Meskipun peranan agroindustri sangat penting, pembangunan agroindustri masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Terdapat beberapa permasalahan yang
dihadapi agroindustri dalam negeri, antara lain: 1 kurang tersedianya bahan baku yang cukup dan kontinu; 2 kurang nyatanya peran agroindustri di perdesaan
karena masih berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan; 3 kurang konsistennya kebijakan pemerintah terhadap agroindustri; 4 kurangnya fasilitas permodalan
perkreditan dan kalaupun ada prosedurnya amat ketat; 5 keterbatasan pasar; 6 lemahnya infrastruktur; 7 kurangnya perhatian terhadap penelitian dan
pengembangan; 8 lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir; 9 kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing; 10 lemahnya
entrepreneurship Soekartawi, 2000.
2.2 Produksi Tempe
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung
dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping
biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer
, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan
nisbi 70-80 Sarwono, 1994. Terdapat dua kelompok vitamin pada tempe, yaitu larut air Vitamin B kompleks
dan larut lemak vitamin A, D, E, dan K. Selain itu, keistimewaan lain yang
dimiliki tempe adalah mengandung viamin B
12
yang umumnya terdapat pada produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada makanan nabati sayuran, buah,
dan biji-bijian
4
. Dibandingkan dengan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan
oligosakarida penyebab flatulensi. Proses fermentasi yang dilakukan dapat
menghilangkan kedua senyawa tersebut sehingga meningkatkan daya cerna kedelai Cahyadi, 2007.
2.3 Studi Terdahulu 2.3.1
Studi Mengenai Indusri Tempe
Studi yang bertujuan untuk menganalisis pendapatan serta nilai tambah yang diciptakan industri tahu dan tempe di Kota Bogor serta kebijakan yang
berpengaruh terhadapnya dilakukan oleh Dermawan 1999. Berdasarkan studi tersebut, nilai tambah industri tahu sebesar Rp 2.445,10 per kg kedelai sedangkan
nilai tambah industri tempe sebesar Rp 1.741,07 per kg kedelai. Kebijakan pemerintah yang diterapkan selama ini secara konseptual cukup baik namun
mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Apretty 2000 melakukan studi mengenai analisis dampak krisis ekonomi
pada industri tempe skala kecil di Desa Citeureup, Kabupaten Bogor. Berdasarkan penelitian Apretty, dampak krisis ekonomi bagi industri tempe di daerah
penelitian yaitu penurunan produksi. Nilai tambah yang diciptakan pada saat krisis ekonomi meningkat namun tidak diikuti dengan keuntungan bagi pengusaha
tempe. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi krisis ekonomi yaitu melalui diversifikasi produk dan diversifikasi pasar.
4
Anonim. 2007. Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe. http:id.wikipedia.orgwikiTempe
. Diakses tanggal 18 Desember 2007.
Berdasarkan penelitian mereka, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap industri tempe secara umum adalah kedelai sebagai bahan baku utama, ragi, bahan
pengemas, bahan bakar, air, listrik, peralatan, dan tenaga kerja. Skala produksi industri tempe pada umumnya tergantung pada ketersediaan bahan baku,
permintaan pasar, serta ketersediaan modal.
2.3.2 Studi Mengenai Analisis Nilai Tambah
Berbagai studi mengenai analisis nilai tambah telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Studi mengenai analisis usaha dan nilai tambah pengolahan ikan pada
industri kerupuk ikanudang di Indramayu dilakukan oleh Apriyadi 2003. Menurut Apriyadi, usaha ini layak untuk dikembangkan dengan nilai RC atas
biaya tunai maupun biaya total yang lebih besar dari satu. Berdasarkan analisis nilai tambah dapat disimpulkan bahwa semakin besar output yang diproduksi
maka semakin besar nilai tambah yang diperoleh, semakin efisien produsen dalam berusaha, serta semakin besar pula dayasaing tenaga kerja.
Analisis nilai tambah pada pengolahan kain tenun sutera alam di Kabupaten Garut dilakukan oleh Muflikh 2003. Untuk menghitung besarnya nilai tambah
yang dihasilkan perusahaan, digunakan analisis nilai tambah Metode Hayami. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan perusahaan
adalah 60 persen dari nilai output. Penggunaan benang sutera alam dalam negeri memberikan nilai tambah dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
penggunaan benang sutera impor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan kain tenun ikat paling tinggi karena harga jualnya paling mahal.
