Perumusan Masalah Analisis nilai tambah dan dayasaing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap industri tempe di kabupaten Bogor (kasus: desa Citeureup, kecamatan Citeureup)

tempe mampu menyerap sejumlah tenaga kerja baik yang terkait secara langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan masukan dan keluaran industri pengolahan tersebut Amang, 1996. Pada umumnya industri pengolahan kedelai tersebut menggunakan kedelai impor dan kedelai lokal dengan komposisi 65-35 persen 2 . Kondisi ini tentu terkait erat dengan kebijakan mengenai impor kedelai yang ditetapkan pemerintah. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan bea masuk terhadap impor kedelai, kelompok industri yang bahan bakunya didominasi impor ini mengalami guncangan sehingga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan produksi mereka. Besarnya impor kedelai yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berpengaruh pada besarnya devisa yang dihabiskan. Oleh karena itu, studi mengenai keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri berbahan baku kedelai seperti industri tempe perlu dilakukan. Perlu diketahui pula seberapa besar nilai tambah yang dapat diciptakan dari aktifitas produksi serta bagaimana dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap industri tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data dari Badan Pusat Satistik BPS, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 671 ribu ton kedelai pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun yang sama, kebutuhan kedelai jauh lebih besar dari nilai tersebut yaitu 1.863 ribu ton. Perbedaan antara jumlah permintaan dengan penawaran kedelai dalam negeri mengkibatkan impor kedelai sebesar 1.192 ribu ton kedelai. Begitu pula dengan tahun 2004, produksi kedelai domestik yaitu 723 ribu ton sedangkan total kebutuhan kedelai sekitar 1.838 ribu ton dan impor kedelai 1.115 ribu ton 2 Anonim. 2007. Rencana Pengenaan Tarif BM Kedelai dapat Membebani Pengusaha Tempe. http:www.kompas.com . Diakses tanggal 9 Desember 2007. kedelai. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 2005, produksi kedelai dalam negeri hanya mampu mencapai 808 ribu ton dari total kebutuhan kedelai sebanyak 2.184 ribu ton sehingga total impor 1.376 ribu ton kedelai. Tahun 2006 nilai kebutuhan, produksi dalam negeri dan impor kedelai secara berturut-turut adalah 2.023 ribu ton, 747 ribu ton dan 1.276 ribu ton kedelai Fenomena seperti di atas menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan kedelai yang mampu dipenuhi melalui produksi dalam negeri hanya sekitar 35-40 persen sedangkan sisanya yaitu sebanyak 60-65 persen dari total kebutuhan masyarakat dipenuhi melalui impor. Padahal permintaan terhadap komoditi tersebut terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan serta pengetahuan masyarakat akan kesehatan. Kedelai baik lokal maupun impor digunakan untuk beberapa kepentingan diantaranya konsumsi pangan rumah tangga, sebagai bahan baku industri olahan, serta sebagai pakan ternak. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku industri olahan merupakan yang paling tinggi, kemudian pakan ternak dan yang terakhir konsumsi rumah tangga. Tingginya tingkat konsumsi kedelai dalam industri olahan seharusnya diimbangi dengan kegiatan yang mampu menghasilkan nilai tambah yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penelitian ini akan membahas mengenai daya saing industri yang berbahan baku kedelai, dalam hal ini industri tempe. Perlu dianalisis keunggulan komparatif dan kompatitif industri tempe terkait biaya yang harus dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut. Kedelai yang pemenuhan kebutuhannya didominasi impor seharusnya digunakan bagi kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah yang tinggi. Kedelai tidak hanya digunakan bagi kegiatan konsumsi secara langsung akan tetapi lebih mengarah pada aktifitas yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditi tersebut. Pengolahan kedelai pada industri tempe merupakan bentuk alternatif usaha dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditi tersebut. Keunggulan aktifitas pengolahan kedelai ini penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg 3 . Konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Di samping itu, permintaan terhadap tempe cenderung akan tetap ada karena komoditi ini memang telah dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai sumber protein nabati sejak lama. Industri tempe pada umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga. Jumlah pengusaha tempe yang telah berproduksi selama ini berpengaruh pula pada banyaknya tenaga kerja berpenghasilan rendah yang dapat ditampung oleh industri ini. Di Kabupaten Bogor terdapat beberapa indusri pengolahan kedelai, termasuk industri tempe. Hal ini tentu berpengaruh pula pada tingginya tingkat kebutuhan 3 Made Astawan. 2007. Tempe Sumber Antioksidan dan Antibiotika. http:www.gizi.net . Diakses tanggal 18 Desember 2007 kedelai di daerah tersebut. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kebutuhan kedelai untuk industri olahan di Kabupaten Bogor sebanyak 33.960 kg tiap harinya. Tabel 4. Jumlah Kebutuhan Kedelai Harian untuk Indusri Olahan di Kabupaten Bogor No Kecamatan Kebutuhan kedelai kghari 1 Dramaga 710 2 Cibungbulang 4.985 3 Cisarua 685 4 Citeureup 11.750 5 Leuwiliyang 1.830 6 Ciampea 955 7 Tajurhalang 4.000 8 Ciomas 100 9 Megamendung 480 10 Ciseeng 800 11 Cibinong 1.795 12 Cileungsi 2.760 13 Tamansari 160 14 Parung 2.960 JUMLAH 33.960 Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008. Menurut Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, sampai dengan Januari 2008 terdapat sekitar 202 pengrajin tempe di kabupaten ini. Jumlah ini merupakan jumlah pengrajin yang masih dapat bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan baku kedelai akibat penerapan bea masuk impor kedelai pada akhir tahun 2007. Kecamatan Citeureup, khususnya Desa Citeureup merupakan sentra produksi tempe terbesar di Kabupaten Bogor dengan jumlah 100 unit usaha tempe. Berikut disajikan data industri tempe yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor. Tabel 5. Jumlah Industri Tempe di Kabupaten Bogor Januari 2008 No Kecamatan Jumlah industri 1 Cibungbulang 21 2 Cisarua 6 3 Citeureup 100 4 Leuwiliyang 16 5 Ciampea 7 6 Ciseeng 8 7 Cibinong 4 8 Cileungsi 16 9 Parung 8 JUMLAH 202 Sumber: Disperindag Kabupaten Bogor, 2008 Dihadapkan pada fenomena tingginya tingkat konsumsi kedelai impor pada industri olahan berbahan baku kedelai, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana nilai tambah yang mampu dihasilkan industri tempe di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif industri tempe di Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana dampak kebijkan pemerintah terhadap industri tempe di Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian