Universitas Sumatera Utara
adalah ayah beliau. Awalnya beliau bersikap sangat kaku
dan menolak untuk diwawancarai, karena beliau berpikir bahwa ini
adalah tugas akhir dan sangat penting untuk peneliti, tidak boleh
sembarangan menjawab. Kemudian peneliti dengan nada yang sangat
lembut kembali mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, serta inti
permasalahan yang akan ditelitinya. Akhirnya beliau paham dan
menyetujui untuk diwawancarai. Ibu Berto mempunyai anak lima orang,
dua orang putra dan tiga orang putri. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah
petani biasa dan sumber penghasilan lainnya dari bayaran tenaga mereka
bekerja di sebuah Cattering di Desa Ambarita. wawancara tersebut
berakhir pada pukul 21.30 wib.
4.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus sebagai kajian yang rinci atas suatu fenomena tertentu
dan digunakan untuk menyelidiki unit sosial yang kecil seperti keluarga, masyarakat dalam suatu desa, dan juga kelompok kecil lainnya Robert, 2003.
Hasil dari penelitian kualitatif dengan metode studi kasus adalah hasil yang tidak dapat digeneralisasikan, karena hasil penelitian tersebut hanya berlaku di daerah
dimana penelitian tersebut berlangsung. Penelitian ini dilakukan di dua daerah, yaitu Desa Surbakti, Kabupaten Karo dan Desa Unjur, Kabupaten Samosir.
Sebelum memulai wawancara terhadap informan di Desa Surbakti, dan Desa Unjur, peneliti sudah tinggal di desa tersebut untuk beberapa waktu dengan tujuan
untuk melakukan pengamatan terhadap kehidupan warga secara umum. Dalam hal inilah peneliti bisa melihat bagaimana mereka berinteraksi satu dengan yang
lainnya, bagaimana hubungan komunikasi yang terjalin antara satu dengan yang lainnya. Sangat menarik untuk mengamati serangkaian aktivitas mereka dalam
satu hari. Bahkan yang paling menarik, Desa Surbakti adalah salah satu desa
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dimana jumlah penduduk yang berasal dari suku Batak Toba lumayan banyak. Sementara Desa Unjur adalah desa yang tidak mempunyai penduduk yang berasal
dari Batak Karo. Interaksi dan perilaku merekalah yang diamati oleh peneliti. Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap
informan penelitian.
Kasus Pertama
Setelah peneliti bercerita panjang lebar kepada bapak Dedep, hangatnya sambutannya ditunjukkan dari sikapnya yang tidak canggung, beliau langsung
mengajak peneliti ke rumahnya, supaya wawancara bisa dilaksanakan dengan efektif. Bapak Dedep pun bersedia untuk menjadi salah satu informan bagi
peneliti. Rumah bapak Dedep tidaklah jauh dari perempatan jalan tempat kami saling menyapa, tepatnya di ujung desa Surbakti. Pada saat ditemui sore itu, isteri
dari bapak ini sedang tidak berada dirumah, karena masih bekerja di ladang yang jaraknya cukup jauh dari rumah tersebut. sementara ketika peneliti menanyakan
Nama : Bapak Dedep Sembiring Milala Boru Sitepu
Umur : 57 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Keluarga Bapak Dedep Milala Sembiring adalah keluarga yang pertama diwawancarai oleh peneliti. Diawali dari perjalanan peneliti ke Desa Surbakti,
tiba-tiba di perempatan jalan peneliti menyapa seorang bapak berkulit hitam, badan tinggi besar, rambut sudah mulai ubanan, dengan ciri khas kepala yang
agak sedikit botak dibagian ubun-ubun. Bapak ini memakai kemeja kuning, celana tissue berwarna biru gelap, lengkap dengan jaket kulit hitam yang dikenakannya.
Peneliti langsung memberi salam, “mejuah-juah, kila” dalam bahasa batak karo. Kila itu adalah sebutan untuk suami dari saudara perempuan ayah kita. Sapaan
peneliti disambut hangat oleh bapak Dedep, bahkan peneliti diajak mengobrol. Banyak hal yang ditanyakan oleh Bapak Dedep kepada peneliti, mulai dari asal-
usulnya, tujuannya ke Desa Surbakti dan juga kondisi lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kenapa bapak tidak ikut ibu ke ladang, bapak Dedep hanya menjawab sembari tersenyum kalau kondisi kesehatannya yang sudah tidak mengijinkan.
Dalam keadaan yang sudah sama-sama rileks dan santai, maka situasi ini pun dipakai oleh peneliti untuk langsung memulai berbagi dan bertanya banyak
hal kepada informan, bapak Dedep Milala. Peneliti memulai dari pandangan agama dan makna agama, nilai agama yang dianut, nilai budaya dari suku
informan, pandangan terhadap pendidikan, pandangan informan terhadap perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba, efek bahasa yang
berebeda dalam perkawinan campuran tersebut dan pewarisan nilai budaya yang dipegang oleh informan tersebut kepada anak-anaknya. Namun sebelumnya,
peneliti menjelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi inti permasalahan dalam skripsi yang sedang dikerjakannnya.
“Ihhh, suka kali pun orang batak Karo, terkhusus bapak lah ya nakku, kalau ada anakku pacaran sama orang batak Toba. Samanya kami
sama bibi ndu dirumah ini. kami suka kok kalau anak kami pacaran sama Batak Toba. Sebetulnya batak Karo itu asli batak Toba, seperti
aku sendiri kan nakkuh sebenarnya dari Tongging. Asli bataknya kita semua, bukan Karo sebenarnya ini. Tapi dibuatlah di Karo itu
sembiring. Kalau gak nakku, marga Silalahinya kami ini semua di Batak Toba.”
Bapak Dedep Milala, dengan spontan meresponi penjelasan peneliti tentang inti permasalahan dalam skripsi tersebut. itulah yang menjadi pendapat
Bapak Dedep secara pribadi dan yang sependapat juga dengan isterinya, tidak ada istilah keberatan jika anak pacaran dengan orang yang berasal dari Suku Batak
Toba. Menurut Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa, “Kepercayaan bekerja
sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, dan interpretasi terhadapa suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya
seseorang.” Apa kepercayaan yang dianut, apa maknanya, serta bagaimana nilai- nilai yang ada didalamnya? Itu menjadi hal yang sangat penting, “karena diterima
sebagai suatu kebenaran” dalam Samovar, 2010: 224. Peneliti menanyakan kepada Bapak Dedep Milala tentang kepercayaan yang dianutnya dan maknanya
serta bagaimana menerapkan nilai-nilai agama itu kepada anak-anak di rumah.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Agama kami Kristen. Makna agama yang kita anut itu banyak. Kita hidup ini kan susah, jangan kamu kira gampang loh, hidup kita ini kan
merantau, kampung halaman kita kan sesudah meninggal. Nah itu kota kita, bukan yang kita diami sekarang ini. Walaupun penduduk disini,
kita tetap penduduk sorga kelak. Seperti bapak ini kan sudah berumur 57 tahun, apalagi yang bapak cita-citakan selain daripada surga? Ya
kan nak? Bapak dulu supir ke semua kota nak, bandung, surabaya, lampung, jakarta, dll. Sekarang untuk hal- hal seperti itu, tinggal
perasaan bapak saja yang kuat namun tenaga sudah kurang. Jadi serahkan saja semua sama Tuhan, biarlah Tuhan yang memberkati.”
Kepercayaan yang dianut oleh Bapak Dedep Milala adalah Kristen Protestan. Sesuai paparan jawaban Bapak Dedep, apapun yang dikerjakan dan
diusahakan di dalam dunia yang hanya sementara ini, tidak akan kita bawa mati. Karena kampung halamannya menurut kepercayaan yang dianutnya adalah
bersama Tuhan Yesus di Surga kelak. Makna agama pun bagi Bapak Dedep sangatlah banyak. Dia hanya mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan.
Sebenarnya beliau banyak bercerita bagaimana pengalamannya selama berpuluh- puluh tahun menjadi supir lintas provinsi. Bagaimana beliau berserah kepada
Yang Maha Kuasa dalam segala hal yang dikerjakan. Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana nilai agama itu diwariskan
kepada anak-anak yang sudah dikaruniakan kepada keluarga Bapak Dedep. Beliau mengakui ada sedikit kesalahan dan kelainan dari dirinya sendiri sebagai seorang
bapak yang bekerja sebagai supir, dibandingkan dengan kepala keluarga lainnya. Namun beliau tetap bersyukur telah dipercayakan 4 orang anak dalam
keluarganya. “Aku bersyukur nakkuh, kami diberikan Anak 4 orang, 1 lagi lajang,
3 orang sudah menikah. Kalau soal mengajari anak nilai agama itu, ada sedikit kesalahan memang sama bapak, karena aku jarang kali
dirumah, karena memang jadi supir itu adalah sangat susah kan, kesana kemari. Satu pun anak bapak ini tidak ada yang sekolah tinggi.
Bapak usahakan nak, tapi kalau memang niat mereka tak ada, mau gimana lagi? Anak bungsu ini kelass 1 SMP berhenti sekolah, yang
diatasnya SMA kelas dua udah kawin, yang nomor dua tamat SMP gak mau melanjut, yang pertama itu tamat SMA langsung kawin. Aku
sudah disini mulai tahun 1977, tetapnya disini mulai tahun 2010 lah, ke Gereja aja bapak sangat jarang. Kadang-kadang nak, masih baru
sampai di rumah sudah harus berangkat lagi. Jadi benar- benar tidak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ada waktu yang cukup untuk menanamkan nilai agama pada anak. Terkadang pun nak kuh, kalau ada waktu menginap dirumah entah
satu malam dua malam, bapak tidak bisa mendidik anak-anak dengan sepenuhnya, karena kan memang udah capek dari kerjaan, sementara
esoknya sudah berangkat lagi. Jadi anak-anak saya serahkan sama ibunya. Sejauh ini saya perhatikan, anak-anak saya ini baik-baik kok,
sekalipun mereka tidak takut sama ibunya, maksud bapak tidak setakut mereka ke bapak, tapi mereka semua mendengarkan nasihat ibunya
kok. Saya percayakan saja kalau mendidik dan mengajar itu kepada ibunya.”
Dengan kondisi yang sangat jarang di rumah, dan mengakui kekurangannya sebagai seorang ayah yang seharusnya mendidik dan menanamkan
nilai-nilai agama kepada anak bersama dengan isterinya, peneliti bisa melihat kalau sebenarnya keluarga bapak Dedep ini kurang kuat dalam hal mewariskan
nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Peneliti pun kembali memintai pendapat bapak Dedep tentang perkawinan beda agama di luar kepercayaan yang dianut
keluarga. “Itu saya ada prinsip nak kuh “asal mereka sama-sama senang,
yasudah tidak ada masalah”, bagi bapak, mau orang apa pun diambilnya gak masalah. Toh bukan saya yang kelak jadi kawannya,
kan kawan anakkunya nanti itu, kenapa harus saya campuri? Walaupun berbeda agama, bagi saya tidak masalah. Tapi kan yang
pasti saya sudah katakan sebelumnya sama anakku, kalau dia itu orang kristen, ya kalau dia dapat yang beda agama, berarti itu kan jodoh dia
nak kuh. Namun sejauh ini sih, anak bapak yang sudah menikah kan ada 3 orang, semua diberkati digreja. Makanya bapak selalu sigap
mengurus semua surat-surat anak bapak ini dari gereja. Setelah diberkati, dia mau ke agama mana pun bagi bapak tidak masalah,
asalkan dia dan isterinya sama-sama senang. Samanya kami sama bibimu ini, gak masalah buat kami itu.”
Secara keseluruhan pemaparan Bapak Dedep tentang perkawinan beda agama itu, peneliti menemukan bahwa Bapak Dedep dan Ibu Sitepu tidak
mempermasalahkan pernikahan yang berbeda agama, seandainya hal seperti ini terjadi pada anaknya sendiri. Karena pun memang prinsip yang dipegang oleh
bapak itu sendiri adalah “asal mereka sama-sama senang, gak masalah buat kita.” Selanjutnya, peneliti mulai menanyakan tentang nilai-nilai yang ada dalam budaya
yang dipegang teguh oleh informan. Seperti yang diungkapkan oleh Bertens 2004 bahwa tidak ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota
masyarakat. “Sebenarnya nak kuh, nilai yang ada dalam budayamu sama dengan
nilai yang ada dalam budaya bapak, gak ada bedanya. Pastinya harus saling menyayangi dalam keluarga kan nak? Jangan lupa dengan
agama, dimana kau tinggal buat orang tuamu disitu, maksudnya cari orang yang semargamu, itulah yang kau anggap orang tuamu, gitu nak
ku. Memang kalau di kami ini nak kuh, gak sekental dan sehormat orang batak Toba kalau soal adat istiadat dalam perkawinan itu
sendiri. Misalnya kek di Toba sana kan, ada yang namanya “Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru,” kalau di kami
ini tidak terlalu dipentingkan itu. Selanjutnya nak, kami Karo ini tidak mengenal yang namanya Ulos seperti orang Toba itu, yang diuloskan
ke pengantinnya banyak-banyak. Adat kami itu cukup hanya Kain Panjang yang diberikan ke pengantin, tilam, tikar, lampu dan piring.”
Jadi kami tidak ada istilah kasih ulos atau mangulosi seperti kalian batak Toba itu, kalau kami cukup datang ke pesta kasih sebisa
mungkin duitnya, misalnya Rp. 20.000 cukup itu saja nak.” Seperti itulah Bapak Dedep menjelaskan kepada peneliti. Sebelumnya
memang beliau sudah mengatakan kepada peneliti bahwa beliau kurang mengerti dan paham tentang adat budaya Karo itu sendiri secara menyeluruh, sekali pun
beliau adalah orang Karo Asli. Bahkan lebih lanjut lagi, beliau katakan kalau budaya itu hanya sebatas melekat pada pribadi bapak dan bibi itu saja, bahkan
mulai memudar ke anak-anak. Beliau menjelaskan pandangannya terhadap perkawinan campuran antara batak Karo dan Batak Toba.
“Kalau istilah perkawinan campuran dengan batak Toba, mungkin yang lebih saya soroti itu biayanya yang sudah sangat tinggi. Modal
harus besar kalau mau menikah dengan adat Batak Toba. Tukur di Batak Toba atau harga dari si perempuan itu kan tinggi kali, beda
dengan kami orang Batak Karo. Udah gitu, kalau di Batak Toba ini kan harus kasi Ulos sama semua, itu aja udah sampai lima jutaan, udah
gitu kalau di Toba itu setahu bapak pesta itu dilaksanakan di tempat si laki-laki kan? Beda dengan adat kami orang batak Karo ini, pesta adat
itu harus di tempat atau dipihak si perempuan. Kalau di adatnya ya sama seperti kita batak Toba, pasti dikasi petuah kan sama orang-
orang tua di kampung itu. Kalau seperti saya sendiri, seandainya anak saya pacaran dengan orang batak Toba misalnya ke Samosir sana,
bapak pasti bilang sama dia, apa yang kau kejar dari anak gadis itu? kalau toh sama-sama ke ladangnya, yasudah ambil anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sini sajalah. Jadi sama bapak sendiri, tidak ada masalah kalau anak saya pacaran atau menikah dengan orang mana pun. Karena anak itu
bukan kita yang ciptakan, rejeki dan jodohnya ada di tangan Tuhan. Kita hidup ini kan hanya yang di atas yang tahu. Kita kan merantau ke
dunia ini.” Tapi kalau kam bilang nikah atau pacaran anak orang Karo sama orang Sunda, atau suku jawa yang lainnya, barulah bapak
keberatan nak kuh, karena orang sunda ini misalnya, musuh berat Karo ku rasa sembari tersenyum, karena kebanyakan mereka itu tidak
beres cara berpikirnya. Kalau sama Batak Tobanya nak kuh senang kali pun aku. Karena prinsip orang batak Toba yang bapak lihat itu
tidak suka menganggur atau bermalas-malasan di rumah, mereka itu pekerja keras, giat. Sekalipun tadi bapak bilang tentang biaya tinggi
atau modal tinggi untuk menikah dengan orang batak Toba, bapak pasti berjuang dan berusaha, menjual ladang pun tidak masalah. Di
Desa Surbakti ini sudah banyak orang Batak Karo yang menikah dengan Batak Toba nak kuh, kenapa itu bisa terjadi? Karena memang
dimusyawarahkan, ada kesepakatan. Misalnya dikampung ini selalu dua kali adatnya dibuat. Sebelum makan siang adat Karo dulu, setelah
makan siang masuk adat Batak Toba, jadi adil kan. Satu lagi prinsip yang bapak tanamkan sama anak-anak itu adalah jangan sampai
menikah dua kali.”
Prinsip yang dipegang teguh oleh Bapak Dedep sendiri adalah tidak melarang anaknya untuk menikah dengan suku Batak Toba, asalkan tidak
menikah dengan orang sunda atau suku jawa lainnya. Karena bagi beliau yang menjadikan anak adalah Tuhan, dan yang tahu rejeki serta jodoh anak pun hanya
Tuhan, untuk apa dilarang. Bahkan dalam hal lambang, yaitu bahasa pun, beliau tidak masalah. Beliau mengatakan bahwa kesepakatan akan membawa berkat.
“Aku nak kuh, dari kelas satu SMP di Sidikalangnya aku sekolah, semua bisa kita pelajari kok nak kuh, aku aja banyak tau bahasa batak
Toba, yang penting kita mau belajar. Memang jelas beda kali pun bahasa kita, lambang-lambang dalam adat budaya, tapi kan itulah yang
perlu didiskusikan bersama, disepakati bersama. Jadi bahasa buat bapak tidak masalah, bisa dipelajari. Kalau masih susah, ya pakai
bahasa indonesia kan bisa.”
Kemudian bapak Dedep kembali menjelaskan seperti yang diungkapkan oleh Liliweri 2004, bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil
dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma yang berlaku, sistem budaya dan karakter budaya dari lawan bicara kita. Beliau berbagi banyak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
hal tentang pandangannya terhadap orang Batak Toba serta pengalamannya selama bertahun-tahun dengan orang Batak Toba.