Jati 2005 melakukan studi mengenai analisis pendapatan dan nilai tambah industri kecil keripik dan sale hasil produk olahan pisang di Banten. Analisis yang
digunakan yaitu analisis pendapatan dan analisis nilai tambah. Nilai RC atas biaya tunai dan biaya total usaha tersebut lebih besar dari satu, yang berarti kedua
kegiatan pengolahan sudah efisien, menguntungkan, dan layak untuk dilaksanakan. Kegiatan pengolahan pisang menjadi keripik memberikan nilai
tambah yang lebih besar dibandingkan sale.
2.3.3 Studi Mengenai Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Penelitian yang menggunakan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan. Dewi 2004 menggunakan Policy Analysis Matrix dan
analisis sensitivitas untuk mengetahui keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali,
Jawa Tengah. Berdasarkan studi Dewi, diperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan kedelai di daerah penelitian memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif
dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Melemahnya nilai tukar rupiah sebesar empat persen tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan komparatif
dan kompetitif pengusahaan kedelai sedangkan kebijakan subsidi mendorong produsen untuk meningkatkan produksinya.
Dhuhana 2004 melakukan penelitian untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif usaha emping melinjo di Kabupaten Serang. Kesimpulan studi
Dhuhana yaitu keuntungan usaha emping melinjo baik dengan intervensi maupun tanpa intervensi berada di atas normal dengan nilai DRC dan PCR lebih kecil dari
satu. Selain itu, diketahui pula bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika berdampak pada peningkatan keunggulan komparatif dan
kompetitif. Meningkatnya suku bunga dan upah tenaga kerja berdampak pada
penurunan keuntungan sosial dan privat serta peningkatan sumberdaya domestik dan rasio biaya privat pada usaha emping melinjo.
Studi mengenai analisis dayasaing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi di Desa Tajurhalang, Kabupaten Bogor
dilakukan oleh Kuraisin 2006. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah PAM dan analisis sensitivitas. Berdasarkan penelitian Kuraisin
disimpulkan bahwa pengusahaan susu sapi menguntungkan dan efisien secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu. Perubahan
kebijakan pemerintah seperti peningkatan harga pakan sebesar 30 persen, harga susu sapi sebesar 5 persen serta gabungan keduanya tidak mempengaruhi
keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah penelitian. Studi terdahulu yang telah dilakukan pada industri tempe di beberapa daerah
pada umumnya terkait dengan perkembangan industri, permintaan dan penawaran, pola konsumsi, serta analisis usaha pada industri tersebut. Penelitian mengenai
dayasaing industri tempe di Kabupaten Bogor dengan menggunakan Policy Analysis Matrix
PAM belum dilakukan. Mengingat tingginya ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor dalam hal pemenuhan bahan baku industri
olahan, maka diperlukan penelitian untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pada industri tersebut. Selain itu perlu dihitung besaran nilai tambah
yang dapat ditimbulkan akibat kegiatan pengolahan kedelai menjadi tempe. Kedelai yang didatangkan secara impor sebaiknya digunakan pada kegiatan yang
dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi agar sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan bakunya.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Definisi Dayasaing
Suatu negara dikatakan memiliki dayasaing pada komoditi tertentu apabila negara tersebut mampu memproduksi suatu komoditi dengan lebih efisien
dibanding negara lain pada komoditi yang sejenis. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan
serta efisiensi dalam pengelolaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan
efisiensi meliputi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.
3.1.2 Keunggulan Komparatif
Perbedaan ketersediaan faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia pada setiap negara mengakibatkan masing-masing negara memiliki kemampuan
yang berbeda dalam memproduksi suatu komoditi. Kondisi ini akan mendorong terjadinya pemenuhan kebutuhan melalui perdagangan dengan negara lain. Adam
Smith mendasarkan teori perdagangan internasional pada keunggulan absolut absolute advantage. Jika sebuah negara lebih efisien daripada atau memiliki
keunggulan absolut terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding atau memiliki kerugian absolut terhadap negara
lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut Salvatore,
1997.
Pada tahun 1817, David Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principles of Political Economy and Taxation
yang memberikan penjelasan mengenai teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif. Menurut
hukum ini, meskipun suatu negara memiliki kerugian absolut terhadap negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, akan tetapi masih terdapat kemungkinan
bagi kedua negara untuk melakukan perdagangan internasional yang saling menguntungkan Salvatore, 1997. Suatu negara akan melakukan spesialisasi
dengan memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil komoditi dengan keunggulan komparatif dan mengimpor
komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar komoditi dengan kerugian komparatif.
