Universitas Sumatera Utara
Agak sedikit berbeda dengan pasangan Bapak Kristop dan Ibu ngina, dimana pernikahan mereka adalah pernikahan campuran Batak Toba dan Batak
Karo. Nilai-nilai yang diwariskan kepada anak-anak juga adalah percampuran dari nilai kedua suku Batak Toba dan Batak Karo. Sekalipun keluarga ini tinggal di
daerah Batak Karo, namun yang mendominasi nilai yang diwariskan itu adalah dari budaya Batak Toba. Salah satu cara yang digunakan beliau untuk mengajari
anak dalam adat istiadat adalah dengan cara mengajak anak ke acara adat, supaya anak bisa memperhatikan dengan baik. Sama halnya dengan Batak Karo, beliau
juga menanamkan hal yang paling mendasar bagi anaknya yaitu Dalihan Na Tolu dalam bahasa Batak Toba dan Sangkep sitelu dalam bahasa Batak Karo.
Sementara pasangan Bapak Dedep dan Ibu br Sitepu adalah pasangan yang hanya mewariskan nilai yang mereka ketahui sekedar saja dalam adat budaya Batak
Karo. Menurut pengakuan mereka, bahwa pasangan ini tidak begitu paham dan mendalam dalam hal adat istiadat Batak Karo, sekalipun mereka adalah suku
Batak Karo.
c. Organisasi sosial
Organisasi sosial adalah sebagai wadah bagi orang tua untuk mewarisi nilai kepada anak-anak. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam
membentuk individu, keluarga dan sekolah. Dalam hal ini, peneliti ingin melihat dari sisi penerapan nilai yang dianut dalam keluarga, dan bagaimana sekolah
menjadi salah satu mobilisasi yang mempengaruhi cara berpikir orang tua dalam hal mendidik anak. Peranan keluarga sangatlah penting seiring perjalanannya dari
waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan mempengaruhi si anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenali kebudayaannya dan menilai kebudayaannya
yang paling baik dibanding dengan budaya suku lain Lubis, 2012: 76. Seperti penjelasan sebelumnya, mengenai sistem kepercayaan, nilai dan
juga perilaku, serta lambang yang menjadi ciri khas dari suatu budaya suku Batak Karo yang diwariskan dengan kuat oleh informan kepada anak, kita ketahui
bahwa setiap keluarga merindukan hal yang sama, yaitu mempertahankan budaya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang dianutnya. Hal ini tampak dari cara mewariskan nilai oleh masing-masing informan kepada anak dalam keluarga.
Dalam kasus ini, pasangan Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting adalah pasangan yang menerapkan nilai dengan sangat keras kepada anak. Bahkan untuk
anak menjalin hubungan lebih dari teman pacaran dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba dilarang keras oleh Bapak Olet dan Ibu br Ginting.
Menurut pengakuan mereka, mulai dari anak tertarik kepada lawan jenis, mereka sudah menekankan prinsip dan nilai ini kepada anak, dan sangat berusaha
membuat anak mencintai budayanya sendiri. Hal yang sangat mereka soroti adalah bahasa dan adat istiadat yang jauh berbeda diantara kedua suku, biaya yang
sangat besar dalam acara adat Batak Toba, jadi mereka selalu berpikiran bahwa hanya budaya Batak Karo saja yang simpel dan sederhana, namun bukan hanya
itu saja. Pasangan keluarga ini juga merasa bahwa orang Batak Toba itu pada umumnya kasar dan sangat keras, penjorok, pemarah dan gila hormat. Terlepas
dari hal itu, Bapak Olet dan juga Ibu br Ginting juga mengungkapkan kesenangan mereka terhadap Batak Toba, antara lain: kekompakan yang luar biasa, kesopanan
dan kehormatan dalam menjunjung tinggi adat istiadat Batak Toba, pemikiran yang mau maju dan meningkatkan taraf hidup. Bahkan ketika anak hendak
merantau demi menuntut ilmu, beliau selalu berpesan kepada anak untuk tidak pacaran dengan orang Batak Toba. Dari kasus ini peneliti menyimpulkan bahwa
sekolah, selain menjadi wadah pewarisan nilai, juga menjadi salah satu hal yang membuat orang tua merasa khawatir, karena dengan merantau, maka anak-anak
akan bertemu dengan banyak individu dengan keanekaragaman latar belakang, termasuk budaya dan agama.
Tidak jauh berbeda dengan keluarga di atas, Bapak Regina Sinulingga dan Bapak Efran Ginting juga mengakui tidak ada nilai atau prinsip melarang anak
bergaul dengan seseorang yang berasal dari budaya Batak Toba. Hanya saja mereka mengatakan tukur atau biaya yang sangat tinggi dan adat istiadat serta
bahasa yang sangat jauh berbeda. Mereka juga mengungkapkan lebih sederhana budaya Batak Karo daripada Batak Toba. Alasan bagi Bapak Regina mengatakan
seperti itu dikarenakan silsilah sampai turunan berpuluh-puluh turunan harus ada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dalam acara adat. Bahasa Batak Toba yang cukup kasar kedengarannya. Alasan bagi Bapak Efran adalah begitu banyaknya kerabat yang terlibat dalam sebuah
acara adat di Batak Toba, namun di sisi lain, beliau senang dengan semangat juang dan semangta hidup yang tinggi yang dimiliki oleh pribadi orang Batak
Toba pada umumnya, tidak ada istilah gengsi dan menekankan harga diri yang sangat penting untuk dijaga. Sama halnya dengan Bapak Cinta Tami Sinulingga.
Beliau tidak pernah melarang anak-anak untuk bergaul dan bahkan menikah dengan orang Batak Toba, hanya saja beliau tidak menyukai sikap orang Batak
Toba yang kasar, keras, egois. Kunci utama menurut kedua kepala keluarga ini adalah adanya kemauan untuk saling belajar diantara kedua suku dan kemauan
untuk saling menghormati di anatara kedua suku tersebut, Batak Toba dan Batak Karo.
Berbeda dengan dua pasangan keluarga berikut, yaitu Bapak Kristop Siregar dan Ibu Ngina br Ginting dan keluarga Bapak Dedep Sembiring dan Ibu
br Sitepu, mereka adalah keluarga yang sangat senang dengan orang Batak Toba, mewarisi nilai-nilai agama dan adat istiadat sudah pasti dalam keluarga, namun
bukan berarti melarang anak untuk mengenali dan bergaul dengan suku lain. Mereka tidak pernah melarang anak untuk bergaul atau bahkan menikah dengan
orang Batak Toba. Hal ini karena prasangka mereka selama ini telah lenyap akibat pengalaman yang cukup banyak bergaul dan bersahabat dengan orang Batak
Toba. Sebelum bergaul dengan orang Batak Toba, ibu Ngina itu berprasangka kalau orang Batak Toba itu kasar, pelit dan keras, namun setelah menikah dengan
orang Batak Toba, Ibu Ngina tidak menemukan hal tersebut dalam diri suaminya, malah yang Ibu Ngina temui adalah pribadi Batak Toba yang menjunjung tinggi
persahabatan dan persaudaraan, serta sangat menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadat budaya Batak Toba. Pengalaman ini mendorong Ibu Ngina untuk
berpesan kepada anaknya untuk meminang orang Batak Toba. Sementara Bapak Dedep yang adalah supir antar kota dan antar provinsi, yang mayoritasnya adalah
orang Batak Toba, mengaku bahwa selama bersahabat dengan orang Batak Toba, beliau sangat senang dengan pribadi Batak Toba, beliau menepis yang dikatakan
selama ini bahwa orang Batak Toba itu kasar dan keras, bahkan sebaliknya orang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Batak Toba menurut beliau adalah pribadi yang sangat kental dalam budaya dan adat istiadat. Beliau mengaku bahwa secara pribadi, beliau akan sangat senang
jika anaknya bergaul dan menikah dengan orang Batak Toba.
2. Persepsi masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur terhadap suku Batak Karo
Persepsi membuat kita bisa memahami dan mengartikan pengaruh eksternal dengan mengizinkan kita untuk menginterpretasi, mengelompokkan, dan
mengatur stimulus yang kita pilih untuk diatur dan dimonitor sedemikian rupa. Dengan kata lain, persepsi merupakan suatu proses dimana orang-orang
mengubah kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti Samovar, 2010: 222. Hal ini berarti tidak semua individu dalam budaya
yang sama mempunyai cara pandang yang sama terhadap suatu realita. Ada tiga unsur yang mempengaruhi kita dalam mempersepsi sesuatu, yaitu
Sistema lambang bahasa, pandangan dunia world view, dan juga organisasi sosial. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana ketiga unsur ini mempengaruhi
masyarakat Batak Toba di Desa Unjur dalam mempersepsi Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti.
a. Sistem Lambang Bahasa