1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila sebagai Philosophie of Grondslag menjadi pandangan dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila lahir sebagai
kristalisasi nilai-nilai luhur yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat Indonesia, kemudian dituangkan dalam lima butir sila yang saling berkaitan satu
dengan yang lain. Ibarat bangunan maka Pancasila berbentuk piramid, sebagai lantai dasarnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
4
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama mengamanatkan pengakuan bangsa Indonesia akan eksistensi
Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya. Oleh karena itu sebagai umat yang mengakui Tuhan, warga negara Indonesia harus taat kepada perintah Tuhan-
nya. Bagi orang-orang yang dianggap mampu,
5
4
Sila Pertama Pancasila Sebagai Fondamen Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Thamrin Dahlan m.kompasiana.compostread4679333sila-pertama-pancasila-sebagai-
fondamen-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara.html, diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 15.43 WIB.
5
Mampu mengandung arti memiliki kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan untuk memenuhi biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini merupakan persayaratan
suatu perkawinan. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, 2007, h.44, definisi mampu
dapat dilihat juga dalam Pasal 5 UUP 11974 mengenai permohonan poligami bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami adalah apabila suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, juga di dalam Pasal 55 KHI beristri lebih dari seorang hanya dapat dilakukan apabila suami mampu berlaku adil.
Tuhan memerintahkan untuk melaksanakan perkawinan sebagai upaya membentengi diri dari segala hal-hal
yang negatif dan mengundang dosa. Sebagai suatu perintah Tuhan, tentunya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan rohaniagama. Selain
itu, perkawinan mengandung unsur lahirjasmani karena melalui menikah
manusiadapat memperoleh keturunan sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur rohaniagama tetapi juga memiliki unsur lahirjasmani.
6
Perkawinan juga sangat erat kaitannya dengan status manusia sebagai makhluk sosial. “A human being is zoon politicon, in other words is social
being.”
7
setiap manusia adalah zoon politicon, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial.Kutipan tersebut merupakan salah satu pendapat dari seorang
filsuf Yunani,Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya. Zoon
politicon merupakan panggilan dasar manusia, bahwa manusia pada hakikatnya selalu memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Lebih
lanjut lagi, seorang ahli sosiologi Indonesia Nana Supriatna mengatakan “Manusia adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki kecenderungan menyukai
dan membutuhkan kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut kebutuhan sosial social needs.”
8
Kecenderungan tersebut lahir karena secara kodrati manusia tidak dapat hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan manusia lain. Untuk
itulah manusia membutuhkan lembaga perkawinan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup baik rohani maupun jasmani di samping juga untuk memenuhi naluri sosial
6
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1966, h.2.
7
Lihat Aristoteles, Politics, dalam John Berseth, Dover Publication, New York : 2000. Aristoteles tidak memisahkan politik dan masyarakat. Meskipun, zoon politicon diartikan
masyarakat berada diantara kedua hubungan politik dan sosial.
8
Pengertian dan Definisi Makhluk Sosial Menurut Para Ahli http:carapedia.com pengertian_definisi mahluk_sosial_menurut_para_ahli_info960.htmldiakses 4 Desember 2014
pukul 16.43 WIB.ss
bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut telah tertuang di dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21 yang artinya adalah sebagai berikut :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berfikir.” Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan manusia harus diatur agar
tercapai ketertiban dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu sebagai suatu organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, negara harus membuat
rangkaian peraturan yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban tersebut, termasuk mengenai perkawinan.
9
Hal ini sejalan dengan Teori Perjanjian Masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes bahwa, “sekelompok manusia
yang tadinya hidup sendiri diadakan perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan dan menertibkan kehidupan bersama
sehingga terbentuklah negara”.
10
Negara Indonesia sebagai negara yang menerapkan gagasan negara kesejahteraan wellfare state, sebagaimana tertuang didalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada alinea ke-IV terdapat salah satu visi negara yang mengekspresikan gagasan negara
Negara hadir untuk melindungi hak asasi manusia dan memenuhi segala kepentingan rakyatnya yang dilakukan melalui
alat-alat negara yaitu pemerintah.
9
http:repository.usu.ac.idbitstream123456789179405Abstract.pdfdiakses 27 Oktober 2014 pukul 15.45 WIB
10
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung, Mandar Maju, 2007, h.26.
kesejahteraan yaitu “...untuk mewujudkan kesejahteraan umum...”.Kesejahteraan umum tersebut didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya”.
