Analisis nilai tambah dan dayasaing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di kabupaten Bogor (kasus: desa Citeureup, kecamatan Citeureup)

(1)

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Oleh:

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

RINGKASAN

MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K. WAGIONO

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri.

Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.

Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Selain memiliki prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat


(3)

permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe.

Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.

Perhitungan nilai tambah pada industri tempe di desa Citeureup dilakukan pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan


(4)

bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja (8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa tempat (0,75 persen).

Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di


(5)

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.


(6)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(7)

Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Nama : Merika Sondang Sinaga Nomor Registrasi Pokok : A14304029

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Yayah K. Wagiono, MEc NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(8)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga A14304029


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga dan Maria Turnip.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Selama pendidikan, penulis aktif di beberapa kegiatan kampus. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Pelayanan Khusus sebagai Kepala Bidang Pelayanan Responsi tahun 2006-2007. Pada tahun ajaran 2007-2008 penulis menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan bagi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama industri tempe sangatlah tinggi.

Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga A14304029


(11)

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Oleh:

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(12)

RINGKASAN

MERIKA SONDANG SINAGA . Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Indusri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup). Dibimbing oleh YAYAH K. WAGIONO

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Pertambahan jumlah penduduk ini tentu diiringi pula dengan pertambahan kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari BPS, diketahui bahwa konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita pada tahun 1999, 2002, 2005, dan 2007 secara berturut-turut adalah 50.21 gram, 56.31 gram, 58.63 gram, dan 59.38 gram.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi tersebut. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri.

Komoditi kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut.

Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Selain memiliki prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat


(13)

permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Demikian halnya dengan Kabupaten Bogor, menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, kebutuhan kedelai untuk industri olahan di wilayah tersebut tergolong tinggi yaitu 33.960 kg tiap harinya. Sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu menganalisis nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe; menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe; serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor. Desa Citeureup dipilih untuk mewakili industri tempe Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe.

Tujuan penelitian pertama dijawab dengan menggunakan analisis nilai tambah Meode Hayami. Perhitungan nilai tambah ini didasarkan pada satu satuan bahan baku utama yaitu satu kilogram kedelai. Selain itu, digunakan pula alat analisis Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas. Melalui pendekatan ini akan dilihat bagaimana keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki industri tempe di Kabupaten Bogor sekaligus dampak kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait dengan kegiatan produksi pada industri tersebut. PAM bersifat statis sehingga untuk melihat seberapa besar pengaruh dan tingkat kepekaan apabila terjadi perubahan-perubahan baik pada input yang digunakan maupun pada ouput yang dihasilkan akibat perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis sensitivitas sebagai langkah lanjutan.

Perhitungan nilai tambah pada industri tempe di desa Citeureup dilakukan pada periode produksi Maret 2008. Pada dasarnya, pengrajin tempe di daerah penelitian melakukan kegiatan produksinya setiap hari sehingga strukur biaya yang digunakan merupakan struktur biaya produksi rata-rata setiap hari dikali tiga puluh. Struktur biaya produksi pada industri tempe terdiri atas biaya pengadaan


(14)

bahan baku kedelai (78,44 persen), bahan baku lainnya (5,67 persen), tenaga kerja (8,30 persen), penyusutan peralatan (6,06 persen), pajak (0,78 persen), dan sewa tempat (0,75 persen).

Hasil perhitungan analisis nilai tambah menunjukkan bahwa nilai faktor konversi pada industri tempe sebesar 1,6. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap satu kilogram kedelai yang diolah akan menghasilkan 1,6 kilogram tempe. Industri pengolahan kedelai menjadi tempe di Desa Citeureup menunjukkan bahwa industri tersebut mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 2.198,91 per kilogram input kedelai. Rasio nilai tambah yang dimiliki yaitu 21,14 persen. Nilai koefisien tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,02. Nilai ini dapat diinterpretasikan sebagai jumlah Hari Orang Kerja yang diperlukan untuk memproduksi satu kilogram kedelai hingga menjadi tempe adalah 0,02 HOK (1HOK = 7 jam kerja). Apabila nilai koefisien tenaga kerja tersebut dikali dengan banyaknya unit usaha tempe di Indonesia maka dapat dilihat banyaknya jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh industri tempe.

Industri tempe di desa Citeureup layak untuk dijalankan baik berdasarkan perhitungan pada analisis finansial maupun analisis ekonomi. Di samping itu, industri tersebut dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan kompratif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRC nya yang lebih kecil dari satu.

Berdasarkan analisis kebijakan pemerintah pada sisi output, industri tempe di daerah penelitian memiliki TO dan NPCO masing-masing senilai Rp -1.555,14 dan 0,8699 (NPCO < 1). Pada analisis kebijakan pemerintah pada sisi input diketahui TI senilai Rp 180,25, NPCI sebesar 1,0765, dan transfer faktor senilai Rp 261,91. Analisis kebijakan input-output dapat didekati dengan menggunakan indikator EPC, TB, PC, dan SRP. Nilai keempat indikator tersebut masing-masing secara berurutan adalah 0,8192; Rp –1.997,30; 0,5274; dan -0,2540.

