Pengaruh Program Kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK) Terhadap Pengembangan Wilayah Kabupaten Aceh Besar

(1)

PENGARUH PROGRAM KEGIATAN PERCEPATAN

PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DAN KHUSUS (P2DTK) TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH

KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Oleh

MUSTAFA

087003052/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA


(2)

PENGARUH PROGRAM KEGIATAN PERCEPATAN

PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DAN KHUSUS (P2DTK) TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH

KABUPATEN ACEH BESAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUSTAFA

087003052/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PROGRAM KEGIATAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN KHUSUS (P2DTK) TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN ACEH BESAR

Nama Mahasiswa : Mustafa Nomor Pokok : 087003052

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE) Ketua

(Drs. Rujiman, MA) Anggota

(Agus Suriadi, S.Sos, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M. Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 November 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE Anggota : 1. Drs. Rujiman, MA

2. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si 3. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS 4. Dr. Ir. Rahmanta, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

PENGARUH PROGRAM KEGIATAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN KHUSUS (P2DTK) TERHADAP

PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN ACEH BESAR

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya.

Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Nopember 2010 Yang Membuat Pernyataan


(6)

ABSTRAK

Mustafa, Pengaruh Program Kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK) Terhadap Pengembangan Wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar pada 16 kecamatan yang mendapatkan program kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Penelitian ini direncanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli sampai dengan Agustus 2010. Jumlah sampel yang diambil adalah 100 orang. Pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: (i) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di Kabupaten Aceh Besar. Pendekatan yang dilakukan dalam program P2DTK adalah pendekatan partisipatori dalam melibatkan masyarakat, keluarga miskin dan kelompok rentan. Kegiatan pembangunan daerah tertinggal melalui program P2DTK meliputi kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sosial dasar dan ekonomi masyarakat, baik berupa pembangunan fisik infrastruktur maupun non fisik adalah merupakan salah satu komponen dalam rangka penguatan kapasitas pemerintah daerah. (ii) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) menunjukkan bahwa Kemandirian Masyarakat, Potensi Wilayah, Integrasi Ekonomi dan Daerah Khusus berpengaruh terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Aceh Besar. (iii) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang terlibat dalam Program P2DTK.

Kata Kunci : Daerah Tertinggal, Percepatan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah.


(7)

ABSTRACT

Mustafa, Influence Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program of Regional Develompment Great Aceh Regency.

This research aim to know Influence Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program of Regional Development Great Aceh Regency.

Research location conducted in Great Aceh Regency at 16 subdistrict getting program of activity of Support for Poor and Disadvataged Areas (SPADA). This Research is planned by during two months that is July month of up to August 2010. Amont sample by 100 people. In take Sampel by Cluster Random Sampling.

Result of research show as follws: (i) Support for Poor and Disadvantaged Aras (SPADA) Program in Great Aceh Regency, Approach of performend within upport for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program is approach partisipatori in entangling society, impecuniouns family. Activity of poor and disadvantaged areas through SPADA program cover the development activity of related to elementary social need accomplishment and society economic, googd in the form of infrastructure construction and also non physical is represent one of compenent in order to reinforcement of local goverment capacities. (ii) Support for poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program indicate that the Society Independence, Regional Potency, Economic Integration and Special District have an affect on to Regional Development in Great Aceh Regency. (iii) Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program show the existence of the make-up of society earning in concerned in (SPADA) Program.

Keywords: Poor and Disadvantaged Areas, Development Acceleration and Regional Development.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kesabaran, dan kekuatan serta berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Tesis ini berjudul, “Pengaruh Program Kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) terhadap Pengembangan Wilayah Kabupaten Aceh Besar”.

Keberhasilan pengerjaan dan penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Sehubungan dengan hal tersebut, diucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE, Drs. Rujiman, MA dan Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang dengan ketulusan, kearifan dan kesabaran telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M. Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Bachtiar Hassan Miraza selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Dr. Ir. Rahmanta, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.

5. Seluruh dosen dan karyawan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang telah membantu dalam proses penelitian ini.


(9)

7. Ir. Bustari, MT selaku Koordinator Program P2DTK yang telah membantu dalam penelitian.

8. Keluarga Besar yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan selama ini. 9. Isteri tercinta Wiwik Ariyati, SE, MM serta ananda terkasih Askal Yaslanza

atas kerelaan dan pengertian yang mendalam selama ini.

10. Teman-teman kuliah di Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Penyusunan tesis ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karenanya segala kritik dan saran akan diterima untuk perbaikan. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya, maupun bagi pembaca pada umumnya.

Medan, November 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Mustafa, dilahirkan pada tanggal 08 April 1972 di Geudong Alue Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh, sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari Ayahanda Alm. Ibrahim Puteh dan Ibunda Latifah Ibrahim.

Pendidikan formal ditempuh penulis dimulai pada Pendidikan Dasar tahun 1979–1985 di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Bireuen setelah itu tahun 1985 – 1989 melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Bireuen. Kemudian tahun 1989–1992 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bireuen. Tahun 2004 melanjutkan pendidikan S-1 pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala selesai 12 April 2007.

Kemudian terhitung 01 Desember 2002 diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Golongan II Provinsi Aceh dan ditugaskan pada Biro Pembangunan dan Tata Ruang. Pada tahun 2009 memperoleh tugas belajar meneruskan pendidikan S-2 pada Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4.Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

2.1 Konsep Community Development ... 12

2.2. Community Development dalam Pembangunan Pedesaan ... 16

2.3. Konsep Pengembangan Wilayah ... 30

2.4. Pengertian dan Peranan Ilmu Pembangunan Wilayah ... 32

2.5. Konsep Ruang dan Wilayah ... 35

2.6. Penelitian Terdahulu ... 37

2.7. Kerangka Pemikiran ... 40


(12)

BAB II METODE PENELITIAN ...

43

3.1.Latar Belakang Penelitian ... 43

3.2.Populasi dan Sampel ... 43

3.3.Teknik Pengumpulan Data ... 45

3.3.1. Data Primer ... 45

3.3. 2. Data Skunder... 45

3.4.Instrumen Penelitian... 45

3.5.Pengujian Instrumen ... 46

3.5.1. Validitas Data ... 47

3.5.2. Reliabilitas Data ... 47

3.6.Definisi Operasional Penelitian... 48

3.7.Metode Analisis Data ... 51

3.7.1. Analisis Deskriptif ... 51

3.7.2. Analisis Regresi Linier Berganda ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1.Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Aceh Besar ... 57

4.1.1. Kondisi Geografis ... 57

4.1.2. Tanah dan Penggunaan Lahan ... 57

4.1.3. Iklim ... 58

4.1.4. Kependudukan ... 58

4.2.Kondisi Ekonomi ... 58

4.2.1. Produk Domestik Regional Bruto ... 58

4.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita .... 59

4.2.3. Pertanian ... 61

4.2.4. Perdagangan ... 65

4.2.5. Koperasi dan UKM ... 65

4.2.6. Listrik dan Air Minum ... 66


(13)

