Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak Dalam Permohonan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Kota Medan)

merupakan jalan terakhir, dan 3 suami-istri saling membantu untuk mengembangkan diri. 64

G. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Dalam perkawinan perlu ditanamkan bahwa perkawinan itu berlangsung untuk waktu seumur hidup dan selama-lamanya kecuali dipisahkan karena kematian. UUP 11974 dan KHI menentukan di dalam pasal-pasalnya mengenai persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan menjadi sah. UUP 11974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum `masing-masing agama dan kepercayaan. 65 “Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindumaka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”. Hal ini berarti perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum masing- masing agamanya” berarti hukum hanya dari salah satu agama tersebut bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” ditafsirkan sebagai hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa : 66 64 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.62. 65 Pasal 2 ayat 1 UUP 11974. 66 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 1992, h.26-27. Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan, maka sahnya suatu perkawinan oleh UUP 11974 ini telah diserahkan kepada hukum agama dan kepercayaan. Artinya bagi orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan tidak akan dapat melakukan perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu. Sebagai sumber hukum perkawinan Islam, hal tersebut dipertegas kembali dalam KHI tepatnya pada Pasal 4 yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Oleh karena itu, umat Islam yang akan melaksanakan perkawinan harus tunduk dan patuh pada aturan pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika suatu perkawinan umat muslim telah dilakukan menurut hukum Islam, maka perkawinan tersebut adalah sah. Namun untuk memperoleh pengakuan negara, perkawinan yang telah dilakukan menurut hukum agama wajib untuk dicatatkan. Kewajiban pencatatan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 UUP 11974 dan Pasal 5 ayat 1 KHI. Selain untuk memperoleh pengakuan negara, manfaat lain dari pencatatan perkawinan tersebut adalah untuk mencapai suatu tertib administrasi karena sejatinya perkawinan memiliki pengaruh besar terhadap data kependudukan lainnya seperti kelahiran dan kematian. Selain berpedoman pada hukum agama dan kewajiban pencatatan sebagai syarat yang wajib dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan, lebih luas lagi sebuah perkawinan harus memenuhi syarat materil dan syarat formil. Setiap rukun perkawinan tersebut di atas wajib memenuhi syarat materil dan syarat formil. Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif memberikan pengertian mengenai syarat materil dan syarat formil sebagai berikut: “Syarat materil adalah syarat yang berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan”. 67 Syarat materil dapat dibedakan lagi menjadi syarat materil umum dan syarat materil khusus. Syarat materil umum artinya syarat mengenai diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materil umum bersifat mutlak yang lazim juga disebut dengan syarat materil absolut pelaksanaan perkawinan, karena jika tidak dipenuhinya syarat tersebut menyebabkan calon suami istri tidak dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat materil khusus lazim disebut dengan syarat relatif untuk melangsungkan perkawinan, yaitu berupa kewajiban untuk meminta izin kepada orang-orang tertentu dan larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan. 68 1. Syarat materil Syarat materil sebagai syarat yang berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan sangat erat kaitannya dengan rukun perkawinan yang sejatinya terdiri atas para pihak seperti: a. Calon suami; b. Calon istri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; 67 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 21-22. 68 Ibid. e. Pengucap Ijab dan Kabul. 69 Maka, pemaparan syarat dari tiap-tiap rukun nikah tersebut agar suatu perkawinan yang sah dapat terlaksana adalah sebagai berikut : a. Calon suami atau istri Pertama sekali akan dibahas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami atau istri, hal ini terdapat dalam Pasal 6 sampai Pasal 12UUP 11974. Berikut yang termasuk syarat-syarat materil adalah sebagai berikut : 1 Syarat materil umum a Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 70 Hal ini berarti suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan apabila terdapat unsur keterpaksaan di dalamnya. Masing-masing pihak baik calon suami atau istri harus rela dan ridho untuk bersatu dalam ikatan perkawinan. Dalam Pasal 16 ayat 2 KHI bahkan disebutkan bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan dengan isyarat, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua saksi nikah. 71 Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. 72 69 Pasal 14 KHI. 70 Pasal 6 ayat 1 UUP 11974. 