Aliran Penemuan Hukum a. Legisme

Penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir pada tahap konstituir.Hakim menemukan hukum melalui sumber- sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak dianut pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu-satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya hakim dapat melakukan penemuan hukum melalui sumber hukum yang lain baik itu undang-undang, kebiasaan, traktar, yurisprudensi, doktrin, hukum agama bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat.

2. Aliran Penemuan Hukum a. Legisme

Aliran ini lahir sebagai reaksi atas ketidakseragaman hukum kebiasaan pada abad 19 yang tidak memberikan kepastian hukum, dengan melakukan kodifikasi norma hukum secara lengkap dan sistemats dalam kitab undang-undang.Aliran ini menegaskan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, yang dipandang cukup jelas dan lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan hukum sehingga hakim hanyalah berkewajiban menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkrit dengan bantuan penafsiran gramatikal. Dalam pandangan aliran ini dibutuhkan beberapa syarat dalam melaksanakan undang-undang, yaitu undang-undang harus bersifat umum berlaku bagi setiap orang, ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak sehingga berlaku umum, dan sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongan- Universitas Sumatera Utara kekosongan.Berdasarkan pendapat ini maka semua hukum terdapat di dalam undang-undang, dan hanya undang-undanglah yang menjadi sumber hukum. Montesquieu pernahmengemukakan bahwa “hakim-hakim rakyat tidak lain hanyalah corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak beoleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun tentang keketatannya”, Justianus bahkan pernah mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk melakukan penafsiran undang- undang.Interpretasi hanya dimungkinkan atas dasar persetujuan kaisar”. 75 Selanjutnya J.J. Rousseau dalam teori kedaulatan rakyat yang dianutnya berpendapat bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang.Oleh karena itu undang- undanglah satu-satunya hukum dan sumber hukum, dan hakim tidak boleh melakukan pekerjaan pembuat undang-undang.Bahkan Fennet juga mengungkapkan bahwa interpretasi atau komentar sebagai cambuk perusak undang-undang. 76 Dalam perkembangannya pandangan legisme semakin lama semakin ditinggalkan orang, semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas.Sifat undang-undang yang abstrak dan umum itu menimbulkan kesulitan 75 Ahmad Ali, 1996, Op, cit., hlm. 144. 76 Ahmad Ali, Op, cit., hlm. 144. Universitas Sumatera Utara dalam penerapannya secara inkonkrito oleh para hakim di pengadilan.Keadaan inilah yang melahirkan pandangan tentang pandangan penemuan hukum oleh hakim.

b. Aliran Historis

Abad ke 20 disadari bahwa UU tidak lengkap, nilai-nilai yang dituangkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, kalau kondisi ini dipertahankan maka akan terjadi kekosongan hukum.Akhirnya Von Savigny mempelopori pandangan yang kemudian dinamai Mazhab Historis, yang inti pandangannya adalah ”Hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu”.

c. AliranBegriffsjurisprudenz

Ketidakmampuan legislator mengakomodir dinamika sosial yang terjadi dengan membuat undnag-undang pada waktunya merupakan alasan dasar untuk memberi peran yang lebih aktif kepada hakim untuk menyesuaikan undang-undang pada keadaan yang baru.Dalam posisi seperti ini jurisprudensi mulai memperoleh peranan sebagai sumber hukum.Dalam abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering yang menekankan pada sistematik hukum. Inti ajaran ini menegaskan bahwa yang ideal adalah apabila sistem yang ada berbentuk suatu piramida, yang mana dipuncak piramida terletak asas utama, dan dari puncak piramida dibuatlah pengertian- pengertia baru begriff dan selanjutnya dikembangkan sistem asas-asas Universitas Sumatera Utara dan pengertian-pengertian umum yg digunakan untuk mengkaji undang- undang.Lebih memberikan kebebasan kepada hakim ketimbang aliran legisme, hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, dia dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian lebih bersandar kepada ilmu hukum. Hakim bebas dalam menerapkan undang-undang tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.Menurut aliran ini pengertian hukum tidaklah sebagai sarana tetapi sebagai tujuan, sehingga ajaran hukum menjadi ajaran tentang pengertian begriffsjurisprudenz, suatu permintaan pengertian.Begriffsjurisprudenz ini mengkultuskan ratio dan logika, pekerjaan hakim semata-mata bersifat logis ilmiah.Sebagai reaksi terhadap aliran legisme pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 dimana suatu ajaran baru, yaitu ajaran tentang kebebasan yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.

d. Interessenjurisprudenz

Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran Begriffjurisprudenz, aliranini lebih menitik beratkan kepada“kepentingan- kepentingan”interessen yang difiksikan, dan oleh karena itu pulalah aliran inidinamai dengan “Interesenjurisprudez” yang mengalami masa kejayaanpada awal abad 20 di Jerman. Aliran ini berpandangan bahwa hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formil-logis belaka, akan tetapi harus dinilai menurut Universitas Sumatera Utara tujuannya.Adapun yang menjadi tujuan menurut van Jhering adalah “ide keadilan dan kesusilaan yang tak mengenal waktu”.

e. Freirechtbewegung

Reaksi yang tajam terhadap aliran Legisme baru muncul pada sekitar tahun 1900 di Jerman, reaksi ini dimulai oleh Kantorowics dengan nama samaran Gnaeus Flavius.Aliran ini menantang keras pendapat yang menyatakan bahwa kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses penemuan hukum tidak memiliki sumbangan kreatif. Menurut aliran ini, hakim memang harus menghormati undang- undang, tetapi ia dapat tidak hanya sekedar tunduk dan mengikuti undang-undang, melainkan menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan pemecahan peristiwa konkrit yang dapat diterima.Dapat diterima karena pemecahan yang diketemukan dapat menjadi pedoman bagi peristiwa konkrit serupa lainnya, di sini hakim tidak berperan sebagai penafsir undang-undang, tetapi sebagai pencipta hukum.

3. Metode Penemuan Hukum