“Tadi kan bapak bilang kalau bapak dulu lama tinggal di Sidikalang, mulai dari kelas 1 SMP bapak di Sidikalang. Bersahabat sama orang
Batak Toba mayoritas kan? Tapi aku suka. Sejak kecil pergaulanku sudah sama orang Batak Toba. Sebenarnya banyak orang yang bilang
kalau orang Batak Toba ini kasar dan keras. Padahal kalau menurut bapak sendiri, orang Batak Karo pun banyaknya yang kasar dan keras,
orang Jawa pun banyak yang kasar dan keras. Menurut bapak gak ada istilah “orang Batak Toba kasar dan keras” nak kuh. Sebenarnya
dibilang kasar dan keras karena memang merantau dari kampung itu dengan tangan kosong tanpa modal, bisa dibilang kalau secara alam,
lebih kaya nenek moyang orang Batak Karo daripada Batak Toba. Orang Batak Toba itu nak kuh Bertanggung jawab penuh terhadap
keluarga, pekerja keras, tidak gengsian walaupun dibilang orang dia inang-inang sambu, dia tidak peduli, yang penting keluarga bisa
bahagia, kebutuhan anak tercukupi, dan satu lagi bagi orang Batak Toba yang menganut kepercayaan tertentu, Kristen misalnya, yang
bapak perhatikan selama ini tekun beribadah. Gak ke ladang hari minggu. Kalau kami oraang Batak Karo ini beda nak kuh, poin-poin
yang bapak bilang untuk orang Batak Toba tadi kurangnya untuk Batak Karo. Kalau Batak Karo ini nak kuh, gengsian orangnya, lebih
malasnya orang batak Karo daripada Batak Toba.”
Pandangan Bapak Dedep terhadap pernikahan campuran Batak Karo dengan Batak Toba jelas tidak kaku, sekalipun berbeda agama. Karena
persepsinya terhadap Batak Toba pun tidak menjadi penghalang baginya. Bagi beliau yang paling penting jangan menikah dengan orang diluar Batak, misalnya
Jawa, Dayak, dll. Satu hal lagi jangan sampai menikah dua kali. Demikianlah wawancara peneliti dengan Bapak Dedep Milala.
Kasus Kedua
Nama : Bapak Olet Sitepu Ibu br Ginting
Umur : 68 Tahun 58 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Keluarga ini adalah keluarga yang sebelumnya sudah dikenal oleh peneliti, bahkan peneliti sendiri diijinkan tinggal di rumah keluarga Bapak Sitepu dan Ibu
br Ginting di Desa Surbakti ini selama penelitian berlangsung. Sebenarnya Bapak Sitepu ini, pernah saya dengar dari putrinya sendiri adalah salah satu sosok ayah
yang melarang anak-anaknya untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba. Beliau adalah sosok yang cukup keras
dengan pendirian dan pendapatnya. Bapak dan Ibu ini adalah pensiunan dari Perawat. Keseharian mereka kebanyakan dihabiskan dengan berladang dan
berusaha kos-kosan di Medan. Namun pada hari kedua di Desa Surbakti, peneliti melihat Bapak dan Ibu ini tidak seperti biasanya langsung ke ladang pagi sekali.
Kemudian peneliti mencoba menanyakan hal itu kepada kedua orang tua ini, dan memang benar mereka tidak berladang hari itu juga. Peneliti pun langsung
memberitahukan niatnya kepada Bapak dan Ibu ini, utuk mengadakan wawancara atau berbagi tentang adat budaya. Dengan senang hati mereka bersedia untuk
peneliti wawancarai. Sembari tersenyum, Bapak Sitepu dan Ibu br Ginting mempersilahkan peneliti untuk duduk bersama mereka.
Di ruang tamu yang cukup luas, udara yang dingin karena angin yang berhembus, dan ditemani suguhan secangkir teh manis di pagi hari, cukup
menambah kahangatan suasana pada saat itu. Bapak Sitepu dengan jaket kulit berwarna hitam yang masih melekat di badannya, lengkap dengan kaca mata
cokelat miliknya, sementara Ibu br Ginting juga masih dihangatkan oleh jaket rajutan berwarna hijau, lengkap dengan syal berwarna abu-abu.
Peneliti mulai bertanya kepada informan, bagaimana mereka bisa bertemu, bagaimana keluarganya dan berapa anak yang dikaruniakan Tuhan dalam keluarga
mereka. Orang tua Bapak Sitepu ini sebenarnya di Kabanjahe, beliau disekolahkan menjadi seorang perawat. Beliau lahir dari keluarga yang bisa
digolongkan dengan keluarga yang otoriter. Sebenarnya sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan Ibu br Ginting ini, Bapak Sitepu sudah punya
seseorang yang berasal dari Batak Toba. Namun ayah dari beliau melarang keras untuk berhubungan dengan perempuan yang berasal dari Batak Toba tersebut.
sejak itulah beliau mulai mencari seorang perempuan yang memang satu suku
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dengan dia, supaya mendapat restu dari orangtuanya. Bertemulah beliau dengan Ibu br Ginting. Tidak selama menjalin hubungan dengan perempuan yang berasal
dari Batak Toba itu, Bapak Sitepu menikahi Ibu br Ginting. Mereka sangat bersyukur sudah dipercayakan anak sebanyak empat orang.
Ketika peneliti mulai melihat situasi dan kondisi dari informan yang sudah cukup rileks, peneliti pun memulai menanyakan kepercayaan yang dianut dan
maknanya bagi mereka, serta bagaimana sebenarnya nilai yang ada dalam kepercayaan yang mereka anut itu ditanamkan kepada anak-anak. Mangingat
bahwa kepercayaan juga akan mempengaruhi cara berpikir dan cara pandang kita terhadap sesuatu, karena agama itu mengandung nilai-nilai universal yang
berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga Lubis, 2012.
“Bapak sama ibu disini nak memeluk kepercayaan Kristiani. Kami agama kristen nak kuh. Bahkan kalau disinggung mungkin sedikit
tentang masuknya agama ke Karo ini, masih jauh lebih dulu Tapanuli dibanding kami di Karo ini nak kuh, tetapi ketika Injil itu masuk ke
Karo ini, dan kita dengar dan diajari orang tua juga dulunya, ya dari situlah lahir iman kepada Yesus Kristus. Kami gereja di GBKP nak
kuh. Jadi kalau menurut bapak dan ibu disini, kami katakan kami percaya kepada Yesus Kristus, berarti hal yang mendasar itu haruslah
saling mengasihi sesama manusia, kan sama-sama ciptaan Tuhan. Kalau soal menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak ini, kami
bekerja sama dengan bibimu ini mendidik mereka sesuai dengan ajaran agama kami. Nilai yang paling penting dalam agama kristen itu
kasihi Tuhan dan kasihi sesamamu manusia, Tuhan adalah Allah, jangan ada yang memegahkan diri, kan gitu nak kuh. Jadi dari kecil,
mereka ini selalu bapak ajari dan bibimu didik untuk mengenal Tuhan. Karena kalau sudah kenal Tuhan, dengan sendirinya dia akan tahu apa
yang baik yang harus dikerjakan. Sekalipun kita diberkati Tuhan dengan segala hal yang berkecukupan ini nak, kami selalu didik anak-
anak ini untuk tidak pernah sombong, karena semua itu berasal dari Tuhan. Kemudian setelah beranjak remaja, bapak sama bibimu ini
selalu menekankan dan mengingatkan untuk tetap gereja di GBKP, jangan jadi lari aliran, gitu dia nak kuh. Ada kakak ndu ini satu orang
kuliah di USU di Medan, sering dia itu ke gereja kharismatik, bapak selalu arahkan dia itu nak. Bapak ijinkan dia kesana, tapi tetap kembali
ke dasar, back to basic istilahnya. Karena itu jelas sudah beda aliran dengan GBKP, kalau untuk menambha wawasan kan tidak apa,
menambah susana baru tidak apa, yang penting jangan jadi dibaptis disana nantinya.”
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Dengan semangat bapak dan ibu ginting menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun tidak hanya berhenti dalam hal
nilai agama, penerapannya dan maknanya saja. Selanjutnya peneliti menanyakan pandangan bapak dan ibu terhadap pernikahan dengan beda agama. Ketegasan
bapak dan ibu pun tampak dalam menjawab pertanyaan peneliti. “Kalau dari Bapak dan bibi disini nak kuh, katakan tidak untuk yang
beda agama. Apa pun dibilang itu, kalau yang namanya beda agama tidak ada enaknya, tidak ada kesatuan hati nak kuh. Udah jelas itu,
siapa pun dia, tidak akan ada kesatuan hati dan pikiran kalau beda agama. Sesama agama saja belum tentu nyaman dan bersatu, apalagi
beda agama kan? Bapak dan bibi di rumah ini, selalu memperdengarkan itu ke anak-anak disini, bahkan ke cucu juga,
supaya kelak tidak menjalin hubungan lebih dengan orang yang beda agama. Selalu kami tekankan itu nak. Saya rasa semua orang tua pasti
melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya. Kalau bapak secara pribadi nak, untuk sesama kristen saja bapak tidak asal merestui
hubungan anak-anak bapak ini. Maksud bapak gini, kalau ada anak bapak ini nanti misalnya berhubungan dengan seseorang yang
beragama kristen juga namun alirannya beda dengan GBKP, bapak tidak akan setuju, misalnya gereja kharismatik itulah, ke Khatolik juga
bapak tidak setuju nak kuh. Memang sih tadi bapak bilang harus saling mengasihi sesama manusia, kan semua sama-sama ciptaan Tuhan,
tetaapi beda halnya dengan beda agama ini nak. Kalau dibilang beda agama, bikin susah itu namanya. Nilai pasti langsung jauh berbeda
kan? Makanya kalau bapak dan bibi disini, kami selalu mengarahkan anak-anak kami, kasi pandangan kepada mereka semua tentang
kepercayaan yang kita anut, supaya tidak asal kristen saja. Kalau bapak dan bibi tau, ada dari antara mereka yang pacaran dengan beda
agama jelas bapak dan bibi melarang, kita pasti langsung arahkan anak kita, sebelum melangkah lebih jauh lagi, gitu nak kuh.”
Bapak sitepu dan juga ibu ginting dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pernikahan yang beda agama. Karena menurut
mereka beda agama itu tidak akan ditemukan kesatuan hati dalam hal apa pun, dikarenakan nilai yang ada dalam setiap agama pasti berbeda. Bahkan peneliti pun
disarankan untuk menikah dengan sesama agama saja. Terkait dengan adat budaya dari informan, peneliti menanyakan bagaimana nilai-nilai yang ada dalam adat
budaya mereka. Bapak Sitepu dan Ibu Ginting dengan kompak menuturkan suara hati mereka mengenai nilai adat budaya Karo itu sendiri. Mereka juga
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan bagaimana menerapkan atau mewariskan nilai-nilai adat budaya Karo itu kepada anak-anak.
“Sebenarnya hampir samanya semua dengan adat budaya Batak Toba nak kuh, kalau kami orang Batak Karo itu harus sopan sama
Kalimbubu hula-hula dalam bahasa batak Toba, senina, artinya menjaga persaudaraan yang baik dengan saudara-saudara kita, dan
bisa mengambil hati Berunya, itunya nak. Kalau sudah dilaksanakan ini, itulah orang yang memang benar-benar beradat. Satu hal lagi,
kalau dia orang beragama, pasti dia orang beradat. Kalau nilai yang lain yang kami pegang itu, menantu itu tidak diperbolehkan berbicara
langsung dengan mertua, harus ada yang memediasi. Tetapi sekarang sudah mulai memudar nak kuh. Jadi ini nilai yang sangat perlu kita
tanamkan kepada anak-anak, kalimbubu itu apa artinya dan siapakah mereka itu, senina itu bagaimana, beru itu bagaimana? Supaya anak-
anak itu kelak tahu silsilahnya, tahu bagaimana tarombonya dan yang paling penting tahu apa dan bagaimana posisinya dalam suatu pesta
adat. Di rumah bapak sering mengajari dan mendidik mereka soal adat budaya Karo ini, selain itu juga budaya kan bisa tampak dari perilaku
kita setiap harinya, kemudian bapak sendiri mengajak anak-anak bapak ini ke pesta atau acara adat gitu, kan ada musyawarahnya itu.
Terutama bagi anak laki-laki ya, di acara adat itu bapak suruh dia memperhatikan, kalau ada hal yang tidak dimengerti ditanya sama
bapak, gitu dia nak. Misalnya abangmu inilah, dari dia lajang sudah bapak ajak dia ke acara adat gitu, supaya dia belajar. Sekalipun lajang,
harus pahamlah adat budayanya sendiri. Anak-anak bapak yang perempuan juga mau bapak sama bibi ini mengajaknya ke pesta,
supaya sama-sama belajar disana. Bibi dan bapak juga mengajak anak- anak ini ke Pesta Tahunan, disitu kita bisa tunjukkan kepada anak-
anak yang mana kalimbubu, senina, beru itu tadi. Karena kalau di kami Orang Karo itu, Pesta Tahunan itu adalah suatu pesta adat besar
yang dihadiri seluruh keluarga besar juga. Tetapi Anak-anak zaman sekarang sudah banyak yang tidak peduli dengan adat istiadat juga
budaya nak kuh. Hal ini disebabkan semakin banyaknya tuntutan hidup, waktu hanya digunakan untuk mencari duit, tidak lagi mau
datang ke acara adat untuk belajar. Jangankan anak-anak muda sekarang, orangtua pun sekarang ini sudah banyak yang tidak
memegang teguh adat istiadat itu, tidak paham gitu nak. Bagaimana dia bisa menerapkan dan mengajarkan itu kepada anak-anaknya kan?”
Bapak Olet Sitepu dan ibu Ginting cukup banyak bercerita tentang nilai yang ada dalam budaya mereka, dan juga hal yang mereka lakukan supaya anak-
anak mereka kelak paham dan mengerti budaya itu. Peneliti semakin penasaran dan mulai bertanya apa pandangan Bapak Sitepu dan Ibu Ginting terhadap
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pernikahan campuran antara Batak Karo dengan Batak toba. Informan langsung menarik ke keluarga mereka. Beliau langsung mencontohkan anaknya yang
mengalami peristiwa itu. Secara halus mereka menolak adanya perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba.
“Dari awal memang bapak katakan tadi harus saling mengasihi sesama manusia, tidak pandang bulu, gitu ya nak. Namun untuk kasus ini
beda. Bapak tidak setuju apabila anak bapak pacaran dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba. Selama ini bibi dan bapak selalu
kumandangkan itu dirumah supaya kelak pacaran atau menikah dengan sesama suku Batak Karo saja, jangan dengan Batak Toba. Hal
itu dikarenakan, yang pertama, komunikasi yang tidak saling memahami, karena bahasa yang berbeda, itu bikin susah. Apa yang
ingin kita inginkan tidak paham bagaimana menyampaikannya dalam bahasa Batak Toba. Kemudian yang kedua adalah tanyakan dia berasal
dari agama apa? Bagi bapak secara pribadi, agama itu sangat penting. Seperti yang bapak jelaskan tadi kan nak, bapak setuju hanya sesama
kristen yang satu aliran, seperti GBKP, HKBP, GKPS, GKPI. Kalau sudah beda aliran ke kharismatik, seperti GKII, GBI, GPdI, bapak dan
bibi tidak setuju. Dan yang ketiga adalah tidak adanya kesesuaian adat istiadat. Berbeda jauh adat kita, walaupun ada sedikit-sedikit
persamaannya nak. Bapak misalkan pesta pernikahan. Kalau kami orang Karo, pesta nikah itu harus diadakan di tempat si perempuan,
jelas beda dengan Batak Toba yang pada umumnya diadakan di tempat si laki-laki. Kalau menurut bibi nak kuh, budaya dan adat Batak Toba
ini sangat rumit, banyak sekali permintaannya. Lebih irit biaya pesta adat di Karo daripada Batak Toba. Tukur atau harga sinamot untuk
Batak Toba itu sangat tinggi, padahal belum lagi biaya pestanya kan? Bisa habis orang Karo kalau menikah dengan orang Batak Toba. Kasih
Ulos lagi sama semua. Walaupun sebenarnya bibi tidak terlalu mempermasalahkan biaya sih, tapi itulah ribetnya adat budaya Batak
Toba ini, jadi kurang sesuaai di hati, karena pun kita gak ngerti. Kalau ke suku lain misalnya kan nak kuh, kek Batak Simalungun, kami
masih ada kesesuaian adat. Lantara bapak ini dulu gitu nak, dulu dia pacaran dengan orang Batak Toba, namun dilarang sama bapaknya
dulu. Jadi bapak ini pun mengarahkan anaknya seperti itu.”
Itulah yang menjadi alasan bagi Bapak Sitepu dan Ibu Ginting, mengapa mereka melarang anak-anaknya pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba.
Namun peneliti masih bertanya ada apa dibalik ketidaksetujuan mereka. Apakah memang hanya karena tiga faktor yang sudah disebutkan sebelumnya atau ada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
faktor lain yang mempengaruhi? Selanjutnya informan menjelaskan pandangannya terhadap orang Batak Toba.
“Sudah bapak bilang tadi kan, bapak waktu sekolah banyak bergaul dengan orang Batak Toba nak, memang sih sedikit kasar. Tetapi itu
sebenarnya bukan sifat lahir mereka, tapi pengaruh lingkungan yang membentuk. Kalau dalam lingkungannya banyak kedai tuak,
lingkungan keras dan kasar seperti itu yang membentuk dia jadi seperti itu nak. Gak semua kok orang Batak Toba kasar dan keras.
Kebanyakan orang Batak Toba ini menurut bapak dan bibi juga penjorok. Pemarah juga adalah sifat Batak Toba dominan, misalnya di
pesta adat, kalau ada pembagian jambar bagian berharga, dan namanya tidak dipanggil, pasti langsung marah saat itu juga. Jadi
terkesan gila hormat gitu nak kuh menurut bapak. Tetapi bibi dan bapak juga melihat banyak kelebihan orang Batak Toba ini, tidak
gengsi, yang penting makan, kalau orang Karo itu gengsian. Ada kekompakan dan kontak darah dengan sesama orang Batak Toba.