Apabila terjadi kenaikan harga kedelai sebesar 60 persen dengan asumsi faktor lain dianggap tidak berubah, maka industri tempe di daerah penelitian tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari keuntungan privat yang bernilai negatif dan nilai PCR yang lebih besar dari satu. Sebaliknya,berdasarkan analisis ekonomi, meskipun terjadi perubahan harga kedelai industri tempe di


(15)

daerah penelitian masih tetap memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terlihat dari keuntungan sosial senilai Rp 263,69 dengan nilai DRC 0,9680 (DRC < 1).

Jika kenaikan harga input kedelai sebesar 60 persen diimbangi pula dengan kenaikan harga output sebesar 46 persen, industri tempe di Desa Citeureup ternyata layak untuk diteruskan baik secara finansial maupun ekonomi. Di samping itu, industri tempe juga efisien secara finansial maupun ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari nilai PCR dan DRC yang dihasilkan lebih kecil dari satu, dengan kata lain indusri tersebut masih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.


(16)

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE

DI KABUPATEN BOGOR

(Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

MERIKA SONDANG SINAGA A14304029

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(17)

Judul : Analisis Nilai Tambah dan Dayasaing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup)

Nama : Merika Sondang Sinaga Nomor Registrasi Pokok : A14304029

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Yayah K. Wagiono, MEc NIP. 130 350 044

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(18)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga A14304029


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Merika Sondang Sinaga, lahir pada tanggal 25 April 1986 di Desa Poncowarno, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Elyas Sinaga dan Maria Turnip.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK Xaverius Kalirejo. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Fransiskus Kalirejo yang diselesaikan pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Xaverius Kalirejo, lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis kembali melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Kalirejo, Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penulis diterima di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB. Selama pendidikan, penulis aktif di beberapa kegiatan kampus. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB pada Komisi Pelayanan Khusus sebagai Kepala Bidang Pelayanan Responsi tahun 2006-2007. Pada tahun ajaran 2007-2008 penulis menjadi asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan bagi mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.


(20)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Nilai Tambah dan Daya Saing serta Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Tempe di Kabupaten Bogor (Kasus: Desa Citeurep, Kecamatan Citeureup). Topik ini menarik untuk dianalisis dengan latar belakang bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai sebagai bahan baku utama industri tempe sangatlah tinggi.

Berdasarkan fenomena tingginya tingkat ketergantungan industri tempe terhadap bahan baku impor, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah menghitung besaran nilai tambah yang mampu diciptakan industri tempe. Di samping itu, dilakukan pula analisis terhadap daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Yayah. K. Wagiono, M.Ec atas materi dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca mengenai tulisan ini agar dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Mei 2008

Merika Sondang Sinaga A14304029


(21)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-singginya, penulis sampaikan kepada:

1. Bapa, Putra, dan Roh Kudus untuk penyertaan dan kasih karunia yang penulis boleh rasakan sepanjang hidup. Penulis percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Mu Bapa.

2. Ayahanda Elyas Sinaga dan Ibunda Maria Turnip atas segala kasih sayang, dukungan, doa, motivasi, serta bimbingan sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang.

3. Ir. Yayah K Wagiono, M.Ec yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku dosen penguji utama dan Etriya, SP, MM selaku dosen penguji wakil departemen atas saran dan kritik dalam rangka penyempurnaan tugas akhir penulis. Dr. Ir. M. Parulian. Hutagaol selaku dosen pembimbing akademik atas masukan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 4. Saudara-saudara penulis yang terkasih: Yohannes Sinaga beserta keluarga,

Jonser Sinaga, Ferdinan Sinaga, Fernando Sinaga, Mawar Sari Sinaga. Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Semoga masing-masing kita menjadi manusia yang berguna dan bisa menjadi saluran berkat bagi lingkungan sekitar.

5. Rolas TE. Silalahi, Martyanti RB. Sianturi, Lenny J. Sinaga, Marlina TJ. Siahaan, Rocky DF. Silalahi, Jimmy A. Siahaan, dan Natalia atas kebersamaan, sukacita dan persahabatan yang ditawarkan kepada penulis selama pendidikan. Selamat berjuang di dunia yang baru!

6. Agus Frans Manalu atas dukungan, motivasi, persahabatan dan kasih sayang yang telah diberikan sejak tingkat satu hingga kini. Terimakasih untuk setiap proses yang boleh kita lewati bersama. Semoga apa yang kita jalani bisa menjadikan kita saling membangun, saling mendukung, saling melengkapi dan saling mendewasakan.

7. Keluarga Atalia: Joel, Sriyo, Waldemar, Lisbhet, Bambang, Natalina, Tio Panta, Bertha, Rhoma, Nonly.


(22)

8. Lestari Girsang, Enie Sidabutar, Mega Indah, Fransius Silitonga atas kebersamaan, keceriaan, dan persahabatannya selama ini. Sukses buat kita semua.

9. Gadis-gadis cantik di Malibu: Margareth, Grace, Febri, Risma, Yuli, Anggie. 10. Rekan-rekan seperjuangan di EPS angkatan 41 yang tidak dapat disebutkan

satu per satu. Sampai bertemu lagi pada 4 Januari 2014!

11. Teman-teman sepelayanan di Kopelkhu yang berperan besar dalam pembentukan karakter penulis.

12. Wanatirta’s crew: Riyanti, Bagus, Arman, Dian Sastrow, Tri Utami.

13. Para pengrajin tempe di Desa Citeurep yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi penulis.


(23)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... iii DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Perumusan masalah ... 4 1.3 Tujuan penelitian ... 8 II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi industri dan agroindusri ... 10 2.2 Produksi tempe... 11 2.3 Studi terdahulu ... 12 2.3.1 Studi mengenai industri tempe ... 12 2.3.2 Studi mengenai analisis nilai tambah ... 13 2.3.3 Studi menganai analisis keunggulan kompetitif dan komparatif ... 14 III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka teoritis ... 16 3.1.1 Definisi daya saing ... 16 3.1.2 Keunggulan komparatif ... 16 3.1.3 Keunggulan kompetitif ... 18 3.1.4 Kebijakan pemerintah ... 19 3.1.4.1 Kebijakan output ... 22 3.1.4.2 Kebijakan input ... 26 3.1.5 Policy Analysis Matix ... 28 3.1.6 Harga bayangan ... 33 3.1.7 Sensitivitas ... 34 3.1.8 Konsep nilai tambah ... 34 3.2 Kerangka Operasional ... 35


(24)

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan waktu penelitian ... 39 4.2 Jenis dan sumber data ... 39 4.3 Metode pengumpulan data ... 39 4.4 Metode analisis data ... 40 4.4.1 Analisis nilai tambah ... 40 4.4.2 Policy Analysis Matrix ... 41 4.4.3 Analisis sensitivitas ... 47 V GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi umum Kabupaten Bogor ... 48 5.2 Kondisi umum Desa Citeureup ... 49 5.3 Kondisi umum industri tempe di Desa Citeureup ... 50 5.3.1 Karakteristik responden ... 50 5.3.2 Keragaan bahan baku ... 53 5.3.3 Gambaran kegiatan produksi ... 56 5.3.4 Pemasaran ... 60 VI PEMBAHASAN

6.1 Analisis nilai tambah pada indusatri tempe di Desa Citeureup. ... 62 6.2 Analisis daya saing indusatri tempe di Desa Citeureup ... 66 6.2.1 Analisis keunggulan kompetitif ... 68 6.2.2 Analisis keunggulan komparatif... 69 6.2.3 Analisis kebijakan pemerintah ... 70 6.3 Analisis sensitivitas pada indusatri tempe di Desa Citeureup ... 74 VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan ... 78 7.2 Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA ... 80


(25)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari (dalam gram) 1 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia

Tahun 1997-2006 2

3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai Indonesia

Tahun 2003-2006 3

4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Industri Olahan Kabupaten

Bogor Januari 2008 7

5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 7 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi 20 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) 29

8. Kerangka Analisis Nilai Tambah 41

9. Kontribusi Kelompok Sektor dalam Perekonomian Kabupaten Bogor

tahun 2003-2006 49

10. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur 50 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 51 12. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Usaha 51 13. Distribusi Responden Berdasarkan Skala Usaha 52 14. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga 52 15. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja 53 16. Biaya Produksi pada Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram Kedelai Per Hari 56

17. Harga Tempe Menurut Ukuran pada Harga Pasar 61 18. Hasil Analisis Nilai Tambah pada Industri Tempe di Desa Citeureup

Maret 2008 64

19. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus

Kilogram per hari (Rp/kg) 67

20. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe


(26)

21. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

naik 60 Persen. 76

22. Indikator Penilaian Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi Harga Output Naik 46 Persen. 77


(27)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor

(S+PI) dan (S+CI). 24

2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor

(S+PE) dan (S+CE). 25

3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor 26 4. Pajak dan subsidi pada input tradable. 27 5. Pajak dan subsidi pada input nontradable. 28 6. Bagan kerangka pemikiran operasional 38

7. Proses perebusan kedelai 56

8. Kedelai dicuci dan diberi ragi 57

9. Kedelai dibungkus dengan daun dan plastik 58 10. Tempe diperam dan siap dipasarkan 58 11. Persentase empat komponen biaya penting dalam industri tempe 63


(28)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen Domestik Asing 82 2. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Exchange Rate

(SER) tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) 83 3. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 84

4. Biaya Produksi Industri Tempe dengan Skala Usaha Seratus Kilogram

Kedelai Per Hari 85

5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan 86 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kg Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) 87

7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen 88 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari

pada Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen 89 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik

dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen

dan Harga Output Naik 46 Persen 90

10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai

Naik 60 Persen 91

11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai


(29)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan. Di samping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein. Fenomena perubahan pola pangan tersebut mengakibatkan permintaan terhadap sumber protein menjadi semakin meningkat. Hal ini tercermin pada tabel berikut.

Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Protein Per Kapita Sehari

Uraian Konsumsi (gram)

1999 2002 2005 2007

Perkotaan (rural) 48,61 56,55 59,33 59,69 Perdesaan (urban) 51,68 56,05 57,84 58,95 Rural + Urban 50,21 56,31 58,63 59,38 Sumber: BPS, 2007

Kedelai tergolong ke dalam kategori “secondary crop” atau sebagai tanaman pangan kedua setelah padi. Komoditi ini merupakan salah satu sumber protein nabati yang tinggi tingkat permintaannya. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat (Amang, 1996). Jumlah permintaan terhadap kedelai meningkat baik untuk pemenuhan kebutuhan protein nabati bagi konsumsi pangan masyarakat, bagi kebutuhan bahan baku industri olahan maupun bagi bahan pakan ternak.

Pertumbuhan permintaan kedelai sangat tinggi sedangkan di sisi lain produksi kedelai dalam negeri belum mampu mencukupi permintaan terhadap komoditi


(30)

tersebut. Sejak tahun 2000-2006, produksi kedelai domestik terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan berkurangnya luasan panen. Luasan panen yang berkurang didukung pula oleh faktor iklim Indonesia yang kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Pada dasarnya, kedelai merupakan tanaman subtropis yang membutuhkan lama penyinaran yang panjang. Hal ini tidak ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis. Kemampuan Indonesia dalam hal penyediaan kebutuhan kedelai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Data Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1997-2006

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (kw/ha)

1997 1.119.079 1.356.891 12,13

1998 1.095.071 1.305.640 11,92

1999 1.151.079 1.382.848 12,01

2000 824484 1.017.634 12,34

2001 678.848 826.932 12,18

2002 544.522 673.056 12,36

2003 526.796 671.600 12,75

2004 565.155 723.483 12,80

2005 621.541 808.353 13,01

2006 580.534 747.611 12,88

Sumber: BPS, 2007

Kondisi yang terjadi di Indonesia yaitu produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi total kebutuhan masyarakat. Adanya kesenjangan antara jumlah konsumsi dengan jumlah produksi mengakibatkan Indonesia melakukan impor kedelai. Pemenuhan kebutuhan kedelai Indonesia dilakukan secara impor sekitar 60-65 persen dari total kebutuhan yang ada, sedangkan sisanya sekitar 35-40 persen melalui produksi dalam negeri. Rata-rata impor kedelai selama tahun 2000-2005 mencapai 1,218 juta ton atau senilai US $358,366 juta. Nilai impor kedelai yang cukup tinggi mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan devisa


(31)

sebesar Rp 3 triliun1. Data perkembangan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Data Perkembangan Kebutuhan, Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2003-2006

Kedelai (ribu ton) Tahun

2003 2004 2005 2006

Kebutuhan 1.863 1.838 2.184 2.023

Produksi 671 723 808 747

Impor 1.192 1.115 1.376 1.276

Sumber: BPS, 2007

Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan pabrik pakan ternak. Konsumsi kedelai per kapita saat ini berkisar 8 kg/kapita/tahun. Melihat kandungan gizi yang dimiliki, kedelai memiliki potensi yang amat besar sebagai sumber utama protein nabati bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein yang tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk makanan. Pada dasarnya penggunaan kedelai untuk pangan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu : (i) pangan yang diolah melalui proses fermentasi seperti tempe, oncom, tauco, dan kecap; (ii) pangan yang diolah tanpa melalui proses fermentasi, seperti tahu, tauge, dan kedelai rebus (Amang, 1996).

Kedelai yang didatangkan secara impor banyak digunakan sebagai bahan baku utama pada industri olahan, salah satunya tempe. Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai. Tempe telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Selain memiliki prospek yang cukup baik akibat selalu adanya permintaan dari pasaran, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Industri

1 Farid Akwan. 2007. Kedelai Impor Meningkat. http://www.klipingekonomi.com. Diakses tanggal


(32)

tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan keluaran industri pengolahan tersebut (Amang, 1996).

Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen2. Kondisi ini tentu terkait erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai, kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka. Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik (BPS), produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu 1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton

2 Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe.


(33)

kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006 nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai

Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat akan kesehatan.

Kedelai baik lokal maupun impor digunakan untuk beberapa kepentingan diantaranya konsumsi pangan rumah tangga, sebagai bahan baku industri olahan, serta sebagai pakan ternak. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri olahan merupakan yang paling tinggi, kemudian pakan ternak dan yang terakhir konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi kedelai dalam industri olahan seharusnya diimbangi dengan kegiatan yang mampu menghasilkan nilai tambah yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penelitian ini akan membahas mengenai daya saing industri yang berbahan baku kedelai, dalam hal ini industri tempe. Perlu dianalisis keunggulan komparatif dan kompatitif industri tempe terkait biaya yang harus dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.


(34)

Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg3. Konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama.

Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung oleh industri ini.

Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan

3 Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http://www.gizi.net. Diakses


(35)

kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya. Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di

Kabupaten Bogor

No Kecamatan Kebutuhan kedelai (kg/hari)

1 Dramaga 710

2 Cibungbulang 4.985

3 Cisarua 685

4 Citeureup 11.750

5 Leuwiliyang 1.830

6 Ciampea 955

7 Tajurhalang 4.000

8 Ciomas 100

9 Megamendung 480

10 Ciseeng 800

11 Cibinong 1.795

12 Cileungsi 2.760

13 Tamansari 160

14 Parung 2.960

JUMLAH 33.960

Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008.

Menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Jumlah ini merupakan jumlah pengrajin yang masih dapat bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan baku kedelai akibat penerapan bea masuk impor kedelai pada akhir tahun 2007. Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Berikut disajikan data industri tempe yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor.


(36)

Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008

No Kecamatan Jumlah industri

1 Cibungbulang 21

2 Cisarua 6

3 Citeureup 100

4 Leuwiliyang 16

5 Ciampea 7

6 Ciseeng 8

7 Cibinong 4

8 Cileungsi 16

9 Parung 8

JUMLAH 202

Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008

Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. menghitung besaran nilai tambah yang dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor;

2. menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor;


(37)

3. menganalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe di Kabupaten Bogor.

Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya sebagai referensi bagi kalangan akademisi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan industri berbahan baku utama kedelai dan bahan pertimbangan serta sumber informasi bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan industri tersebut.


(38)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Industri dan Agroindustri

Menurut Badan Pusat Statistik (2007), industri pengolahan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Penggolongan industri oleh BPS menurut banyaknya tenaga kerja adalah sebagai berikut:

1. industri besar, dengan jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih;

2. industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang; 3. industri kecil, dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang; 4. industri rumah tangga, dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang. Agroindustri merupakan suatu bentuk kegiatan atau aktifitas yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman maupun hewan. Soekartawi (2000) mendefinisikan agroindustri dalam dua hal, yaitu pertama agroindustri sebagai industri yang berbahan baku utama dari produk pertanian dan kedua agroindustri sebagai suatu tahapan pembangunan sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian tetapi sebelum tahapan pembangunan tersebut mencapai tahapan pembangunan industri.

Soekartawi (2000) juga menyebutkan bahwa agroindustri memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan pertanian. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya dalam hal meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis, menyerap tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan mendorong tumbuhnya industri lain.


(39)

Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1) kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu; 2) kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3) kurang konsistennya kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4) kurangnya fasilitas permodalan (perkreditan) dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5) keterbatasan pasar; 6) lemahnya infrastruktur; 7) kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan; 8) lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9) kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing; 10) lemahnya entrepreneurship (Soekartawi, 2000).

2.2 Produksi Tempe

Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).

Terdapat dua kelompok vitamin pada tempe, yaitu larut air (Vitamin B kompleks) dan larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Selain itu, keistimewaan lain yang


(40)

dimiliki tempe adalah mengandung viamin B12 yang umumnya terdapat pada

produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati (sayuran, buah, dan biji-bijian)4. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna kedelai (Cahyadi, 2007).

2.3 Studi Terdahulu

2.3.1 Studi Mengenai Indusri Tempe

Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan (1999). Berdasarkan studi tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun mengalami kendala dalam pelaksanaannya.

Apretty (2000) melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui diversifikasi produk dan diversifikasi pasar.

4 Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Diakses


(41)

Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku, permintaan pasar, serta ketersediaan modal.

2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah

Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada industri kerupuk ikan/udang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi (2003). Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai R/C atas biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja.

Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten Garut dilakukan oleh Muflikh (2003). Untuk menghitung besarnya nilai tambah yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal.

Jati (2005) melakukan studi mengenai analisis pendapatan dan nilai tambah industri kecil keripik dan sale hasil produk olahan pisang di Banten. Analisis yang


(42)

digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan, dan layak untuk dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan sale.

2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan. Dewi (2004) menggunakan Policy Analysis Matrix dan analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong produsen untuk meningkatkan produksinya.

Dhuhana (2004) melakukan penelitian untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif usaha emping melinjo di Kabupaten Serang. Kesimpulan studi Dhuhana yaitu keuntungan usaha emping melinjo baik dengan intervensi maupun tanpa intervensi berada di atas normal dengan nilai DRC dan PCR lebih kecil dari satu. Selain itu, diketahui pula bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berdampak pada peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Meningkatnya suku bunga dan upah tenaga kerja berdampak pada


(43)

penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo.

Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor dilakukan oleh Kuraisin (2006). Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian.

Studi terdahulu yang telah dilakukan pada industri tempe di beberapa daerah pada umumnya terkait dengan perkembangan industri, permintaan dan penawaran, pola konsumsi, serta analisis usaha pada industri tersebut. Penelitian mengenai dayasaing industri tempe di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) belum dilakukan. Mengingat tingginya ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor dalam hal pemenuhan bahan baku industri olahan, maka diperlukan penelitian untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri tersebut. Selain itu perlu dihitung besaran nilai tambah yang dapat ditimbulkan akibat kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe. Kedelai yang didatangkan secara impor sebaiknya digunakan pada kegiatan yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi agar sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan bakunya.


(44)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Definisi Dayasaing

Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

3.1.2 Keunggulan Komparatif

Perbedaan ketersediaan faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pada setiap negara mengakibatkan masing-masing negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam memproduksi suatu komoditi. Kondisi ini akan mendorong terjadinya pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan dengan negara lain. Adam Smith mendasarkan teori perdagangan internasional pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut (Salvatore, 1997).


(45)

Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation yang memberikan penjelasan mengenai teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling menguntungkan (Salvatore, 1997). Suatu negara akan melakukan spesialisasi dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil (komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (komoditi dengan kerugian komparatif).

Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh (teori nilai tenaga kerja) tidaklah berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).

Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda-beda antar negara (Cho and Moon, 2003). Kemudian pada tahun 1933 Heckscher-Ohlin melakukan pengembangan


(46)

terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut.

Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi pada kondisi perekonomian yang aktual.

3.1.3 Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif merupakan ukuran dayasaing pada kondisi perekonomian aktual. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Porter. Porter menyebutkan bahwa faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional dipengaruhi oleh kondisi fakor; kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait; persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat faktor ini didukung oleh faktor lainnya yaitu peluang dan peran pemerintah. Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu aktifitas serta


(47)

keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga pasar.

Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara ekonomi dan perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional.

3.1.4 Kebijakan Pemerintah

Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara ekonomi.

Klasifikasi kebijakan harga komoditi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat membantu untuk menjelaskan dampak perubahan kebijakan. Tabel tersebut membedakan tipe kebijakan berdasarkan tiga kriteria yaitu tipe instrumen,


(48)

kelompok penerimaan dan tipe komoditi (Monke and Pearson, 1989). Berikut disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi.

Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan subsidi

a. tidak merubah harga pasar dalam nageri b. merubah harga pasar

dalam negeri

Subsidi kepada produsen

b. pada barang impor (S + PI ; S – PI) b. pada barang ekspor (S + PE ; S – PE)

Subsidi kepada konsumen

c. pada barang impor (S + CI ; S – CI) b. pada barang ekspor (S + CE ; S – CE) Kebijakan perdagangan

(merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang-barang impor (TPI)

Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE) Sumber: Monke and Pearson, 1989.

Keterangan : S + = Subsidi S - = Pajak

PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang substitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang substitusi impor TPI = Hambatan barang impor

TCE = Hambatan barang ekspor Tipe Instrumen

Dalam tipe instrumen, subsidi dan kebijakan perdagangan merupakan dua hal yang dibedakan. Apabila dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi. Tujuan dan dampak subsidi yaitu menciptakan harga domestik berbeda dengan harga dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan merupakan pembatasan atau hambatan yang diberlakukan baik pada komoditi impor maupun ekspor. Hambatan perdagangan ini dapat diterapkan pada harga komoditi (dalam bentuk


(49)

tarif) maupun pada jumlah yang diperdagangkan (dalam bentuk kuota). Kebijakan perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu:

a. implikasinya pada anggaran pemerintah.

Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi negatif.

b. tipe alternatif kebijakan.

Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua hambatan perdagangan (Monke and Pearson, 1989). Delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu:

1. subsidi positif pada produsen barang impor (S+PI) 2. subsidi negatif pada produsen barang impor (S-PI) 3. subsidi positif pada produsen barang ekspor (S+PE) 4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor (S-PE) 5. subsidi positif pada konsumen barang impor (S+CI) 6. subsidi negatif pada konsumen barang impor (S-CI) 7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor (S+CE) 8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor (S-CE)

Pada hambataan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang ekspor dan hambatan perdagangan barang impor.


(50)

c. tingkat kemampuan penerapan.

Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi tradable.

Kelompok Penerimaan

Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada kerugian yang diderita.

Tipe Komoditi

Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga fob (free on board) sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif (cost insurance freight).

3.1.4.1 Kebijakan Output

Kebijakan harga terhadap output dapat berupa subsidi (subsidi positif dan subsidi negatif) maupun hambatan perdagangan (tarif dan kuota). Perubahan yang


(51)

terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen serta surplus konsumen (Monke and Pearson, 1989). Ilustrasi penerapan subsidi baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi positif sebesar Pd-Pw mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri

meningkat dari Q1 ke Q2 dengan tingkat konsumsi tetap pada Q3. Subsidi ini

menyebabkan impor turun dari Q3 - Q1 menjadi Q3 – Q2. Transfer total dari

pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q2 x (Pd-Pw) atau PdABPw. Subsidi

menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1Q2AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya

korbanan yang seharusnya yaitu Q1Q2BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang

sebesar CAB.