11
Bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur segala kebutuhan rakyatnya terkhusus dalam bidang perkawinan terbukti dengan dilahirkannya
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 UUP 11974 dengan segala aturan terkait. Dengan lahirnya UUP 11974 maka diadakanlah suatu bentuk
unifikasi hukum perkawinan di Indonesia di mana sebelumnya masing-masing golongan penduduk di Indonesia memiliki pengaturan tersendiri dalam
melaksanakan perkawinan. Perkawinan sebagai suatu bentuk pemenuhan kesejahteraan spiritual
kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal 28 B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Oleh karena itu sudah seharusnya negara melalui pemerintah sebagai aktor utama
pengakselerasi kesejahteraan sosial, mengatur dan mengakomodir kebutuhan perkawinan bagi warga negara Indonesia.
12
11
Artikel Dinamika Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Muhammad Tavip, hukum.ub.ac.idwp-contentuploads201304Jurnal-Tavip.docx,
diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 14.09 WIB.
12
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan, Zahir Trading,
1975, h.4.selanjutnya disebut buku I
Salah satu semangat penting yang diusung dalam pembentukan UUP 11974 adalah mengenai pencatatan perkawinan yang
menempatkan pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu hal yang
penting, tetapi juga menjelaskan bagaimana suatu pencatatan perkawinan dilaksanakan.
13
Pasal 2 ayat 2 UUP 11974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Bahkan
berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat 1 Kompilasi Hukum Islam KHI adanya suatu perkawinanhanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah
yang dicatat dalam register. Lebih lanjut ditegaskan, akta perkawinan merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara
hukum tidak ada atau belum ada perkawinan.Pencatatan perkawinan merupakan upaya adminisratif yang harus dilakukan agar suatu perkawinan menjadi sah di
mata hukum. Masing-masing pasangan suami istri setelah melakukan pencatatan perkawinan akan mendapatkan buku nikah dan secara otomatis mendapatkan
legalitas, perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas perkawinan mereka termasukterhadap akibat yang timbul kemudian, seperti hak dan kewajibanantara
suami dan istri secara timbal balik, harta bersama gono-gini, status anak, dan sebagainya.
14
Maksud dan tujuan utama peraturan perundang-undangan mengatur tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan ketertiban
administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum negara yang bersifat preventifuntuk mengkoordinir masyarakat demi terwujudnya
13
Amiur Nazaruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1 1974 sampai KHI, Jakarta,
Kencana, 2006, h.122.
14
Artikel Urgensi Pencatatan Perkawinan Dalam Prespektif Filsafat Hukum, http:badilag.netdataARTIKELURGENSI20PENCATATAN20PERKAWINAN20DALA
M20PERSPEKTIF20FILSAFAT20HUKUM.pdf diakses 23 Desember 2014 pukul 20.05 WIB.
ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik.
15
Suatu kenyataan yang masih sering dijumpai dalam realita kehidupan masyarakat adalahmasih banyak yang melangsungkan perkawinan tanpa
dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi bagi selain Islam dengan berbagai
alasan.
16
Dalam hukum perkawinan Islam, pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat secara defacto atau
dalam bentuk konkrit tidak tercatatnya perkawinan melahirkan dampak yang tidak sederhana. Karena perkawinan merupakan perbuatan yang bersentuhan
secara langsung dengan aspek sosial, ekonomi, kultur dan tentu saja hukum. Selain itu, menurut T.Jafizham dalam Islam perkawinan bukanlah suatu hubungan
yang terjadi secara diam-diam. Perkawinan menurut Islam harus diumumkan secara terbuka, bahkan dibenarkan adanya pelaksanaan upacara perkawinan.
Beberapa alasan tersebut antara lain ketidakmampuan dalam membayar biaya pencatatan nikah, secara sengaja melakukan penyelundupan hukum,
kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi akta nikah, sudah merasa cukup dengan sahnya menikah secara agama, kelalaian petugas pencatat nikah, kurang
ketatnya pengaturan pencatatan nikah dan lain sebagainya.
17
15
Muchsin, “Problematika Perkawinan Tidak Tercatat Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Materi Rakernas Perdata AgamaMahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h.3.
16
Abdil Baril Basith, “Pihak-Pihak dalam Permohonan Pengesahan Nikah”, Jurnal Pengadilan Agama Muara Labuh, h.3.
17
T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Mestika, 2006,h.272.
Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
yang intinya bahwa instansi pelaksana yang melaksanakan urusan administrasi kependudukan termasuk Kantor Urusan Agama KUA memiliki kewenangan
dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa penting yang dialami penduduk terkait mengenai pencatatan nikah, talak, cerai
dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah tidak sekadar pernyataan bahwa perkawinan telah sah dimata hukum, akan tetapi
keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama perkawinan. Bagi perkawinan yang belum dicatatkan atau belum tercatat di
Kantor Urusan Agama KUA, berdasarkan Pasal 7 ayat 2 KHI dapat ditempuh solusi hukum yaitu dengan mengajukan permohonan pengesahan perkawinan
itsbat nikah untuk menghindari dampak negatif atas perkawinan tidak tercatat tersebut. Permohonan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana
mereka bertempat tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan perkawinan.
Pengajuan itsbat nikah memiliki esensi bahwa pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan diakui oleh negara serta memiliki kekuatan
hukum.
18
18
Prosedur Pengesahan Pernikahan Sirri,
Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah menjadi penentu sebagai gerbang utama terbukanya data-data administratif lainnya seperti akta
nikah, akta kelahiran anak, hak waris dan lain sebagainya. Itsbat nikah pada hakikatnya hanya untuk perkawinan yang diadakan sebelum lahirnya UUP
http:irmadevita.com2013prosedur- pengesahan-pernikahan-siri diakses 23 Desember 2014 pukul 12.08 WIB.
11974, namun pengaturan ini dikecualikan oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam KHI di mana perkawinan sesudah lahirnya UUP dapat juga dimintakan
itsbatnya ke Pengadilan Agama. Pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa
permohonanitsbat nikah. Hal ini tertuang dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan dalam penjelasan
Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama Kelas I-A Medan
menempati urutan ketiga terbanyak diajukan setelah cerai talak dan cerai gugat dan kuantitas permohonan yang masuk tidaklah dapat dikatakan sedikit. Pada
tahun 2014 misalnya, jumlah permohonan yang masuk hingga penghujung tahun mencapai 96 sembilan puluh enam kasus. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa di
Kota Medan masih banyak perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dan keinginan masyarakat untuk mengesahkan perkawinan tersebut sangat
besar. Menjadi suatu hal yang dilematis bagi pengadilan agama dalam
memeriksa permohonan ini. Di satu sisi, hakim demi melindungi hak-hak yang tercederai sebagai akibat tidak tercatatnya suatu perkawinan harus mengabulkan
permohonan para pelaku pelanggaran administrasi yang dimungkinkan melakukan penyelundupan hukum. Indikasi upaya penyelundupan hukum ini
memaksa hakim untuk terus berhati-hati agar jangan sampai melegalkan perkawinan yang tidak sah secara hukum negara. Di sisi lain itsbat nikah sebagai
cara negara untuk mengakui lembaga perkawinan, perlu diambil langkah yang
lebih mempermudah sebagai upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan itsbat nikah merupakan satu-satunya upaya legal untuk
mencatatkan perkawinan. Kemudahan pelayanan tersebut ditandai dengan lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 13 Tahun 2014
Tentang Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah Dalam Pelayanan Terpadu, yang ditujukan kepada pengadilan tingkat pertama di
lingkungan peradilan agama se-Indonesia. Penentuan dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut sangat
ditentukan pada proses pembuktian di pengadilan agama. Ketika berbicara mengenai itsbat nikah, hakim dihadapkan pada model pembuktian yang sama
untuk semua alasan permohonan yaitu keyakinan hakim harus bermuara pada suatu kepastian sah atau tidaknya perkawinan yang pernah dilakukan yaitu apakah
rukun dan syarat perkawinan pada saat pelaksanaannya sudah terpenuhi atau tidak dan meyakini bahwa perkawinan tersebut tidak memiliki halangan
perkawinan. Dengan alasan permohonan para pihak yang bermacam-macam akan menuju suatu kesimpulan nikah tersebut sah secara agama atau tidak.
Untuk itulah, penelitian ini mencoba membahas dan membandingkan model-model pembuktian dan cara pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah
di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan selama tahun 2014 dan 2013 dengan berbagai alasan permohonannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat
sejauh mana peran hakim dalam memberikan pelayanan dalam permohonan itsbat nikah.
B. Rumusan Masalah