Misalnya diperantauan, sekali dia tahu kita orang Batak Toba juga, dia pasti langsung menganggap kita seperti saudaranya kandung. Karo
mana ada seperti itu. Saling membantu di orang Batak Toba itu juga sangat tinggi. Orang Batak Toba juga terkenal dengan kesopanan dan
kehormatannya dalam hal adat istiadat. Orang Batak Toba itu nak kuh, pada umumnya tau diri. Kalau dilihatnya orangtuanya susah
dikampung, paasti ada inisiatif tamat SMP langsung merantau, dan berjuang keras untuk sukses di perantauan. Prinsip mereka kuat, tidak
pulang kampung sebelum sukses. Kalau orang Karo nak, tamat SMA okelah dia merantau, tapi kalau di Jakarta misalnya susah, dia malas
untuk berjuang, pasti langsung balik kemari. Pemikiran orang Batak Toba yang selalu memikirkan kemajuan dan peningkatan itu luar
biasa, kalau anak-anak Karo ini mana ada pada umumnya yang berpikir seperti itu.”
Dalam hal pendidikan, Bapak dan Ibu ini tidak membedakan bagaimana prinsip pendidikan di Batak Tobaa dan di Batak Karo. Menurut mereka kedua
suku ini pasti sama-sama menjunjung tinggi pendidikan anaknya, mengutamakan sekolah anaknya sebisa mungkin. Pribadi Bapak Olet Sitepu dan Ibu Ginting
adalah pribadi yang menjunjung tinggi pendidikan anaknya. Anak mau sekolah kita siap. Itulah prinsip dari bapak dan ibu Ginting. Bahkan sampai menjual
ladang pun tidak masalah bagi mereka, asalkan anak ada kemauan bersekolah. Dengan berakhirnya peneliti menanyakan pandangan informan terhadap
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
pendidikan anak, maka berakhir jugalah wawancara dengan Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting sebagai informan.
Awalnya peneliti merasa sangat segan dan sungkan untuk mendatangi warung tersebut dengan tujuan mencari seorang kepala keluarga yang sesuai
kriteria peneliti, yang bersedia untuk diwawancarai. Namun dengan keberanian serta semangat, peneliti melangkahkan kaki ke dalam warung. Semua mata tertuju
kepada peneliti. Kebetulan ada seorang Bapak yang duduk di kursi dekat pintu masuk warung, memakai kaus berkerah berwarna biru dan rompi kulit berwarna
hitam, lengkap memakai topi. Beliau berkulit sawo matang, dengan kumis tebal dan janggut yang tipis. Beliau langsung melemparkan senyuman yang hangat
seakan menyambut peneliti dengan senang hati. Signal itu pun ditangkap oleh peneliti, dan peneliti pun langsung mendekati bapak tersebut, serta mulai
membuka pembicaraan. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa tersebut. Awalnya informan menolak untuk diwawancarai
Kasus Ketiga
Nama : Bapak Regina Sinulingga Ibu br Ginting
Umur : 52 Tahun 48 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Bapak Regina adalah informan ketiga yang diwawaancarai oleh peneliti. Wawancara ini berlangsung pada sore hari sekitar pukul 15.00 wib. Sebelum
bertemu dengan bapak Regina, peneliti mencoba mendatangi beberapa rumah warga di desa itu. Ternyata tak satu pun warga yang sesuai dengan kriteria peneliti
ada di rumah. Menurut cerita beberapa warga, pagi sampai sore memang waktu akan dihabiskan untuk berladang. Mereka menyarankan supaya peneliti
mengadakan waawancara itu pada malam hari saja. Desa Surbakti memang sangat sepi saat itu. Ketika peneliti mencoba menyusuri setapak demi setapak, peneliti
sedikit kaget melihat sebuah warung kopi yang cukup diramaikan oleh kaum Adam.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dan menyarankan peneliti untuk mewawancarai penatua adat di desa tersebut. Beliau mengatakan bahwa dia tidak banyak tahu soal adat budaya. Semangat
peneliti tidak hilang, peneliti mencoba menjelaskan kalau hal yang diwawancarainya bukan sepenuhnya berbicara mengenai adat budaya. Setelah itu
barulah informan mau memberikan waktu dan setuju untuk diwawancarai. “Oh, jadi kam mau wawancara ke Surbakti ini nak kuh? Emangnya
wawancara apa itu? kok sampai jauh kesini dari Medan sana? Oh, masalah adat Batak Karo dan Batak Toba? Kalau gitu lebih baik kam
wawancara saja dengan penatua adat disini, supaya lebih lengkap nantinya nak kuh, kalau bapak tidak banyak tahu tentang adat budaya
ini, nanti jadi susah skripsimu itu. selain penatua adat, Sekretaris Desa ini atau Kepala Desa gitu. Baiklah nak, kalau memang tidak
sepenuhnya yang kam tanya itu tentang adat budaya, okelah bapak bersedia untuk kam wawancarai nak, bapak akan jawab seadanya dan
sejujurnya.”
Sebagaimana telah dipelajari oleh peneliti mengenai tehnik wawancara mendalam sebelum terjun ke lapangan, bahwa peneliti tidak boleh memulai untuk
langsung masuk ke topik sebenarnya sebelum keadaan santai dan rileks. Hal ini supaya informan yang akan dimintai keterangan lewat wawancara tidak merasa
terpaksa untuk menjawab berbagai pertanyaan peneliti. Untuk itu peneliti pun mulai memancing informan, Bapak Regina, untuk bercerita tentang keluarganya.
“Bapak marga Sinulingga, biasa dipanggil Pak Regina, kalau bibi boru Ginting nak. Kami diberkati di GBKP Gereja Batak Karo Protestan,
kami agama Kristen Protestan. Sampai saat ini kami tetap bersyukur kepada Tuhan yang telah mempercayakan dua orang anak di dalam
keluarga kami, yah walaupun dua-duanya perempuan, tidak ada laki- laki, kami tetap bersyukur. Kakakmu ini dua-duanya di Medan sekolah
nak kuh. Biasanya kan kita orang Batak ini, kalau tidak ada anak laki- laki langsung sedih. Kalau bapak dan bibi tidak demikian, karena anak
itu kan pemberian Tuhan. Bapak sama bibi ndu nak, kerjanya berladang. Ada sepetak ladang kami nak kuh.”
Setelah keadaan Bapak Regina sudah santai dan cukup rileks, terlihat dari caranya bercerita, maka peneliti pun mulai mengarahkan pembicaraan ke topik
permasalahan yang diteliti. Seperti yang diungkapkan oleh Dedy Mulyana 2004 bahwa kepercayaan yang kita anut mempengaruhi cara kita berpikir dan
memandang sesuatu. Peneliti pun menanyakan soal kepercayaan kepada Bapak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Regina serta maknanya bagi bapak itu sendiri. Bagaimana informan memandang sesuatu dengan didasari nilai agama atau kepercayaan. Beliau menjelaskan bahwa
yang nilai yang paling penting dari kepercayaan yang dianutnya adalah Kasih. Saling mengasihi sesama manusia, tidak membeda-bedakan antara manusia yang
satu dengan yang lainnya. Bahkan ketika peneliti mencoba bertanya mengenai hubungan atau pernikahan yang berbeda agama, bagi beliau itu tidak menjadi
masalah. Yang menjadi masalah adalah perbedaan pandangan antara Bapak Regina dan Ibu br Ginting dalam menanamkan nilai agama kepada anaknya. Ibu
br Ginting melarang anaknya untuk berhubungan dekat dengan orang yang berbeda agama.
“Bagi saya sendiri secara pribadi, sudah bapak bilang kami ini memeluk kepercayaan Kristen Protestan, yang bapak ketahui bahwa
inti dari orang kristen ini adalah kasih. Itulah nilai yang dipegang kuat oleh orang kristen. Termasuk saya sendiri, makanya saya tidak pernah
membeda-bedakan manusia, baik dari segi suku, agama, atau apa pun itu, karena yang saya tahu bahwa saya harus mengasihi dia, kan sama-
sama manusia ciptaan Tuhan. Ini nilai yang bapak ajarkan juga sama kakak mu yang dua orang ini. Bapak tetap arahkan supaya memegang
teguh percaya kepada Tuhan. Kalau bagi bapak nak, seperti yang kam tanyakan itu tadi hubungan anak yang pacaran atau mungkin menikah
namun beda agama, bagi bapak itu tidak menjadi masalah. Masalah seperti ini kan tergantung si laki dan si perempuan yang menjalin
hubungan, kalau memang mereka ada kesepakatan, apa masalahnya? Yang namanya agama kan alirannya lain-lain, makanya harus
kesepakatan antara kedua belah pihak. Koordinasilah mereka kemana mereka cocoknya. Kalau sudah dewasa kan anak bukan sangkut paut
orang tua. Jangan karena paksaan orang tua, terjadi yang tidak tidak bagi anak. Bagi bapak, kalau mereka sama-sama saling mengasihi, ya
sudah. Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada kami. Putri bapak yang pertama itu menjalin hubungan dekat, mungkin bisa dikatakan
hubungan yang lebih dari sekedar temn dengan seseorang yang berasal dari agama lain. Ketika putri bapak itu cerita, bapak tidak terlalu
peduli, asalkan mereka saling mengasihi satu sama lain, namun pandangan bapak beda dengan bibimu di rumah ini. kalau bibi
melarang keras putri bapak itu pacaran dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan. Akhirnya hubungan itu pun diputuskan putri
bapak tadi.”
Demikianlah penjelasan Beliau mengenai pandangannya terhadap pernikahan atau hubungan dari segi beda kepercayaan. Kemudian peneliti mulai
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
menggali pandangan Bapak Regina akan hubungan anak dengan seseorang yang berbeda suku dari segi beda suku. Beliau menjelaskan kembali nilai yang
dipegangnya bahwa hidup itu harus saling mengasihi, tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Pemikiran yang melarang anak pacaran atau bahkan
menikah dengan seseorang yang berasal dari suku lain, menurut Beliau adalah pemikiran yang sempit, sebatas desanya. Beliau menjelaskan prinsip yang
dipegangnya mengenai teman hidup, bahwa Tuhan di atas segalanya. Tuhan sudah mnetapkan takdir dan menentukan jodoh kita masing-masing. Tidak ada
istilah larang-melarang bagi Bapak Regina. “Sebenarnya itu tergantung orangnya nak kuh, orangtuanya itu.
Menurut bapak orang tua yang cara berpikirnya seperti itu sih kurang luas, sempit hanya sebatas desanya mungkin nak cara dia berpikir.
Manusia hidup di dunia ini kan sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, bahkan untuk jodoh sekali pun sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Gak mungkin keinginan orang tua kan? Mana bisa seperti itu, pasti kehendak Tuhan. Memang semua orang tua pasti menginginkan jodoh
yang terbaik dan yang sempurna untuk anaknya. Jadi kalau bapak sendiri nak, tidak ada istilah seperti itu, kalau memang anak-anak saya
ini berhubungan dengan orang yang lain suku, misalnya tadi suku Batak Toba, ya sudah itulah takdirnya, yang penting mereka saling
mengasihi. Saya tidak mau memaksakan harus ini, harus itu, kepada anak-anak saya. Sekali pun mungkin dalam hati berharap ke sesama
suku, tapi bapak tidak pernah mengutarakan itu kepada anak-anak kok. Kalau putri bapak menikah dengan orang Batak Toba, hal yang
bapak soroti kemungkinan adatnya lah yang berbeda ya, kalau adat Batak Karo kan simpel saja, beda dengan adat Batak Toba yang cukup
rumit, dilengkapi dengan silsilah yang berkelas-kelas itu, setiap marga punya nomor keturunan, bisa sampai puluhan dan semua itu harus
diperhitungkan di pesta misalnya. Sementara kami di orang karo ini tidak demikian, cukup hanya hubungan antara marga. Adat kami itu
singkat nak. Kemudian kalau di Batak Toba ini kan nak, tukur harga yang dibayar laki-laki kepada pihak perempuan sangat mahal, banyak
sekali biaya. Kalau Batak Karo umumnya tukur itu sebesar Rp. 686.000,- cukup. Namun bagi bapak itu tidak jadi masalah, dari Batak
Toba pun, yang penting jalannya benar. Makanya kalau menikah dengan suku lain, ya silahkan saja, tetapi harus saling belajar antara
dua suku tersebut agar bisa saling memahami nantinya kalau ada acara adat, apalagi dalam hal bahasa kan? Ya harus mau belajar. Kalau di
acara adat nikahnya nanti misalnya, ya supaya adil buat adat Batak Karonya, buat juga adat budaya Batak Tobanya, supaya masing-
masing pihak sama-sama bisa menerapkan adat masing-masing. Orang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tua bapak pun dulu tidak ada istilah harus sesama orang Batak Karo, adik ku perempuan nikahnya sama orang Batak Toba kok.”
Terkait dengan adat budaya antara Batak Karo dengan Batak Toba, beliau menjelaskan dengan panjang lebar tentang persepsinya terhadap orang Batak
Toba. Beliau sudah sangat lama bergaul dengan orang Batak Toba. Pengenalannya terhadap sifat dan adat istiadat orang Batak Toba itu cukup baik.
Kekentalan persaudaraan dan persahabatan orang Batak Toba adalah salah satu hal yang dikagumi oleh beliau.
“Saya sudah bergaul dengan orang Batak Toba selama 12 tahun, lebih banyak teman kami orang Batak Toba daripada Karo. Kami hanya ada
dua orang suku Batak Karo. Karena kami saling menjiwai, kami tidak dianggap orang lain lagi, kami dianggap seperti saudaranya. Memang
kalau ku perhatikan dari segi bahasa, orang Batak Toba ini terlampau kasar bahasanya. Misalnya, kalau di kami orang Batak Karo ini tidak
bisa bilang “kau” ke orang tua, harus “kam”, lebih lembut kalimatnya. Sementara kalian Batak Toba itu kan, ke orang tua pun bilang “Ho
kau”, sangat kasar kedengarannya. Namun orang Batak Toba ini, hubungan persaudaraan yang sangat erat, saling tolong menolong,
apalagi kalau tahu sesama orang Batak Toba bertemu di perantauan. Batak Karo ini tidak seperti itu, malah orang Batak Karo ini sangat
pendendam, sampai wafat pun diingatnya nanti sakit hati itu. orang Batak Toba kan tidak, kesusahan atau sakit hati cukuplah sampai hari
itu saja. Pada umumnya seperti itu nak.”
Adat budaya dari setiap suku mempunyai nilai masing-masing yang melekat dan dipegang teguh oleh setiap orang yang memeluknya. Peneliti mulai
menanyakan masalah nilai-nilai budaya yang ada di dalam adat budaya Karo yang dipegang oleh bapak itu sendiri, serta bagaimana nilai itu bisa diwariskan kepada
anak-anak supaya anak-anak pun kelak bisa mengerti dan paham akan adat istiadat yang dijunjung. Bukan hanya nilai dalam kebudayaan, tetapi juga nilai-
nilai dalam keidupan. Namun beliau hanya menjelaskan beberapa nilai yang dipegangnya dari budaya sebagai orang Batak Karo. Salah satu yang paling
penting bagi informan ini adalah menanamkan nilai “Sangkep Sitelu”, dan juga beberapa nasehat dan nilai kehidupan lainnya.
“Bagi bapak, kalau dikatakan nilai dalam budaya kami Karo ini, bapak pegang kuat itu adalah Sangkep Sitelu, dimana kita itu harus hormat
kepada Kalimbubu saudara laki-laki dari isteri saya, berhati-hati dan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tetap menjaga hubungan yang baik dengan saudara Senina, kemudian menghormati dan pandai mengambil hati menghormati serta
bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak
perempuan yang telah menikah, disebut Beru. Makanya bapak kalau dirumah, jika ada waktu, bapak mau menjelaskan kepada anak-anak
siapa yang jadi kalimbubu, senina dan beru itu dalam keluarga kami. Supaya mereka kelak paham dan mengenali mereka satu per satu.
Sama saya rasa seperti di Batak Toba, harus hormat kepada kalimbubu kan? Atau bahasa tobanya Hula-hula kan? Kalau kami disini, misalnya
bapak nanti menikahkan putri bapak ini dengan seseorang, maka tukur harga yang diberikan anak laki-laki kepada perempuan yang akan
dijadikan isteri ini ada persennya yang harus dibayarkan kepada Mamanya saudara laki-laki dari ibu sebesar dua per tiga dari tukur,
kalau tidak mereka itu tidak akan mengakui pernikahan dari putri saya. Mereka itulah yang bapak sebut tadi dengan kalimbubu. Kemudian
bapak senang dengan yang namanya impal, namun bapak tidak memaksakan itu, senang aja nak, tetapi bagi kami orang karo ini, gak
boleh bapak yang minta itu, maunya bibinya yang menjodohkan anaknya dengan anak saya, gitu nak. Kalau bapak sendiri nak, tidak
mendidik secara keras anak-anak ini, apalagi waktu mereka kecil, karena mereka pasti belum paham kan. Sejak masuk dalam usia
remaja, barulah bapak mulai sering mengajari, menasehati dan mendidik mereka. Bapak selalu tekankan kalau kami adalah keluarga
yang tidak punya apa-apa. Supaya mereka lebih mengahargai pengorbanan orangtuanya untuk menyekolahkan mereka. Istilahnya
kita harus mempengaruhi pemikiran anak-anak kita itu untuk nilai- nilai yang baik.”
Menurut Galvin dan Brommel 1991 dalam Lubis, 2012 bahwa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari keluarga. Namun bukan hanya
dalam keluarga, sekolah tingkat pendidikan pun menjadi salah satu wadah untuk menanamkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima
dalam kebudayaan, dan sikap kepada anak. Seperti yang dikemukakan oleh Samovar dan Porter 1993:16 dalam Lubis, 2012 bahwaa sekolah adalah
organisasi sosiaal yang diberikan tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Peneliti mencoba menanyakan pendapat informan
tentang pandangannya terhadap pendidikan. Beliau menjelaskaan bahwa pendidikan adalah sangat penting bagi anak, apalagi zaman sekarang. Bahkan
beliau juga menjelaskan bahwa organisasi sosial seperti sekolah atau pendidikan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ini menjadi salah satu mobilisasi atau penggerak untuk membuka pikiran anak- anaknya, dengan cara berbaur dengan banyak orang yang berasal dari berbagai
suku, tidak seperti di desa yang hanya menemui suku Batak Karo saja. “Orang tua pasti akan selalu mendorong anak-anaknya sebisa
mungkin. Seperti itu juga bapak dan ibu disini, kami berusaha menyekolahkan mereka sampai mereka bisa mencapai cita-citanya.
Prinsip saya dan bibi mu disini, sekalipun kami adalah orang yang tak punya, orang yang susah, sebisa mungkin kami akan menyekolahkan
anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, supaya kelak mereka tidak susah seperti kami orangtuanya. Lagian sekolah itu kan bagus nak,
keluar dari desa ini melanjutkan perguruan tinggi ke Medan itu kan bagus nak, supaya wawasan anak kita itu bertambah pastinya, tidak
sesempit pemikiran orang desa. Luas nanti wawasannya, karena gak cuma orang kita karo lagi yang akan ditemuinya kan? Pasti dari
berbagai suku ada di kota. Kalau kami selalu mendukung dan mendoakan anak-anak kami, Tuhan tau yang terbaik bagi mereka.”
Wawancara dengan Bapak Regina pun berakhir setelah peneliti mendapatkan jawaban mengenai persepsi beliau sebagai orang karo terhadap
pernikahan campuran atau mungkin hubungan anak pacaran anatar Batak Karo dengan Batak Toba.
Sekitar pukul 19.00 wib peneliti kembali menyusuri Desa Surbakti ingin mengadakan wawancara dengan warga yang sesuai dengan kriteria peneliti.
Ditemani rintik hujan yang tidak begitu deras dan juga semilir angin yang membuat suasana cukup dingin, langkah peneliti mendaratkan langkah kakinya di
sebuah warung yang tidak jauh dari sebuah Los Jambur yang ada di Desa Surbakti ini. Dengan senyuman hangat Bapak Cinta Tami yang ternyata adalah
pemilik warung kopi ini menyambut kehadiran peneliti disana. Sembari
Kasus Keempat
Nama : Bapak Cinta Tami Sinulingga Rawati Ginting
Umur : 47 Tahun 43 Tahun
Agama : Islam
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tersenyum beliau menanyakan peneliti ingin minum apa. Sambil menyuguhkan segelas teh manis hangat, beliau langsung duduk dihadapan peneliti. Beliau
tampak berwibawa dari penampilannya. Kaos berkerah berwarna abu-abu, celana kain berwarna hitam, dan jaket kulit berwana hitam adalah busana yang dikenakan
beliau malam itu. kulit yang tidak terlalu gelap, jidat yang cukup menonjol, dan juga kumis serta rambut yang cukup tebal, inilah ciri-ciri Bapak Cinta Tami
Sinulingga. Tak lama kemudian peneliti dan Bapak Cinta Tami ini pun berkenalan.
Beliau banyak bercerita tentang prinsip hidup dan pengalaman pribadinya. Beliau adalah pribadi yang tidak mau patah semangat dan selalu bekerja keras untuk
meningkatkan kemajuan dan memperbaiki taraf hidupnya. Beberapa kali beliau mencoba untuk duduk di kursi dewan, beberapa kali itu juga beliau gagal. Namun
semangat tak pernah pudar, sampai akhirnya beliau menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Tanah Karo, dari golongan Partai PDI
Perjuangan. Kedudukan itu sudah berakhir satu tahun yang lalu. Beliau juga adalah seorang Tokoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat yang cukup
dipercayai dan diakui oleh masyarakat khususnya warga Desa Surbakti. Keluarga ini adalah sebuah keluarga yang cukup rukun dan bahagia. Keluarga yang
dikaruniakan anak sebanyak empat orang, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Keluarga ini memeluk agama Islam. Selain berwarung, yang menjadi
sumber penghasilan mereka adalah berladang. Dalam kehidupannya, beliau selalu menanamkan semangat itu kepada anak-anaknya, agar kelak tidak gampang
menyerah dengan keadaan. Setelah berkenalan dengan Bapak Cinta Tami Sinulingga, peneliti pun
melanjutkan pembicaraan dengan menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa Surbakti dan menjelaskan apa sebenarnya inti dari permasalahan yang hendak
diteliti. Peneliti mulai mengarahkan pembicaraan dan menyuguhkan beberapa pertanyaan pembuka kepada informan, tentang kepercayaan yang dianut,
maknanya dalam hidup serta nilai yang ada dalam kepercayaannya, dan bagaimana beliau menerapkan atau mewarisi nilai yang ada kepada anak-anak.
Beliau menjelaskan bahwa keluarga mereka memeluk Agama Islam, dan pastinya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
itulah yang jadi pegangan hidup, dasar di dalam menjalankan kehidupan keluarganya.
“Seperti yang bapak katakan tadi, bapak memeluk kepercayaan Islam. Bapak membawa keluarga untuk memeluk kepercayaan yang sama.
Kami mempercayai perkataan Allah SWT yang ada dalam Al- Quran itu, yang mengatakan “Wahai umat manusia”, tidak dikatakan “wahai
umat Islam”, berarti kan tidak ada istilah membeda-bedakan manusia. Itu nilai yang paling penting dalam kepercayaan kami. Semua manusia
itu sama, kita harus sama-sama mengasihi dengan tidak pandang bulu. Dengan adanya agama pun, hidup kita akan tentram dan damai, itulah
maknanya bagi kita. Namun sekarang ini kebanyakan manusia punya agama, tetapi tidak dijalankan. Setiap nilai yang ada dalam agama
yang bapak peluk pasti bapak ajarkan dan wariskan kepada anak-anak dengan mengajari mereka sholat, membaca kitab Quran, supaya anak-
anak saya kelak menjadi pribadi yang takut akan Allah SWT, bukan hanya Islam KTP. Bapak kan tokoh agama dan ibu di rumah adalah
mantan tenaga pengajar dari sekolah pesantren, kami bekerja sama mendidik dan mengajari anak-anak akan nilai yang kami pegang
sebagai umat muslim.”
Setelah beliau memaparkan jawaban demikian, maka peneliti bisa mengambil kesimpulan bahwa beliau adalah seorang umat muslim yang memang
benar-benar menghidupi kepercayaan yang dianutnya. Kemudian peneliti mengajak beliau untuk memandang pernikahan atau mungkin hubungan pacaran
dengan seseorang yang berbeda agama. Peneliti mengarahkan cerita dengan memisalkan anak beliau dalam posisi tersebut. beliau menjelaskan bahwa sedari
kecil anak-anaknya sudah diajari,dididik serta diarahkan supaya tetap teguh memegang kepercayaan itu.
“Kalau soal beda agama gini nak, bagi kami agama Islam, kalau seorang anak sudah berumur 13 tahun, maka dia sudah berhak
menentukan langkahnya atau cara hidupnya ke depan bagaimana, hal ini disebut dengan “akil balik” nak. Maksudnya, jika anak itu nantinya
mualaf atau melakukan hal yang salah, sudah dia sendiri yang menanggung dosanya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan
dan mengingatkan. Misalnya, anak bapak ada di posisi itu, sebelum janur kuning melengkung, bapak pasti selalu mengingatkan dan
mengarahkan, namun jika Tuhan sudah berkehendak itu adalah jodohnya, mau gimana kan? Orang tua seperti bapak dan ibu pasti
arahkan, sampai bapak kemarin bilang ke anak-anak, kalau maut hanya Tuhan yang tahu, kalau kalian nantinya murtad ke agama lain,
silahkan, tapi jangan menyesal kemudian hari. Buat bapak begitu nak,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sekali pun dulu orang tua saya memaksakan kami harus ke sesama Islam, namun bapak tidak demikian, buat bapak bebas saja, biarkan
dia menentukan pilihannya, tetapi jangan menyesal di kemudian hari, itu saja.”
Liliweri 2004 mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan pasti memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pegangan hidup dan mempengaruhi cara
pandang setiap individu. Inilah yang menjadi filosofi hidupnya yang akan mengantar kemana individu tersebut melangkah. Dengan demikian peneliti pun
menanyakan hal tersebut kepada Bapak Cinta Tami Sinulingga, bagaimana nilai yang ada dalam adat budaya Batak Karo yang menjadi aturan dan peraturan bagi
mereka, serta bagaimana beliau mewariskan nilai itu kepada anak-anaknya. Beliau hanya mengatakan bahwa dasar dalam adat budaya Karo adalah Sangkep Sitelu,
yaitu bagaimana supaya kita hormat kepada kalimbubu, senina dan anak beru. “Kalau bagi kami orang Karo ini nak, satu kunci untuk adat istiadat
ini, dan inilah yang menjadi nilai dasar kami dalam pelaksanaan adat, yaitu Sangkep Sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan yang sama
dan sederajat di dalam suku Batak Karo, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang
harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu
perkawinan, disebut kalimbubu, golongan kedua adalah tetap berhati- hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung
kita, disebut senina, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga
anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut anak beru. Kalau bagi orang Karo,
kalimbubu itu adalah Tuhan yang dilihat, yang memberi berkat pasu- pasu dalam budaya adat. Kita tidak boleh main-main atau seloro-
seloro dengan kalimbubu. Itulah karena sangat berharganya kalimbubu dan sangat dihormati. Nilai yang lain bagi orang Karo itu antara
menantu dengan mertua tidak boleh berbicara secara langsung, namun itu dulu sih, sekarang sudah semakin memudar. Nilai lainnya adalah
Orang Batak Karo itu, acara adat pernikahan diadakan di kampung halaman perempuan, bukan seperti Batak Toba di kampung halaman
laki-laki. Kemudian nilai berikutnya, yang menjadi pelayan di acara adat adalah anak beru, bukan cattering. Nilai-nilai sperti inilah yang
bapak ajarkan sama anak-anak juga, supaya mereka tau nilai dasar dalam adat itu seperti apa. Apalagi untuk Sangkep Sitelu itu tadi, anak-
anak juga harus tahu yang mana mamanya, mana maminya, dan kekerabatan lainnya. Kalau gak diajari kan, bisa jadi mereka nikah
semarga nantinya karena gak paham. Bapak dan ibu sama-sama
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
memberitahukan dan mengajari mereka apa, bagaimana dan siapa ketiga golongan Sangkep Sitelu itu di dalam keluarga kami.
Peraturan dan aturan lain sebenarnya masih banyak, hanya saja bagi bapak sendiri yang menjadi nilai dasar ya itu tadi lah nak.”
Bukan hanya dari segi agama saja beliau dipercaya menjadi tokoh agama, tetapi dari segi budaya juga beliau adalah seorang yang cukup kuat memegang
teguh nilai yang ada dalam budayanya sebagai orang Batak Karo. Maka terkait dengan budaya, peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan informan
terhadap perkawinan campuran antara suku Batak Karo dengan Suku Batak Toba. Namun sekali pun beliau adalah tokoh adat yang memegang teguh nilai adat
budaya Karo, ternyata beliau bukanlah termasuk dalam golongan orang tua yang melarang anaknya berhubungan lebih dari teman pacaran, bahkan menikah
dengan orang Batak Toba. “Iya, misalnya langsung anak saya saja kita buat di posisi itu ya nak.
Kalau anak bapak pacaran atau menikah dengan orang yang berbeda suku, bagi bapak itu tidak masalah, yang penting harus bisa saling
menghormati antara dua suku tersebut, Batak Karo dan Batak Toba. Satu lagi hal yang harus diterapkan jika pacaran atau bahkan menikah
dengan orang yang berasal dari suku Batak Toba, harus ada kemauan untuk belajar menyenangi hidup bersama orang tersebut, artinya harus
ada kemauan untuk mempelajari budaya Batak Karo dan Batak Toba. Misalnya tadi anak saya yang pacaran dengan orang Batak Toba,
mungkin yang bapak soroti adalah perbedaan adat budayanya dari segi pakaian adat, tukur harga yang diberikan pihak laki-laki kepada
perempuan, dan bahasanya. Berarti anak saya harus mau belajar budaya Batak Toba, termasuk bahasanya, dan juga sebaliknya. Soal
pelaksanaan adatnya, kita buat adat Batak Tobanya, dibuat adat Batak Karonya. Kalau zaman sekarang nak, orang Jerman pun ada yang
menikah dengan orang kita Batak kan? Jadi tidak sesempit dulu lagi cara berpikir sekarang. Prinsip bapak yang diajarkan kepada anak-
anak itu kalau dalam hal pacaran adalah carilah lelaki atau perempuan yang soleha, artinya seseorang yang beriman, beradat, dan jelas jati
dirinya. Karena banyak anak zaman sekarang yang tidak jelas asal usulnya jati dirinya. Intinya nak, bapak tidak ada melarang anak-anak
pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba, saya tidak membeda- bedakan suku. Bapak netral nak, tidak memihak. Lagian disisi lain,
keluarga kita semakin bertambah nak, tidak karo karo saja. Karena Tuhan menciptakan bangsa-bangsa dengan beraneka ragam suku,
tetapi semua itu adalah satu dan adalah sama. Keluarga bapak pun banya kok orang Batak Toba, didukung juga orang tua bapak, nenek
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kakekmu, tidak ada istilah melarang kami anaknya pacaran ke Batak Toba.”
Pengalaman adalah pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan ini. bapak Cinta Tami adalah seorang yang sangat banyak pengalaman mulai dari hal
yang kecil sampai hal yang besar. Bahkan bersahabat dengan orang Batak Toba juga semasa mudanya membentuk persepsi baru baginya tentang orang Batak
Toba. “Menurut bapak ya nak, selama yang bapak tahu dari pengalaman ya,
secara umum orang Batak Toba itu paling egois. Pandangan saya yang lain adalah orang Batak Toba itu pada umumnya keras, terlihat dari
jenis musiknya yang paling keras dari antara semua musik suku batak yang ada, baik Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Angkola dan yang lainnya. Tapi yang saya salut dengan orang Batak Toba, perjuangan yang sangat tinggi untuk menyekolahkan anak-anak
sampai jadi orang semua, disamping orang tua yang seperti itu, anak- anaknya pun tau diri dengan situasi kondisi keluarganya, sehingga
mau berjuang untuk memperbaiki taraf hidup ke depannya. Sementara Batak Karo, lantaran lahannya subur, dan kaya akan hasil tanaman,
perjuangan tinggi itu tidak sehebat orang Batak Toba. Namun bagi bapak nak, pandangan bapak terhadap orang Batak Toba itu tidak
mempengaruhi bapak untuk menjadi takut mengizinkan anak bapak pacaran dengan orang Batak Toba, yang penting mereka bisa saling
mengasihi, gitulah nak.”
Beliau adalah seorang kepala keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan anak-anaknya. Pengalaman beliau juga dalam dunia pendidikan sudah sangat
banyak dan sangat berjuang. Jadi, beliau tidak ingin anak-anaknya bersantai ria, hanya tinggal menikmati hasil kerja keras orang tua. Beliau ingin anak-anaknya
lebih baik daripada beliau, supaya anak-anaknya bisa mengejar cita-cita dan menambah wawasan bagi mereka. Seperti orang tua lainnya, beliau juga akan
berjuang dan berusaha sebisa mungkin untuk mendukung anak-anknya menggapai cita-citanya lewat dunia pendidikan.
“Pendidikan bagi saya sendiri merupakan modal untuk masa depan. Kalau sejak dini pun sudah malas-malasan, maka nanti ke depannya
tidak akan pernah bisa jadi orang yang berguna, maksudnya jadi orang pinggiran terus. Saya juga dulu pernah gagal melamar polisi di
Sampali, namun lulus SIPENMARU di IKIP, jurusan Bahasa Perancis. Semester tujuh saya berhenti kuliah dan balik ke kampung. Walaupun
bapak seperti itu berhenti kuliah, namun harapan untuk maju tetap ada.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Bahkan saya sudah pernah menjabat sebagai anggota DPRD di pemerintahan Kabupaten Karo tahun 2009. Jadi, saya sangat
menjunjung tinggi pendidikan anak-anak. Saya bilang kepada anak- anak, jangan mau kalah dan patah semangat mengejar cita-citamu.
Bapak dan ibu akan dukung sebisa mungkin, sedaya mampu kami, untuk mereka menggapai cita-cita, asalkan ada kemauan bersekolah,
itu saja.”
Sudah banyak adat budaya yang tidak dipegang kuat lagi oleh orang Batak Karo di zaman sekarang ini. Hal ini akibat dari perkembangan zaman.
Perdagangan bebas pun berakibat kepada budaya. Sekarang ini bahasa yang diutamakan dipelajari sebagai les tambahan di sekolah-sekolah adalah bahasa
mandarin, bahasa Jerman, bahasa Perancis, sementara pembelajaran tentang adat budaya Batak Karo sendiri semakin menghilang. Beliau pun menjelaskan bahwa
pengikisan adat budaya ini dipengaruhi oleh ketergerakan hati keluarga yang kurang untuk sama-sama membawa semua keluarga ke Pesta Tahunan sebagai
wadah pembelajaran budaya menurut beliau. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan Bapak Cinta Tami Sinulingga.
Sambutan demi sambutan yang begitu hangat dari warga Desa Surbakti kepada peneliti, membuat peneliti tidak pernah mengenal yang namanya lelah dan
malas untuk mencari terus informan yang sesuai dengan kriteria peneliti, yang bisa diajak berbagi untuk melengkapi data yang dibutuhkan oleh peneliti.
Menyambut senja yang begitu indah, peneliti sambil berbagi cerita dengan salah seorang warga di Desa Surbakti, sambil mengamati tingkah laku warga di sekitar
saat itu. Malam pun tiba, peneliti pamit kepada seorang warga yang menemani sorenya tadi. Setapak demi setapak, langkahan kaki peneliti membawanya ke
Kasus Kelima
Nama : Bapak Efran Ginting
Umur : 48 Tahun
Agama : Islam
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sebuah warung yang tidak begitu ramai. Peneliti melihat seorang bapak sedang duduk merenung disana ditemani secangkir kopi. Beliau mengenakan kaos putih
berkerah, jaket kulit berwarna hitam dan topi rajutan di kepalanya. Peneliti mencoba masuk ke warung tersebut dan duduk di hadapan Bapak tersebut.
Sembari tersenyum indah, peneliti menyapa si Bapak. Tersentak dari lamunannya, beliau pun ikut tersenyum dan menjawab sapaan peneliti. senyuman
itu seakan bermakna sambutan baik kepada peneliti. Dengan tidak ragu lagi, peneliti mulai memperkenalkan diri kepada beliau, dan sebaliknya. Perkenalan itu
membawa peneliti dan bapak tersebut ke dalam cerita yang santai tetapi serius. Tak lupa juga peneliti menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa Surbakti
tersebut. Selama perkenalan itu, peneliti menangkap seuah signal, bahwa beliau sesuai dengan kriteria peneliti. Akhirnya, peneliti dan beliau sepakat untuk
mengadakan wawancara di warung tersebut. Bapak Efran Ginting adalah nama beliau, memperisteri wanita boru Sitepu. Keluarga telah dikaruniakan anak
sebanyak tiga orang dan semuanya masih dalam bangku perkuliahan. Keluarga ini adalah pemeluk agama Kristen Protestan.
“Biasanya orang sini panggil saya itu Bapak Efran Ginting, isteri saya nak boru Sitepu. Puji Tuhan kami telaah dikaruniakan anak sebanyak
tiga orang, laki-laki semua. Dua orang merantau sekolah, satu orang lagi disini. Bapak tetap bersyukur walaupun tidak ada perempuan,
laki-laki pun kan pemberiaan Tuhan juganya. Keluarga saya itu pemeluk agama Kristen Protestan.”
Penjelasan beliau di awal cukup jelas akan identitas keluarga mereka. Peneliti selanjutnya menanyakan makna kepercayaan yang dianutnya, serta nilai-
nilai yang ada di dalamnya, dan bagaimana itu diwariskan kepada anak-anak. Karena menurut Liliweri 2001, agama adalah suatu keyakinan yang dianut oleh
seseorang yang menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, dan diimani sebagai suatu refrensi yang mempengaruhi cara pandang individu.
“Kalau bapak katakan tadi keluarga bapak adalah pemeluk agama Kristen Protestan, tentunya kami hanya percaya kepada Tuhan Yesus.
Tuhan yang memberikan berkat bagi kami sampai sekarang. Hidup kami hanya kami serahkan kepada Tuhan. Masa depan anak-anak
sering kami khawatirkan, namun tetap kami doakan dan kami serahkan pada yang di atas. Hanya Tuhan yang tau apa yang terbaik bagi kami,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
itulah maknanya bagiku pribadi. Nilai-nilai yang ada dalam kepercayaan yang bapak anut ini, pastinya semua perkataan Tuhan
dalam kitab suci Alkitab itu lah nak, di Bibel kata kita orang batak, semua perintah Tuhan, tetapi bagi bapak dan ibu dirumah, ada sedikit
kesulitan dalam mewarisi nilai-nilai itu kepada anak-anak di rumah nak ku, keluarga kami kebanyakan orang muslim, ada Ustad, Haji,
guru mengaji, bayangkan dari keluarga ibu dirumh, sembilan mereka bersaudara, Cuma keluarga kami yang Kristen Protestan. Hanya saja
bapak dan ibu kalau di rumah selalu berjuang dan berusaha mengajari anak-anak untuk tetap memegang teguh kepercayaan itu, jangan mau
pindah-pindah agama, itu jelas bapak tekankan pada anak-anak”.
Dari sudut kepercayaan, bapak Efran adalah seorang kepala keluarga yang mengajak anak-anak dan mendidik anak-anak dalam nilai-nilai yang ada dalam
kepercayaan yang dianutnya. Bukan hanya dari segi kepercayaan, dari sudut pandang terhadap pendidikan juga, Bapak Efran selalu mengajarkan dan mendidik
anak-anak untuk semangat berjuang, semangat bersekolah, supaya tidak merasakan seperti yang dirasakan orang tua. Menurut beliau, dengan bersekolah,
maka akan menambah banyak pengalaman dan wawasan yang semakin luas. “Untuk pendidikan sih bapak dan ibu selalu menekankan dan
memahamkan kepada anak-anak supaya bergiat belajar, sekalipun miskin tidak punya apa-apa, paling tidak tamat SMA harus, wajib
istilahnya. Sebisa mungkin akan bapak dan ibu usahakan untuk sekolah anak, asalkan anak ada kemauan sekolah, kemana pun akan
kami junjung. Biarpun susah, sekolah harus tetap lanjut. Sementara zaman sekarang ini nak, ijazah SMA pun tak laku. Soalnya kita sudah
rasakan itu dulu, bagaimana sakitnya tidak mengecap dunia pendidikan. Paling tidak ijazah SMA kan bisa dibawanya dasar untuk
cari kerjaan kemana-mana. Anak pertama saya tamat SMA merantau ke Batam, anak kedua tamat juga SMA merantau ke Malaysia, anak
yang ketiga sekarang SMA di Belawan. Kami disini tidak punya lahan sepetak pun nak, jadi kalau tidak merantau, cari duit, kita mau makan
apa nantinya? Lagian kalau anak tamat dari SMA itu jelas pemikirannya berbeda dengan yang tamat SD dan SMP. Merantau
beda cara pandangnya dengan yang tinggal di desa.”
Ketika pendidikan dan tuntutan hidup menjadi salah satu jalan untuk terjadinya mobilisasi, artinya ketika di suatu Desa kebutuhan akan pendidikan dan
kebutuhan hidup tidak tercukupi, maka keluar dari desa menuju perkotaan yang diharapkan memberikan jawaban akan segala kebutuhan itu, adalah jalan yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
harus ditempuh oleh individu. Terkait dengan hal di atas, maka peneliti pun mulai mengarahkan pembicaraan tentang jodoh anak-anaknya kelak, karena memang
tidak bisa dipungkiri jika anak-anaknya kelak sudah merantau ke kota, pasti akan bertemu dengan banyak orang dari berbagai suku. Jadi, peneliti mencoba
menanyakan pendapat beliau tentang perkawinan campuran, terkhusus untuk Batak Karo dan Batak Toba, sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti.
“Bapak oke oke saja, bapak perbolehkan. Semua suku baik itu Batak Karo dan Batak Toba kan punya sisi baik dan sisi buruknya masing-
masing. Kalau anak zaman sekarang, jika tidak diijinkan bisa dia nanti jadi lari dari jalan yang benar, jadi ngapain kita halang-halangi kan?
Bagi bapak sendiri, semua suku itu sama. Prinsip bagi bapak dan ibu di rumah itu, kalau masalah pacaran, pernikahan atau perkawinan itu
bebas suku, yang penting orangnya beradat. Hanya saja mungkin kalau anak bapak pacaran dengan orang Batak Toba atau mungkin nantinya
menikah, yang paling bapak soroti adalah perbedaan bahasa, tetapi bahasa kan bisa dipelajari sih nak. Kami tidak mengerti bahasa Batak
Toba, gimana mau berkomunikasi dengan baik, apalagi kalau orang tua yang umurnya sekitar 50 tahun lebih gitu mana ngerti. Dulu
kebanyakan tidak sekolah, bahasa yang dimengerti itu hanya sebatas bahasa sukunya saja, bahasa batak karo. Kemudian yang kedua adalah
rumitnya adat budaya orang Batak Toba ini. Batak Karo adat budayanya sangat simpel. Ketiga adalah banyaknya biaya yang habis
di suku Batak Toba, salah satunya tukur harga yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sementara kami suku Batak Karo
ini paling tinggi sekitar Delapan ratus ribu saja. Intinya semua itu nak, adanya kesepakatan untuk masalah biaya, dan ada pembelajaran untuk
kedua suku, jngan fanatik kali dengan suku sendiri.”
Peneliti pun bertanya mengenai pandangan beliau terhadap orang Batak Toba, apakah itu tidak berpengaruh terhadap pemberian izin kepada anak untuk
pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba. Ternyata bagi beliau itu tidak menjadi alasan kita melarang hubungan pacaran anak dengan orang Batak Toba.
“Saya juga punya pengalaman dengan orang Batak Toba, yang saya lihat dan perhatikan orang Batak Toba itu semangat juang dan
semangat hidup sangat tinggi, tidak gengsian, tidak malu sekali pun harus kerja berat. Harga diri sangat dipertahankan, kalau menghadiri
acara-acara misalnya, diusahakan supaya tidak dipandang rendah oleh orang lain. Sangat kental dalam adat istiadat. Namun di sisi lain, orang
Batak Toba ini pada umumnya pelit, sedikit kasar. Sementara orang Batak Karo ini pribadi yang sangat gengsian pada umumnya. Namun
itu semua tidak jadi alasan bagi saya secara pribadi untuk melarang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
anakanak saya pacaran atau mungkin menikah nantinya dengan orang Batak Toba.”
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap suku pasti memiliki nilai-nilai yang dipegang teguh di dalamnya. Itulah yang menjadi falsafah hidup masyarakat
atau komuniatas yang memegang budaya tersebut. Sama halnya dengan Bapak Efran Ginting, bahwa bagi beliau nilai-nilai dalam adat budaya suku Batak Karo
itu sangat perlu diwarisi kepada anak-anak. Menurut pengakuan beliau, beliau juga bukanlah pribadi yang cukup matang dan paham sekali dengan adat budaya
Karo. Namun beliau tetap mengajari anak sebisa mungkin. Sekedar memberitahu kepada anak-anak, inilah yang dilakukan beliau.
“Iya, kami adalah Karo asli yang memegang dan menjunjung tinggi budaya adat suku Batak Karo ini, sekalipun bapak adalah bukan orang
yang cukup matang untuk hal adat nak, jadi mengajari anak-anak pun soal adat ya sekedar yang saya tahu ajalah yang bapak ajarkan. Nilai
yang paling penting menurut bapak secara pribadi yang harus kita warisi kepada anak itu adalah silsilah, tarombo, supaya dia kelak tahu
dan paham tentang Sangkep Sitelu, siapa yang jadi mamanya, maminya, kalimbubunya saudara laki-laki dari ibu, senina saudarai
kandung, dan anak beru anak perempuan yang sudah menikah dan keluarga yang dinikahinya, itu seperti apa. Nilai yang lain misalnya
kita beritahukan kepada anak-anak, jika kelak mereka berumah tangga, antara menantu dengan mertua itu tidak boleh berbicara langsung
empat mata.”
Demikianlah pandangan Bapak Efran Ginting terhadap perkawinan campuran. Beliau juga menyarankan supaya orang tua memberikan waktu untuk
mengajari anak-anak dalam hal adat budaya, agar adat itu nantinya tidak menghilang di generasi-generasi berikutnya. Seperti memperhatikan acara adat di
Los atau wisma, dan juga di acara adat terbesar bagi suku Batak Karo, yaitu Pesta Tahunan. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan Bapak Efran Ginting.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Setelah banyak berkenalan dan bercerita, maka peneliti pun tidak lupa untuk menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya ke rumah tersebut. Bapak
Kristop dan Ibu Nangin Ginting sama-sama memberikan pendapat dan sanggahan untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. untuk mengawali wawancara
Kasus Keenam
Nama : Bapak Kristop Siregar Ibu Ngina br Ginting
Umur : 59 Tahun 62 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Karo
Alamat : Desa Surbakti
Setelah satu minggu lebih mengadakan penelitian dan pengamatan di Dessa Surbakti, peneliti masih berjuang untuk mengadakan wawancara dengan
satu orang lagi warga di desa ini. Malam sudah tiba, peneliti masih berjalan disekitar pusat desa. Sebuah rumah panggung yang sangat bersih dan dihiasi
beraneka ragam bunga di halamannya, mengalihkan pandangan peneliti. Dengan semangat yang menyala peneliti melangkahkan kakinya ke arah rumah tersebut,
dengan harapan bisa mengadakan wawancara dengan warga tersebut. Peneliti akhirnya tiba di halaman depan rumah panggung tersebut, ternyata
pemilik rumah telah memperhatikan peneliti dari celah pintu yang sedikit terbuka. Seorang bapak keluar menemui peneliti dan mempersilahkan peneliti masuk.
Mereka menyambut hangat kedatangan peneliti ke rumah itu. Keluarga Bapak Kristop adalah keluarga yang mengalami perkawinan campuran, suku Batak Toba
Bapak dan suku Batak Karo Ibu. Kepercayaan yang mereka anut adalah Kristen Protestan. Keseharian mereka dihabiskan dengan mengusahakan ladang.
Ada empat orang yang tinggal di rumah tersebut. Bapak Kristop dengan kemeja corak liris-liris, celana kain berwarnacoklat muda, lengkap dengan jaket tebal
yang menutupi badannya, juga seorang ibu yang adalah isteri dari beliau, kaos coklat dan jaket rajutan, serta celana kotak-kotak yang dikenakannya, kemudian
ada anak dan menantu beliau. Keluarga ini telah dikaruniai lima orang anak, satu orang putra dan empat orang putri, semua sudah menikah.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ini, peneliti bertanya seputar kepercayaan atau agama, makna agama bagi mereka dan bagaimana nilai agama diwariskan kepada anak-anak.
“Kami memeluk agama Kristen Protestan, anak-anak juga. Kalau soal makna beragama bagi kita kan tergantung pribadi kita masing-masing
nak. Bagi bapak sendiri, agama itu banyak sekali maknanya, kalau agama itu kita hidupi dan kita jalankan. Dengan adanya agama, maka
kita menyerahkan segala sesuatu itu hanya kepada Tuhan Yesus saja. Hidup ini tergantung padaNya. Agama itu memberikan kita nilai-nilai
yang perlu kita pegang dalam hidup ini yang akan mengarahkan langkah kita kedepannya. Hanya saja sekarang ini semakin banyak
orang yang hanya sebatas agama KTP saja, tidak mengimani, menghidupi dan juga menjalankannya. Hanya ketika butuh saja ingat
dengan Tuhan, ketika bahagia lupa kepada Tuhan. Nilai yang paling utama dalam kepercayaan yang kami anut adalah Kasih, adanya saling
mengasihi sesama manusia. Nilai inilah yang sangat kami tekankan kepada anak-anak. Bapak dan ibu di rumah ini selalu berusaha
mengajari dan mendidik anak-anak supaya hidup di dalam Tuhan, berpegang teguh pada ajaran agama, jangan mau digoda oleh ajaran-
ajaran lain. Satu hal lagi, prinsip kami disni sebagai orang tua, kami melarang mereka untuk pacaran atau menikah dengan orang yang
berbeda agama, tetapi kalau memang harus pacaran, ajak dan tarik dia ke agama kita, memang kakak dan abangmu disini semua menikah
dengan orang yang beragama Kristen Protestan.”
Bukan hanya agama atau kepercayaan yang diajrkan dengan tekun kepada anak-anak. Menurut Informan, budaya dan adat istiadat adalah hal yang tidak
kalah pentingnya untuk diwarisi kepada anak-anak. Sekalipun Bapak Kristop adalah orang Batak Toba, namun semua anak-anaknya menikah dengan orang
Batak Karo. Menurut pengakuan beliau, budaya dan adat istiadat Batak Karo sudah mendarah daging dalam dirinya, namun tidak berarti melupakan adat
istiadat Batak Toba juga. Terkait dengan pengakuan beliau, maka peneliti menanyakan soal nilai-nilai dalam adat istiadat Batak Karo, jika dibandingkan
mungkin berbeda dengan adat istiadat Batak Toba. Akan tetapi menurut penjelasan Bapak Kristop dan Ibu Nangin, hampir semua adat istiadat kedua suku
ini sama, hanya sedikit perbedaannya. “Bagi Batak Karo itu, nilai yang pada umumnya sudah harus dipahami
oleh masing-masing individu adalah Sangkep Sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam suku Batak
Karo, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak
pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut kalimbubu, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik
dengan Saudarai kandung kita, disebut senina, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak
perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut anak
beru. Nah, yang bapak tahu juga dalam suku Batak Toba ada istilah ini disebut Dalihan na Tolu, somba marhula-hula, manat mardongan
tubu, elek marboru. Bagi Batak Karo itu kalau dalam adat orang meninggal, orang yang ditinggal isteri atau suami yang membagikan
ulos kepada kalimbubu pihak pemberi isteri. Acara adat pernikahan Batak Karo cukup hanya dengan menjalankan Pinggan Panganan
yaitu bagian-bagian tertentu dari kurban yang dipotong, yang mempunyai makna tersendiri, inilah yang dipersembahkan kepada
kalimbubu itu tadi. Kemudian nilai lain yang biasanya bapak dan ibu ajarkan itu, kalau mereka kelak menikah, supaya tidak berbicara
secara langsung kepada mertuanya, duduk sejajar dengan mertua juga tabu.”
Ketika ditanyakan peneliti mengenai cara mereka mewarisi nilai dalam adat budaya itu kepada anak-anak, Ibu Nangin langsung menjelaskannya dengan
cara diajari dan dididik dirumah, kadang dengan cara membawa anak-anak ke acara adat supaya mereka memperhatikan.
“Pastinya kami sebagai orang tua mengajari anak-anak tentang adat budaya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Salah satunya hal yang
kami lakukan adalah mengajak anak-anak ke Los atau wisma untuk memperhatikan adat istiadat. Kita selalu menasihatkan anak-anak
supaya banyak mendengar di acara adat dan banyak memperhatikan.”
Keluarga ini adalah salah satu keluarga yang menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Terkait dengan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui pandangan mereka
terhadap pernikahan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba. Ternyata setelah dijabarkan dengan jelas, Bapak Kristop dan Ibu Nangin adalah pasangan
suami isteri yang tidak pernah membeda-bedakan suku yang satu dengan yang lainnya. Bagi mereka perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak
Toba adalah sah dan diterima dengan senang hati, yang penting kedua belah pihak ada kemauan untuk saling mengasihi dan menghormati diantara kedua suku
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Menurut penjelasan beliau, sudah banyak yang mengadakan perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba.
“Sebenarnya semua suku itu sama, terkadang ada orang Batak Karo yang tidak mengijinkan anaknya pacaran atau menikah dengan orang
Batak Toba, itu dikarenakan bahasa dan adat yang sangat berbeda, jadi tidak ada pengertian yang sama, tetapi kan ada waktu untuk belajar.
Kemudian di dukung oleh adanya rasa etnosentrisme atau fanatisme yang tinggi diantara kedua suku itu. Salah satu adat budaya yang
berbeda yang saya perhatikan diantara kedua suku ini adalah acara adat orang yang meninggal, kalau Batak Toba, hula-hula pihak
keluarga isteri atau saudara laki-laki isteri yang memberikan ulos kepada suami atau pun isteri yang ditinggal. Sementara bagi Batak
Karo itu adalah sebaliknya, orang yang ditinggal isteri atau suami yang membagikan ulos kepada kalimbubu dalam Batak Toba hula-
hula. Kemudian yang sangat berbeda itu adalah harga yang dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau tukur bahasa
karonya. Beda jauh antara harga di Batak Toba yang begitu mahal dengan di Batak Karo yang sangat murah, hanya sekitar 600 ribuan.
Maksudnya biaya untuk acara adat, salah satunya acara adat menikah dengan orang Batak Toba itu sangat besar, tetapi itu kan bisa
dimusyawarahkan, disepakati bersama. Nilai adat yang lain yang berbeda adalah Batak Karo tidak mengenal pembagian bagian-bagian
tubuh dari kurban yang dipotong secara merata kepada kerabat dan keluarga, dalam bahasa Batak Toba disebut Jambar. Jadi, untuk
melarang anak saya menikah dengan orang Batak Karo atau Batak Toba, bapak dan ibu disni tidak pernah, karena sekuat apa pun kita
membendung itu, kalau mereka sudah sama-sama saling mengasihi, tidak akan terbendung. Nanti yang menjalaninya kan anak-anak itu,
bukan kami orangtuanya. Malah ibu sendiri sangat berharap anak-anak ini kelak menikah dengan orang Batak Toba saja. Bagi kami adalah
baik kok jika ada perkawinan campuran, yang penting mau saling mengasihi dan saling menghormati diantara kedua suku. Lagian kalau
di desa ini nak, sudah banyak yang kawin campur antara Batak Karo dengan Batak Toba. Supaya adil pelaksanan adatnya diadakan dua
versi, ada adat Batak Karo, ada adat Batak Toba.”
Peneliti semakin penasaran ada apa dibalik nilai bebas suku tersebut. untuk itu peneliti mulai bertanya tentang pandangan merekaa terhadap orang
Batak Toba, karena dari penjelasan sebelumnya, tampak rasa senang mereka terhadap Batak Toba. Informan hanya menjelaskan sisi positif dari orang Batak
Toba tanpa mau mengutarakan sisi negatifnya. Bahkan menurut informan, tidak ada sisi negatif dari Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Batak Toba ini enaknya antara menantu dengan mertua itu bisa kompak karena tidak ada istilah tabu dalam hal berbicara diantaranya.
Kalau Batak Karo ini kan dilarang itu berbicara secara langsung antara mertua dengan menantu. Salut melihat kekompakan mereka, seperti
bapak dengan anaknya, padahal mertua dan menantu. Batak Toba ini lagi kental sekali dalam adat istiadat, sangat hormat, manusia beradat
istilahnya. Rasa persaudaraan dan persahabatan yang sangat tinggi. Kalau orang lain bilang orang Batak Toba itu kasar dan keras, bagi ibu
tidak, terlepas dulu karena ibu menikah dengan orang Batak Toba ya nak. Batak Toba pun tidak pendendam seperti orang Batak Karo.
Pekerja keras yang sangat tinggi ada di orang Batak Toba. Kalau masalah kasar, kita kasar orang lain pun pasti kasar kan? Bukan hanya
Batak Toba yang kasar.”
Pendidikan adalah salah satu nilai yang sangat berharga bagi informan, sebisa mungkin dan sedaya mampu harus menjunjung tinggi pendidikan anak-
anak, supaya kelak hidupnya bisa lebih baik dari sekarang. “Sekolah anak-anak adalah hal yang paling utama bagi kami nak,
sebisa mungkin akan kami junjung tingi. Jangan sampai anak-anak itu merasakan seperti yang kami orang tua rasakan ini. Kehidupan anak-
anak harus lebih baik daripada kami orangtuanya, dan itu didapatkan jika ada kemauan bersekolah.”
Dengan berakhirnya pembicaraan tentang pandangan terhadap dunia pendidikan dan cita-cita anak, maka berakhir jugalah wawancara peneliti dengan
Bapak Kristop Siregar dan Ibu Nangin boru Ginting sebagai informan terakhir di Desa Surbakti.
Rintik hujn yang tidak begitu deras pada sore hari, sekitar pukul 17.00 wib, inilah yang menemani jejak peneliti untuk menelusuri sebuah desa yang
bernama Desa Unjur di Samosir, yang terdiri dari beberapa bagian lingkungan, yang disebut dengan huta dalam bahasa Batak Toba. Peneliti ingat dengan salah
Kasus Ketujuh
Nama : Bapak Likson Ambarita Ibu Likson boru
Umur : Tahun Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Toba
Alamat : Desa Unjur, Sosor Nangka
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
satu warga yang pernah diwawancarainya ketika mengadakan pra penelitian ke Desa Unjur. Peneliti pun langsung mempercepat langkahnya menuju rumah
beliau, tepatnya di Huta Sosor Nangka. Peneliti hanya sekedar tahu tentang beliau, tidak mengenal begitu dalam
akan keluarganya. Senyuman yang hangat menyambut peneliti di rumah tersebut. Bapak Likson dan Ibu Likson langsung mempersilahkan peneliti ke rumah dan
disuguhkan secangkir teh hangat. Rumah panggung yang cukup luas, dengan penghuni yang ramai dikarenakan beberapa anak-anak mereka dan juga cucunya
yang tinggal bersama-sama di rumah tersebut. Ketika ditemui peneliti, Bapak Likson mengenakan kemeja biru bercorak garis-garis, celana hitam dan jaket
tebal. Sementara ibu yang masih baru pulang dari pasar, mengenakan kaos putih dan pendek, dibawah lutut. Warna kulit ibu jauh lebih cerah dari bapak. Itulah
sekedar ciri-ciri informan pertama di Desa Unjur. Lubis 2012 mengungkapkan bahwa agama atau kepercayaan adalah
salah satu unsur yang tentunya mempengaruhi cara kita mempersepsi sesuatu, karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan
pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Demikian halnya dengan Bapak Likson dan Ibu Likson, bahwa kepercayaan itu sangatlah penting nilainya
untuk dipegang, itulah dasar kita melangkah, bertingkah laku, bertutur sapa dan dasar kita memandang orang lain. Menurut mereka hal ini sangat penting untuk
diajarkan kepada anak-anak yang sudah dikaruniakan Tuhan. “Kami adalah keluarga besar nak, puji Tuhan dikaruniakan anak
sebanyak delapan orang. Kepercayaan yang bapak dan ibu anut adalah Kristen Protestan, ini juga yang kita ajarkan dan didik kepada anak-
anak. Makna kepercayaan yang kami anut ini sangatlah banyak, dengan kita percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat kita, maka
seluruh hidup ini kita serahkan saja ke dalam tanganNya. Hidup menjadi aman dan tenang dengan percaya kepadaNya. Berkat yang
mengalir, penyertaan Tuhan sepanjang kehidupan baik suka maupun duka, kesehatan, hikmat dan masih banyak lagi ragam berkat yang
kami terima dari Tuhan. Hidup penuh pengharapan kepada Tuhan, bukan hanya sekedar ikut-ikutan menjadi orang Kristen. Nilai-nilai
seperti ini sangat penting untuk kita warisi kepada anak-anak, supaya mereka juga semakin tahu bersyukur dan menyadari berkat Tuhan atas
hidupnya. Mulai dari kecil, anak-anak sudah kami ajari dan kami bawa
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
ke gereja untuk mengenal Tuhan, diajari berdoa, diingatkan untuk terus berdoa.”
Menurut Samovar dan Porter 1993:16 dalam buku Lubis 2012, organisasi sosial adalah wadah untuk memperkenalkan dan mengkomunikasikan
kebudayaan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang turut serta membentuk pola pikir seorang individu dalam kehidupannya, yaitu keluarga dan
sekolah. Terkait dengan hal tersebut, peneliti kembali menanyakan pandangan Bapak Likson dan Ibu Likson terhadap pendidikan.
“Bapak dan Ibu sangat menjunjung tinggi pendidikan, apalagi untuk anak-anak kami ini, kami sangat berharap, berjuang dan berusaha
untuk mereka mengecap pendidikan yang lebih baik daripada kami. Karena tanpa pendidikan, manusia itu tidak ada manfaatnya. Apalagi
sekarang ini zaman semakin maju, hidup harus dibarengi dengan pengetahuan yang tinggi. Makanya bapak dan ibu selalu berprinsip
minimal tamat SMA. Pemikiran orang yang berpendidikan jelas sangat jauh berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan. Ya sekali pun
nantinya si anak jadi petani, wawasannya pasti sudah berbeda dengan orang yang hanya tamat SD misalnya dalam hal mengolah tanah.
Sekolah itu juga kan mengajari anak-anak kita akan nilai-nilai yang sangat penting untuk dipegang dan dilakukan, jadi bukan hanya di
keluarga mereka dapatkan nilai-nilai kehidupan, tetapi sekolah juga. Kemana pun anak-anak ini mengejar cita-cita lewat pendidikan, bapak
dan ibu selalu mendukung dan tidak mengkhawatirkannya, serahkan semua pada Tuhan. Pengetahuan adalah modal.”
Sekolah atau pendidikan menjadi salah satu mobilisasi atau penggerak bagi orang desa. Karena kebutuhan akan pendidikan akan lebih terpenuhi ketika
merantau ke kota. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan menambah wawasan kepada individu yang mengejarnya, baik dari segi pengetahuan, maupun
dari segi pengalaman. Kota merupakan titik temu antara jutaan manusia yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, khusunya berbagai suku.
Sementara sebelumnya informan mengakui tidak pernah melarang anak-anak pergi merantau demi pendidikan. Mengingat hal tersebut, peneliti ingin
mengetahui bagaimana pandangan informan terhadap hubungan lebih dari teman atau bahkan menuju pada perkawinan campuran, terkhusus ketika anak beliau
misalnya menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Menurut pribadi bapak sendiri, kunci utama adalah kita beri nasehat kepada si anak, sebelum mereka pergi merantau. Akan tetapi, jika
memang sudah itu yang menjadi jodohnya, apa boleh buat? Lagian bukan bapak atau ibu yang akan menjalaninya kan? Tetapi mereka
sendiri. Jadi, kita sebagai orang tua hanya membina, mengingatkan dan menasehatkan saja. Bapak dan ibu selalu mengingatkan anak-anak
dirumah, supaya nantinya jika ingin menikah carilah yang sesama suku Batak Toba, tetapi itu adalah arahan ya, bukan menjadi sebuah
paksaan. Memang yang paling berat adalah adanya perbedaan adat dan juga bahasa, jadi mau gimana kita bisa berkomunikasi dengan baik?
Paling itu saja yang jadi keberatan di hati, kalau misalnya anak kita ini pacaran atau menikah dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo.
Zaman sekarang nak, sudah banyak orang kita yang menikah dengan orang dari luar negeri, apalagi kita yang masih sama-sama suku Batak
aja pun. Nilai yang penting dalam perkawinan itu adalah anak dan calon menantu kita itu bisa satu hati, hormat kepada orang tua, sayang
kepada keluarga dari kedua belah pihak. Banyak orang yang langsung menyoroti harga beli perempuan dari pihak laki-laki di Batak Toba itu
tinggi, sementara di Batak Karo rendah, tetapi itu bukan menjadi salah satu hambatan menurut bapak, karena itu kan bisa disepakati bersama,
bukan jadi suatu paksaan itu harga. Kesepakatan adalah kunci utama. Memang kita harus akui bahwa biaya untuk sebuah acara adat di Suku
Batak Toba itu sangat banyak.”
Menurut pengakuan informan, bahwa mereka mengingatkan kepada anak supaya pacaran dan menikah dengan sesama suku Batak Toba. Bagaimana
sebenarnya penilaian atau pandangan informan terhadap orang Batak Karo. “Menurut kami sifat buruk orang Batak Karo itu adalah pendendam,
sampai mati kesalahan seseorang itu akan dibawa. Kemudian Batak Karo ini, tidak jujur, maksudnya lain di lidah nulut tapi lain juga di
hati. Mereka bisa ngomong lembut sekali, tetapi hatinya busuk, sudah sangat dendam. Bukan ini hal yang kami soroti ketika anak kami
pacaran atau mungkin menikah nantinya dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo, tetapi kembali seperti yang sudah kami
katakan tadi, yaitu perbedaan adat dan juga bahasa.”
Ada budaya, ada agama. Kedua hal tersebut adalah sangat berkaitan. Nilai- nilai yang dikandung juga menjadi pedoman bagi setiap individu yang
memeluknya. Setelah berbagi banyak hal tentang perkawinan campuran, ternyata Bapak Likson dan Ibu Likson adalah orang tua yang tidak menyetujui anaknya
berpacaran atau menikah dengan agama lain, besar harapan mereka kepada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sesama agama Kristen Protestan, dan itu pun harus satu aliran dengan doktrin agama yang mereka anut.
“Sama halnya seperti jawaban kami untuk perkawinan campuran, tetap arahkan, nasehatkan dan ingatkan. Sekali pun anak-anak ini jauh dari
kami merantau, kami tetap jalin komunikasi yang baik, agar tetap mengarahkan dan mengingatkan mereka. Misalnya hari Minggu, kita
ingatkan mereka untuk ibadah ke gereja, dan mendengarkan Firman Tuhan. Namun ada syarat, jangan hanya sekedar ibadah, ibadah lah di
gereja dimana dia di baptis. Jangan lari ke aliran atau doktrin yang tidak sejalan dengan doktrin yang sudah kita anut selama ini, misalnya
kharismatik. Bapak dan ibu sangat tidak setuju dengan doktrin kharismatik itu, jadi jika anak-anak pacaran dengan aliran dari
kharismatik, kami pasti larang, masih lebih baik ke Khatolik kami rasa, gitu nak. Karena kharismatik ini tidak mengakui adanya budaya
Batak Toba. Kharismatik sangat berlawanan dengan budaya dan adat istiadat Batak Toba.”
Sebagai seorang tokoh agama, juga tokoh adat dan tokoh masyarakat, peneliti pun bertanya kepada beliau mengenai nilai-nilai yang ada dalam adat
budaya Batak Toba dan bagaimana cara yang dilakukan agar anak-anaknya juga mau mewarisi, memegang taguh serta paham akan nilai dalam adat dan budaya
Batak Toba. Sehingga adat budaya itu tidak hanya berhenti pada orang tua saja. “Nilai yang sangat penting dalam adat budaya Batak Toba ini adalah
“Dalihan Na Tolu” Batak Toba, sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak Toba,. artinya, ada tiga golongan
kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan
dalam masyarakat Batak Toba yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi
isteri dalam suatu perkawinan, “Somba marhula-hula” Batak Toba, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan
yang baik dengan Saudarai kandung kita, “manat mardongan tubu”Batak Toba, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa
mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan
yang telah menikah, disebut “Elek marboru” Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik
dalam persahabatan satu kampung. Inilah sebenarnya nilai dasar yang harus dan wajib diketahui oleh anak-anak kita. Kalau anak sudah
paham ini, maka untuk memahami adat lainnya sudah lebih gampang. Nilai yang lain adalah orang Batak Toba itu harus bisa mewujudkan
“3H” dalam kehidupannya, yaitu Hamoraon Kekayaan, Hagabeon
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Kesuksesan dan Hasangapon Kehormatan. Kekayaan itu menurut budaya Batak Toba adalah mempunyai keturunan putra dan putri,
bukan sepenuhnya dari harta benda. Kesuksesan yang dimaksud adalah berhasil dalam ladang dan berhasil dalam rumah, kehormatan
itu menyangkut harga diri, tetapi bukan berarti gengsi ya. Kita sebagai orang tua selalu mendoakan anak-anak supaya menjadi anak-anak
yang mau mendengarkan nasehat orang tua dan berpikir, bertingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai adat yang kita pegang. Bapak dan
ibu selalu mengajari anak-anak di rumah atau sharing tentang adat istiadat Batak Toba. Supaya kelak mereka tahu dan paham siapa saja
yang menjadi kerabat keluarga. Apa itu “dalihan na tolu” dan siapa saja yang menjadi bagian dari “dalihan na tolu” dalam keluarga kami.
Jadi bapak dan ibu ajari, siapa yang jadi tulang, nantulang, bou, tante, maktua, dan yang lainnya.”
Semakin maju zaman, maka semakin terkikis juga budaya dan adat istiadat yang sudah diwariskan nenek moyang kepada kita. Dari generasi ke generasi, adat
istiadat dan budaya itu semakin memudar. Semakin banyak anak muda zaman sekarang yang tidak lagi peduli tentang budaya adat. Hal ini juga ditanyakan oleh
peneliti kepada beliau, apa dan bagaimana caranya supaya adat istiadat dan budaya Batak Toba itu tetap terjaga dan terpelihara.
“Perkembangan zaman semakin mengikis budaya yang ada. Anak muda sebagai generasi penerus tidak lagi peduli dengan adat budaya
yang ada. Tidak mau belajar. Jangankan anak muda, orang tua pun sudah banyak yang tidak paham betul tentang adat budaya Batak Toba
ini, misalnya dalam sebuah acara adat, sudah lebih menyukai musik barat dengan keyboard daripada musik Batak Toba dengan uning-
uningan asli. Keyboard itu kan orang luar punya, Batak Toba mana ada pake keyboard. Jadi, saran ke depan supaya orang tua mau
mengajari anak akan nilai adat istiadat Batak Toba yang baik dan benar, kedua supaya sekolah kembali mengajarkan tambahan bidang
study, Bahasa Daerah Batak Toba. Maka dari itu, budaya Batak Toba ini bisa tetap bertahan dan terjaga.”
Demikianlah saran beliau kepada orang tua dan anak-anak muda sebagai generasi penerus. Hal ini sangat penting untuk diterapkan dalam hidup
bermasyarakat, untuk menjaga dan melestarikan budaya Batak Toba. Demikianlah hasil wawancara dengan Bapak Likson Ambarita dan Ibu Likson.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Sore hari ketika senja mulai menyapa, peneliti kembali mengunjungi keluarga ini. Kehadiran peneliti langsung disambut hangat, bahkan mereka cukup
santai tampaknya, tidak bersikap kaku. Rumah bercat putih dengan ukuran yang cukup luas, dilengkapi pagar berwarna biru menjadi ciri khas tempat kediaman
mereka. Peneliti menemui ada beberapa orang yang sedang duduk santai di beranda rumah. Ada bapak dengan kemeja batik berwarna ungu, kompak dengan
ibu yang mengenakan kemeja batik ungu juga, bersama empat orang anaknya yang balik ke kampung dikarenakan hari libur. Sebelum membawa informan ke
arah pembicaraan yang fokus, terlebih dahulu peneliti mencoba untuk menggali informasi mengenai keluarga tersebut. Mereka terbuka dan senang hati berbagi
cerita dengan peneliti. Keluarga ini menikah pada tahun 1978 tepat pada bulan Desember. Kepercayaan yang mereka anut adalah Kristen Protestan, ini juga
aliran yang diajarkan kepada anak-anak yang telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka, sebanyak tujuh orang. Keluarga ini sangat bersyukur dengan kehadiran
seorang anak laki-laki dalam keluarganya. Mereka mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka atas perkenanan Tuhan dalam hidup mereka , terkhusus
bagi Bapak Ronald yang diutus menjadi penatua gereja. Satu pun dari anak-anak mereka belum ada yang menikah. Tiga orang dalam tahap pendidikan, sementara
Kasus Kedelapan
Nama : Bapak Ronald Togatorop Ibu Nurmala boru Siallagan
Umur : 60 Tahun 57 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Toba
Alamat : Desa Unjur
Keluarga ini adalah keluarga kedua yang diwawancarai oleh peneliti di Desa Unjur, Samosir. Keluarga ini adalah keluarga yang menjadi informan
peneliti ketika mengadakan pra penelitian. Keluarga yang cukup hangat menyambut kedatangan orang lain dan keluarga yang menghargai keberadaan
orang lain. Hal inilah yang dirasakan oleh peneliti pada kunjungan pertama dalam pra penelitian sebelumnya. Ketika pra penelitian tersebut, peneliti telah membuat
janji dengan keluarga ini untuk diwawancarai nantinya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
empat orang lagi telah bekerja dan mandiri. Besar harapan keluarga ini anak- anaknya yang sudah layak umur segera menikah dengan sesama suku Batak Toba.
Aktivitas kedua orang tua ini adalah mengajar anak didik SD ibu dan SMP ayah.
Setelah suasana sudah cair, peneliti pun mengingatkan kembali tujuan dan maksud kedatangannya ke Desa Unjur tersebut, yaitu untuk mengadakan
wawancara dengan warga di desa tersebut demi memenuhi tugas akhir peneliti. Sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya, serta cara beliau
menerapkannya kepada anak-anak, menjadi awal pertanyaan peneliti kepada mereka.
“Bapak dan ibu adalah penganut kepercayaan Kristen Protestan, kami ibadah di Gereja HKBP. Kami mengajari dan membawa anak-anak
sejak kecil untuk mengenal Tuhan. Makna agama bagi kami itu sangat banyak. Hal yang paling penting dalam kepercayaan yang bapak anut
dan bapak ajarkan kepada anak-anak adalah untuk keselamatan. Mengikut Tuhan dan mengimani Yesus sebagai Juru Selamat yang
hidup, itulah keselamatan, tidak akan binasa nantinya. Dengan adanya agama, hati bapak dan keluarga bapak bisa tentram, damai dan
menikmati berkat Tuhan yang luar biasa. Banyak nilai yang ada dalam kepercayaan atau agama yang kita anut tersebut. Menurut bapak, cara
yang paling baik untuk mewarisinya kepada anak-anak, yang pertama itu adalah melalui perbuatan kita sehari-hari. Karena nilai itu akan
sangat tampak dan terlihat lewat perbuatan kita sehari-hari. Misalnya, ketika nilai yang bapak ajarkan itu di rumah adalah saling mengasihi,
sementara hal yang bapak dan ibu kerjakan adalah berbeda atau bertolak belakang, kan susah nak. Tidak jadi teladan yang baik lagi
bagi anak-anak. Nilai yang sering bapak dan ibu ingatkan dan ajarkan kepada anak-anak itu adalah saling mengasihi sesama. Anak-anak
sejak kecil sudah kita bawa mengenal Tuhan, kita ajari membaca Alkitab setiap malam hari, ajari berdoa, kita sama-sama beribadah ke
Gereja, kita himbau langkah mereka seperti apa di luar.”
Menurut Galvin dan Bromel 1991, keluarga adalah institusi dasar dan tertua dibandingkan yang lainnya. Keluargalah yang menjadi dasar dari segala
sesuatunya, dimana anak dilahirkan, dibesarkan dan juga dididik sebaik mungkin, diwarisi nilai-nilai dan juga budaya yang berlaku, hingga akhirnya individu itu
paham dan dewasa, membentuk keluarga sendiri, yang pada akhirnya akan mewarisi hal yang sama pada anak-anaknya Lubis, 2012. Namun, bukan hanya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
keluarga yang turut berperan dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kepada anak. Sekolah pendidikan juga menjadi salah satu organisasi sosial yang turut
berperan mewarisi nilai-nilai kepada anak. Maka dari itu, peneliti mulai menanyakan tentang pandangan Bapak Ronald dan Ibu Nur terhadap sekolah dan
pendidikan anak. Mereka mengakui bahwa pendidikan adalah hal yang terutama, terkait dengan nilai dalam adat budaya Batak Toba, Anakhonhi do hamoraon di
au. “Sesuai dengan nilai atau prinsip hidup orang kita Batak Toba dan
juga yang bapak dan ibu pegang, yaitu Anakhonhi do hamoraon di au, maka harta bukan segalanya. Namun, yang paling utama adalah anak-
anak yang sudah Tuhan percayakan dalam keluarga kami, itulah harta yang terbesar bagi kami, itulah kekayaan yang bapak dan ibu miliki.
Tujuh anak bapak dan ibu, harus bisa minimal sarjana semua. Pendidikan, taraf hidup, dan keadaan mereka nantinya harus lebih
tinggi dari bapak dan ibu sekarang. Rumah adat Batak Toba kan bermakna seperti itu, dengan ujung atap yang lebih tinggi di bagian
belakang. Bapak dulu hanya sebatas Sarjana Muda, ibu disini hanya tamatan SPG, jadi prinsip itu yang terus kami pegang, mereka harus
lebih tinggi lagi dari kami. Pendidikan anak harus lebih tinggi dari kami orangtuanya, walaupun menuntut ilmu itu nantinya menciptakan
jarak yang sangat jauh antara anak dengan kami orang tua. Ini menjadi doa kami kepada Tuhan, agar Tuhan selalu menyertai anak-anak di
setiap pendidikan yang ditempuh, agar tidak terpengaruh dengan kejahatan anak-anak muda zaman sekarang, sehingga motto atau nilai
Anakhonhi do hamoraon di au ittu bisa terwujud. Kebanyakan orang kita Batak Toba ini adalah pejuang sejati untuk anak-anakya.
Walaupun miskin dan tidak punya apa-apa, tetapi anak itu harus sekolah dan mencapai cita-citanya. Dengan mengecap pendidikan
yang semakin baik, maka wawasan anak pasti semakin luas dan pengetahuan semakin tinggi, dengan sendirinya hal itu akan
menanamkan nilai-nilai kepada anak, jadi bukan hanya dirumah mereka bisa mendapatkan pengajaran. Perilaku orang yang
berpendidikan pasti jauh berebda dengan perilaku orang yang tak punya pendidikan.”
Menuntut ilmu memobilisasi orang desa merantau ke kota. Sebagaimana kita ketahui bahwa kota adalah tempat persinggahan manusia dengan
keanekaragaman latar belakang satu dengan yang lainnya. Mau tidak mau, pergaulan di kota menjadi wadah terciptanya komunikasi antarbudaya, tentunya
diantara dua orang yang berbeda suku dan juga agama. Terkait dengan hal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
tersebut, peneliti menanyakan bagiamana pandangan Bapak Ronald dan juga Ibu Nurmala, jika anak-anak mereka yang merantau untuk pendidikan tersebut,
menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Dengan nada yang sedikit lantang, Ibu Nurmala mengatakan bahwa berbeda
agama itu tidak diperbolehkan dalam keluarga mereka. “Jika anak kami berhubungan atau mungkin pacaran dengan seseorang
yang berbeda agama, ibu jelas akan menentangnya. Tidak untuk yang beda agama Makanya dari kecil kita sudah didik dan ajari itu anak
supaya tidak sekali-sekali murtad.”
Karena suasana sedikit tegang, maka Bapak Ronald kemudian menjelaskan dengan lembut dan jelas kepada peneliti, bagaimana pandangannya
akan hal tersebut. “Begini sebenarnya nak, kami jelas jelas melarang anak kami untuk
pacaran dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Menurut kepercayaan yang bapak dan ibu yakini, bahwa anak-anak itu
sudah dibaptis di dalam nama Yesus Kristus, Roh Tuhan ada padanya, bagaimana mungkin dia akan murtad lagi? Yah walaupun sebenarnya
keselamatan yang kami yakini itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan, maksud bapak ketika dia murtad pun, itu adalah pilihan
hidupnya, jika mau binasa silahkan murtad, berarti keselamatan yang ada padanya itu perlu kita beri tanda tanya. Akan tetapi, sebisa
mungkin kita akan terus berdoa untuk anak-anak agar tidak murtad hanya karena cinta dan godaan dunia yang hanya sesaat. Bapak dan
ibu disini juga kan tidak mau melihat begitu saja anak-anak kami berjalan menuju kebinasaan. Kita harus tetap arahkan, nasehati dan
didik mereka. Kalau memang harus menikah dengan seseorang yang berbeda agama tersebut, yasudahlah jangan menyesali orang tua, itu
adalah pilihannya.”
Selanjutnya peneliti menggali kembali bagaimana pandangan mereka terhadap perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo. Mengingat
bahwa kota adalah tempat perantauan manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda. Jadi bukan hanya agama, namun suku juga. Agar mereka lebih
memahami maksud pertanyaan dari peneliti, peneliti permisi untuk memisalkan anak mereka dalam posisi tersebut. Bapak Ronald dan Ibu Nurmala menjelaskan
pandangan mereka dengan saling menambahkan jawaban.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Pendapat bapak sih seperti tadi, tidak jauh beda dengan perbedaan agama, tetapi kalau memang harus itu dan sudah itu jodoh yang Tuhan
tetapkan, ya tidak masalah. Yang penting kan dia dengan suaminya kelak, atau dia dengan calon isterinya, bukan kita lagi. Pastinya
nasehat sudah kita berikan jauh sebelumnya, jauh sebelum anak mulai masuk dalam tahap tertarik dengan laki-laki. Bagi ibu juga itu adalah
hal yang penting, karena tidak hanya menyangkut mereka berdua menurut ibu, itu sudah menyangkut dua keluarga yang sangat besar,
karena sudah pasti masuk dalam acara adat nantinya kan jika menikah. Ibu sendiri adalah pribadi yang tidak setuju anak pacaran dengan
orang Karo, ibu akan terus menasehati dan mengarahkan anak-anak untuk tidak pacaran dengan beda agama dan beda suku, terutama
orang suku Batak Karo. Bahkan di rumah pun bapak dan ibu selalu mengingatkan supaya tidak pacaran dengan orang Batak Karo.
Perkawinan campuran itu sangat susah untuk dijalankan nak, karena yang pertama, tidak ada kesesuaian adat istiadat dengan mereka orang
Batak Karo, kemudian yang kedua itu adalah dari segi bahasa kita tidak mengerti apa yang mereka katakan, dan mereka juga demikian.
Jadi, bagaimana komunikasi bisa nyambung? Bagaimana pesan bisa tersampaikan? Misalnya, sinamot manang tuhor ni boru harga yang
harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Bagi orang Batak Karo, sinamot itu sangat murah, sementara Batak Toba
sinamotnya harus besar. Kenapa? Karena memang orang Batak Toba itu adalah anak dan boru ni Raja. Makanya sebagai raja harus
berwibawa ke dalam dan keluar, terutama dalam hal adat istiadat. Mungkin bagi mereka sesama itu tidak menjadi masalah, tetapi ketika
keluar dari suku itu menjadi batu sandungan, karena sering menimbulkan masalah. Nilai yang lain yang tidak sesuai dari Batak
Karo ke Batak Toba adalah adanya keharusan bagi tulang dari pihak laki-laki untuk membuat surat pernyataan setuju akan pernikahan
berenya ke putri Batak Karo itu tadi, jika itu tidak ada, maka perkawinan akan segera ditunda. Itulah beberapa nilai adat istiadat
yang berbeda.”
Sesuai dengan pengakuan kedua informan ini, maka peneliti ingin mengetahui pandangan mereka terhadap orang Batak Karo, mengapa di dalam
keluarga itu anak-anak diarahkan untuk tidak pacaran dengan orang yang berbeda suku, terutama suku Batak Karo.
“Orang Batak Toba itu masih mau kata memaafkan, sementara kalau orang Batak Karo itu keras sekali, tidak mau memaafkan, sangat
pendendam. Kemudian egoisme yang cukup tinggi, terus masih banyak mereka yang percaya kepada dunia gaib atau mistik, kalau hal
lain sih mereka suka makan sirih, jadi terkesan jorok, tetapi memang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan mereka itu penjorok, jarang memperhatikan kebersihan di rumah, karena mereka itu fokus hanya ke ladang.”
Bapak Ronald Togatorop adalah seorang yang cukup dipercayakan dalam hal adat istiadat di Desa Unjur, bahkan di luar desa itu juga sudah diakui. Peneliti
ingin mengetahui nilai-nilai seperti apa yang ada dalam adat budaya orang Batak Toba yang dipegang dan dijunjung tinggi, bahkan diwariskan kepada anak-anak.
Sebagaimana diungkapkan oleh Harahap dan Siahaan 1987, bahwa nilai-nilai suku Batak Toba itu mencakup Kekerabatan Dalihan Na Tolu, religi, hamoraon,
hagabeon, hasangapon, hamajuon, hukum, pengayoman, inilah hal yang juga dipegang dan dikerjakan dengan baik oleh beliau dan diwariskan kepada anak-
anak. Tidak ketinggalan hal yang juga sama pentingnya yaitu tarombo silsilah, karena Silsilah atau Tarombo sangatlah penting bagi orang batak, karena rasa
semarga klan membuat dekatnya persaudaraan baik di rantau maupun di tanah asalnya sendiri Hutagalung, 1961:9.
“Pertama itu adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak, yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku
Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan
istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan
sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan
menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati
serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak
perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu
pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Dengan adanya silsilah orang Batak Toba, maka anak-anak saya itu
tahu yang mana keluarganya, dan tahu bagaimana bertutur sapa dengan kerabat keluarga, dia juga bisa tahu kepada siapa dia bisa
menikah. Kemudian nilai yang lain yang juga bapak ajarkan ke anak- anak bahwa orang Batak Toba itu memegang teguh dan
mengusahakan hidupnya menuju 3H, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Simbol orang batak yaitu ulos juga penting kita jelaskan
maknanya bagi anak-anak, karena memang ulos itu kan berbeda-beda maknanya dan ragamnya, seperti Ulos Sibolang diberikan kepada
orang yang sudah meninggal, Ulos Bintang maratur diberikan kepada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
anaknya yang datang dari perantauan, kemudian dibawa ke rumah tulang, dan diberkati disana, itulah ulos yang diberikan tulang kepada
anak, Ulos Mangiring itu diberikan kepada yang sudah berkeluarga, supaya punya putra dan putri yang banyak, dan keturunan yang
sejahtera.”
Semakin hari budaya semakin mengikis, keadaan yang sangat menyedihkan ketika budaya dan adat istiadat itu tidak diwarisi oleh anak-anak
muda zaman sekarang yang menjadi generasi penerus. Tidak ada lagi perhatian terhadap budaya, tidak ada lagi usaha untuk mengembangkan dan
melestarikannya, semua semakin egois dengan kebutuhan dan kesenangan masing-masing. Menurut pengakuan mereka, faktor orang tua yang semakin
banyak tidak peduli lagi terhadap budaya sendiri, tidak peduli apakah nilai adat ini perlu disampaikan kepada anak.
“Memang benar itu nak, zaman sekarang sudah banyak anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu lagi tentang budaya dan adat istiadat
orang Batak Toba, hal ini diakibatkan oleh kemajuan telekomunikasi, mereka banyak meniru gaya yang ditampilkan dalam pesawat televisi,
padahal itu kan gaya orang luar negeri, bukan gaya dan adat kita, tetapi bukan hanya faktor kemajuan teknologi, faktor orang tua juga
ada. Banyak orang tua yang tidak peduli akan perkembangan dari anaknya, tidak peduli apakah adat istiadat ini perlu saya sampaikan
kepada anak? Bahkan pendidikan anak pun tidak diperhatikan, kenapa? Karena pendidikan zaman sekarang sudah jauh lebih canggih
dari zaman dulu, jadi orang tua tidak mampu lagi menjangkau apa yang dikerjkan anak di sekolah, ini membuat orang tua malas
mendampingi anaknya belajar, dibiarkan begitu saja. Padahal secara psikologi, hanya didampingi belajar atau mungkin duduk disamping
anak saja ketika anak itu belajar, itu sangatlah berarti. Perilaku anak itu adalah cerminan bagaimana didikan dalam keluarga.”