Gambar 1(b) memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor. Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar Pw-Pd mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q3 ke Q4 sedangkan output

produksi dalam negeri menurun dari Q2 ke Q1 sehingga impor mengalami

peningkatan dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Transfer yang terjadi sebesar PwGHPd

terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar PwABPd. Hal ini

menunjukkan bahwa terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi produksi dan konsumsi. Pada sisi produksi, penurunan output dari Q2 ke Q1 mengakibatkan


(52)

B A C

Q1 Q2 Q3 Q1 Q2 Q3 Q4

A F E G

Pw Pd Pd

Pw

kehilangan pendapatan sebesar Pw x (Q1-Q2) atau Q1AFQ2 sedangkan input yang

dihemat sebesar Q2Q1BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q3

ke Q4 yaitu Pw x (Q4-Q3) atau sebesar Q3EGQ4 sedangkan kempuan konsumen

untuk membayar sebesar Q3EHQ4 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar

EGH.

P S P S

D B H D Q Q

(a) S + PI (b) S + CI

Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor (S+PI) dan (S+CI)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Gambar 2(a) menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi dari dari Q3 ke Q4 dan penurunan konsumsi dari Q2 ke Q1 sehingga jumlah ekspor

pun berubah dari Q3-Q2 menjadi Q4-Q1. Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu

sebesar GBAH. Gambar 2(b) merupakan ilustrasi pemberian subsidi bagi konsumen barang ekspor. Gambar tersebut menunjukkan bahwa harga di pasar internasional lebih tinggi dibanding harga domestik sehingga konsumsi barang ekspor meningkat dari Q1 ke Q2. Biaya korbanan dari peningkatan konsumsi yaitu


(53)

B H

Q1 Q2 Q3 Q1 Q2

C B

Pw Pd Pw

Pd

Q4

sebesar Pw x (Q2-Q1) atau sebesar Q1CBQ2 sedangkan kemampuan membayar

konsumen sebesar Q1CAQ2 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB.

P S P

G E F A A

D

Q Q

(a) S + PE (b) S + CE

Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor (S+PE) dan (S+CE)

Sumber: Monke and Pearson, 1989

Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q3 ke Q4

sehingga impor berkurang dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terjadi transfer pendapatan

dari konsumen sebesar (Pd-Pw) x Q4 atau PdABPw. Transfer ini terdiri atas transfer

yang diterima produsen sebesar PdEFPw dan yang diterima pemerintah sebesar

FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q4BCQ3 dengan

kesediaan membayar Q4ACQ3 adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi


(54)

Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989

3.1.4.2 Kebijakan Input

Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik.

1. Kebijakan input tradable.

Gambar 4 di bawah ini memperlihatkan dampak kebijakan subsidi negatif (pajak) dan subsidi positif pada input tradable. Pada Gambar 4(a), pajak yang dikenakan pemerintah bagi input tradable mengakibatkan peningkatan biaya produksi pada tingkat ouput yang sama sehingga terjadi penurunan produksi output domestik dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi

ekonomi yang hilang yaitu seluas daerah segitiga ABC; daerah ini merupakan S

D

Q Q3

Q4

Q2

Q1

A E

G F B

C P


(55)

perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q2CAQ1 dengan biaya untuk

memproduksi output tersebut atau Q2BAQ1.

Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada Gambar 4(b). Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan penggunaan input dari Q1 ke Q2 atau kurva supply bergeser ke kanan

bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q1ACQ2 dengan

kenaikan nilai output atau Q1ABQ2.

(a) (b)

Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

2. Kebijakan input nontradable.

Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5(a) terlihat bahwa pengenaan pajak (subsidi negatif) sebesar Pc-Pp mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2. Harga di

tingkat produsen turun menjadi Pp sedangkan harga di tingkat konsumen naik

menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA

dan dari sisi konsumen sebesar BCA. A

C

B

Q1

Q2

S

Q

B A

Q1 Q2

S C

Pw

P S’

Pw

P

Q S’


(56)

Gambar 5(b) menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable. Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q1 ke Q2. Harga

yang diterima produsen meningkat dari Pd menjadi Pp sedangkan harga yang

diterima konsumen menurun dari Pd menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang

diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan atau Q1ABQ2 dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang

yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen (ACB) dan dari sisi konsumen (ABD).

(a) (b)

Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input nontradable Sumber: Monke and Pearson, 1989

3.1.5 Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix (PAM) pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem komoditi. Menurut Pearson and Gotsch (2004), tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung

S A D Q P C B D

Q2 Q1

Q3 Pd Pp Pc Pp’ P S D D B C A

Q1 Q2

Pd

Pp

Pc


(57)

transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity (Pearson and Gotsch, 2004).

Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu:

1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen setelah adanya kebijakan;

2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS (apabila tidak terdapat distorsi sama sekali);

3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing dan domestik;

4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan.

PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial); analisis dayasaing (keunggulan kompetitif dan komparatif); analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks analisis PAM.

Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan (PAM)

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable

Input nontradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak kebijakan I J K L


(58)

A. Analisis keuntungan

1. Keuntungan Privat (D) = A – B – C

Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah.

2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G

Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan secara ekonomi.

B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif

1. Rasio Biaya Privat (PCR) = B A

C

Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu.

2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = F E

G


(1)

Lampiran 5. Perhitungan Biaya Penyusutan Peralatan

No Peralatan Jumlah Harga Umur Nilai Penyusutan

(buah) Beli (Rp) Pakai (bln) Sisa (Rp) per bulan (Rp)

1 Penggilingan 1 617.500 26 44.250 22.048,08

2 Drum cuci & rendam 3 66.750 60 7.500 2.962,50

3 Drum rebus 1 60.750 12 7.000 4.479,17

4 Tungku 1 64.750 13 5.000 4.596,15

5 Rak (kerai) dari bambu 87 14.950 96 3.000 10.829,69

6 Saringan 1 5.000 0,471 500 9.554,14

7 Ember 2 13.250 36 2.000 625,00

8 Pisau 1 8.075 37 1.500 177,70

Total biaya penyusutan peralatan 55.272,43

Penyusutan peralatan per bulan = harga beli - nilai sisa x jumlah pemakaian umur pakai


(2)

Lampiran 6. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg)

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 10.400 - - 11.955,14

B Biaya Produksi

1 Kedelai 4.209 2455,25 350,75 7.015 4.225 2.275 6.500

2 Ragi 39,09 0 0 39,09 39,09 0 39,09

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,21 0 0 1,21 1,21 0 1,21

Mesin giling 7,20 0 0 7,20 7,20 0 7,20

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,12 0 0 1,12 1,12 0 1,12

Rak (kerai) bambu 3,53 0 0 3,53 3,53 0 3,53

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,02 0 559,02

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,815 150 66,48 81,705 148,18

9 Sewa tempat 66,66 0 0 66,66 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0


(3)

Lampiran 7. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 10.400,00 - - 11.955,14

B Biaya Produksi

1 Kedelai 6734,40 3.928,4 561,2 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,705 1,815 150,00 66,48 81,705 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0


(4)

Lampiran 8. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha Seratus Kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) apabila Harga Output Naik 46 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 1.5184,00 - - 17.454,45

B Biaya Produksi

1 Kedelai 4.209,00 2.455,25 350,75 7.015,00 4.225,00 2.275 6.500,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 825,00 0 0 825,00 621,14 0 621,14

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1.81 150,00 66,48 81,70 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0


(5)

Lampiran 9. Biaya Finansial dan Biaya Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Industri Tempe Skala Usaha 100 kilogram Per Hari pada Bulan Maret 2008 (Rp/kg) jika Harga Input Kedelai Naik 60 persen dan Harga Output Naik 46 Persen

No Uraian Aspek Finansial Aspek Sosial

Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total

A Penerimaan - - - 15.184,00 - - 17.454,45

B Biaya Produksi

1 Kedelai 6.734,40 3.928,40 561,20 11.224,00 6.760,00 3.640 10.400,00

2 Ragi 39,10 0 0 39,10 39,10 0 39,10

3 Bahan bakar 56,47 0 0 56,47 56,47 0 56,47

4 Pewarna 22,30 0 0 22,30 22,30 0 22,30

5 Peralatan

Drum rendam/cuci/rebus 1,22 0 0 1,22 1,22 0 1,22

Mesin giling 7,21 0 0 7,21 7,21 0 7,21

Tungku 1,50 0 0 1,50 1,50 0 1,50

Ember/pisau/saringan 1,13 0 0 1,13 1,13 0 1,13

Rak (kerai) bambu 3,54 0 0 3,54 3,54 0 3,54

6 Tenaga kerja 742,50 0 0 742,50 559,03 0 559,03

7 Bahan pengemas

Daun 166,81 0 0 166,81 166,81 0 166,81

Plastik 222,84 0 0 222,84 222,84 0 222,84

8 Biaya tataniaga 66,48 81,70 1,81 150,00 66,48 81,70 148,19

9 Sewa tempat 66,67 0 0 66,67 0 0 0

10 Pajak 27,78 0 0 27,78 0 0 0


(6)

Lampiran 10. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai naik 60 Persen

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable Input nontradable

Harga Privat 10.400,00 4.010,11 8.159,94 -1.770,05

Harga Sosial 11.955,14 3.721,71 7.969,74 263,70

Dampak kebijakan -1.555,14 288,40 190,20 -2.033,74

Lampiran 11. Matriks Analisis Kebijakan pada Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor dengan Skala Usaha Seratus Kilogram per hari (Rp/kg) apabila Harga Input Kedelai Naik 60 Persen diimbangi dengan Kenaikan Harga Output 46 Persen.

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan

Input tradable Input nontradable

Harga Privat 15.184,00 4.010,11 8159,94 3.013,95

Harga Sosial 17.454,45 3.721,71 7969,74 5.763,00