Asumsi yang digunakan dalam teori perdagangan internasional berdasarkan hukum keunggulan komparatif yaitu : 1. hanya terdapat dua negara dan dua
komoditi; 2. perdagangan bersifat bebas; 3. terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antar keduanya; 4. biaya
produksi konstan; 5. tidak terdapat biaya transportasi; 6. tidak ada perubahan teknologi; 7. menggunakan teori nilai tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam
dapat diterima dengan mudah, asumsi tujuh teori nilai tenaga kerja tidaklah berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan
komparatif Salvatore, 1997. Ricardo menjelaskan bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan
dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda-beda antar negara Cho and Moon,
2003. Kemudian pada tahun 1933 Heckscher-Ohlin melakukan pengembangan
terhadap teori perdagangan internasional berdasarkan keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Heckscher-Ohlin dalam teoremanya
menyebutkan bahwa suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di
negara tersebut dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara
tersebut. Keunggulan komparatif merupakan salah satu ukuran dayasaing suatu negara
dalam memproduksi komoditi tertentu berdasarkan analisis ekonomi. Dalam perhitungannya, konsep ini menggunakan harga sosial atau harga bayangan yang
merupakan harga yang terjadi pada kondisi pasar persaingan sempurna atau dengan kata lain apabila perekonomian tidak terdistorsi sama sekali. Akan tetapi
pada kenyataanya, kondisi tanpa distorsi tentu tidak akan ditemui dalam dunia nyata. Oleh karena itu diperlukan juga ukuran dayasaing suatu aktifitas produksi
pada kondisi perekonomian yang aktual.
3.1.3 Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan ukuran dayasaing pada kondisi perekonomian aktual. Konsep ini pada mulanya dikembangkan oleh Porter. Porter
menyebutkan bahwa faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional dipengaruhi oleh kondisi fakor; kondisi permintaan, industri pendukung dan
terkait; persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat faktor ini didukung oleh faktor lainnya yaitu peluang dan peran pemerintah. Konsep keunggulan
kompetitif digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu aktifitas serta
keuntungan privat yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha berdasarkan harga pasar.
Konsep keunggulan kompetitif bukanlah suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan dengan dengan konsep keunggulan komparatif, akan tetapi suatu
konsep yang sifatnya saling melengkapi. Konsep keunggulan komparatif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara ekonomi dan
perhitungannya didasarkan pada harga sosial, sedangkan konsep keunggulan kompetitif menggambarkan kelayakan suatu kegiatan usaha secara finansial dan
didasarkan pada harga pasar. Suatu komoditi dapat memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif, yang mengindikasikan bahwa
komoditi tersebut layak untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional.
3.1.4 Kebijakan Pemerintah
Sering kali mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien karena adanya kegagalan pasar sehingga memerlukan suatu bentuk campur tangan dari
pemerintah. Kebijakan pemerintah ditujukan untuk peningkatan ekspor ataupun sebagai usaha perlindungan terhadap produk dalam negeri. Intervensi pemerintah
ini dapat diterapkan baik pada output maupun input yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan harga output dan input secara finansial dan secara
ekonomi. Klasifikasi kebijakan harga komoditi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat
membantu untuk menjelaskan dampak perubahan kebijakan. Tabel tersebut membedakan tipe kebijakan berdasarkan tiga kriteria yaitu tipe instrumen,
kelompok penerimaan dan tipe komoditi Monke and Pearson, 1989. Berikut disajikan tabel klasifikasi kebijakan harga komoditi.
Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditi
Instrumen Dampak pada Produsen
Dampak pada Konsumen Kebijakan subsidi
a. tidak merubah harga pasar dalam nageri
b. merubah harga pasar dalam negeri
Subsidi kepada produsen
b. pada barang impor S + PI ; S – PI
b. pada barang ekspor S + PE ; S – PE
Subsidi kepada konsumen
c. pada barang impor S + CI ; S – CI
b. pada barang ekspor S + CE ; S – CE
Kebijakan perdagangan merubah harga pasar
dalam negeri Hambatan pada barang-
barang impor TPI Hambatan pada barang-
barang ekspor TCE Sumber: Monke and Pearson, 1989.
Keterangan : S +
= Subsidi S -
= Pajak PE
= Produsen barang orientasi ekspor PI
= Produsen barang substitusi impor CE
= Konsumen barang orientasi ekspor CI
= Konsumen barang substitusi impor TPI
= Hambatan barang impor TCE = Hambatan barang ekspor
Tipe Instrumen
Dalam tipe instrumen, subsidi dan kebijakan perdagangan merupakan dua hal yang dibedakan. Apabila dibayarkan dari pemerintah maka disebut subsidi.