71 Pasal 17 ayat 1 KHI. 72 Pasal 17 ayat 2 KHI. b Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas tahun. 73 Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 15 KHI yang tujuannya adalah untuk mencapai kemashlahatan keluarga dan rumah tangga. Apabila dalam pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan ini, maka harus dimintakan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. 74 c Adanya waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan akan melaksanakan perkawinan lagi. 75 Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 153 KHI yang lebih merincikan bahwa bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya selama 90 sembilan puluh hari dan karena kematian selama 130 seratus tiga puluh hari. 76 2 Syarat materil khusus Sedangkan apabila seorang janda dalam keadaan hamil putus perkawinnya baik karena perceraian atau karena kematian masa iddahnya adalah sampai melahirkan. a Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 77 73 Pasal 7 ayat 1 UUP 11974. 74 Pasal 7 ayat 2 UUP 11974. 75 Pasal 11 UUP 11974. 76 Wahyuni Setiyowati, “Hukum Perdata I Hukum Keluarga”, Jurnal F.H. Universitas 17 Agustus UNTAG, Semarang Tahun 1997, h.28. 77 Pasal 6 ayat 2 UUP 11974. Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 KHI yang menjelaskan bahwa izin kedua orang tua merupakan syarat yang wajib dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya. 78 Namun apabila orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 79 Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin. 80 b Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: 1 Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas; 2 Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya; 78 Pasal 6 ayat 3 UUP 11974. 79 Pasal 6 ayat 4 UUP 11974. 80 Pasal 6 ayat 5 UUP 11974. 3 Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu bapak tiri; 4 Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi paman susuan; 5 Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; 6 Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku dilarang kawin. 81 c Calon suami atau istri tidak sedang terikat tali perkawinan dengan orang lain. 82 Ketentuan ini dikecualikan oleh Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 UUP 11974 yang mengatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. d Suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain kemudian bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. 83 Hal ini dimaksudkan agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan secara matang. Ketentuan ini juga bertujuan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain. 81 Pasal 8 UUP 11974. 82 Pasal 9 UUP 11974. 83 Pasal 10 UUP 11974. b. Wali nikah Setelah membahas syarat materil umum dan khusus mengenai calon suami dan istri, beranjak kepada persyaratan materil yang harus dimiliki oleh seorang wali nikah. Wali nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai wanita dalam suatu akad nikah. Tanpa adanya kehadiran seorang wali maka perkawinan yang akan dilaksanakan tidak dapat dikatakan sahdan tanpa wali, perkawinan tidak dapat diawasi oleh Pejabat Pencatat Nikah PPN sehingga tidak mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, wali adalah masalah pokok dalam perkawinan. 84 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. 85 1 Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh; Adapun syarat materil yang harus dipenuhi seorang wali nikah adalah : 86 2 Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim; 87 3 Wali nasab terdiri atas empat kelompok urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dengan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Urutan kedudukannya adalah sebagai berikut : a Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya; 84 Amir Syarifuddin, Op.Cit, h.1. 85 Pasal 19 KHI. 86 Pasal 20 ayat 1 KHI. 87 Pasal 20 ayat 2 KHI. b Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka; c Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka; d Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka . 88 4 Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin dihadirkan atau tidak tahu tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. 89 Selain persyaratan yang terdapat dalam KHI, persyaratan tambahan berdasarkan ijtihad para ulama bahwa seorang wali nikah harus : a Orang merdeka; b Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Karena kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum; c Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut; d Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dalam dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau sopan santun; 88 Pasal 21 KHI. 89 Pasal 23 KHI. e Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. 90 c. Saksi nikah Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah yang terdiri atas dua orang. 91 1 Laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli; Kehadiran dua orang saksi dalam pelaksanaan akad nikah bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Di dalam KHI disebutkan bahwa seorang saksi harus : 92 2 Hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan. 93 UUP 11974 tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menyinggung kehadiran saksi dalam pembatalan perkawinan dan saksi dijadikan sebagai salah satu hal yang membolehkan pembatalan perkawinan. d. Ijab dan Kabul Selanjutnya, rukun nikah yang terakhir adalah ijab dan kabul. Ijab yaitu ucapan dari wali orang tua atau wakilnya pihak wanita sebagai penyerahan kepada pihak pria. Sedangkan kabul yaitu ucapan dari pengantin priaatau wakilnya sebagai tanda penerimaan. Upacara ijab dan kabul ini, dilakukan dimuka Pegawai Pencatat Nikah PPN yaitu di masjid atau di rumah di bawah pengawasan PPN. 90 Amir Syarifuddin, Op. Cit, h.76-78. 91 Pasal 24 KHI. 92 Pasal 25 KHI. 93 Pasal 26 KHI. Pengaturan ijab dan kabul dalam KHI diatur dalam Pasal 27- 28.Pelaksanaan ijab dan kabul harus dilaksanakan secara beruntun dan tidak berselang waktu. 94 Kabul tersebut diucapkan secara pribadioleh calon mempelai pria. 95 Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atasakad nikah itu adalah untuk mempelai pria. 96 Sedangkan dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akadnikah tidak boleh dilangsungkan. 97 2. Syarat formil Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil. Syarat formil suatu perkawinan berkenaan dengan tata cara pelaksanaan dan administrasi perkawinan. Peraturan yang mengatur perihal pelaksanaan perkawinan dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 PP 91975 tentang Pelaksanaan UUP 11974. Adapun syarat-syarat formil tersebut adalah sebagai berikut : a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada PPN di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 98 Pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan. 99 94 Pasal 27 KHI. 95 Pasal 29 ayat 1 KHI. 96 Pasal 29 ayat 2 KHI. 97 Pasal 29 ayat 3 KHI. 98 Pasal 3 ayat 1 PP 91975. 99 Pasal 3 ayat 2 PP 91975. Di samping itu terdapat pengecualian jangka waktu yang disebabkan oleh suatu alasan penting, diberikan oleh camat atas nama bupatikepala daerah. 100 Pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terlebih dahulu. 101 b. Penelitian syarat-syarat perkawinan oleh PPN Setelah menerima pemberitahuan kehendak pelaksanaan perkawinan, PPN kemudian akan melakukan penelitian terhadap syarat-syarat perkawinan apakah telah dipenuhi atau tidak dan apakah terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Selain itu, PPN juga akan meneliti : 1 Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Jika tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu; 2 Keterangan mengenai nama, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; 3 Izin tertulisizin pengadilan apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun; 4 Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 UUP 11974 dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya istri; 100 Pasal 3 ayat 3 PP 91975. 101 Pasal 5 PP 91975. 5 Dispensasi pengadilanpejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat 2 UUP 11974 yaitu terhadap adanya penyimpangan umur untuk melakukan perkawinan yang ditetapkan oleh UUP 11974; 6 Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau surat keterangan perceraian dalam hal perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; 7 Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan HANKAMPanglima Angkatan Bersenjata PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; 8 Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. 102 c. Penulisan hasil penelitian dalam sebuah daftar terhadap syarat dan halangan perkawinan serta berkas administrasi pemberitahuan kehendak perkawinan oleh PPN. Dalam hal terdapat halangan perkawinan atau belum terpenuhinya persyaratan-persayaratan sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka keadaan tersebut akan segera diberitahukan kepada calon mempelai, orang tuanya atau wakilnya. 103 102 Pasal 6 ayat 2 PP 91975. 103 Pasal 7 PP 91975. d. Pengumuman kehendak perkawinan oleh PPN. Apabila tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan telah terpenuhi serta tiada sesuatu halangan perkawinan, maka PPN menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh masyarakat umum. 104 1 Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu ; Pengumuman tersebut ditandatangani oleh PPN dan memuat : 2 Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. e. Tata cara pelaksanaan perkawinan, yakni perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh PPN. Dengan catatan tidak terdapat pengajuan keberatan dari berbagai pihak. Perkawinan dilakukan dihadapan PPN dan dihadiri oleh dua orang saksi. 105 104 Pasal 8 PP 91975. 105 Pasal 10 PP 91975. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh PPN. Setelah ditandatangani oleh kedua mempelai, akta tersebut juga ditandatangani oleh kedua orang saksi, wali nikah dan PPN. 106 Berdasarkan uraian di atas, perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum antara suami istri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada Tuhan tetapi untuk mewujudkan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

D. Akibat Hukum Perkawinan