I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini
berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak
pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola
pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut.
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari
Uraian Konsumsi gram
1999 2002
2005 2007
Perkotaan rural 48,61
56,55 59,33
59,69 Perdesaan urban
51,68 56,05
57,84 58,95
Rural + Urban 50,21
56,31 58,63
59,38 Sumber: BPS, 2007
Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman
pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat Amang, 1996. Jumlah permintaan terhadap kedelai
meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan
ternak. Pertumbuhan permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan di sisi lain produksi
kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi
tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan
panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai
merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang. Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan
Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1997-2006
Tahun Luas Panen Ha
Produksi ton Produktivitas kwha
1997 1.119.079
1.356.891 12,13
1998 1.095.071
1.305.640 11,92
1999 1.151.079
1.382.848 12,01
2000 824484
1.017.634 12,34
2001 678.848
826.932 12,18
2002 544.522
673.056 12,36
2003 526.796
671.600 12,75
2004 565.155
723.483 12,80
2005 621.541
808.353 13,01
2006 580.534
747.611 12,88
Sumber: BPS, 2007 Kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu produksi kedelai dalam negeri belum
mampu memenuhi total kebutuhan masyarakat. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan
impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-
40 persen melalui produksi dalam negeri. Rata-rata impor kedelai selama tahun 2000-2005 mencapai 1,218 juta ton atau senilai US 358,366 juta. Nilai impor
kedelai yang cukup tinggi mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan devisa
sebesar Rp 3 triliun
1
. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2003-2006
Kedelai ribu ton Tahun
2003 2004
2005 2006
Kebutuhan 1.863
1.838 2.184
2.023 Produksi
671 723
808 747
Impor 1.192
1.115 1.376
1.276 Sumber: BPS, 2007
Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak.
Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kgkapitatahun. Melihat kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai
sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam
produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : i pangan yang diolah melalui proses
fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; ii pangan yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus Amang, 1996.
Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan
industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik
akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri
1
Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http:www.klipingekonomi.com
. Diakses tanggal 9 Desember 2007.
tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan
keluaran industri pengolahan tersebut Amang, 1996. Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai
impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen
2
. Kondisi ini tentu terkait erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah.
Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai, kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami
guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka. Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada
besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri
tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan
kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.
1.2 Perumusan Masalah