksi syar`i tentang suatu perkawinan. Keempat, adanya kesan perkawinan yang Walaupun pencatatan perkawinan belum dilakukan pada masa Rasulullah, namun spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan telah diaplikasikan meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana.Dari ayat Al-Quran dan beberapa hadits yang telah dikemukakan, terlihat bahwa keharusan pencatatan perkawinan tidak disebutkansecara tersurat sehingga para ulama kurang memberikan perhatian khusus terhadap hal tersebut. 141 Mahar dan Adab Pernikahan dalam Islam,http:www.indonesianschool.org, diakses 22 Februari 2015 pukul 16.53 WIB. berlangsung pada masa awal-awal Islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana calon suami dan calon istri berada dalam satu wilayah yang sama sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan. 142 “Pencatatan perkawinan yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan pernikahan i`lan al nikah. Lebih jauh Dengan alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika kehidupan yang lebih kompleks mengakibatkan banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, ditambah dengan adanya keterbatasan saksi hidup yang tidak lagi bisa diandalkan karena hilang akibat kematian maupun adanya kenyataan bahwa manusia dapat mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar inilah diperlukan sebuah bukti perkawinan yang abadi, disebut dengan akta nikah yang diperoleh secara legal melalui pencatatan perkawinan. Sehubungan dengan hal ini, menurut Atho` Mudzhar dalam bukunya Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasimengatakan bahwa : 142 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, h.121. lagi, pencatatan perkawinan ini dianggap lebih maslahat terutama bagi perempuan dan anak-anak”. 143 a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 jo UU Nomor 23 tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk; Setelah mengetahui dasar pencatatan perkawinan menurut Al-Quran dan hadist, selanjutnya penting untuk mengetahui kedudukan pencatatan perkawinan dalam tata hukum Indonesia yang tercantum dalam berbagai peraturan perundang- undangan sebagai berikut : b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; d. Kompilasi Hukum Islam; e. Peraturan Menteri Agama R.I. Nomor 1 Tahun 1976 tentang Penunjukkan Pegawai untuk Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah serta Menetapkan Wilayahnya; f. Peraturan Menteri Agama R.I. Nomor 2 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pencatat Nikah; g. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah; h. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji tanggal 9 Maret 1992 tentang Petunjuk Pengisian Formulir Nikah, Talak, Cerai, Rujuk. Terkhusus dalam sumber hukum perkawinan Indonesia diatur mengenai pencatatan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 UUP 143 M. Atho` Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi dalam ibid, h.135. 11974 yang mengatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun UUP 11974tidak menjelaskan secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan, namun dalam penjelasan umum dapat dilihat bahwa tiap-tiap perkawinan sama halnya seperti kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan atau akta resmi yang dimuat dalam suatu daftar pencatatan. 144 Begitu juga dalam PP 91975 sebagai perangkat organik UUP 11974 tidak ditemukan definisi pencatatan perkawinan. Namun jika dilihat dari konteks kalimat yang digunakan, dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan hukum mencatat perkawinan oleh PPN untuk selanjutnya terwujud dalam bentuk akta yang dijadikan sebagai bukti sah terjadinya peristiwa perkawinan. Memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah sebuah usaha yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan dan dipakai sebagai alat bukti yang autentik. 145 Pengaturan lebih lanjut mengenai pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat 1 KHI yang mengatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tercapainya ketertiban perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 5 KHI jelas terlihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditinggalkan ketika melaksanakan perkawinan. 