Keuntungan privat yang diterima oleh pengrajin tempe di daerah penelitian lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan sosialnya PP SP. Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa adanya intervensi pemerintah yang berupa distorsi pasar tidak memberikan insentif yang baik kepada para pengrajin tempe
sehingga keuntungan yang diterima pada kondisi tanpa adanya intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan adanya intervensi pemerintah.
Perbedaan yang terjadi antara analisis finansial dan analisis ekonomi disebabkan oleh adanya perbedaan nilai penerimaan, biaya domestik dan biaya
input tradable akibat kebijakan pemerintah. Perbedaan penerimaan dikarenakan pada analisis ekonomi menggunakan harga output berdasarkan harga perbatasan
fob yang nilainya lebih tinggi dibandingkan harga finansial harga privat. Selain
itu, dari sisi komponen biaya domestik terdapat perbedaan nilai akibat dari perbedaan upah tenaga kerja tidak terdidik yang digunakan pada industri tempe
dimana nilainya dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di desa. Pada biaya input tradable
, kedelai sebagai bahan baku dihitung berdasarkan harga perbatasan cif pada analisis ekonomi. Nilai cif kedelai tersebut lebih rendah dibandingkan harga
finansial sehingga biaya produksi pada analisis ekonomi pun menjadi lebih rendah dibandingkan pada analisis finansial.
6.2.3 Analisis Kebijakan Pemerintah
Pada dasarnya suatu kebijakan bagi aktifitas ekonomi tertentu dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif terhadap para pelaku
ekonomi. Melalui analisis matriks kebijakan dapat diketahui dampak kebijakan, baik kebijakan input transfer input, koefisien proteksi input nominal dan transfer
faktor, kebijakan output transfer output dan koefisien proteksi output nominal,
maupun kebijakan input-output koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan, dan rasio subsidi produsen.
Kebijakan pemerintah pada sisi output dapat dilihat dari nilai transfer output, dan koefisien proteksi output nominal. Nilai transfer output positif menunjukkan
besarnya insentif masyarakat terhadap produsen. Dengan kata lain masyarakat konsumen membeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga yang
seharusnya mereka bayarkan. Demikian sebaliknya apabila transfer output bernilai negatif.
Analisis pada indusri tempe di Desa Citeureup menghasilkan nilai transfer output yang negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumen membayar dengan
harga yang lebih rendah dibandingkan harga yang seharusnya konsumen bayarkan. Nilai transfer output sebesar Rp -1.555,14 memiliki pengertian bahwa
terdapat transfer dari produsen kepada konsumen sebesar nilai tersebut. Koefisien proteksi output nominal merupakan hasil pembagian antara
penerimaan pada analisis finansial dengan penerimaan pada analisis ekonomi. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu NPCO 1 berarti terdapat proteksi
harga oleh pemerintah sehingga harga output di pasar domestik yang diterima oleh produsen lebih tinggi dibandingkan harga bayangan harga dunia, demikian pula
sebaliknya. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa nilai NPCO pada industri tempe di daerah penelitian yaitu sebesar 0,8699 NPCO 1. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga privat lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kondisi ini juga dapat diartikan
bahwa produsen atau pengrajin tidak memperoleh insentif dari pemerintah untuk peningkatan produksinya.
Transfer input merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Nilai
transfer input diperoleh dari selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan biaya berdasarkan harga sosial. Apabila nilai transfer input yang dihasilkan positif
berarti terdapat kebijakan subsidi negatif atau pemberlakuan pajak pada input produksi. Demikian sebaliknya, nilai transfer input negatif memperlihatkan bahwa
terdapat kebijakan subsidi pada input produksi sehingga pengrajin atau produsen membeli input pada harga finansial yang lebih rendah dibandingkan harga
ekonomi. Industri tempe di Desa Citeureup menunjukkan nilai transfer input yang positif yaitu Rp 180,25. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap input tradable mengakibatkan pengrajin mengalami kerugian senilai Rp 180,25 per kilogram tempe.
Koefisien proteksi input nominal NPCI menunjukkan tingkat distorsi yang dibebankan pemerintah terhadap input tradable. Pada industri tempe di Desa
Citeureup, dihasilkan nilai NPCI 1,0765. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memproteksi produsen
input sehingga harga input tradable di pasar domestik akan meningkat menjadi lebih tinggi dibandingkan harga efisiennya. Sementara sektor usaha yang
menggunakan input tersebut akan mengalami kerugian karena harus membayar input produksi dengan harga yang lebih tinggi.
Selain input produksi yang bersifat tradable terdapat pula input produksi yang bersifat non tradable. Transfer faktor yang merupakan analisis bagi
kebijakan pemerintah pada input domestik diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable pada analisis finansial dengan biaya input non tradable pada analisis
ekonomi. Hasil analisis menunjukkan transfer faktor pada industri tempe di Desa Citeureup sebesar Rp 261,91. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga input non
tradable yang dikeluarkan pemerintah pada tingkat harga finansialnya lebih tinggi
dibandingkan harga input non tradable pada tingkat harga sosial. Hal ini juga mengindikasikan terdapat kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi input
domestik sehingga pengrajin atau produsen harus membayar input domestik dengan harga yang lebih inggi dibandingkan harga sosialnya.
Koefisien proteksi efektif EPC merupakan indikator yang digunakan untuk melihat sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi ataupun
menghambat produksi domestik. EPC ini diperoleh dari rasio antara selisih penerimaan dan biaya input tradable pada analisis finansial dengan selisih
penerimaan dan biaya input tradable pada analisis ekonomi. Nilai EPC pada industri tempe di desa Citeureup yaitu 0,8192 EPC 1. EPC sebesar 0,8192
dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan yang ada mengakibatkan pengrajin tempe tidak memperoleh tambahan keuntungan sebesar 81,92 persen dari harga
bayangannya. Atau dengan kata lain pengrajin tempe di daerah penelitian hanya memperoleh sedikit manfaat subsidi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang
kurang melindungi para pengrajin tempe. Selisih antara keuntungan finansial dengan keuntungan sosial menghasilkan
nilai transfer bersih. Transfer bersih disini menyatakan adanya tambahan surplus produsen atau sebaliknya berkurangnya surplus produsen sebagai akibat adanya
kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil analisis, transfer bersih di daerah penelitian bernilai Rp –1.997,30. Tranfer bersih yang bernilai negatif
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan berkurangnya surplus produsen sebesar Rp 1.997,30.
Dari tabel indikator penilaian matriks analisis kebijakan terlihat bahwa nilai koefisien keuntungan pada industri tempe di Desa Citeureup yaitu sebesar 0,5274.
PC yang merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang
mengakibatkan keuntungan sosial berbeda dengan keuntungan finansial. PC senilai 0,5274 memiliki arti bahwa kerugian ynag diterima pengrajin dengan
adanya kebijakan pemerintah adalah 52,74 persen lebih tinggi dibandingkan kerugian yang diterima pada kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah.
Rasio subsidi produsen SRP merupakan rasio antara transfer bersih dengan penerimaan berdasarkan analisis ekonomi. SRP lebih besar dari nol berarti bahwa
adanya kebijakan pemerintah mengakibatkan produsen mengeluarkan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan biaya imbangan untuk berproduksi.
Sebaliknya, SRP lebih kecil dari nol menunjukkan adanya kebijakan pemeritah berdampak pada lebih tingginya biaya produksi yang dikeluarkan produsen
dibandingkan opportunity costnya. SRP yang diterima pengrajin tempe di Desa Citeureup adalah -0,2540. Nilai rasio subsidi produsen ini berarti bahwa kebijakan
yang berlaku selama ini mengakibatkan pengrajin tempe mengeluarkan biaya produksi lebih tinggi 25,40 persen dibandingkan biaya opportunity cost untuk
berproduksi.
6.3 Analisis Sensitivitas pada Industri Tempe di Desa Citeureup