Tujuan dan dampak subsidi yaitu menciptakan harga domestik berbeda dengan harga dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan merupakan pembatasan atau
hambatan yang diberlakukan baik pada komoditi impor maupun ekspor. Hambatan perdagangan ini dapat diterapkan pada harga komoditi dalam bentuk
tarif maupun pada jumlah yang diperdagangkan dalam bentuk kuota. Kebijakan perdagangan dan subsidi dapat berbeda dalam tiga hal yaitu:
a. implikasinya pada anggaran pemerintah. Kebijakan perdagangan tidak berpengaruh pada anggaran pemerintah
sedangkan subsidi akan mengurangi anggaran pemerintah apabila berupa subsidi positif dan menambah anggaran pemerintah apabila berupa subsidi
negatif. b. tipe alternatif kebijakan.
Intervensi pemerintah dapat dibedakan menjadi delapan tipe subsidi dan dua hambatan perdagangan Monke and Pearson, 1989. Delapan tipe subsidi
untuk produsen dan konsumen pada barang ekspor maupun impor yaitu: 1. subsidi positif pada produsen barang impor S+PI
2. subsidi negatif pada produsen barang impor S-PI 3. subsidi positif pada produsen barang ekspor S+PE
4. subsidi negatif pada produsen barang ekspor S-PE 5. subsidi positif pada konsumen barang impor S+CI
6. subsidi negatif pada konsumen barang impor S-CI 7. subsidi positif pada konsumen barang ekspor S+CE
8. subsidi negatif pada konsumen barang ekspor S-CE Pada hambataan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan
perdagangan pada barang ekspor dan hambatan perdagangan barang impor.
c. tingkat kemampuan penerapan. Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada setiap komoditi baik komoditi
tradable maupun non tradable sedangkan hambatan perdagangan hanya
dapat diterapkan pada komoditi tradable.
Kelompok Penerimaan
Klasifikasi kelompok penerimaan pada kebijakan pemerintah dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagi produsen dan bagi konsumen. Adanya subsidi
maupun kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah yang tidak
dibayarkan seluruhnya mengakibatkan produsen diuntungkan dan konsumen dirugikan, demikian pula sebaliknya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa
keuntungan yang diterima oleh satu pihak merupakan transfer dari kerugian yang diderita oleh pihak lain. Akan tetapi transfer ini disertai pula dengan efisiensi
ekonomi yang hilang sehingga keuntungan yang diterima lebih kecil daripada kerugian yang diderita.
Tipe Komoditi
Tipe komoditi dibedakan menjadi komoditi ekspor dan komoditi impor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga
dunia. Pada kondisi ini, harga yang digunakan untuk barang ekspor adalah harga fob
free on board sedangkan untuk barang impor digunakan harga cif cost insurance freight
.
3.1.4.1 Kebijakan Output
Kebijakan harga terhadap output dapat berupa subsidi subsidi positif dan subsidi negatif maupun hambatan perdagangan tarif dan kuota. Perubahan yang
terjadi akibat adanya intervensi pemerintah baik berupa subsidi maupun hambatan perdagangan yaitu perubahan pada harga barang, jumlah barang, surplus produsen
serta surplus konsumen Monke and Pearson, 1989. Ilustrasi penerapan subsidi baik pada barang impor maupun ekspor dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1a menunjukkan subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga yang diterima produsen lebih tinggi dibandingkan harga dunia. Subsidi
positif sebesar P
d
-P
w
mengakibatkan output yang diproduksi dalam negeri meningkat dari Q
1
ke Q
2
dengan tingkat konsumsi tetap pada Q
3.
Subsidi ini menyebabkan impor turun dari Q
3
- Q
1
menjadi Q
3
– Q
2
. Transfer total dari pemerintah ke produsen yaitu sebesar Q
2
x P
d
-P
w
atau P
d
ABP
w
. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan
biaya korbanan sebesar Q
1
Q
2
AC sedangkan jika barang tersebut diimpor biaya korbanan yang seharusnya yaitu Q
1
Q
2
BC sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB.
Gambar 1b memperlihatkan subsidi positif untuk konsumen barang impor. Adanya subsidi yang diberikan pemerintah mengakibatkan harga di pasar
internasional lebih tinggi dibandingkan harga domestik. Subsidi positif sebesar P
w
-P
d
mengakibatkan peningkatan konsumsi dari Q
3
ke Q
4
sedangkan output produksi dalam negeri menurun dari Q
2
ke Q
1
sehingga impor mengalami peningkatan dari Q
3
-Q
2
menjadi Q
4
-Q
1
. Transfer yang terjadi sebesar P
w
GHP
d
terdiri dari dua bagian yaitu transfer dari pemerintah pada konsumen sebesar AGHB dan transfer dari produsen pada konsumen sebesar P
w
ABP
d.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi produksi dan
konsumsi. Pada sisi produksi, penurunan output dari Q
2
ke Q
1
mengakibatkan
B A
C
Q
1
Q
2
Q
3
Q
4
Q
3
Q
2
Q
1
A F E G
Pw Pd
Pd Pw
kehilangan pendapatan sebesar P
w
x Q
1
-Q
2
atau Q
1
AFQ
2
sedangkan input yang dihemat sebesar Q
2
Q
1
BF sehingga terdapat efisiensi ekonomi yang hilang sebesar FAB. Pada sisi konsumsi, opportunity cost akibat peningkatan konsumsi dari Q
3
ke Q
4
yaitu P
w
x Q
4
-Q
3
atau sebesar Q
3
EGQ
4
sedangkan kempuan konsumen untuk membayar sebesar Q
3
EHQ
4
sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar EGH.
P S P S
D B H D Q Q
a S + PI b S + CI
Gambar 1. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor S+PI dan S+CI
Sumber: Monke and Pearson, 1989 Gambar 2a menerangkan subsidi bagi produsen barang ekspor. Sama
dengan subsidi pada produsen barang impor, harga domestik lebih tinggi daripada harga dunia. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah output yang diproduksi
dari dari Q
3
ke Q
4
dan penurunan konsumsi dari Q
2
ke Q
1
sehingga jumlah ekspor pun berubah dari Q
3
-Q
2
menjadi Q
4
-Q
1.
Subsidi yang diberikan pemerintah yaitu sebesar GBAH. Gambar 2b merupakan ilustrasi pemberian subsidi bagi
konsumen barang ekspor. Gambar tersebut menunjukkan bahwa harga di pasar internasional lebih tinggi dibanding harga domestik sehingga konsumsi barang
ekspor meningkat dari Q
1
ke Q
2
. Biaya korbanan dari peningkatan konsumsi yaitu
B H
Q
1
Q
2
Q
3
Q
2
Q
1
C B
Pw Pd
Pw Pd
Q
4
sebesar P
w
x Q
2
-Q
1
atau sebesar Q
1
CBQ
2
sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q
1
CAQ
2
sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar CAB. P
S P G E F A
A
D Q Q
a S + PE
b S + CE
Gambar 2. Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang ekspor S+PE dan S+CE
Sumber: Monke and Pearson, 1989 Ilustrasi penerapan hambatan perdagangan dengan mengambil contoh pada
komoditi impor dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 memperlihatkan bahwa hambatan perdagangan pada barang impor mengakibatkan peningkatan harga baik
bagi produsen maupun konsumen. Kondisi harga yang tinggi ini menyebabkan output domestik meningkat dari Q
1
ke Q
2
dan konsumsi turun dari Q
3
ke Q
4
sehingga impor berkurang dari Q
3
-Q
1
menjadi Q
4
-Q
2
. Terjadi transfer pendapatan dari konsumen sebesar P
d
-P
w
x Q
4
atau P
d
ABP
w
. Transfer ini terdiri atas transfer yang diterima produsen sebesar P
d
EFP
w
dan yang diterima pemerintah sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi konsumen yang merupakan
perbedaan antara opportunity cost dari perubahan konsumsi Q
4
BCQ
3
dengan kesediaan membayar Q
4
ACQ
3
adalah sebesar daerah ABC, sedangkan efisiensi ekonomi yang hilang pada sisi produksi yaitu sebesar EFG.
Gambar 3. Dampak hambatan perdagangan pada komoditi impor Sumber: Monke and Pearson, 1989
3.1.4.2 Kebijakan Input
Input merupakan fakor yang berperan penting dalam aktifitas produksi. Input dapat digolongkan menjadi input tradable dan input non tradable. Kebijakan yang
berlaku bagi input tradable dapat berupa kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif dan hambatan perdagangan, sedangkan bagi input non tradable
hanya berlaku kebijakan subsidi baik itu positif maupun negatif. Kebijakan hambatan perdagangan tidak berlaku pada input non tradable karena input
tersebut diproduksi dan digunakan dalam domestik. 1. Kebijakan input tradable.
Gambar 4 di bawah ini memperlihatkan dampak kebijakan subsidi negatif pajak dan subsidi positif pada input tradable. Pada Gambar 4a, pajak yang
dikenakan pemerintah bagi input tradable mengakibatkan peningkatan biaya produksi pada tingkat ouput yang sama sehingga terjadi penurunan produksi
output domestik dari Q
1
ke Q
2
atau kurva supply bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu seluas daerah segitiga ABC; daerah ini merupakan
S
D Q
Q
3
Q
4
Q
2
Q
1
A E
G F
B C
P
perbedaan antara nilai output yang hilang atau Q
2
CAQ
1
dengan biaya untuk memproduksi output tersebut atau Q
2
BAQ
1
. Dampak penerapan subsidi positif bagi input tradable dapat dilihat pada
Gambar 4b. Pada gambar ini, terlihat bahwa kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan penggunaan input dari Q
1
ke Q
2
atau kurva supply bergeser ke kanan bawah. Efisiensi ekonomi yang hilang yaitu sebesar ABC yang merupakan
perbedaan biaya produksi yang semakin bertambah atau Q
1
ACQ
2
dengan kenaikan nilai output atau Q
1
ABQ
2
.
a b
Gambar 4. Pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
2. Kebijakan input non tradable. Efek pengenaan subsidi positif dan negatif pada input non tradable dapat
dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5a terlihat bahwa pengenaan pajak subsidi negatif sebesar P
c
-P
p
mengakibatkan produksi turun dari Q
1
ke Q
2.
Harga di tingkat produsen turun menjadi P
p
sedangkan harga di tingkat konsumen naik menjadi P
c.
Efisiensi ekonomi yang hilang dari sisi produsen yaitu sebesar DBA dan dari sisi konsumen sebesar BCA.
A C
B
Q
1
Q
2
S
Q
B
A
Q
1
Q
2
S C
P
w
P S’
P
w
P
Q S’
Gambar 5b menerangkan dampak subsidi positif pada input non tradable. Kebijakan tersebut berdampak pada peningkatan produksi dari Q
1
ke Q
2.
Harga yang diterima produsen meningkat dari P
d
menjadi P
p
sedangkan harga yang diterima konsumen menurun dari P
d
menjadi P
c
. Efisiensi ekonomi yang hilang diukur dari perbedaan biaya produksi akibat meningkatnya output yang dihasilkan
atau Q
1
ABQ
2
dengan kesediaan membayar konsumen. Total efisiensi yang hilang yaitu seluas daerah ACD yang terdiri dari inefisiensi ekonomi dari sisi produsen
ACB dan dari sisi konsumen ABD.
a b
Gambar 5. Pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
3.1.5 Policy Analysis Matrix
Policy Analysis Matrix PAM pertama kali diperkenalkan oleh Eric. A.
Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989. Hasil analisis PAM ini dapat digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah pada suatu sistem
komoditi. Menurut Pearson and Gotsch 2004, tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu
pengambil kebijakan pertanian terkait dengan isu-isu penting bidang pertanian, menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, serta menghitung
S A
D Q
P C
B
D
Q
2
Q
1
Q
3
P
d
P
p
P
c
P
p’
P S
D D
B
C A
Q
1
Q
2
P
d
P
p
P
c
Q
transfer effects. Matriks PAM terdiri dari dua identitas yaitu identitas tingkat
keuntungan atau profitability identity dan identitas penyimpangan atau divergences identity
Pearson and Gotsch, 2004. Asumsi dasar yang digunakan dalam analisis PAM yaitu:
1.pada analisis finansial, perhitungan didasarkan pada harga pasar yang merupakan harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan
konsumen setelah adanya kebijakan; 2.pada analisis ekonomi, perhitungan didasarkan pada harga sosial yang
merupakan harga bayangan atau harga pada kondisi PPS apabila tidak terdapat distorsi sama sekali;
3.ouput bersifat tradable dan input dapat dipisahkan dalam komponen asing dan domestik;
4. eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan. PAM merupakan suatu analisis yang dapat mengidentifikasi tiga analisis
yaitu analisis keuntungan privat dan sosial; analisis dayasaing keunggulan kompetitif dan komparatif; analisis dampak kebijakan. Berkut disajikan matriks
analisis PAM.
Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan PAM
Keterangan Penerimaan
Biaya Keuntungan
Input tradable
Input nontradable
Harga Privat A
B C
D Harga Sosial
E F
G H
Dampak kebijakan I
J K
L Sumber: Pearson and Gotsch, 2004
A. Analisis keuntungan
1. Keuntungan Privat D = A – B – C Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh
biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditi
tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada
kondisi adanya intervensi pemerintah. 2. Keuntungan sosial H = E – F – G
Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan.
Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktifitas pengusahaan komoditi tersebut menguntungkan
secara ekonomi.
B. Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif
1. Rasio Biaya Privat PCR = B
A C
− Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat
dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditi tersebut
efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu.
2. Biaya Sumberdaya Domestik DRC = F
E G
−
Apabila nilai Domestic Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan pengusahaan suatu komoditi dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan
pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu.
C. Analisis dampak kebijakan
1. Kebijakan output ~ Transfer output I = A – E
Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif
mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai
transfer output negatif menunjukkan bahwa kebijakan yang berlaku mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga
seharusnya. ~ Koefisien Proteksi Output Nominal NPCO =
E A
Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila
nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia.
2. Kebijakan input ~ Transfer input J = B – F
Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya
kebijakan pemerintah pada input tradable. Nilai transfer input positif
mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara
penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. ~ Koefisien Proteksi Input Nominal NPCI =
F B
Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial.
Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input
tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. ~ Transfer fakor K = C – G
Transfer fakor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer fakor
bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya
input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial. 3. Kebijakan Input-Output
~ Transfer bersih = D – H Transfer bersih merupakan selisish antara keuntungan bersih yang benar-
benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. ~ Koefisien Proteksi Efektif EPC =
F E
B A
− −
Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditi.
~ Koefisien keuntungan = H
D
Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, maka berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih
kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah. ~ Rasio Subsidi bagi Podusen SRP =
B A
L −
Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya
di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.
3.1.6 Harga Bayangan
Menurut Gittinger 1986, harga bayangan atau shadow prices adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian bila pasar berada pada keadaan persaingan
sempurna dan kondisi keseimbangan. Gray 1993 menyebutkan bahwa shadow prices
dari suatu produk atau faktor produksi merupakan social opportunity cost, yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam penggunaan alternatif
terbaik. Pada kenyataanya kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit
ditemukan. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai yang mendekati harga sosial diperlukan penyesuaian terhadap harga yang berlaku. Alasan digunakan harga
bayangan dalam Dewi 2004 yaitu:
1. harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak
digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat; 2. harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya
diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktifitas tersebut.
3.1.7 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas merupakan suatu analisis yang dapat membantu untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu aktifitas produksi apabila terjadi perubahan-
perubahan dalam perhitungan biaya maupun manfaat. Kadariah 2001 menyebutkan bahwa analisis sensitivitas dapat membantu menemukan variabel-
variabel penting dalam suatu proyek yang harus diperhatikan untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil bidang ketidakpastian.
Menurut Kadariah 2001, cara melakukan analisis sensitivitas yaitu: 1. mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau
beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut;
2. menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.
3.1.8 Konsep Nilai Tambah
Menurut Hayami dalam Ibnu 2001, definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditi karena adanya input fungsional yang
diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa proses mengubah bentuk form utility, memindahkan tempat place utility,
maupun menyimpan time utility.
Terdapat beberapa variabel penting yang terkait dengan analisis nilai tambah yaitu faktor konversi yang menunjuk pada banyaknya output yang dihasilkan dari
satu satuan input; faktor koefisien tenaga kerja yang menunjuk pada banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu satuan input; dan
nilai produk yang menunjuk pada nilai output yang dihasilkan dari satu satuan input Hayami dalam Jati 2005.
3.2 Kerangka Operasional
Kedelai merupakan komoditi yang strategis dilihat dari peranannya dalam perekonomian nasional. Sebagai salah satu sumber protein nabati yang banyak
diminati, komoditi ini memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik untuk konsumsi masyarakat, kebutuhan bahan baku industri makanan olahan, serta
pakan ternak. Permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pendapatan, serta pengetahuan kesehatan masyarakat
Amang, 1996. Dari sisi penawaran, tingkat produksi kedelai dalam negeri belum mampu
mengimbangi tingginya tingkat permintaan. Terdapat kesenjangan antara jumlah yang diproduksi dengan jumlah kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam
pemenuhan kebutuhan kedelai pemerintah melakukan impor dari luar negeri. Total impor kedelai di Indonesia yaitu sebesar 60-65 persen dari keseluruhan
kebutuhan dalam negeri, sisanya yaitu hanya 35-40 persen yang dapat dipenuhi melalui produksi domestik.
Permintaan kedelai paling tinggi yaitu bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku industri makanan olahan seperti tempe, kecap, tahu, tauco dan sebagainya.
Menurut data Depperin, jumlah industri kecil dan menengah IKM pengolah
kedelai di dalam negeri tercatat 92.400 yang terbagi menjadi 56.760 unit usaha tempe, 28.600 unit usaha tahu, 1.500 unit usaha kecap, 2.100 unit usaha tauco,
dan 3.430 unit usaha aneka olahan. Industri-indusri tersebut pada umumnya menggunakan kedelai impor sebagai bahan baku sehingga perkembangannya
berdampak pada volume impor kedelai yang semakin meningkat. Dihadapkan pada kondisi bahan baku yang didominasi barang impor,
aktifitas industri berbahan baku kedelai seharusnya diarahkan pada kegiatan yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat sebanding dengan
biaya yang telah dikeluarkan untuk mengimpor komoditi tersebut. Akan lebih baik apabila kedelai yang didatangkan secara impor digunakan pada aktifitas
ekonomi yang dapat berkontribusi pada perekonomian, misalnya dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan maupun dalam hal peningkatan harga jual dan nilai
tambah dari komoditi itu sendiri. Aktifitas pengolahan kedelai menjadi tempe merupakan salah satu usaha
dalam rangka peningkatan nilai tambah bagi komoditi kedelai. Permintaan terhadap tempe selalu ada mengingat kandungan gizi yang terkandung di
dalamnya sumber protein nabati dan harga yang relatif terjangkau. Industri tempe yang pada umumnya berupa usaha skala kecil home insustry mampu
menciptakan lapangan pekerjaan karena industri ini merupakan industri yang padat karya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kontribusi industri tempe bagi
perekonomian. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa besar nilai tambah yang mampu dihasilkan akibat aktifitas pengolahan kedelai pada industri tempe terkait
dengan biaya yang telah dikeluarkan bagi pengadaan bahan baku industri tersebut.
Pada umumnya industri tempe menggunakan kedelai impor dengan komposisi 65-35 persen. Hal ini tentu berpengaruh pada besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan impor kedelai. Oleh karena itu perlu dianalisis keunggulan kompetitif dan komparatif dari industri makan olahan berbahan baku
kedelai, dalam hal ini industri industri tempe. Ketersediaan dan harga bahan baku kedelai yang didatangkan secara impor,
sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan pemerintah. Ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pada komoditi kedelai, maka akan sangat
mempengaruhi kegiatan produksi industri industri tempe. Oleh karena itu perlu dianalisis dampak kebijakan pemerintah pada industri tempe.
Alat analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama adalah analisis nilai tambah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui nilai
tambah yang mampu diciptakan indutri tempe. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua digunakan Policy Analysis Matrix PAM. Alat analisis ini
dipilih karena melalui analisis ini dapat diketahui keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri
tersebut. PAM bersifat statis dan tidak memungkinkan untuk melihat pengaruh perubahan yang terjadi pada fakor-faktor yang penting dalam industri. Oleh
karena itu, sebagai langkah lanjutan diperlukan analisis sensitivitas untuk mengetahui tingkat kepekaan industri terkait dengan perubahan-perubahan yang
terjadi baik pada input maupun output.
Keterangan : : di luar batasan penelitian
Gambar 6. Bagan kerangka pemikiran operasional
35-40 persen domestik
60-65 persen impor
Industri Makanan Olahan berbahan baku kedelai
Kebutuhan Kedelai Indonesia
Industri Tempe
Analisis finansial dan ekonomi
Keunggulan Kompetitif ~ Keuntungan Privat
~ PCR Analisis Nilai Tambah
dengan Metode Hayami
Dampak kebijakan pemerintah: 1. Kebijakan Input : IT, NPCI, dan TF.
2. Kebijakan Output : OT dan NPCO. 3. Kebijakan Input-output : NT, EPC, PC, SRP
Analisis nilai tambah yang mampu diciptakan
PAM
Keunggulan Komparatif ~ Keuntungan Sosial
~ DRC
Analisis Sensitivitas : Kenaikan harga kedelai 60 persen
Kenaikan harga output 46 persen Sensitivitas gabungan
Industri Pakan Ternak Konsumsi RT
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian