19
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
E. Pengertian Perkawinan
Membicarakan mengenai perkawinan seolah tidak ada habisnya. Perkawinan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Melalui
perkawinan lahir hak dan kewajiban yang sangat beragam baik untuk ayah dan ibu sebagai orangtua, maupun bagi anak dan kelompok masyarakat lainnya.
Perkawinan sebagai perbuatan hukum juga menimbulkan tanggung jawab antara suami, istri dan anak, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Dalam Al-Qur’an kurang lebih 70 tujuh puluh ayat yang membahas masalah keluarga dan
perkawinan. Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah yang diridhoi
Allah SWT.
26
Perkawinan adalah sebuah ikatan yang sah dan suci antara dua insan manusia berbeda jenis untuk membentuk sebuah keluarga berlandaskan pada
kasih dan sayang. Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang pada akhirnya secara luas akan membentuk sebuah negara. Keluarga dapat diibaratkan
sebagai sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak,
masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi
26
Khaerudin,“Itsbat Nikah dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, Tahun 2013, h.1.
sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang terbaik. Tidak ada umat tanpa keluarga, tidak tercipta masyarakat tanpa keluarga.
27
Secara etimologi perkawinan berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata
kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-
laki dan perempuan sebagai suami istri. Begitu
penting dan sentralnya fungsi suatu perkawinan dalam masyarakat, maka pelaksanaannya pun harus benar-benar selaras dan sejalan dengan ketertiban
hukum dalam masyarakat.
28
Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah.
29
Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan
al-dammuwa al-jam’u atau ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.
30
27
Mahmud Muhammad al-Jauhari, al-akhawat al muslimat wa Bina al-Usrah al- Qur’anyah, Terjemahan Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayanti, Membangun Keluarga
Qur’ani, Panduan untuk Wanita Muslimah, Jakarta, Amzah, 2005, h.3.
28
W J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 453.
29
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an, 1973, h. 468.
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, h.38.
Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata
nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjianakad dan bersetubuhberkumpul. Jika dilihat pendefinisian yang diberikan UUP 11974 disebutkan bahwa :
“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan pengertian ini dapat dilihat bahwa suatu ikatan dapat
diidentifikasikan sebagai perkawinan apabila tujuan yang ingin dicapai adalah membentuk keluarga yang bahagia. DalamUUP 11974 perkawinan tidak hanya
berbicara mengenai hubungan perdata suami istri, tetapi juga berbicara mengenai hubungan yang bersifat lahir dan bathin menuju kebahagiaan yang berlandaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dalam Pasal 2 KHI juga diatur bahwa:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaituakad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinahan.
Menurut Sayuti Thalib : “Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih
mengasihi, tentram dan bahagia”.
31
31
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986, h.45.
Terdapat suatu definisi yang cukup maju dari pendapat-pendapat klasik yaitu menurut Tahir Mahmood yang mendefinisikan :
“perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh
kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.”
32
“Perkawinan adalah persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersamabersekutu yang kekal”.
Selanjutnya jika merujuk pada pendapat para ahli, R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit
dan Melis, menyatakan bahwa :
33
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum Oleh karena itu yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu hubungan
hukum antara perempuan dan laki-laki yang didasari atas rasa cinta kasih menuju kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Melalui perkawinan lahir
pula hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, hubungan hukum perkawinan harus dilindungi oleh landasan hukum yang kuat agar pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut dapat berjalan dengan baik dan tertib. Sedemikian luas pengaruh perkawinan maka ketika berbicara mengenai
perkawinan setidaknya harus dilihat dari tiga segi pandangan :
Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 21 yang artinya berbunyi “perkawinan adalah
32
Ibid, h.42.
33
R. Soetojo Prawirohamidjijo, h.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Jakarta, Sinar Grafika, 2002, h.61.
perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitssaqan ghalidzan”.
34
a. cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian karena adanya:
b. cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan
sebagainya.
35
2. Perkawinan dilihat dari segi sosial. Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belumtidak menikah.
36
3. Pandangan perkawinan dari segi agama Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci.
Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi
pasangan hidup dengan mempergunakan nama Allah.
37
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan
dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
Sebagaimana diuraikan dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 1 yang artinya adalah :
34
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Bogor, PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009, h.81.
35
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1986, h.47.
36
Ibid. h.48.
37
Ibid.
mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.”
38
1. Hukumnya beralih menjadi sunnah. Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian sarjana
hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal. Oleh karena itu, berdasarkan pada perubahan illah nya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum
melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram.
Dengan illah seseorang apabila dipandang dari segi jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka
baginya menjadi sunnah untuk melakukan perkawinan.
39
2. Hukumnya beralih menjadi wajib. Dengan illahseseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah
mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga jika tidak kawin akan terjerumus kepada
perbuatan maksiat, maka menjadi wajiblah baginya untuk kawin.
40
3. Hukumnya beralih menjadi makruh. Dengan illahseseorang apabila dipandang dari sudut pertumbuhan
jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak dan belum ada biaya untuk hidup, sehingga jika ia kawin hanya akan membawa
38
Departemen Agama RI, Op. Cit, h.77.
39
Sayuti Thalib, Op.Cit, h.49
40
Ibid.
kesengsaraan hidup bagi anak dan istrinya, maka makruhlah baginya untuk kawin.
41
4. Hukumnya beralih menjadi haram. Dengan illahapabila seorang laki-laki hendak mengawini seorang wanita
dengan maksud menganiaya atau memperdayainya maka haramlah bagi laki-laki itu untuk kawin dengan perempuan yang bersangkutan sebagaimana ditegaskan
dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 24 dan ayat 25 serta dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 231. Ketentuan demikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang hendak mengawini
seorang wanita walaupun tidak ada niat dan maksud menganiaya atau memperdayainya sebagai ketentuan ayat-ayat yang bersangkutan tetapi menurut
perhitungan yang wajar dan umum, bahwa perkawinannya itu akan berakibat penganiayaan secara langsung bagi wanita yang bersangkutan.
42
1. Asas kesukarelaan Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang
pria dan seorang wanita yang mengandung hubungan keperdataan. Asas-asas hukum perkawinan Islam secara umum adalah kesukarelaan, persetujuan kedua
belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk selama- lamanya, dan monogami terbuka yang akan dijelaskan sebagai berikut :
Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam. Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami tetapi juga
41
Ibid.
42
Ibid, h.50.
antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.
43
2. Asas persetujuan kedua belah pihak Asas persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis dariasas
yang pertama. Ini berarti tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan calon mempelai wanita harus diminta oleh orang tua
atau walinya dan diamnya calon mempelai wanita dapat diartikan sebagaipersetujuan.
Dalam sebuah hadist diceritakan bahwa Khansa` bintu Khidam Al- Anshariyyah RA mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki
ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Muhammad SAW, hingga akhirnya beliau membatalkan
pernikahannya.
44
Jika calon suami atau calon istri tidak memberikan pernyataan setujunya untuk kawin, maka mereka tidak dapat dikawinkan. Persetujuan tentunya hanya
dapat dinyatakan oleh orang yang cukup umur untuk kawin baik dilihat dari keadaan tubuhnya maupun dilihat dari kecerdasan pikirannya yang dalam istilah
Islam disebut akil baligh.
.
Hadist nabi tersebut mengatakan bahwa tanpa persetujuan pernikahan dapat dibatalkan. Persetujuan yang dibuat dalam keadaan pikiran
yang sehat dan bukan karena paksaan.
45
43
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Radja Grafindo Persada, 2004, h.139.
44
HR. Al-Bukhari No. 5138.
45
Mohammad Daud Ali, Op. Cit, h.140.
3. Asas kebebasan memilih pasangan Asas kebebasan memilih pasangan juga disebutkan dalam sunnah Nabi.
46
Diceritakan oleh Ibnu Majah bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh
ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia Jariyah dapat memilih untuk meneruskan
perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan
orang lain yang disukainya.
47
4. Asas kemitraan suami istri Dengan demikian, setiap pihak bebas memilih
pasangannya dan jika tidak suka boleh membatalkan perkawinan.
Dalam beberapa hal kedudukan suami istri adalah sama, namun dalam beberapa hal berbeda.
48
Asas kemitraan suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat sifat asal dan pembawaan. Suami menjadi
kepala keluarga sedangkan istri menjadi penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
49
5. Asas untuk selama-lamanya Asas untuk selama-lamanya menunjukkan bahwa perkawinan
dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup yang terdapat dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21. Karena asas ini
pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara untuk bersenang-
46
Ibid.
47
HR. Ibnu Majah nomor 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimakumullahu dalam Al-Jami’ush Shahih 364. Hadist ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.
48
Q.S. An-Nisaa ayat 34 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 187.
49
Mohammad Daud Ali, Op. Cit, h.141.
senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi
Muhammad. Perkawinan dilaksanakan untuk selama-lamanya tanpa diperjanjikan jangka waktunya. Tujuan perkawinan adalah untuk membina cinta dan kasih
sayang selama hidup serta melanjutkan keturunan.
50
6. Asas monogami terbuka Pada prinsipnya perkawinan Islam menganut asas monogami, namun
dalam hal-hal tertentu dibolehkan berpoligami. Terjemahan Q.S. An-Nisa’ ayat 3 mengatakan bahwa laki-laki boleh mempunyai maksimal empat orang istri. Syarat
utamanya adalah bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 129 Allah berfirman bahwa tidak seorang manusia pun yang dapat berlaku
adil, karenanya kawinilah seorang wanita saja. Poligami hanya untuk keadaan darurat, agar terhindar dari dosa.
51
1. Asas bahagia dan kekal Selain asas-asas di atas juga di kenal asas-asas yang terdapat dalam UUP
11974 yakni sebagai berikut :
Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material.
50
Ibid.
51
Ibid.
2. Asas pencatatan perkawinan Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan berupa suatu akta resmi.
3. Asas monogami Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan. 4. Asas kematangan jiwa raga
Undang-undang ini menganut asas bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan seperti batas
umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju
kelahiran yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal itu, maka UUP 11974 menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
sembilan belas tahun bagi pria dan 16 enam belas tahun bagi wanita. 5. Asas mempersulit perceraian
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di muka sidang pengadilan.
6. Asas keseimbangan Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan
diputuskan bersama oleh suami-istri.
52
Konstitusi telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. Namun
sejatinya hak yang diberikan tersebut harus diimbangi dengan pelaksanaan perkawinan yang sah tidak hanya secara agama namun juga secara hukum. Karena
perkawinan melahirkan banyak konsekuensi yang hanya bisa terakomodir apabila perkawinan tersebut dicatatkan sehingga memiliki kepastian hukum. Konsekuensi
perkawinan adalah sebagai berikut:
52
Penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, http:www.lbh- apik.or.iduu-perk_penjelasan.htm diakses 7 Februari 2015 pukul 16.15 WIB.
1. Konsekuensi yuridis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan ini merupakan lembaga yang harus
diakui oleh hukum sebagaimana harus pula diakui oleh masyarakat, sehingga dijamin keutuhan dan keberlangsungannya dalam sebuah tatanan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. 2. Konsekuensi biologis
Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan memberikan kebebasan untuk berhubungan seksual yang kemudian melahirkan pula hubungan-hubungan
lain kaitannya dengan akibat dari hubungan itu berupa anak, dan lain sebagainya.
3. Konsekuensi sosial Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan terbentuknya
sruktur sosial baik keluarga inti maupun keluarga samping yang melahirkan pranata sosial di dalamnya, sebagai cikal bakal sebuah masyarakat.
4. Konsekuensi politis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan dapat berimplikasi pada status
kewarganegaraan, indikasi kedewasaan, status marital demografis, dan sebagainya.
5. Konsekuensi ekonomis Bahwa ikatan suami istri atau perkawinan mengakibatkan adanya
pernafkahan, persatuan pendapatanpenghasilan, hubungan kewarisan dan sebagainya.
53
F. Tujuan Perkawinan