2.7 Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan penyakit TB didefinisikan sebagai pengindentifikasian faktor- faktor resiko dan mengendalikan sehingga tidak menyebabkan timbulnya TB pada
manusia. Pencegahan terhadap terjadinya TB melalui tiga bagian yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan primer merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari diri dari faktor-faktor yang menyebabkan TB. Masyarakat
yang melakukan pencegahan pada tingkat ini akan bebas dari penderitaan, produktivitas berjalan terus, tidak memerlukan biaya untuk pemeriksaan,
pengobatan, rehabilitasi serta perawatan lebih lanjut. Salah satu bagian dari pencegahan primer adalah asupan gizi seimbang, hyegine dan sanitasi, perumahan
serta kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat. 2. Pencegahan sekunder penyakit TB bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini
sehingga keterlambatan diagnosis dan pengobatan dapat dihindari dan penyembuhan dapat segera dilakukan. Pencegahan sekunder melalui diagnosis
dini dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium bila ada gejala-gejala TB. 3. Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang bertujuan untuk mencegah
komplikasi penyakit dan pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan. Pencegahan tersier melalui tatalaksana pengobatan
yang memadai dan adekuat dan pemantauan kepatuhan berobat. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis menuju kegagalan berkepanjangan dan
resistensi obat Kemenkes RI, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.8 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT .
Tujuan pengobatan pada penderita Tubercolusis bukanlah sekedar memberikan obat saja, akan tetapi pengawasan serta memberikan pengetahuan
tentang penyakit ini untuk itu hendaknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar pengetahuan mereka mengetahui resiko-
resiko dan meningkatkan kepatuhan untuk berobat secara tuntas. Dalam program DOTS ini diupayakan agar penderita yang telah menerima obat atau resep untuk
selanjutnya tetap membeli atau mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan.
Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal monoterapi. Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap OAT-KDT
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat dilakukan pengawasan lansung
Diretly Observed Treatment DOT oleh seorang pengawas menelan obat PMO 3. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan
Paduan OAT yang digunakan oleh program nasional pengendalian Tuberkulosis di Indonesia yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Kategori-1 2HRZE4H3R3 Tahap intensif terdiri dari Isoniazid H, Rifamfisin R, Pirazinamid Z, dan
Ethambutol E. Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan 2HRZE. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid
H dan Rifamfisin R diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan 4H3R3. Kategori-1 ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif dan pasien TB ekstra paru.
b. Kategori-2 2HRZESHRZE5H3R3E3 Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid
H, Rifampisin R, Pirazinamid H, Ethambutol E dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan, Dilanjutkan 1 bulan dengan isoniazid
H, Rifampisin R, Pirazinamid Z, dan Ethambutol E setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
dalam tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai minum obat.
Obat ini diberikan untuk : a Penderita kambuh relaps
b Penderita gagal fairule c Penderita dengan pengobatan setelah lalai after default.
c. OAT Sisipan
Universitas Sumatera Utara
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan HRZE setiap hari selama 1 bulan. Kemenkes RI, 2011
2.8.1 Evaluasi Pengobatan dan Kesembuhan
1. Evaluasi Klinis a Pasien di evaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. b Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit. c Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi Bakteriologis 0-2-69 bulan pengobatan a Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
b Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis : 1 Sebelum pengobatan dimulai
2 Setelah 2 bulan pengobatan setelah fase intensif 3 Pada akhir prngobatan
c Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
3. Evaluasi radiologi 0-2-69 bulan pengobatan Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :
a Sebelum pengobatan
Universitas Sumatera Utara
b Setelah 2 bulan pengobatan kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan
4. Evaluasi efek samping secara klinis Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
5. Evaluasi keteraturan berobat a Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminumtidaknya obat tersebut. b Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi. PDPI, 2006 Hasil pengobatan penderita TB paru dapat dikategorikan menjadi :
1. Sembuh Penderita dikatakan sembuh jika hasil pemeriksaan ulang sputum paling
sedikit 2 kali berturut-turut negatif, salah satu diantaranya haruslah pemeriksaan akhir pengobatan. Apabila gejala muncul kembali supaya
memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap. 2. Pengobatan Lengkap
Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak ada pemeriksaan ulang sputum, khususnya pada akhir pengobatan AP.
Seharusnya semua penderita BTA positif dilakukan pemeriksaan ulang sputum.
Universitas Sumatera Utara
3. Meninggal Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab
apapun 4. Drop out
Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut: lacak penderita tersebut
dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. 5. Gagal
Penderita dikatakan gagal pengobatan TB paru apabila: a. Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum pengobatan intensif atau pada akhir pengobatan katagori 2
b. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan sputumnya pada akhir bulan kedua menjadi positif.
2.8.2 Tatalaksana Penderita yang Berobat tidak Teratur
Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini dapat terjadi karena penderita belum memahami bahwa
obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan pengobatan terhadap penderita yang putus berobat tergantung pada tipe penderita, lamanya
pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 .Tata Laksana Pengobatan Penderita tidak Teratur Berobat Lama
Pengobatan Sebelumnya
Lama Pengobatan
Terputus Pemerik
saan Dahak
Hasil Pemeri
ksaan Dahak
Diregister Kembali
Pengobatan
Kurang dari 1 bulan
2 Minggu Tidak
- -
Lanjutan kat 1
2-8 Minggu Tidak
- -
Kat 1 dari awal
8 Minggu Ya
Positif -
Kat 1 dari awal
Negatif -
Lanjutan kat 1
1-2 bulan 1-8 Minggu
Ya Positif
- Tambahkan
1 bulan sisipan
Negatif -
Lanjutan kat 1
8 Minggu Ya
Positif Pengobatan
setelah defult Kat 2 dari
awal Negatif
Pengobatan setelah defult
Lanjutan kat 1
2 bulan 2 Minggu
Tidak -
- Lanjutan kat
1 2-8 Minggu
Ya Positif
- Kat 2 dari
awal Negatif
- Lanjutan kat
1 8 Minggu
Ya Positif
Pengobatan setelah defult
Kat 2 dari awal
Negatif Pengobatan
setelah defult Lanjutan kat
1
2.9 Faktor Internal dan Eksternal Kesembuhan Penderita TB
International Standards for Tuberculosis Care ISTC untuk pelayanan Tuberkulosis dalam mencapai kesembuhan penderita TB adalah perlu membina dan
Universitas Sumatera Utara
menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien dan saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,
seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-
macam intervensi yang direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien. Sebagian besar pasien Tuberkulosis
menghentikan pengobatan sebelum masa akhir pengobatan yang telah direncanakan atau meminum obat secara salah. Kegagalan menyelesaikan pengobatan Tuberkulosis
menuju kegagalan berkepanjangan dan resistensi obat Hopewel, 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan kesembuhan penderita TB
ditentukan oleh interaksi lima dimensi yaitu : 1. Faktor sosial dan ekonomi yaitu tidak ada jaringan dukungan sosial yang efektif
dan keadaan hidup yang tidak stabil, budaya dan kepercayaan awam tentang penyakit dan pengobatan, stigma, kesukuan, gender, usia, pengobatan yang
mahal, biaya transportasi yang tinggi, keterlibatan kriminal dan narkoba. 2. Faktor terkait sistem kesehatan atau tim penyelenggara pelayanan kesehatan yaitu
layanan kesehatan yang kurang dikembangkan, hubungan yang tidak memadai antara penyelenggara kesehatan dengan pasien, tenaga kesehatan yang tidak
terlatih, kebanyakan tugas atau kurang pengawasan dalam melaksanakan tugas, tidak mampu memprediksi ketidakpatuhan pasien, hubungan dokter dan pasien
yang baik, ketersediaan tenaga ahli, kaitan dengan sistem pendukung pasien dan jam kerja yang fleksibel.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor tekait kondisi yaitu yang menyebabkan pasien tidak sembuh karena ketidakpatuhan yang disebabkan penggunaan obat terlarang, gangguan mental
karena ketergantungan obat, depresi dan stress psikologi. 4. Faktor terkait pengobatan yaitu paduan obat yang rumit, efek samping obat,
toksisiti. 5. Faktor terkait pasien yaitu keadaan pasien yang kadang-kadang lupa, pengucilan
akibat stigma dan keyakinan akan keefektifan pengobatan serta motivasi dalam menjalani pengobatan Hopewel, 2006.
2.4.1 Faktor Internal a.
Usia
Kerentanan seseorang untuk terkena penyakit bergantung pada imunitas atau daya tahan tubuh yang dimilikinya. Daya tahan tubuh pada orang dewasa lebih bagus
dibandingkan dengan orang lanjut usia. Pada penderita lanjut usia sering terjadi efek samping obat hingga membuat mereka malas meminum obat padahal itu sangat
mempengaruhi kesembuhannya. Risiko efek samping yang ditimbulkan oleh streptomisin yang berupa kerusakan syaraf ke delapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran dapat meningkat seiring dengan dosis yang digunakan dan umur penderita Kemenkes RI, 2011.
b. Jenis Kelamin
Tuberkulosis menyerang sebagian besar wanita pada usianya yang paling produktif, namun pada negara berkembang diperkirakan jumlah penderita laki-laki
sama banyaknya dengan perempuan, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
tahun 2002 yang menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu berturut-turut 49,1 dan 50,9 Aditama, 2009. WHO
menyebutkan bahwa kematian wanita akibat Tuberkulosis lebih banyak daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Kemenkes RI,2011. Menurut data
profil Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh bahwa kesembuhan penderita TB wanita lebih tinggi yaitu 84,6 dibandingkan dengan penderita TB laki-laki hanya 81,4
Dinkes Aceh, 2013. Kesembuhan penderita TB paru wanita cendrung lebih besar karena tingkat kesadaran berobat lebih baik daripada pria.
c. Pendidikan