Akibat Hukum Perkawinan Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

wali nikah dan PPN. 106 Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

D. Akibat Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan bersama antara sesama manusia berlainan jenis untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga dalam kehidupan suami istri. Dengan adanya suatu perkawinan yang sah menurut agama, kepercayaan dan hukum, maka perkawinan itu akan membawa pada akibat-akibat hukum tertentu. Akibat-akibat hukum itu membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tertentu mencakup hal-hal sebagai berikut : Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. 1. Kedudukan suami dan istri Baik UUP 11974 dan KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut tentu saja sangat bergantung pada maksimalisasi peran dan tanggung 106 Pasal 11 PP 91975. jawab masing-masing pihak, baik istri maupun suami. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya disebut sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. 107 “bagi istri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat dari istri.” Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki sepakat untuk melakukan perkawinan dan mencatatkannya berarti mereka telah saling berjanji untuk taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama tersebut berlangsung, bahkan terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadist Nabi. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 228 yang terjemahannya menyatakan : 108 Setingkat dalam ayat tersebut merujuk kepada peran suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami, begitu pula sebaliknya. 109 Pengaturan hak dan kewajiban bagi suami istri dapat ditemukan dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP 11974 dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 KHI. Di dalam kedua peraturan tersebut hanya ditegaskan mengenai kewajiban 107 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, h.180. 108 Departemen Agama RI, Op.Cit, h.36. 109 Amir Syarifuddin, Op. Cit, h.159. suami atau istri karena pada dasarnya hak akan lahir secara timbal balik atas pelaksanaan kewajiban itu. Pengaturan ketentuan kewajiban suami istri dalam KHI lebih sistematis dibanding dalam UUP 11974. Hal ini karena KHI dirumuskan setelah 17 tahun sejak UUP 11974 dikeluarkan. Sementara dalam UUP 11974 pengaturan hak suami dan istri lebih bersifat umum.Kewajiban suami dan istri terdiri atas : a. Kewajiban bersama Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Baik suami maupun istri keduanya memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat di mana suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. 110 Selain itu adanya kewajiban suami istri untuk saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin satu kepada yang lain. Suami istri wajib saling menjaga dan memelihara kehormatan. Keseimbangan kedudukan tersebut terlihat bahwa keduanya berhak untuk melakukan perbuatan hukum bahkan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya. Dengan adanya ketentuan ini, tidak ada lagi dominasi dari salah satu pihak dalam kehidupan perkawinan. 111 110 Pasal 79 ayat 1 KHI. 111 Pasal 33 UUP 11974 dan Pasal 77 ayat 2 KHI. Begitupun terhadap anak, baik suami maupun istri berkewajiban mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. 112 Untuk mewujudkan kehidupan sakinah, mawaddah dan rahmah maka suami dan istri harus tinggal dalam tempat kediaman yang sama dan tetap yang ditentukan bersama oleh suami dan istri. 113 1 Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu; Tempat kediaman menurut Pasal 81 KHI adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan. Tempat kediaman disediakan untukmelindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain,sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempatmenyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikandengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Selain kewajiban bersama, suami maupun istri memiliki hak bersama pula. Hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut : 2 Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinyadan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut dengan mushaharah; 3 Hubungan saling mewarisi di antara suami istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain bila terjadi kematian. 114 112 Pasal 77 ayat 3 KHI. 113 Pasal 32 UUP 11974. 114 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.163. b. Kewajiban suami Di dalam UUP 11974 hanya disebutkan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Namun didalam KHI dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal80 yang berbunyi : 1 Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-halurusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. 2 Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya 3 Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajarpengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. 4 Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c biaya pendidikan bagi anak. 5 Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6 Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut padaayat 4 huruf a dan b. 7 Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 5 gugur apabila istri nusyuz. 115 Selain kewajiban-kewajiban yang telah disebutkan di atas, juga terdapat kewajiban suami yang beristri lebih dari satu yang tercantum dalam Pasal 82 KHI, yaitu sebagai berikut : 1 Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggaldanbiaya hidup kepada masing-masing 115 Nusyuz terdapat dalam Pasal 84 KHIyaitu suatu keadaan di mana istri tidak mau menjalankan kewajibannya. Tolak ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkangterhadap suaminya, tidak mematuhi perintahnya yang bersifat baik, meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya jika ada dugaan suami melarang, dan masih banyak lagi bentuk- bentuk nusyuz dari seorang istri. Lebih lanjut lihat Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, h.54-55. istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlahkeluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan; 2 Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempatkediaman. Secara umum kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi dalam dua bagian: 1 Kewajiban yang bersifat materi yang disebut sebagai nafakoh. Pengertian nafakoh menurut kesepakatan ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup 9 sembilan bahan pokok, pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan dan papan. 2 Kewajiban yang tidak bersifat materi, contohnya adalah menggauli istrinya secara baik dan patut, menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada perbuatan dosa atau maksiat, mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 116 c. Kewajiban istri Selain dari kewajiban-kewajiban suami yang dengan kata lain disebut sebagai hak istri, seorang istri juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang merupakan hak dari seorang suami. 117 116 Ibid, h.160-161. 117 Pasal 84 KHI. Dalam UUP 11974 disebutkan bahwa kewajiban istri hanya sebatas mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik- baiknya. Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 84 KHI yang menguraikan kewajiban-kewajiban istri sebagai berikut : 1 Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam; 2 Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. 2. Kedudukan harta perkawinan Pengaturan harta perkawinan dalam UUP 11974 diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Sedangkan dalam KHI harta perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Harta perkawinan secara umum terdiri atas : a. Harta bersama Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. 118 Apabila suami atau istri ingin bertindak atas harta tersebut harus terlebih dahulu meminta persetujuan kedua belah pihak.KHI juga mengenal adanya harta bersama namun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. 119 Dalam Pasal 86 ayat 1 KHI maupun dalam kitab-kitab fiqih tidak dikenal adanya pencampuran harta suami istri setelah berlangsungnya perkawinan, suami memiliki hartanya sendiri dan istri memiliki hartanya sendiri pula. Sebagai kewajibannya, suami memberikan sebagian hartanya kepada istrinya atas nama nafaqoh, yang untuk selanjutnya digunakan istri bagi keperluan rumah tangganya. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun harta KHI menyatakan bahwa baik suami maupun istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. 118 Pasal 35 ayat 1 KHI. 119 Pasal 85 KHI. sendiri. 120 Begitupun istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya. 121 1 Harta bersama sebagaimana disebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud; Jika terdapat perselisihan antara suami istri terkait masalah harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan ke Pengadilan Agama. Harta bersama dalam perkawinan dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, dengan adanya akad syirkah antara suami dan istri baik dibuat pada saat akad nikah maupun sesudahnya. Kedua, adanya perjanjian untuk itu pada saat berlangsungnya akad nikah. Bila dalam majelis akad nikah dibuat perjanjian untuk penggabungan harta maka apa yang diperoleh suami atau istri menjadi harta bersama. Dengan semata telah terjadinya akad nikah tidak dengan sendirinya terjadi harta bersama. Adapun jenis-jenis harta bersama di dalam Pasal 91 KHI dinyatakan sebagai berikut: 2 Harta bersama yang berwujud dapat meliput benda tidak bergerak,benda bergerak dan surat-surat berharga; 3 Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban; 4 Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Dalam hal pertanggungjawaban hutang ketentuan terhadap harta perkawinan adalah sebagai berikut : 120 Pasal 89 KHI. 121 Pasal 90 KHI. 1 Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing; 2 Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; 3 Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami; 4 Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta istri. 122 b. Harta di bawah penguasaan masing-masing Harta dibawah penguasaan masing-masingterdiri atas harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Terhadap harta benda ini suami maupun istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Jika memperhatikan asal usul harta yang terdapat suami-istri dapat disimpulkan 4 empat sumber, yaitu: 1 Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri; 2 Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka menikah; 3 Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan; 4 Harta yang diperoleh selama masa perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah satu seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan. Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya dapat 122 Pasal 93 KHI. ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur. 3. Kedudukan anak Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat sebagai keturunan kedua setelah ayah dan ibu. 123 Kategori anak menurut hukum perkawinan Indonesia yaitu UUP 11974, anak adalah setiap orang yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan orang tuanya. Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga. Dalam Islam anak adalah manusia yang dilahirkan dan tercipta melalui ciptaan Allah melalui perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Di dalam Al- Qur’an, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlâd yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad, tetapi disebut al-jan ĭn. 124 Kategori ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk kategori anak. Sedangkan menurut KHI anak adalah orang yang belum genap berusia 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri. 125 123 W.J.S. Poerdarminta, Op.Cit, h.38-39. 124 Pasal 47 ayat 1 UUP 11974. 125 Pasal 98 KHI. Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan. Penentuan batasan umur sebagai indikator kategori anak ini penting terkait dalam hal perwalian atau kemampuan anak untuk berdiri sendiri. Namun dalam hal pemberian waris dan nasab kategori menurut batasan umur tidak memberikan pengaruh apapun terhadap hak anak dalam suatu perkawinan. Baik UUP 11974 maupun KHI menyebutkan bahwa anak terdiri atas : a. Anak sah Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. 126 Selain dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah, anak sah juga dapat dihasilkan dari proses pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan kemudian dilahirkan oleh istrinya tersebut. 127 b. Anak yang lahir di luar perkawinan Baik di dalam UUP 11974 maupun dalam KHI tidak ditemukan pengertian anak yang lahir di luar perkawinan. Namun digunakan penafsiran a contrario 128 Pasal 43 ayat 1 UUP 11974 menentukan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan sehingga dapat disimpulkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir sebagai akibat perkawinan tidak sah. 126 Pasal 42 KHI. 127 Pasal 99 KHI. 128 Penafsiran a contrario yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Lihat. Kapan dan bagaimana hakim melakukan penemuan hukum, http: www.hukumonline.com klinik detail lt4f0aa8449485b kapan –dan –bagaiman -hakim melakukan-penemuan-hukum? diakses 7 februari 2015 pukul 09.07 WIB. keluarga ibunya. Ketentuan ini diperluas oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 46PUU-VIII2010. 129 Sejalan dengan Pasal 43 UUP 11974, Pasal 100 KHI juga mengatakan bahwa setiap anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Untuk dapat memperoleh kedudukan sebagai anak sah yang memiliki hubungan perdata dan nasab dari ayah maka perkawinan antara ayah dan ibu dari anak tersebut harus dilaksanakan secara sah. Perkawinan yang sah tersebut tidak hanya ditinjaudari perspektif agama namun Selanjutnya, pada Pasal 44 UUP 11974 hukum memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan itu. Atas gugatan penyangkalan ini pengadilan akan memberikan keputusan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut. Bahkan di dalam Pasal 102 KHI telah dinyatakan bahwa gugatan tersebut dapat diajukan dalam 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari setelah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Penyangkalan yang dilakukan setelah lampau waktu tidak dapat diterima. 129 Secara singkat, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 46PUU-VIII2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat 1 UUP 11974 bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”Dengan adanya putusan MK No. 46PUU-VIII2010, hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir danatau hukum. juga harus memenuhi persyaratan administrasi yang telah ditentukan oleh negara. Karena melalui pemenuhan persyaratan administrasi sebuah perkawinan, anak hasil perkawinan tersebut dapat memperoleh akta lahir. Akta lahir seorang anak memiliki kedudukan yang sangat penting. Di dalam Pasal 55 UUP 11974 dan Pasal 103 KHI disebutkan bahwa asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan oleh sebuah akta kelahiran. Akta kelahiran tersebut bersifat autentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau oleh Pengadilan Negeri setelah melakukan pemeriksaan yang teliti atas permohonan yang bersangkutan. Melalui akta kelahiran dapat diketahui bahwa seorang anak adalah anak yang sah hasil dari perkawinan yang sah. Dalam sebuah keluarga, anak dan orang tua memiliki hak dan kewajiban satu sama lain. Hak orang tua adalah kewajiban bagi anak, begitu pula sebaliknya. Menurut Pasal 46 UUP 11974, berikut adalah kewajiban anak terhadap orang tua: “Anak berkewajiban untuk menghormati dan mentaati kehendak orang tuanya dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia juga wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.” Sebaliknya, kewajiban anak terhadap orang tua adalah : a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. 130 130 Pasal 45 UUP 11974. Apabila perkawinan kedua orang tua putus, maka atas permohonan dari pihak suami atau istri, pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami atau istri yang benar-benar beritikad baik, untuk memelihara dan mendidik anak mereka secara baik;Bagi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, masih berada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya; 131 b. Orang tua mewakili anak mereka tersebut, mengenai segala perbuatan hukum didalam dan di luar pengadilan; 132 c. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin sebelumnya, kecuali jika kepentingan anak tersebut menghendaki; 133 Berbicara mengenai kewajiban orang tua terhadap tersebutdi atas sangat dipengaruhi oleh batasan umur yang dalam hal ini baik UUP 11974 dan KHI memiliki batasan umur yang berbeda. Dalam Pasal 47 UUP 11974 dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kekuasaan orang tua dalam hal ini termasuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Sedangkan menurut Pasal 98 KHI disebutkan bahwa : 131 Pasal 47 ayat 1 UUP 11974. 132 Pasal 47 ayat 2 UUP 11974. 133 Pasal 48 UUP 11974. “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.” Kewajiban orang tua terhadap anak dengan memandang batasan umur hanya berlaku terhadap kewajiban memelihara dan mewakili segala perbuatan hukum didalam dan di luar pengadilan. Sedangkan hak anak atas nasab dan waris tidak memandang batasan umur. Dalam hal anak masih berada di bawah batasan umur seperti yang ditetapkan oleh UUP 11974 dan KHI namun tidak berada di bawah kekuasaan orang tua maka segala kewajiban orang tua tersebut dilaksanakan oleh seorang wali. Secara sederhana, anak tersebut diletakkan di bawah perwalian yang dapat diartikan sebagai berikut : “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak berada dibawah kekuasaaan orang tua.” 134 134 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta, Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2004, h.147. Sedangkan perwalian menurut KHI terdapat dalam Pasal 107 dengan ketentuan sebagai berikut : a.Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan; b. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya; c.Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. d. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. 135 kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Selain itu, Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum danmemindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi,pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi 136 a. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : UUP 11974 juga memberikan ketentuan kekuasaan perwalian di dalam Pasal 49 yakni sebagai berikut : 1 Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; 2 Ia berkelakuan buruk sekali. b. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut. Adapun kewajiban-kewajiban wali terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya tercantum dalam Pasal 110 sampai dengan Pasal 112 KHI yang berbunyi sebagai berikut : a. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengansebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilanlainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya; 135 Pasal 108 KHI. 136 Pasal 109 KHI. b. Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada dibawahperwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawahperwaliannya yang tidak dapat dihindarkan; c. Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, danmengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya; d. Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat 4 Undang-undang No.1tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat 3 harus dibuktikan dengan pembukuan yangditutup tiap satu tahun satu kali; e. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bilayang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah; f. Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihanantara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkankepadanya; g. Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjangdiperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`rufkalau wali fakir. 68 BAB III KETENTUAN UMUM TENTANG ITSBAT NIKAH

C. Urgensi Pencatatan Perkawinan