4.2.8. Pariwisata... 66

4.3.Kondisi Sosial... 68

4.3.1. Pendidikan... 68

4.3.2. Kesehatan ... 69

4.3.3. Penduduk dan Tenaga Kerja ... 70

4.3.4. Sosial Kemasyarakatan... 70

4.3.5. Kondisi Prasarana ... 71

4.3.6. Pemerintahan Umum ... 72

4.4.Karakteristik Sampel ... 74

4.4.1. Jenis Kelamin... 75

4.4.2. Usia... 75

4.4.3. Pendidikan... 75

4.4.4. Pekerjaan... 76

4.4.5. Pendapatan Sebelum Mengikuti Program P2DTK.. 76

4.4.6. Pendapatan Setelah Mengikuti Program P2DTK .... 77

4.5.Hasil Pengujian Instrumen ... 77

4.5.1. Uji Validitas ... 78

4.5.2. Uji Reliabilitas ... 80

4.6.Deskripsi Variabel Penelitian... 81

4.6.1. Variabel Pengembangan Wilayah... 81

4.6.2. Variabel Kemandirian Masyarakat... 83

4.6.3. Variabel Potensi Wilayah ... 84

4.6.4. Variabel Integritas Ekonomi ... 85

4.6.5. Variabel Daerah Khusus... 86

4.7.Pengujian Asumsi Klasik ... 87

4.7.1. Uji Normalitas... 87

4.7.2. Uji Multikolinearitas ... 88

4.7.3. Uji Heteroskedastisitas... 89


(14)

4.8.1. Koefisien Determinasi ... 93

4.8.2. Koefisien Korelasi... 93

4.9.Pembuktian Hipotesis ... 93

4.9.1. Pembuktian Hipotesis Pertama... 93

4.9.2. Pembuktian Hipotesis Kedua, Ketiga, Keempat dan Kelima ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 99

5.1.Kesimpulan ... 99

5.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 44

3.2. Operasional Variabel... 50

3.3. Klasifikasi Jawaban... 52

4.1. Karakteristik Sosial Demografi Responden ... 74

4.2. Pendapatan Responden ... 76

4.3. Validitas Item Pertanyaan ... 79

4.4. Reliabilitas Variabel... 80

4.5. Penilaian Responden pada Variabel Pengembangan Wilayah... 82

4.6. Penilaian Responden pada Variabel Kemandirian Masyarakat ... 83

4.7. Penilaian Responden pada Variabel Potensi Wilayah ... 84

4.8. Penilaian Responden pada Variabel Integrasi Ekonomi ... 85

4.9. Penilaian Responden pada Variabel Daerah Khusus ... 86

4.10.Hasil Uji Multikolinearitas... 89


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Dinamika Perkembangan Wacana CD ... 18 4.1. Hasil Uji Normalitas ... 88 4.2. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 90


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 105 2. Tabulasi Data Penelitian (Row Data Penelitian) ... 110 3. Output SPSS ... 114


(18)

ABSTRAK

Mustafa, Pengaruh Program Kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK) Terhadap Pengembangan Wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar pada 16 kecamatan yang mendapatkan program kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Penelitian ini direncanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli sampai dengan Agustus 2010. Jumlah sampel yang diambil adalah 100 orang. Pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: (i) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di Kabupaten Aceh Besar. Pendekatan yang dilakukan dalam program P2DTK adalah pendekatan partisipatori dalam melibatkan masyarakat, keluarga miskin dan kelompok rentan. Kegiatan pembangunan daerah tertinggal melalui program P2DTK meliputi kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sosial dasar dan ekonomi masyarakat, baik berupa pembangunan fisik infrastruktur maupun non fisik adalah merupakan salah satu komponen dalam rangka penguatan kapasitas pemerintah daerah. (ii) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) menunjukkan bahwa Kemandirian Masyarakat, Potensi Wilayah, Integrasi Ekonomi dan Daerah Khusus berpengaruh terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Aceh Besar. (iii) Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang terlibat dalam Program P2DTK.

Kata Kunci : Daerah Tertinggal, Percepatan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah.


(19)

ABSTRACT

Mustafa, Influence Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program of Regional Develompment Great Aceh Regency.

This research aim to know Influence Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program of Regional Development Great Aceh Regency.

Research location conducted in Great Aceh Regency at 16 subdistrict getting program of activity of Support for Poor and Disadvataged Areas (SPADA). This Research is planned by during two months that is July month of up to August 2010. Amont sample by 100 people. In take Sampel by Cluster Random Sampling.

Result of research show as follws: (i) Support for Poor and Disadvantaged Aras (SPADA) Program in Great Aceh Regency, Approach of performend within upport for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program is approach partisipatori in entangling society, impecuniouns family. Activity of poor and disadvantaged areas through SPADA program cover the development activity of related to elementary social need accomplishment and society economic, googd in the form of infrastructure construction and also non physical is represent one of compenent in order to reinforcement of local goverment capacities. (ii) Support for poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program indicate that the Society Independence, Regional Potency, Economic Integration and Special District have an affect on to Regional Development in Great Aceh Regency. (iii) Support for Poor and Disadvantaged Areas (SPADA) Program show the existence of the make-up of society earning in concerned in (SPADA) Program.

Keywords: Poor and Disadvantaged Areas, Development Acceleration and Regional Development.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) atau Support for Poor and Disadvantaged Area (SPADA) merupakan salah satu program dari pemerintah pusat untuk mempercepat kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD dan Nias dari dampak bencana gempa dan tsunami.

Program ini pada awalnya dibuat oleh pemerintah dengan tujuan meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Nama program ini kemudian dikenal dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Program terlahir dengan ditandai Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: 25/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Proses pembangunan dibangun secara partisipatif, mendorong kesadaran kritis dan mengupayakan kemandirian masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Diharapkan dengan program ini dapat ditumbuh kembangkan di mana pada akhirnya masyarakat bukan sebagai obyek melainkan subyek dan tentunya kemiskinan yang terjadi dapat ditanggulangi.


(21)

Pelaksanaan PNPM Mandiri sesungguhnya telah dimulai tahun 2007, di mana salah satu bagian dari program tersebut adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini merupakan upaya meletakan dasar-dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Selain itu, terdapat salah satu bagian program khusus untuk penanggulangan masyarakat miskin di perkotaan, program ini kemudian dikenal dengan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Seperti halnya program PPK, program ini juga mendorong dasar-dasar bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat rentan di wilayah perkotaan. Menyangkut upaya pengembangan dan mempercepat proses pembangunan di wilayah yang tertinggal, maka elemen program yang dikembangkan PNPM dikenal dengan nama Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Program ini bukan saja mencakup bagi wilayah-wilayah tertinggal, namun juga ditujukan bagi daerah-daerah yang terkena bencana serta konflik dan mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Program ini bertujuan untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya.

Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi daerah-daerah tertinggal dan khusus. Pendekatan yang dilakukan dalam program P2DTK adalah pendekatan partisipatori dalam melibatkan masyarakat, keluarga miskin dan kelompok rentan. Kegiatan pembangunan daerah tertinggal melalui program P2DTK meliputi kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan


(22)

pemenuhan kebutuhan sosial dasar dan ekonomi masyarakat, baik berupa pembangunan fisik infrastruktur maupun non fisik adalah merupakan salah satu komponen dalam rangka penguatan kapasitas pemerintah daerah.

Secara umum program P2DTK bertujuan untuk membantu pemerintah daerah dalam mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sosial ekonomi di Aceh. Adapun secara khusus program P2DTK, (Munirwansyah dan Rofiq, 2007:15) ditujukan untuk:

1. Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif.

2. Memberdayakan masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif terutama bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

3. Melembagakan pelaksanaan pembangunan partisipatif untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan), infrastruktur, penguatan hukum, capacity building, dan penciptaan iklim investasi dan iklim usaha.

4. Memperbesar akses masyarakat terhadap keadilan.

5. Meningkatkan kemudahan hidup masyarakat terutama keluarga miskin melalui penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi.

Perencanaan kegiatan program P2DTK dilakukan melalui identifikasi masalah dan kebutuhan sektor swasta mulai dari tingkat dari tingkat desa hingga kabupaten. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang detail tentang kondisi sektor


(23)

swasta dan hal-hal yang diperlukan sektor swasta untuk mendukung kelancaran usahanya. Kegiatan identifikasi dilakukan melalui baseline survey dan Focus Group Discussion (FGD). Baseline survey merupakan kegiatan yang dilakukan yang dilakukan untuk menyusun data tentang:

1. Kondisi usaha sektor swasta: bentuk usaha, tenaga kerja, modal usaha, omset usaha, sumber permodalan, sebaran pasar, dan hal lain terkait.

2. Masalah-masalah yang dihadapi dalam menjalankan usaha: masalah bahan baku, permodalan, pemasaran, infrastruktur, perijinaan usaha, keamanan dan masalah lainnya.

Program P2DTK untuk mengatasi permasalahan pembangunan daerah tertinggal dilakukan strategi dasar melalui empat pilar (Munirwansyah dan Rofiq, 2007:2):

Pilar pertama, meningkatkan kemandirian masyarakat dan daerah tertinggal, dilakukan melalui: (1) pengembangan ekonomi lokal, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) penyediaan prasarana dan sarana lokal/perdesaan, dan (4) peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, dunia usaha, masyarakat;

Pilar kedua, mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah, dilakukan melalui: (1) penyediaan informasi potensi sumberdaya wilayah, (2) pemanfatan teknologi tepat guna, (3) peningkatan investasi dan kegiatan produksi, (4) pemberdayaan dunia usaha dan UMKM, dan (5) pembangunan kawasan produksi;

Pilar ketiga, memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju, dilakukan melalui: (1) pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah, (2)


(24)

pengembangan jaringan prasarana antar wilayah, dan (3) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.

Pilar keempat, meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik ‘keterisolasia ’, dilakukan melalui: (1) pembukaan keterisolasian daerah (pedalaman, pesisir, dan pulau kecil terpencil), (2) penanganan komunitas adat terasing, dan (3) pembangunan daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil.

Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; (5) belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.

Menurut Luc De Meester dan Budiman, Nurjali, (2009:4) dalam laporan Pengkajian Kebutuhan dan Rencana Pengembangan Kapasitas Pemerintahan


(25)

Kabupaten Aceh Besar banyak wilayah-wilayah di Kabupaten Aceh Besar yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain: (1) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (2) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah; (3) belum optimalnya dukungan kebijakan pemerintah daerah dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta; (4) belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; (5) masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (6) masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerjasama investasi; (7) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (8) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerjasama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan. Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat


(26)

berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.

Pelaksanaan P2DTK pasca tsunami menjadi salah satu program pembangunan partisipatif yang dapat berkontribusi bagi pemulihan kondisi dan peningkatan kemandirian masyarakat di Kabupaten Aceh Besar. Pelaksanaan P2DTK tersebut berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan PPK Pola Khusus Tanggap Darurat dan Rehabilitasi Pasca Bencana Tahun Anggaran 2005 yang bertujuan untuk rekonstruksi sosio kultural masyarakat lokasi bencana, pemberian insentif ekonomi masyarakat dan pendapatan keluarga melalui kegiatan padat karya, serta penyediaan dan pemulihan infrastruktur pedesaan.

Kabupaten Aceh Besar sebagai salah satu kabupaten yang dilanda tsunami di Aceh, mengalami kerusakan yang sangat parah yaitu berupa keterpurukan kondisi sosial ekonomi masyarakat, kerusakan berbagai sarana prasarana umum dan milik pribadi masyarakat serta terganggunya aktivitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian besar masyarakat harus rela kehilangan orang-orang terdekat dan harus tinggal di tenda dan barak pengungsian karena rumah mereka hancur akibat tsunami. Salah satu upaya untuk memulihkan kembali kondisi sosial ekonomi masyarakat dan percepatan ketersediaan sarana prasarana pemukiman yang hancur akibat tsunami adalah pelaksanaan P2DTK pasca tsunami yang menerapkan upaya pemberdayaan masyarakat menjadi program yang efektif dalam mempercepat pemberdayaan masyarakat di daerah tsunami.


(27)

Pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sebagai suatu pendekatan pembangunan alternatif, fokusnya tidak hanya pada keterlibatan pihak penerima dalam proses pembangunan tetapi juga memampukan masyarakat untuk mengawasinya guna melindungi kehidupan mereka. Demikian pula dengan pemberdayaan masyarakat yang diterapkan dalam pengelolaan P2DTK pasca tsunami di Kabupaten Aceh Besar.

Jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam Program P2DTK berupa kegiatan sosial dan pembangunan sarana prasarana. Diantara sarana prasarana yang telah dibangun adalah jenis prasarana dasar lingkungan berupa prasarana jalan guna meningkatkan aksesibilitas dan perekonomian masyarakat, prasarana saluran untuk mencegah banjir dan kenyamanan lingkungan pemukiman; jenis prasarana yang menunjang perekonomian seperti pemagaran areal persawahan dan kebun dan jenis sarana yang mendukung aktivitas sosial seperti pembangunan Gedung Taman Pendidikan AlQuran (TPA), pembangunan/rehab Meunasah dan pembangunan tempat wudhuk.

Penyediaan sarana prasarana melalui PPK tersebut menerapkan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses pelaksanaannya. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan PPK di Kabupaten Aceh Besar dinilai cukup tinggi dan output sarana prasarana P2DTK yang telah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Abdul Hadi, dkk. 2007), namun kemandirian masyarakat dalam


(28)

mengelola pembangunan belum terwujud, masyarakat masih sangat berharap pada bantuan dari berbagai pihak untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka.

Pembangunan yang telah dilakukan pasca tsunami selama ini secara umum telah mampu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, pembangunan ternyata menimbulkan kesenjangan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara wilayah pesisir dan pedalaman serta antara kota dan desa.

Atas dasar pendapat dan pemikiran di atas maka penulis tertarik mengadakan penelitian pada wilayah Kabupaten Aceh Besar untuk membahas dan menganalisa pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka perlu dibuat suatu rumusan untuk mengidentifikasikan masalah secara tepat. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus secara simultan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?

2. Apakah ada pengaruh kemandirian masyarakat secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?


(29)

3. Apakah ada pengaruh potensi wilayah secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?

4. Apakah ada pengaruh integrasi ekonomi secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?

5. Apakah ada pengaruh daerah khusus secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus secara simultan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kemandirian masyarakat secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh potensi wilayah secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

4. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh integrasi ekonomi secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.


(30)

5. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh daerah khusus secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar?

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, sebagai berikut:

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, dapat dijadikan masukan dalam menjalin kerjasama dengan P2DTK terhadap pengembangan wilayah.

2. Bagi P2DTK, dapat mengetahui program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus bermanfaat bagi masyarakat Aceh Besar.

3. Bagi masyarakat Kabupaten Aceh Besar, dapat mengetahui kegunaan program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus.

4. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan refrensi ilmiah yang akan melakukan penelitian tentang pengembangan wilayah.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Community Development

Community (Bambang, 2007) dalam arti komunitas bermakna sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama. Selain itu community diartikan sebagai kesatuan pemukiman yang di atasnya terdapat kota kecil/town, kota atau kota besar/city.