144 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, http:www.lbh-apik.or.iduu-perk_penjelasan.htm diakses 28 Maret 2015 pukul 15.10 WIB. 145 Pasal 2 PP 91975. Jika ditinjau dalam konteks sejarah lahirnya UUP 11974 di Indonesia bermula pada tahun 1973, saat Pemerintah Indonesia masa orde baru mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan RUUP 1973 sebagai upaya unifikasi hukum perkawinan nasional. 146 Salah satu regulasi yang diberlakukan dalam RUUP 1973 ini adalah pemberlakuan pencatatan perkawinan sebagai bagian dari syarat sahnya perkawinan di samping regulasi lainnya. Dalam perumusannya terdapat 11 pasal yang disoroti dan ditentang keras oleh umat Islam yang dipandang bertentangan dengan hukum Islam yang salah satunya berkaitan dengan regulasi pencatatan perkawinan. 147 Dalam pembahasan ditingkat DPR sebagai lembaga legislatif Republik Indonesia terjadi pertentangan hebat mengenai pencatatan perkawinan, terutama dari Fraksi Persatuan Pembangunan FPP yang secara tegas mengajukan kritik keras terhadap Pasal 2 RUUP 1973 yang menjadikan pencatatan nikah sebagai syarat sah pekawinan. Dalam pandangan umum yang disampaikan oleh FPP yang diwakili oleh Ischak Moro ditegaskan bahwa Pasal 2 RUUP1973 bisa menimbulkan kekacauankarena akan menimbulkan cidera hukum bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan tidak terjaminnya pelaksanaan Pasal 29 UUD 1945 mengenai kemerdekaan menjalankan perintah agama. Hal ini disebabkan bahwa 146 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum perkawinan di Indonesia didasarkan berbagai hukum dan peraturan perundang-undangan warisan Kolonial Belanda, yaitu: i hukum Islam bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam; ii Huwelijk Ordonantie Christian Indonesiers Staadblad 1936 No. 74 bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen di wilayah Pulau Jawa, daerah Minahasa dan Ambon; iii BWKUH-Per bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dengan beberapa perubahan; iv Hukum adat masing-masing bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara keturunan Timur Asing; serta v Regelingopdegemengde Huwelijken Staadblad 1898 No. 158 untuk orang yang melangsungkan perkawinan campuran. 147 Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intelectual Responses to“New Order” Modernization in Indonesia, diterjemahkan oleh Ahmadie Thaha, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim Jakarta, Lingkaran Studi Indonesia, 1987, h.190. rumusan Pasal 2 RUUP1973 pada awalnya memandang pencatatan perkawinan lebih diutamakan daripada hukum agama. Pencatatan perkawinan memang tidak ditolak oleh FPP,bahkan dianggap penting, tetapi seharusnya tidak dianggap sebagai syarat utama sahnya perkawinan. Dikhawatirkanapabila pasal ini menjadi aturan hukum yang bersifat mengikat, akan berakibat perkawinan dengan pencatatan belaka dianggap sah oleh hukum sipil, tetapi tidak sah menurut hukum Islam. 148 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. Namun akhirnya tercapai kompromi, sehingga RUUP1973 dapat disahkan pada tanggal 15 Oktober 1974 menjadi UUP 11974. Kompromi yang tercapai mengenai regulasi pencatatan perkawinan adalah memisahkan aturan berkaitan dengan sahnya perkawinan menurut agamakepercayaan dan kewajiban pencatatanperkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2UUP 11974 sehingga berbunyi sebagai berikut: 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 1 April 1975, pemerintah mengundangkan aturan pelaksana UUP 11974 yaituPP 91975. Pencatatan perkawinan bagi umat Islam menurut Pasal 2 ayat 2 PP 91975 pengaturannya diserahkan pada Menteri Agama sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 148 Ibid, h.195. jo. Undang-Undang Nomor32 Tahun 1954 yang teknis pelaksanaannya kemudian ditangani oleh PPN pada KUA Kecamatan. Pencatatan perkawinan tidak hanya menimbulkan kontroversi dalam sejarah pengaturan tetapi juga dalam tahapan pelaksanaanya. Hingga saat ini, para ahli hukum Indonesia juga dihadapkan pada perbedaan pandangan terkait kedudukan hukum pencatatan perkawinan di Indonesia. Persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional adalah hal persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Hilir mudik perdebatan berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa pencatatan. 149 Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa UUP 11974 tidak mengatur mengenai kedudukan hukum pencatatan nikah, hanya disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 150 Namun dalam KHI secara tegas dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu keharusan. 151 Pada hakikatnya, baik ketentuan agamakepercayaan dan pencatatan perkawinan keduanya memiliki kedudukan yang sangat penting. Pencatatan perkawinan adalah sebuah prosedur administrasi yang mutlak diperlukan keberadaannya meskipun tidak mengurangi kadar sahnya suatu perkawinan. Dalam pencatatan perkawinan dapat dilihat adanya ikatan hukum agama dan Hanya melalui pencatatan perkawinanlah suatu perkawinan dapat memperoleh akta nikah yang merupakan alat pembuktian sempurnadari sebuah perkawinan antara dua orang manusia. 149 Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional dan Pergulatannya, http:www. nasihudin.compencatatan-perkawinan-dalam-sistem-hukum-nasional-dan-pergulatannya43 diakses 29 Maret 2015 pukul 14.00 WIB 150 Pasal 2 ayat 2 UUP 11974. 151 Pasal 5 ayat 1 KHI. hukum negara yang sejatinya harus berjalan seiring dan sejalan. Beberapa pendapat ahli yang dapat dijadikan rujukan mengenai kedudukan pencatatan perkawinan dalam hukum perkawinan di Indonesia adalah : Pendapat ahli hukum Bagir Manan yang menyimpulkan bahwa : “Pencatatan perkawinan adalah suatu yang penting saja untuk dilakukan, oleh karena itu tidak mengurangi keabsahan perkawinan itu sendiri. Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah untuk menjamin ketertiban hukum legal order yang berfungsi sebagai instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum selain sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Maka, sebagai seorang warga negara dari sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum tentu pencatatan perkawinan ini menjadi bagian penting karena mengakibatkan konsekuensi terhadap status hukum itu sendiri”. 152 “Dalam konteks ke-Indonesiaan, walaupun perkawinan tanpa pencatatan dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinantanpa pencatatan dapat mengakibatkan mudharat bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR Ulil Amri, Al- Quran memerintahkan setiap muslim untuk mentaati ulil amri selama tidak bertentangan, tetapi justru pencatatan perkawinan sangat sejalan dengan Al-Quran”. Selanjutnya, M.Quraish Shihab memberikan pandangan dengan pernyataannya sebagai berikut: 153 “Suatu perkawinan dianggap sah bila memenuhi dua persyaratan. Pertama, memenuhi ketentuan hukum materil, dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam. Kedua, memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah dicatatkan pada Pegawai Pencatat Bahkan A. Mukti Arto menegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan penentu diakuinya suatu perkawinan atau tidak yakni sebagai berikut : 152 Andi Samsu Alam, “Beberapa permasalahan Hukum di Lingkungan Uldilag”, JurnalMahkamah Agung RI Tahun 2009, h.7. 153 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung, Mizan, 1996, h.204. Nikah yang berwenang. Bentuk perkawinan yang hanya memenuhi persyaratan materil, dianggap tidak pernah ada atau tidak diakui”. 154 “Perkawinan tanpa pencatatan hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan. Namun perkawinan tanpa pencatatan bisa menjadi haram apabila dikemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar. Peserta ijtimak ulama sepakat perkawinan harus dan wajib dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menghindari dampak negatif dari perkawinan tanpa pencatatan”. Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI dan ijtimak seribu ulama di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur,yang dilaksanakan pada tanggal 25-28 Mei 2006 menyatakan bahwa : 155 “Perbuatan hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan hukum, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum, maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, Dari pernyataan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan memiliki kedudukan hukum yang sangat penting karena pencatatan perkawinan merupakan tolak ukur berjalannya seluruh pengaturan hukum keluarga terkhusus hukum perkawinan yang dibuat oleh legislator. Secara ideal, pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang sama pentingnya dengan pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Kedua ketentuan tersebut bersifat dwitunggal yang bersifat satu kesatuan dan tidak dapat dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur perbuatan hukum yang ditentukan oleh undang-undang. Apabila dipandang dari persfekif teori hukum dinyatakan bahwa : 154 A. Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan dalam Iskandar Ritonga, Hak-hak Wanita dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Nuansa Madani, 1999, h.64-65. 155 Khaerudin, Op.Cit, h.9. sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum”. 156 Dengan demikian suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia hukum positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam UUP 11974 yaitu memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan perkawinan. Kedua unsur tersebut berfungsi secara kumulatif dan bukan alternatif. Unsur pertama berfungsi sebagai pertanda keabsahan dan unsur kedua sebagai pertanda hal tersebut merupakan perbuatan hukum. 157 Terlepas dari teori hukum di atas dan dilatarbelakangi dengan adanya kenyataan bahwa meskipun pencatatan perkawinan penting namun tidak mengurangi keabsahan suatu perkawinan, menyebabkan dalam praktek kehidupan bermasyarakat suatu perkawinan dapat dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, perkawinan dilaksanakan hanya menurut aturan Pasal 2 ayat 1 UUP 11974 yang disebut juga dengan perkawinan tanpa pencatatan. Kedua, perkawinan dilakukan menurut aturan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUP 11974 secara kumulatif yang Perkawinan dengan tata cara demikianlah yang mempunyai akibat hukum, yakni yang mendapat pengakuan dan perlindungan hukum sehingga eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui. 156 Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994, h.126. 157 A. Ghani Abdullah, “Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan”, ,Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun 1995, h. 48. disebut juga dengan perkawinan dicatat. 158 Namun, perkawinan tidak dicatat harus dibedakan terlebih dahulu dengan penamaan perkawinan tidak dicatatkan nikah sirri.Perkawinan tidak dicatat menurut Neng Djubaedah adalah berbeda dengan perkawinan sirri. Kedua bentuk perkawinan tersebut bersifat sah namun memiliki akibat hukum yang jauh berbeda. 159 Perkawinan tidak dicatat adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan hukum Islam, tetapi belum didaftarkan di KUA Kecamatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana di Wilayah Kecamatan setempat, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 160 a. Adanya perkawinan yang dilakukan sebelum lahirnya UUP 11974; Pada istilah perkawinan tidak dicatat bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur dengan sengaja yang mengiringi itikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Perkawinan tidak dicatat memenuhi rukun dan syarat berdasarkan hukum Islam namun tidak dilakukan pencatatan atas perkawinan tersebut. Suatu perkawinan tidak dicatat dengan alasan sebagai berikut : b. Faktor biaya, yaitu adanya ketidakmampuan membayar administrasi pencatatan; c. Kurang kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan; d. Karena dirasakan adanya kesulitandalam praktek di beberapa daerah di Indonesia ini terutama di desa-desa untuk mendapatkan pelayanan dari 158 Ibid. 159 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 2010, h.25. 160 Ibid. instansi pencatatan perkawinan, karena masih kurangnya pegawai yang tersedia untuk itu dan belum meratanya instansi yang mengatur pencatatan perkawinan di seluruh desa; e. Perkawinan telah dicatat namun karena suatu hal yang menyebabkan hilangnya akta nikah; f. Kelalaian dalam pencatatan nikah sehingga perkawinan menjadi tidak tercatat. 161 Sedangkan istilah perkawinan tidak dicatatkan terkandung itikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinannya memang dengan sengaja tidak dicatatkan. Hal yang dapat menjadi penyebab suatu perkawinan tidak dicatatkan adalah perkawinan yang secara sengaja dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu misalnya karena adanya ketakutan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, secara sengaja melakukan penyelundupan hukum atas aturan hukum tertentu seperti pelanggaran aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, poligami yang dilakukan tanpa mendapat izin poligami terlebih dahulu poligami liar dan lain sebagainya.Karena itu Neng Djubaedah menyepadankan perkawinan tidak dicatat berbeda dengan perkawinan tidak dicatatkan dimana indikator pembeda diantara keduanya adalah adanya unsur kesengajaan atau tidak. 162 161 Ibid.h.26. 162 Ibid.

2. Prosedur pencatatan perkawinan