Dissenting opinion Tinjauan Pustaka

c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan Pasal 169 ayat 3 KUHAP jo Undang- Undang Grasi; d. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana maksud dalam pasal 196 ayat 2 KUHAP, pasal 196 ayat 3 jo pasal 233 ayat 2 KUHAP; e. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir a dalam wkatu seperti yang ditentukan dalam pasal 235 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oelh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi pasal 196 ayat 3 KUHAP.

4. Dissenting opinion

Kata dissenting berasal dari kata bahasa Latin, dissentiente, dissentaneus, dissentio, kesemuanya bermakna tidak setuju, tidak sependapat atau berbeda dalam pendapat. Secara harafiah “dissenting opinion” dalam kamus bahasa Inggris merupakan kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti berselisih paham dan kata “opinion”yang berarti sebagai pendapat, pikiran, perasaan. Jadi dissenting opinion dapat disimpulkan sebagai pendapat dari satu atau lebih hakim dalam membuat pernyataan yang memperlihatkan Universitas Sumatera Utara ketidaksetujuan terhadap putusan dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan dala musyawarah hakim. 15 Menurut Pontang Moerad dissenting opinion merupakan pendapatputusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju disagree dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim. 16 Selain itu, dissenting opinion lahir dari upaya penemuan kebenaran materiil dalam hukum acara pidana yang tertuang dalam putusan pengadilan dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas bagi pencari keadilan Lahirnya konsep dissenting opinion tidak terlepas dari adanya kebebasan hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan sumber hukum yang dianut oleh Indonesia. Perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim merupakan konsekuensi logis dari penerapan konsep kebebasan dalam penemuan hukum, kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya melainkan kebebasan yang terbatas, artinya kebebasan tersebut dibatasi oleh aturan hukum yang berlaku berdasarkan nilai-nilai pancasila dan pandangan hidup masyarakat dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum untuk menjamin tegaknya cita hukum rechtsidee. 15 Wojowasito, S. dan WJS. Porwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, dan Indonesia Inggris. Penerbit Hasta. Bandung, 2001. 16 Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, P.T. Alumni, Bandung, 2005. Universitas Sumatera Utara justiabele serta sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim secara pribadi terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya. Melalui dissenting opinion para pencari keadilan dapat mengetahui latar belakang putusan, hal ini sangat penting untuk membantu masyarakat untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menangani perkara. Dengan mengetahui dasar pertimbangan hakim, maka hal ini akan mempermudah bagi para pihak yang berperkara untuk selanjutnya mengajukan upaya hukum ketingkatan yang lebih tinggi, selain itu hal ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk mengetahui apakah putusan tersebut mencerminkan cita hukum atau tidak. Adakalanya dissenting opinion benar dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi adakalanya tidak tepat atau tidak memenuhi cita hukum dan justru pendapat mayoritaslah yang memenuhi cita hukum tersebut. Didalam undang-undang 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan milliter, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Universitas Sumatera Utara Pasal 4 3 undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas merumuskan bahwa : segala campur tangan dalam peradilan oleh pihak luar diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI Tahun 1945, disamping itu Hakim harus melaksanakan disiplin tinggi dalam memutus perkara sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 215KMASKXIII2007 Pasal 8 butir 2 yang berbunyi: “Hakim Berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan Perundang- undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan”. Dalam Pasal 19 Undang-UndangNo.4 Tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan Dissenting opinion. Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam dalam putusan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat 2 yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap Universitas Sumatera Utara perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat 3 ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada lembaga yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencantuman dissenting opinion itu sendiri. Pengaturan perbedaan pendapat sudah diterapkan pada Pengadilan Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencantuman Dissenting opinion terpisah dari putusan. Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

G. Sistematika Penulisan