Menurut Bambang (2007) Community development pada garis besarnya dapat ditinjau dalam dua pengertian yaitu sebagai berikut:

1. Dalam arti luas bermakna sebagai perubahan sosial berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan bidang ekonomi dan sosial.

2. Dalam arti sempit adalah perubahan sosial berencana di lokasi tertentu: dusun, kampong, desa, kota kecil dan kota besar, dikaitkan dengan proyek yang berhubungan dengan upaya pemenuhan dari kebutuhan lokal, sepanjang mampu dikelola sendiri dan degan bantuan sementara dari pihak luar.

Esensi community development yang kemudian mengilhami model pembangunan yang berpusat pada rakyat, adalah upaya pemberdayaan (empowerment) terhadap rakyat berdasarkan integrasi ide-ide kemandirian. Masyarakat adalah pelaku yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya dan mengarahkan proses pembangunan sumberdaya. Titik tekannya terletak pada kewenangan komunitas mengelola sumberdaya dalam mewujudkan kepentingannya.


(32)

Kegiatan ini dirancang berdasarkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dengan orientasi kebutuhan, petonsi dan kemampuan komunitas lokal, namun memperhatikan variasi dan perbedaan yang ada dalam komunitas.

Menurut Tjokrowinoto dalam Bambang (2007), titik berat dari community development terletak pada pembangunan masyarakatnya, dengan titik tekan pada pembentukan kader pembangunan yang diharapkan dapat menopang tercapainya masyarakat yang berswasembada. Asasnya adalah pembangunan integral, kekuatan sendiri dan pemufakatan bersama.

1. Asas pembangunan integral adalah pembangunan yang seimbang dari semua segi masyarakat sehingga menjamin perkembangan yang selaras dan tidak berat sebelah, tetapi perlu diingat bahwa untuk masa permulaan titik beratnya terutama harus diletakkan dalam pembangunan ekonomi.

2. Asas kekuatan sendiri bahwa tiap usaha pertama-tama harus didasarkan kepada kekuatan atau kemampuan sendiri dan tidak hanya menunggu pemberian dari pemerintah.

3. Asas pemufakatan bersama diartikan bahwa pembangunan harus dilaksanakan di lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh masyarakat yang

bersangkutan, sedangkan keputusan melaksanakan suatu proyek bukan berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama dari anggota-anggota masyarakat.

Menurut Dunheim dalam Bambang (2007), Community Development berarti usaha terorganisir untuk mempebaiki kondisi kehidupan komunitas dan peningkatan


(33)

kemampuan berintegrasi dan berkembang secara mandiri, dengan unsurnya: program berencana, pembangkitan tekad, tidak tergantung padan bantuan pihak luar.

Menurut Maskun (dalam Bambang, 2007): Community Development adalah program yang berusaha menjangkau masyarakat yang kondisi sosial ekonominya masih dalam keadaan relatif rendah dan sulit untuk berkehidupan memenuhi syarat kelayakan dan kesejahteraan.

Dalam pengertian fasilitator, community development diartikan suatu proses, yang terkadang memerlukan bantuan dari fasilitator, di mana sekelompok masyarakat mengidentifikasikan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut dengan memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki tetapi kadang-kadang harus menggunakan sumberdaya dari tempat lain.

Community Development melibatkan setiap individu di dalam kelompok untuk menghadapi permasalahn bersama. Community Development bertujuan membentuk kelompok masyarakat yang kuat, sehingga daapt mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi kelompok tersebut.

Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan sendiri merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus.

Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang


(34)

proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akam memperoleh kemajuan.

Pada tataran konseptual istilah pemberdayaan dapat dikaitkan dengan proses transformasi sosial, ekonomi, dan bahkan politik (kekuasaan). Secara definisi, pemberdayaan merupakan proses penumbuhan kekuasaan atau kemampuan diri. Melalui proses pemberdayaan maka diasuksikan seseorang dari strata sosial terendah sekalipun bisa terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah atas. Akan tetapi, pada prakteknya proses pemberdayaan membutuhkan bantuan orang lain. Tanpa bantuan tersebut tidak mungkin proses akan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Untuk itu harus ada seseorang atau institusi yang bertindak sebagai pemicu kemajuan (enabler). Dan “orang kuat” yang sering menjadi andalan tidak lain adalah pemerintah.

Para ahli menetapkan bermacam-macam model dalam pelaksanaan community development. Model yang paling sering dipakai (Chisinau, 2005) yaitu:

1. Organization of the Neighborhood

Dalam model ini Community Development dimanfaatkan untuk membentuk solidaritas di antara masyarakat yang berdekatan/bertetangga. Setiap anggota kelompok berlaku sebagai individu yang berkerjasama menghadapi sebuah permasalahan bersama.


(35)

2. Community Planning

Dalam model ini Community Development dimanfaatkan untuk mengkoordinasikan anggota suatu kelompok masyarakat yang lebih luas untuk mengatasi permasalahan yang lebih kompleks.

3. Programme Development

Dalam model ini anggota kelompok terlibat dalam setiap tahap pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan. Para anggota berpikir, menganalisa, merencanakan, mengatur dan mengevaluasi kegiatan pembangunan dengan kemampuan yang mereka miliki. Model ini sering disebut juga dengan prinsip partisipatif.

2.2. Community Development dalam Pembangunan Pedesaan

Community Development yang oleh para praktisi pembangunan sering diterjemahkan sebagai pembangunan masyarakat, pengembangan masyarakat, maupun pemberdayaan masyarakat, merupakan sebuah wacana pendekatan pembangunan yang telah dimulai sejak periode 1960-an. Periode di mana secara global masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II dan mulai menapak jalan kesejahteraan. Pada periode itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapatkan perhatian kalangan yang lebih luas dan mendorong berkembangnya wacana dan praktek Community Development.


(36)

Dalam perspektif sejarah (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), perkembangan

Community Development pada tataran global dapat dibagi ke dalam setidaknya empat dasawarsa, yaitu dasawarsa 1960, 1970, 1980, dan 1990.

1. Dasawarsa 1960, Community Development banyak diwujudkan dalam bentuk investasi di dalam infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi tepat guna. Tujuan dari investasi ini adalah mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat terutama untuk meningkatkan produktifitas. Motor dari kegiatan

Community Development pada periode ini adalah pemerintah.

2. Dasawarsa 1970, terjadi perpindahan penekanan dari sektor-sektor produktif kearah sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah munculnya kesadaran bahwa peningkatan produktifitas hanya akan terjadi manakala variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, (misalnya pendidikan dan kesehatan) dapat dibantu dari luar.

3. Dasawarsa 1980, ditandai dengan berkembangnya kesadaran adanya aktor lain yang memiliki potensi untuk terlibat di dalam Community Development yaitu sektor swasta. Sektor swasta yang telah berkembang melalui dukungan pemerintah memiliki tanggung jawab sosial untuk turut terlibat di dalam Community Development. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui pengembangan kerja sama, akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.

4. Dasawarsa 1990, adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder, pendekatan system dan proses, maupun pendekatan civil society (masyarakat sipil). Beragam pendekatan


(37)

tersebut telah mempengaruhi praktek Community Development dan mengedapankan aktor lain yaitu organisasi masyarakat sipil sebagai pelaku kunci dari Community Development.

Secara skematis, dinamika perkembangan wacana Community Development

dapat digambarkan sebagai berikut:

Pemerintah

1960 1970

Sektor Sektor

Produktif 1990 Sosial

1980

Pasar

Sumber: Riza, Info URDI Vol. 16, 2002

Gambar 2.1. Dinamika Perkembangan Wacana CD

Dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek Community Development dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002), yaitu:

1. Development for community

Development for community adalah bentuk Community Development di mana masyarakat pada dasarnya menjadi objek pembangunan karena berbagai inisiatif, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Aktor luar ini dapat saja telah melakukan penelitian, melakukan


(38)

konsultasi, dan melibatkan tokoh setempat. Namun apabila keputusan dan sumber daya pembangunan berasal dari luar, maka pada dasarnya masyarakat tepat menjadi objek.

2. Development with community

Development with community ditandai secara khusus dengan kuatnya pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumber daya yang dipakai berasal dari kedua belah pihak.

3. Development of community

Development of community adalah proses pembangunan yang baik inisiatif, perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat. Masyarakat membangun dirinya sendiri. Peran aktor dari luar dalam kondisi ini lebih sebagai system pendukung bagi proses pembangunan.

Ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang.


(39)

Dewasa ini, program pemberdayaan masyarakat banyak sekali diluncurkan oleh pemerintah sebagai wujud komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, terdapat kesan bahwa program ini kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan dalam desain program pemberdayaan itu, antara lain bahwa pemberdayaan sering dipersepsikan dan diterjemahkan secara sempit sebagai pemberian akses financial (penyediaan dana bantuan atau kredit) yang lebih besar kepada anggota masyarakat, khususnya kelompok miskin. Persepsi yang demikian, tidaklah mengherankan bahwa program pemberdayaan sering kali dikemas dalam kerangka program pengentasan kemiskinan. Padahal, masyarakat yang tidak berada di bawah garis kemiskinan pun membutuhkan upaya pemberdayaan pula.

Dalam hal ini, terdapat kritik dari Mishael Lipton dan Robert Chamber, program pengentasan kemiskinan sering bias dan salah sasaran. Program dan proyek pengentasan kemiskinan di berbagai Negara berkembang banyak dilaksanakan di perkotaan, sehingga kemiskinan di pedesaan (rural proverty) tidak dapat berkurang secara signifikan. Situasi seperti ini oleh Lipton disebut sebagai bias perkotaan (urban bias).

Analisis serupa diberikan oleh Chamber (1995) yang mengatakan bahwa pengentasan kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan “energi” yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment).


(40)

Oleh karena itu, Chamber (1995) mengajukan pemikiran bahwa upaya untuk mengatasi masalah ketidak berdayaan masyarakat adalah melalui “…enabling and empowering the poor through ‘reversals in management’ of dominant paradigms of development which involves shifting power and initiatives downwards and outwards”. Dengan demikian, suatu proses pemberdayaan haruslah memberikan kesempatan/ wewenang dan memberdayakan kaum miskin melalui “terobosan perukaran manajemen” dalam paradigma pembangunan yang selama ini dominan. Artinya, diperlukan pemindahan atau pengoperan kekuatan dan inisiatif berusaha dari kelompok kuat kepada kaum miskin tersebut.

Persepsi bahwa kebijakan pemberdayaan harus dikaitkan dengan program pemberian bantuan lunak secara bergilir (revolving grant) juga mengandung bahaya, sebab hal ini justru menciptakan ketergantungan masyarakat. Dengan kata lain, program micro credit atau micro finance bagi penduduk miskin mencerminkan budaya aparatur pemerintah yang masih berorientasi top down dan patronizing yang terlalu kuat, baik dalam kebijaksanaan maupun perencanaan. Sikap ini sering menimbulkan kondisi ketergantungan (dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan masyarakat lokal.

Upaya untuk mengatasi kelemahan tersebut mendorong Community Development kearah yang lebih maju. Pada saat ini Community Development telah mengalami proses pengayaan sehingga menjadi sebuah pendekatan yang multi aspek dan secara umum terdiri dari beberapa aspek kunci sebagai berikut (Riza, Info URDI Vol. 16, 2002):


(41)

1. Adalah sebuah proses “akar rumput”.

Community Development merupakan proses yang terjadi di masyarakat lokal dan dilaksanakan di dalam konteks mereka. Community Development bukanlah proses yang dapat didesain dan diproses dari atas.

2. Menjadi lebih swadaya (self-reliance).

Banyak kegiatan yang dinamakan Community Development dalam kenyataan justru menumbuhkan ketergantungan masyarakat lokal terhadap aktor luar. Apabila hal ini terjadi, maka kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya bukan

Community Development karena Community Development pada dasarnya adalah upaya menolong masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri dengan membuat masyarakat menjadi swadaya.

3. Berkembang menjadi komunitas pembelajar (learning communities).

Menjadi swadaya menuntut masyarakat lokal untuk mampu belajar dari pengalamannya sendiri untuk menjawab tantangan yang akan muncul dikemudian hari.

4. Berkurangnya kerentanan dan kemiskinan.

Keberhasilan Community Development bukan sekedar bahwa kegiatan yang direncanakan telah dilaksanakan (output). Apapun kegiatan dan oleh siapa saja,

Community Development hanya dianggap berhasil bila mampu mengurangi kerentanan dan kemiskinan yang dihadapi masyarakat.


(42)

5. Terciptanya peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan.

Peluang ekonomi dan mata pencaharian yang berkelanjutan dalam sebagian besar kegiatan Community Development adalah sasaran yang menjadi pondasi bagi pencapaian sasaran lain yang lebih jauh.

6. Menguatnya modal sosial

Dalam komunitas masyarakat miskin yang tidak memiliki modal financial, modal sosial merupakan modal dasar yang memungkinkan masyarakat lokal bertahan hidup dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Community Development

dilaksanakan dengan menggunakan modal sosial sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan lainnya.

7. Tercapainya keseimbangan tujuan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

Pendekatan pemberdayaan masyarakat dipercaya akan mengantar masyarakat dalam berproses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan keluar sesuai sumber daya yang mereka miliki. Untuk mencapai hasil optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal jelas tidak tepat. Perlu dikembangkan pendekatan lain untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru dalam perumusan kebijakan peberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal; Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri.

Dalam dimensi dan tingkatan pemberdayaan, merujuk pada kajian UNDP (UNDP, 1998, Capacity Assesment and Development in A System and Strategic


(43)

Management Context, Technical Advisory Paper No.3) paling tidak ada tiga level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1) pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan; 2) pemberdayaan pada level kelompok/ organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis maupun politis.

Adapun indikator dari masing-masing dimensi dan tingkatan pemberdayaan (UNDP, 1998) dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat

Dimensi Indikator

Level Individu:

Pengembangan potensi dan keterampilan

Level Kelompok/Organisasi: Partisipasi dalam pembangunan Level Sistem:

Kemandirian masyarakat

Kepemilikan asset/modal Kekuatan fisik

Tidak terisolasi

Penguasaan keterampilan Keberfungsian lembaga usaha

Perencanaan dan pengambilan keputusan Pelaksanaan dan pengawasan keputusan Bersama

Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan Pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar

Sumber: Utomo, 2006

Sementara pada aspek kategorisasi program pemberdayaan, paling tidak ada lima kelompok besar pemberdayaan (Widodo, 2006), yakni:


(44)

1. Penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya seperti modal, informasi, kesempatan berusaha dan memperoleh kemudahan/fasilitas, dan sebagainya.

Pemberian pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran buletin, subsidi bagi pengusaha lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas dalam kategori ini.

2. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan.

Sebagai contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan infrastruktur transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan non-bank, jaringan pemasaran, dan lain-lain adalah contoh kondisi yang memiliki faktor-faktor keunggulan. Di sisi lain, kawasan pedesaan sering dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan masyarakat.

Contoh lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan prasarana irigasi sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama. Kebijakan pertanian yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan kepada lahan yang sudah memiliki faktor keunggulan (misalnya jaringan irigasi) dengan alasan untuk mendongkrak produksi panen. Seandainya pemerintah mempromosikan program intensifikasi pertanian untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal


(45)

ini berarti telah terjadi pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan petani.

3. Pengembangan potensi masyarakat baik dalam pengertian SDM maupun kelembagaan masyarakat.

Setiap upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak tahu menjadi tahu dan sebagainya, jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara sistematis dengan tujuan memperkuat potensi masyarakat, adalah contoh nyata dari aksi pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan untuk memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A), dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan pemberdayaan.

4. Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan swakelola dalam bidang pelayanan umum.

Dalam banyak kasus ditemukan adanya fenomena bahwa masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan), telah memiliki kemapuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan dan gorong-gorong, penyediaan air bersih melalui pembangunan sumur artesis atau sistem bak penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada kendala koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalm situasi seperti itulah, kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulant atau


(46)

pernagsang, sangat berarti. Stimulant di sini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan teknis, atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu.

5. Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat daam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan.

Seiring dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development). Rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai elemen kunci dalam perumusan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang masuk dalam kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan, deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas (keturuan, wanita, penduduk asli/pendatang, dll), dan sebagainya.

Langkah selanjutnya dalam menganalisis kebijakan pemberdayaan adalah menetapkan bidang dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini, paling tidak ada empat bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan pemberdayaan, yakni ekonomis, sosial budaya, politis/administratif, serta prasarana. Sebagai contoh, untuk kategori pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara ekonomis hal ini dicapai dengan pemberian pinjaman lunak dan subsidi bagi pengusaha lemah, penyebaran informasi peluang pasar domestik dan internasional, atau melalui pemberian dana suplemen. Sementara dari aspek sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan penyebaran buletin, penyediaan sarana promosi/pengadaan pekan promosi, promosi


(47)

program intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan berbagai macam pelatihan.

Dalam aspek politis/administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat fungsi atau efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam proses perijinan (deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif terhadap masyarakat dan dunia usaha, membangun forum konsultasi pembangunan, dan sebagainya. Adapun dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan unutk beberapa langkah seperti pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus, bantuan material fisik sebagai bentuk rangsangan dan sebagainya.

Keterlibatan tersebut, juga didukung oleh Blakely (1991) yang mengatakan bahwa: “Local government, community development process”. Pandangan Blakely sejalan pula dengan paradigma baru pembangunan bahwa untuk menyelesaikan suatu masalah pembangunan di suatu daerah, harus dilaukan melalui institusional radicalization, yaitu kembali ke akar kelembagaan yang tumbuh (berada) di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.

Sering terjadi, Community Development justru mengubah keseimbangan elemen-elemen dalam masyarakat yang ada. Apabila hal ini terjadi maka dalam jangka panjang akan merugikan masyarakat. Community Development sebaiknya dilaksanakan dengan mempertahankan perspektif keseimbangan yang ada di masyarakat lokal.


(48)

Menurut Riza dalam info URDI Vol. 16, 2002, Community Development agar dapat dilaksanakan secara efektif perlu didasarkan pada beberapa pemahaman dasar seperti di bawah ini:

1. Upaya jangka panjang. Community Development merupakan sebuah proses terus menerus (on-goig process) yang menuntut lebih kepada pengembangan kelembagaan dan bukan serangkaian aktivitas dalam kerangka proyek.

2. Terbuka dan setara. Community Development adalah proses yang terbuka terhadap berbagai masukan dan pengaruh sesuai kondisi lokal. Untuk itu sikap yang melibatkan berbagai stakeholder Community Development secara setara menjadi keharusan. Sikap ini merupakan prasyarat untuk mengembangkan partisipasi. 3. Milik masyarakat. Community Development merupakan aktivitas yag dimiliki oleh

masyarakat. Karenanya desain, proses, dan pengembangannya dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat lokal.

4. Berdasar pada pengalaman kasus-kasus yang baik (best practices). Community Development merupakan bagian dari proses sejarah masyarakat lokal. Community

Development terutama dengan perspektif Appreciative Inquiry melihat bahwa di masyarakat banyak hal-hal positif yang dapat menjadi batu pijakan

melaksanakan berbagai aktivitas lainnya.

Dengan demikian Community Development yang dikembangkan sebagai respon sesaat pada isu atau kecenderungan tertentu, membuat masyarakat tidak dapat berpartisipasi, dan dilaksanakan terisolasi dari sektor-sektor lain pada dasarnya bukanlah Community Development.


(49)

2.3. Konsep Pengembangan Wilayah

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses literatif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerpannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia.

Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argument bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah

backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 1970-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.


(50)

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa. Di antaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memeperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP. Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, missal antara KTI dan KBI, antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pemahaman teoritis dan pengalaman empiris di atas, maka secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian


(51)

upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI.

Berpijak pada pengertian di atas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumber daya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hokum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.

2.4. Pengertian dan Peranan Ilmu Pembangunan Wilayah

Ilmu pembangunan wilayah merupakan ilmu yang relatif masih baru. Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu: geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan wilayah setidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar analisis, yaitu: (1) analisis biogeofisik; (2) analisis ekonomi; (3) analisis sosiobudaya; (4) analisis kelembagaan; (5) analisis lokasi; (6) analisis lingkungan.


(52)

Rustiadi et al. (2002) menyebutkan bahwa lingkup kajian perencanaan pengembangan wilayah sangat luas, sebagai bidang kajian yang membentang dari lingkup ilmu yang bersifat multidisiplin, mencakup bidang-bidang ilmu mengenai fisik, sosial ekonomi hingga manajemen. Dari sisi proses kajian pembangunan mencakup hal-hal mengenai: (1) aspek pemahaman, yakni aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah, dalam konteks ini pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem merupakan alat (tools) penting yang perlu dipahami, untuk mengenal dan mendalami permasalahan-permasalahan maupun potensi-potensi pembangunan wilayah, (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknik-teknik desain dan pemetaan hingga perencanaan, dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi, perumusan tujuan-tujuan pembangunan serta proses melaksanakannnya, mencakup proses-proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan.

Secara harfiah, Rustiadi et al (2002) menyebutkan bahwa regional science

dapat dipandang sebagai ilmu yang mempelajari aspek-aspek dan kaidah-kaidah kewilayahan, dan mencari cara-cara yang efektif dalam mempertimbangkan aspek-aspek dan kaidah-kaidah tersebut ke dalam proses perencanaan pengembangan kualitas hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini regional science tidak didefinisikan sebagai ‘ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan pembangunan di suatu wilayah’, karena pengertian demikian tidak memberikan spesifikasi yang jelas terhadap bidang keilmuan regional science. Secara ilustrasi,


(53)

walaupun kata ‘di suatu wilayah’ itu dihilangkan, kita tetap bisa menangkap suatu pemahaman bahwa setiap pembangunan pasti dilakukan pada suatu wilayah atau areal tertentu. Padahal penambahan kata ‘wilayah’ ini dimaksudkan untuk memberikan kekhasan bahwa regional science adalah bidang ilmu yang berbeda dengan bidang-bidang ilmu perencanaan pembangunan lainnya, yakni dengan adanya penekanan terhadap pentingnya pertimbangan dimensi kewilayahan.

Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan pentingnya ilmu pembangunan wilayah dalam konteks pembangunan di Indonesia dan wilayah pesisir pada khususnya, dikarenakan:

1. Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana kegiatan-kegiatan pembangunan saat ini dipusatkan di bagian barat. Konsentrasi demikian menimbulkan isu pengembangan wilayah ‘outer island’ yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah yang berdimensi wilayah.

2. Pembangunan masa lalu lebih menitikberatkan pada pembangunan daratan dari lautan, sehingga pembangunan pesisir relatif tertinggal. Masyarakat pesisir relatif lebih miskin dari wilayah daratan lainnya. Kondisi ini diperburuk dengan posisi politik nelayan yang relatif lemah dibanding dengan posisi lainnya.

3. Letak geografis Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh faktor geologis dan ekologis yang menyebabkan keragaman lingkungan.

4. Keragaman kultural menyebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap pembangunan.


(54)

5. Sifat pembangunan politik di Indonesia yang diwarnai oleh kekuatan politik wilayah.

6. Adanya kebijakan otonomi daerah, yang merupakan antisipasi terhadap maraknya tuntutan lepasnya beberapa daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan pemerintah dapat membangun sesuai kebutuhan dan kemampuannya sendiri.

7. Pembangunan Indonesia masih bersifat sektoral, sehingga hasil yang dicapai tidak optimal.

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar, 1999).

2.5. Konsep Ruang dan Wilayah

Ruang atau kawasan sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan karena merupakan wadah yang utama di wilayah pesisir. Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (1) jarak, (2) lokasi, (3) bentuk, dan (4) ukuran.


(55)

Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).

Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan sosial ekonomi dalam ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap kegiatan lainnya.

Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas enam jenis. Adapun konsep enam jenis wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik di mana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola


(56)

(3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat

pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di

suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya didalamnya.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Rika tahun 2007, yang berjudul “Dampak Proyek MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) Terhadap Pengembangan Wilayah Desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Proyek MCRMP berdampak cukup


(57)

signifikan terhadap jumlah produksi ikan, harga jual ikan dan pendapatan masyarakat, pengembangan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta pengembangan wilayah di desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan. Dampak proyek ini antara lain berpengaruh terhadap kenaikan jumlah produksi ikan, harga jual ikan dan pendapatan masyarakat. Selain itu peranan institusi yang semakin meningkat, khususnya kelompok nelayan yang berakibat terhadap peningkatan aktivitas ekonomi yang secara bersama-sama mengakibatkan pengemangan wilayah Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan.

Hasil penelitian Kaharu dan kawan-kawan tahun 2000 tentang “Pemberdayaan LKMD Bagi Pembangunan Masyarakat Lokal (Studi Kasus di Kota Gorontalo)” menunjukkan bahwa:

1. Pemberdayaan LKMD Kota Gorontalo bagi pembangunan masyarakat lokal di lihat dari segi perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian telah menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan adanya upaya mereka dalam menyusun perencanaan pembangunan setelah melewati proses pertemuan, rapat atau musyawarah. Kegiatan seperti ini sebagai perwujudan upaya meningkatkan kesatuan visi dalam hal melihat sifat dan luasnya masalah, sekaligus memecahkannya.

2. Dalam rangka peningkatan kemampuannya, LKMD Kota Gorontalo selalu berusaha untuk memanfaatkan segala potensi yang ada, berupa sumber daya manusia seperti tingkat pendidikan, pengalaman, tokoh masyarakat atau sesepuh


(58)

desa, sumber daya alam serta sumber dana seperti bantuan desa (Bandes), jarring pengaman sosial (JPS) serta swadaya gotong royong masyarakat.

3. Dalam rangka peningkatan integritas, LKMD Kota Gorontalo berusaha untuk melaksanakan setiap rencana pembangunan yang telah disetujui bersama dengan cara ikut serta dalam pengendalian pembangunan bersama Pembina maupun dinas/instansi terkait lainnya.

4. Bahwa LKMD Kota Gorontalo telah mampu menginterventarisir sekaligus mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan maupun tingkat keberdayaannya, seperti kualitas sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, kesejateraan dan moral.

5. Bahwa LKMD Kota Gorontalo telah mampu mengemukakan kritik secara berani dan transparan tentang kelemahan LKMD selama ini serta mengemukakan saran-saran dalam rangka pemberdayaan maupun tingkat keberdayaannya baik menyangkut pengurus, pembina maupun sumber daya lainnya.

6. Bahwa pemberdayaan LKMD Kota Gorontalo bagi pembangunan masyarakat lokal, cenderung mempengaruhi perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan maupun peningkatan pendapatan, yang sifatnya temporer dan terbatas pada mereka yang memiliki keterampilan tertentu saja.

7. Bahwa hasil penelitian ini belum cukup untuk menjawab seluruh pertanyaan penelitian tentang pemberdayaan LKMD bagi pembangunan masyarakat lokal do Kota Gorontalo.


(59)

Penelitian Josua (2007), dalam penelitiannya berjudul “Pola Kemitraan dalam Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada Program Community Development PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir”, menyimpulkan bahwa motif utama PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. menggulirkan kebijakan paradigma baru sebagai deskripsi tanggung jawab sosialnya adalah untuk mengamankan operasional pabrik. Sehingga motif tersebut mengaburkan aspek kerelaan (voluntarism) dan kemitraan yang dibangun atas dasar hubungan sub ordinasi, di mana masing-masing partisipan memiliki status, kemampuan dan kekuatan yang tidak seimbang. Yayasan yang dibentuk idealnya adalah merupakan representasi dari sektor sukarela (voluntary) yang berperan sebagai agen pembaharu (change agent) untuk mendinamisasi program dalam rangka pemberdayaan masyarakat, namun kenyataannya lebih cenderung sebagai korporasi negara.

2.7. Kerangka Pemikiran

Berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian dan tujuan penelitian, maka dalam hal ini dapat digambarkan kerangka pemikiran yang menjelaskan bagaimana pengaruh program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.


(60)

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan serta landasan teori yang tertuang dalam alur pikir sebelumnya maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah:

1. Program kegiatan percepatan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (P2DTK) terdiri dari: kemandirian masyarakat, potensi wilayah, integrasi ekonomi dan daerah khusus berpengaruh secara simultan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

2. Kemandirian masyarakat berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

KEMANDIRIAN MASYARAKAT

PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN

ACEH BESAR POTENSI

WILAYAH

INTEGRASI EKONOMI

DAERAH KHUSUS


(61)

3. Potensi wilayah berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

4. Integrasi ekonomi berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.

5. Daerah khusus berpengaruh secara parsial terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Aceh Besar.


(62)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Latar Belakang Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Besar pada 16 kecamatan yang mendapatkan program kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Penelitian ini direncanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli sampai dengan November 2010.

3.2. Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh masyarakat yang berada pada 16 kecamatan yang mendapatkan program kegiatan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) di Kabupaten Aceh Besar. Mengingat populasi yang begitu besar, maka perlu dipilih sejumlah sampel yang mewakili populasi. Banyaknya sampel dihitung dengan menggunakan rumus dari Slovin (Husein, 2003), yaitu:

N n =

1 + N(e)2 Keterangan :

n = jumlah sampel N = jumlah populasi


(63)

Jumlah sampel yang diambil: n =

2 (0,1) 95765 ` 1 + 1 95765 ` 1

= 99,94 ≈ 100 orang

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah sampel yang diambil adalah 100 orang. Pengambilan sampel secara Cluster Random Sampling yaitu sampel acak sederhana di mana setiap sampling unit terdiri dari kumpulan atau kelompok elemen. Cara ini dipilih karena lokasi menyebar secara geografis (Supranto, 2001:226), dengan perincian masing-masing perkecamatan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Populasi dan Sampel Penelitian

No. Kecamatan Populasi Sampel

1 2 Lhoong Leupung 9.511 4.033 5 2

3 Indrapuri 17.414 9

4 Kuta Cot Glie 11.602 6

5 Seulimeum 20.301 10

6 Jota Jantho 8.136 4

7 Lembah Seulawah 8.886 5

8 Mesjid Raya 21.077 11

9 Montasik 17.850 9

10 Ingin Jaya 24.312 12

11 Krueng Barona Jaya 13.804 7

12 Sukamakmur 13.561 7

13 Kuta Malaka 5.406 3

14 Simpang Tiga 5.462 3

15 Pulo Aceh 4.695 2

16 Blang Bintang 9.715 5


(64)

3.3. Teknik Pengumpulan Data 3.3.1. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti dari obyek penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan langsung dari lokasi penelitian melalui kuesioner yang diberikan kepada responden. Data tersebut digunakan merupakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan daftar pertanyaan. Pertanyaan dibuat dalam sesuai dengan masalah yang diteliti, yang dapat dilakukan dengan:

a. Pengamatan (observasi), yaitu dengan cara pengamatan atau bentuk observasi yang bersifat non partisipasi, di mana penulis hanya mengamati dan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.

b. Wawancara, yaitu menggali informasi dari informan kunci, tokoh masyarakat, Kepala Desa, Camat.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain dan telah tersedia pada saat penelitian dilakukan. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dokumentasi resmi P2DTK, buku-buku, majalah-majalah, BPS, internet dan media masa lainnya.


(65)

3.4. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat ukur untuk mengukur variabel yang diteliti. Jumlah instrumen tergantung pada jumlah variabel. Setiap instrumen akan mempunyai skala, sedangkan skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan skala interval dari satu sampai lima. Untuk dapat mengkuantitatifkan data yang diperoleh dari daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah dijawab oleh para responden. Sementara itu butir-butir pertanyaan kuesioner dibuat dalam bentuk pilihan ganda, di mana setiap butir pertanyaan terdiri dari lima alternatif jawaban. Kemudian data jawaban para responden diberi skor dengan menggunakan sistem

Skala Likert. Dalam hal ini ada lima klasifikasi jawaban yang diberikan dengan kemungkinan pemberian skor sebagai berikut:

a. Jawaban ( Tidak Berhasil ) diberi nilai 1. b. Jawaban ( Kurang Berhasil ) diberi nilai 2. c. Jawaban ( Cukup Berhasil) diberi nilai 3. d. Jawaban ( Berhasil ) diberi nilai 4.

e. Jawaban ( Sangat Berhasil ) diberi nilai 5.

Instrumen penelitian yang diguna kan adalah kuesioner. Pada penelitian ini, kuesioner diisi oleh responden. Sebelum kuesioner disebarkan ke seluruh responden, terlebih dahulu dikonsultasikan kepada responden, untuk mengetahui apakah kalimat-kalimat dalam kuesioner cukup dimengerti, dengan tujuan untuk pembenahan.


(66)

Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data yang merupakan penjabaran dari indikator variabel sebelum digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan, terlebih dahulu harus diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Validitas menunjukkan sejauhmana instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur, sedangkan reliabilitas menunjukkan sejauhmana instrumen pengukur dapat dipercaya atau dihandalkan (Sugiyono, 2007:109). Oleh karena itu setelah instrumen itu valid dan reliable, maka dapat digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan.

3.5.1. Validitas data

Koefisien validitas menggambarkan tingkat kemampuan instrumen untuk mengungkap data atau informasi dari variabel yang diukur. Teknik pengujian validitas menggunakan teknik korelasi product moment dari pearson dengan tingkat signifikansi 5% untuk mengetahui keeratan pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan cara mengkorelasikan antara skor item pernyataan terhadap skor total. Apabila nilai total pearson correlation > 0,3, atau probabilitas kurang dari 0,05 maka item tersebut valid (Arikunto, 2002:146).

3.5.2. Reliabilitas Data

Reliabilitas adalah tingkat kemampuan suatu instrumen penelitian untuk dapat mengukur suatu variabel secara berulangkali dan mampu menghasilkan informasi atau data yang sama atau sedikit sekali bervariasi. Dengan kata lain instrumen tersebut mampu menunjukkan keakuratan, kestabilan dan konsistensi dalam


(1)

Reliability

Case Processing Summary

N %

Valid 100 100.0

Excludeda 0 .0

Cases

Total 100 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on Standardized

Items N of Items

.773 .779 5

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

Potensi Wilayah 1 3.71 .820 100

Potensi Wilayah 2 3.66 .755 100

Potensi Wilayah 3 3.51 .882 100

Potensi Wilayah 4 3.49 .959 100

Potensi Wilayah 5 3.55 .892 100


(2)

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items Item

Means 3.584 3.490 3.710 .220 1.063 .009 5

Reliability

Case Processing Summary

N %

Valid 100 100.0

Excludeda 0 .0

Cases

Total 100 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on Standardized

Items N of Items

.604 .613 3

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

Integrasi Ekonomi 1 3.79 .868 100

Integrasi Ekonomi 2 3.98 .778 100


(3)

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items Item

Means 3.890 3.790 3.980 .190 1.050 .009 3

Reliability

Case Processing Summary

N %

Valid 100 100.0

Excludeda 0 .0

Cases

Total 100 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on Standardized

Items N of Items

.715 .718 3

Item Statistics

Mean Std. Deviation N


(4)

Daerah Khusus 2 3.91 .944 100

Daerah Khusus 3 3.94 .839 100

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items Item

Means 3.837 3.660 3.940 .280 1.077 .024 3

Regression

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered

Variables

Removed Method

1 DAERAH

KHUSUS, INTEGRASI EKONOMI, KEMANDIRIAN MASYARAKAT, POTENSI WILAYAHa

. Enter

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: PENGEMBANGAN WILAYAH


(5)

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .819a .670 .656 .39509 2.058

a. Predictors: (Constant), DAERAH KHUSUS, INTEGRASI EKONOMI, KEMANDIRIAN MASYARAKAT, POTENSI WILAYAH

b. Dependent Variable: PENGEMBANGAN WILAYAH

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 30.103 4 7.526 48.211 .000a

Residual 14.829 95 .156

1

Total 44.932 99

a. Predictors: (Constant), DAERAH KHUSUS, INTEGRASI EKONOMI, KEMANDIRIAN MASYARAKAT, POTENSI WILAYAH

b. Dependent Variable: PENGEMBANGAN WILAYAH

Coefficientsa

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Collinearity Statistics

Model B Std. Error Beta T Sig. Tolerance VIF

(Constant) .451 .268 1.682 .096

KEMANDIRIAN MASYARAKAT .251 .086 .280 2.933 .004 .381 2.623

POTENSI WILAYAH .268 .118 .249 2.269 .026 .289 3.458

INTEGRASI EKONOMI .174 .082 .166 2.122 .036 .571 1.750

1

DAERAH KHUSUS .246 .077 .264 3.184 .002 .504 1.985

a. Dependent Variable: PENGEMBANGAN WILAYAH


(6)