Adat budaya yang semakin mengikis adalah hal yang sangat menyedihkan tentunya. Sebagai warga negara yang baik, kita tentunya harus melakukan
sesuaatu untuk tetap bisa mempertahankan dan menjaga dengan baik adat istiadat dan budaya kita masing-masing, karena itu adalah kekayaan budaya negara kita.
Terkait dengan hal tersebut, peneliti menanyakan saran dari informan, bagaimana dan apa yang seharusnya dilakukan agar budaya dan adat istiadat itu tetap dijaga
dan dilestarikan. Bapak Ronald dan Ibu Nurmala mengungkapkan dengan nada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang sedikit tegas, bahwa menikah dengan seseorang yang berasal dari sesama suku Batak Toba adalah salah satu cara untuk menjaga dan melestarikan.
“Kembali ke topik sebelumnya tadi, tentang perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo, jadi menikah dengan
seseorang yang berasal dari suku yang sama adalah salah satu cara untuk tetap menjaga kelesatrian adat istiadat dan budaya sendiri.
Karena jika menikah dengan beda suku, nilai budaya suku apa yang akan diwariskan kepada anak nantinya? Kalau seperti ini kan jadi
menimbulkan konflik tersendiri di rumah tangga. Kedua itu anak harus juga banyak bertanyalah, jangan diam dan cuek. Ketiga adalah budaya
itu harus diajarkan di sekolah, mata pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba. Inilah sekarang yang menjadi kelemahan dari pemerintah
kabupaten Samosir ini, kenapa itu dihapuskan dari mata pelajaran? Saran bapak, Mata Pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba harus
dikembalikan ke awal, supaya tidak semakin hilang dari jiwa anak- anak zaman sekarang.”
Setelah Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan menjelaskan jawaban pertanyaan terakhir dari peneliti, maka peneliti pun mengakhiri
wawancara dengan Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan.
Keadaan di rumah Bapak Devi sangat sepi, hanya ada beliau dan isterinya Ibu br Siadari. Menurut pengakuan mereka, hal ini dikarenakan anak-anak mereka
Kasus Kesembilan
Nama : Bapak Devi Manik Ibu R. br Siadari
Umur : 46 Tahun 45 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Toba
Alamat : Desa Unjur
Malam hari adalah waktunya untuk beristirahat bagi kebanyakan orang, namun tidak untuk peneliti. dengan penuh kesabaran peneliti masih berjlan
mengelilingi Desa Unjur, untuk mencari warga yang mau memberikan waktunya untuk diwawancarai. Sampai akhirnya peneliti tiba di salah satu rumah warga
yang letaknya tidak jauh dari tempat peneliti tinggal. Susunan bata berwarna cokelat, beratapkan seng dan halaman yang dipenuhi dengan bunga menjadi ciri
khas dari rumah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
semua berada merantau ke kota demi pendidikan, mereka hanya memiliki tiga orang anak. Belum satu pun dari anak-anak yaang sudah menikah atau berumah
tangga. Ditemani secangkir teh manis, peneliti terus memancing mereka untuk mau bercerita tentang kehidupan dan juga pandangan-pandangan mereka.
Menurut kepercayaan orang Batak Toba yang telah diungkapkan Tinambunan 2010, anak akan berpegang teguh pada kepercayaan yang telah
dipegang teguh oleh orang tuanya. Maka ketika anak telah berpaling dari kepercayaan tersebut, anak dianggap telah melanggar didikan orang tuanya, dan
orang tua akan dianggap tidak berhasil menanamkan nilai kepercayaan yang dianutnya. Peneliti menanyakan kepada Bapak Devi dan Ibu br Siadari tentang
kepercayaan tersebut, nilai yang ada dalam kepercayaan yang dianut serta bagaimana mereka mewaarisi itu kepada anak-anak.
“Bapak adalah seorang Penatua Gereja. Bapak dan ibu adalah pemeluk agama Kristen Protestan dan kami membawa, mendidik dan mengajari
anak-anak untuk memeluk kepercayaan yang sama juga. Hidup ini akan sangat indah kita jalani jika kita bersama Yesus, baik dalam
melewati suka dan duka. Nilai yang penting dalam kepercayaan yang kami anut itu adalah saling mengasihi dan saling menghormati satu
dengan lainnya. Ini yang menjadi nilai dasar dalam kehidupan orang Kristen, inilah titik tolak keberangkatan kami melangkah ke depannya
seperti apa. Orang yang beragama jelas berbeda perilakunya dengan orang yang beragama. Sebagai orang yang percaya, kita pasti akan
menyerahkan segala sesuatunya ke dalam Tuhan sebelum itu kegiatan dimulai, dengan harapan Tuhan memberkati setiap hal yang kita
kerjakan dan kita pun dikuatkan untuk mengerjakannya. Tidak hanya berhenti di orang tua saja, nilai ini adalah hal yang sangat penting
untuk kami ajarkan kepada anak-anak. Kami bersyukur karena selama mengajari anak-anak, mereka mau mendengar nasehat dan didikan
dari kami orang tuanya. Sejak kecil kami sudah mengajari dan mendidik mreka sesuai kehendak Tuhan, juga satu hal lagi yang paling
penting adalah mengingatkan dan mengarahkan anak-anak supaya tidak menjalin hubungan atau pacaran bahkan menikah dengan orang
yang berbeda agama.”
Organisasi sosial yang sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak adalah keluarga dan juga sekolah. Peneliti ingin mengetahui
bagaimana pendangan Bapak Devi Manik dan Ibu br Siadari terhadap sekolah
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
atau pendidikan anak. Menurut pengakuan beliau, pendidikan anak adalah modal utama untuk memperbaiki taraf hidup ke depannya.
“Yang pasti orang yang berpendidikan berbeda dengan orang yang tidak mengecap pendidikan, dari segi berbicara, berpikir sudut
pandang, dan juga dari segi bertingkah laku. Dalam masa pendidikan pastinya anak kita itu diwarisi nilai-nilai juga, sehingga wawasaan
anak akan lebih luas, pandangannya terhadap sesuatu akan lebih bermakna, kan gitu. Kami sebagai orang tua akan menjunjung tinggi
pendidikan anak-anak sampai mereka mencapai cita-cita masing- masing. Perjuangan orang tua adalah untuk anak-anak, sebisa mungkin
akan kami usahakan untuk cita-cita anak-anak, sekali pun itu menciptakan jarak yang memisahkan anak dan orang tua.”
Agama dan pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kedua orang tua ini, dan nilainya adalah sangat penting untuk diwariskan kepada anak-anak.
Maka dari itu, peneliti menanyakan kepada informan tentang pandangan mereka jika anak-anaknya pacaran atau menikah dengan seseorang yang berasal dari
agama yang berbeda. “Bapak misalkan dengan anak bapak yang kuliah di Semarang ya nak,
disana mayoritas Muslim tentunya, jadi bapak dan ibu tetap nasehatkan dan arahkan mereka, besar harapan bapak dan ibu untuk
anak-anak untuk tidak murtad ke agama lain. Jauh sebelum mereka tertarik dengan lawan jenisnya, bapak dan ibu sudah menekankan
harapan itu tadi, yaitu tidak menikah dengan orang yang berbeda agama. Kami pun selalu doakan mereka di tanah perantauan itu nak,
supaya memegang teguh kepercayaan yang sudah diajarkan orang tua, yang sudah dianut sejak kecil. Bagi kami itu nak, agama adalah hal
yang paling penting dibanding yang lain.”
Sebagai orang tua, tentunya masa depan anak-anak adalah hal yang dikhawatirkan. Dengan siapa kelak ia akan menghabiskan hidupnya, bagaimana
kesejahteraan anak kelak dan masih banyak kekhawatiran yang lain. Terkait dengan hal tersebut, peneliti menanyakan kepada informan tentang pendapat
mreka terhadap perkawinan campuran antara Batak Toba dan Batak Karo. Dengan persetujuan beliau, peneliti memisalkan anak beliau menjalin hubungan dengan
seseorang yaang berasal dari Batak Karo. Secara jujur informan mengakui bahwa mereka tidak paham dengan adat istiadat budaya Batak Karo.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Sebenarnya jika masih satu suku Batak, titik temu adat istiadat dan budaya kita pasti ada. Beda halnya jika ke lain suku ya kan? Misalnya
suku Jawa, jelas tidak ada titik temu adat istiadat kita dengan mereka. Memang adat istiadat dan budaya Batak Karo kan sudah beda dengan
kita, itulah yang jadi alasan bagi bapak dan ibu sendiri untuk keberatan jika hal ini terjadi pada anak kami. Yang kedua itu adalah bahasa kita
dengan mereka kan jauh berbeda, tidak saling memahami antara kita dengan mereka, pasti komunikasi tidak lancar kalau kita tidak saling
memahami bahasa. Bapak dan ibu selalu memperhatikan perkembangan jiwa anak-anak kami, ketika mereka masuk dalam
tahap remaja dan mulai tertarik dengan lawan jenis, kita pasti arahkan dan nasehati anak, kalau bisa berhubungan dengan orang Batak Toba
saja. Sebenarnya beda suku tidak terlalu masalah bagi kami nak, yang penting agama harus sama. Selagi bisa kami akan arahkan anak supaya
menikah dengan sesama Batak Toba, arahkan bukan paksakan, tetapi jika mereka tetap bersikukuh untuk hubungan dengan suku Batak Karo
itu misalnya, ya sudah kita terima.”
Untuk suatu pendapat, pasti ada sebuah alasan. Menurut pendapat informan, mereka akan mengarahkan dan menasehati anak-anaknya untuk
menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari suku Batak Toba. Maka dari itu, peneliti menanyakan alasan beliau untuk tidak mengijinkan anaknya
pacaran dengan orang Batak Karo, selain perbedaan adat istiadat dan budaya yang ada. Karena Ibu Siadari tidak pernah bersahabat dengan orang Batak Karo,
beliau tidak berani memberikan pendapat tentang orang Batak Karo, beliau hanya mengungkapkan bahwa kekentalan budaya dan menjunjung tinggi budaya masih
kurang di orang Batak Karo itu sendiri. Hanya Bapak Devi yang menjawab pertanyaan dari peneliti.
“Di sisi lain sebenarnya kalau untuk penilaian secara pribadi terhadap orang Batak Karo, tidak terlalu spesifik, hanya pengalaman sekedar
saja. Sifat orang Batak Karo itu egois sekali, kebanyakan dari mereka merasa diri paling jago, sok jagolah istilahnya nak. Satu lagi secara
umum, anak Batak Karo itu banyak yang malas, semangat untuk berjuang masih lebih tinggi di orang Batak Toba. Itu saja sebenarnya
membuat kita malas menjalin hubungan dengan mereka.”
Sebagai seorang tokoh adat dalam acara adat istiadat di Desa Unjur, tentunya mengajari dan mendidik anak untuk tetap memegang dan menjunjung
tinggi adat istiadat serta budaya Batak Toba itu sudah menajdi kewajiban bagi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Bapak Devi Manik dan Ibu Siadari. Inilah yang ditanyakan peneliti kepada beliau, bagaimana mereka mewarisi nilai adat istiadat itu kepada anak.
“Bagi bapak sendiri mengajari mereka sudah menjadi suatu kewajiban. Hal yang paling penting untuk mereka ketahui adalah tarombo
silsilah, dengan adanya silsilah dan kita ajari untuk bertutur sapa, maka semakin hari mereka akan semakin memahami kerabat
kekeluargaannya, kemudian yang kedua itu yang penting adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak, yaitu sebagai
prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku
Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan
dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula,
golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan
tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya,
serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga
golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Siapa-siapa sajakah Dalihan Na
Tolu itu, itulah tugas kita sebagai orang tua, memperkenalkan keluarga yang masuk dalam kerabat tersebut, misalnya siapa tulang, namboru,
bere, ibebere, dan lainnya. Terkait belajar adat istiadat ini, anak pun harus ada kemauanlah untuk bertanya.”
Zaman yang semakin maju sangat berpengaruh terhadap kelestarian adat budaya dari suatu suku, seperti Suku Batak Toba. Semakin banyak anak-anak
muda zaman sekarang yang tidak peduli dengan budaya mereka sendiri. tidak mau belajar, tidak mau memperhatikan, itulah anak-anak zaman sekarang. Menurut
Bapak Devi dan Ibu Siadari, masukkan mata pelajaran Bahasa Daerah ke dalam pendidikan di sekolah. Karena orang tua tidak lagi bisa diharapkan sepenuhnya
untuk mendidik anak tentang nilai budaya dan adat istiadat. Demikianlah hasil wawancara dengan Bapak Devi Manik dan Ibu Siadari.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencairkan suasana, peneliti mulai menanyakan alasan beliau merenung dan melamun sendiri di warung sebelum peneliti datang. Beliau hanya
tersenyum dan mengatakan bahwa bukan lamunan, namun hanya ungkapan kekaguman pada Tuhan pencipta langit dan bumi. Gunung yang begitu indah,
langit malam yang penuh dengan bintang, sungguh tak terselami pikiran Tuhan, itulah yang mengisi hati dan pikiran beliau yang terkesan melamun saat ditemui
peneliti. Beliau mulai banyak bercerita tentang penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarganya. Keluarga beliau dikaruniai Tuhan empat orang anak, tiga
orang laki-laki dan satu orang perempuan, semua anak-anak adalah penurut kepada nasehat orang tua, tidak susah dinsehati, takut akan Tuhan, semua anak-
anak bisa disekolahkan, itu semua adalah berkat Tuhan yang sangat dikagumi oleh beliau. Karena topik pembicaraan sudah mengarah ke topik yang diinginkan
Kasus Kesepuluh
Nama : Op. Devita Ambarita
Umur : 68 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Toba
Alamat : Desa Unjur
Keluarga berikutnya yang ditemui peneliti untuk mengadakan wawancara adalah keluarga Op. Devita Ambarita. Sebelumnya, peneliti dan informan telah
mengadakan perjanjian untuk wawancara malam harinya, karena pagi sampai dengan sore, beliau bekerja di ladang. Kebetulan beliau adalah salah satu
informan peneliti ketika mengadakan pra penelitian di desa tersebut. Ketika di temui oleh peneliti, beliau sedang duduk termenung di warung miliknya, warung
itu pun tampak sepi yang biasanya ramai dikunjungi warga. Namun, sepinya warung tidak menjadi suatu alasan bagi beliau untuk tidak semangat
melaksanakan proses wawancara. Dengan senyuman dan tangan terbuka, beliau menyambut kehadiran peneliti, duduk di warung ala kadarnya. Kemeja batik
lengan pendek, celana panjang berwarna hitam, dengan warna kulit sawo matang, lengkap dengan uban yang semakin merata, seperti itulah keadaan informan ketika
ditemui di warung tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
peneliti, dengan tidak kaku, peneliti langsung bertanya apa sebenrnya makna agama itu sendiri bagi beliau dan keluarga dan bagaimana mewariskan atau
menerapkan itu kepada anak-anak. “Bapak seorang pemeluk kepercayaan Kristen Protestan, dan harus
digaris bawahi bahwa bapak bukan hanya Kristen Protestan. Banyak sekali makna agama bagi bapak sendiri, artinya inilah yang menjadi
titik tolak kita berpikir dan bertindak. Dalam agama yang bapak anut, kita diajarkan untuk saling mengasihi tanpa pandang bulu. Seperti
simbol HOTEL yang sangat dikenal dalam istilah Batak Toba, yaitu Hosom, teal, elat dan late itu tidak boleh merasuki kita, kalau kita
sudah mengenal Tuhan, karen Tuhan itu adalah Kasih. Kalau masalah mewariskan nilai-nilai kepada anak, itu tergantung anak itu sendiri.
banyak ank yang tidak mau menerima ajaran dan nasehat dan didikan orang tua, tetapi puji Tuhan, semua kakak dan abangmu disini mau
mendengarkan nasehat dan didikan kami orang tuanya. Bapak dan ibu disini selalu mengajarkan nilai itu kepada anak sejak kecil, kasih,
saling menghormati dan sopan terhadap sesama. Kami juga mengajari mereka membaca Firman Tuhan, membawa mereka ibadah bersama
ke Gereja.”
Banyak manusia yang beragama, namun hanya sedikit yang menjalankan dan menghidupinya. Hal ini bisa juga terlihat dari salah satu cara kita
mempertahankan agama kita ketika dihadapkan dengan berbagai godaan dunia, termasuk salah satunya adalah dalam hal teman hidup. Sejauh apakah Bapak Op.
Devita Ambarita menghidupi dan mempertahankan agama dan kepercayaannya kepada Tuhan, ketika anaknya berada dalam hubungan yang lebih dengan
seseorang yang berasal dari agama lain? Inilah yang ditanyakan peneliti kepada beliau.
“Sebenarnya hati kita sangat menentang yang namanya beda agama, besar harapan kita untuk anak-anak tentunya agar menikah dengan
sesama agama Kristen Protestan. Jika anak bapak pacaran atau ingin menikah dengan orang yang beda agama, sah sah saja. Sebenarnya
bertitik tolak dari nilai agama itu tadi, saling mengasihi, kita sama- sama manusia ciptaan Tuhan, tetapi ada satu syarat mutlak jangan
sampai anak saya itu murtad ke agama lain. Calon menantu itulah yang kita tarik ke agama kita, tetapi kalau anak tetap bersikeras untuk
menikahinya dengan cara murtad, bapak akan biarkan dan jangan sampai menyesal, itu saja. Kebetulan sekarang ini kan bebas memeluk
agama apa pun. Karena kepercayaan ini kan menyangkut urusan pribadi dengan Tuhan. Tidak ada istilah bapak bisa menyelamatkan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kau, itu tidak ada. Jadi, kalau dia murtad, padahal sudah kita nasehatkan, ya sudah, itu pilihannya, itu dosanya, itu urusannya
dengan Tuhan Yesus.”
Nilai-nilai kehidupan tidak hanya didapatkan dalam keluarga saja, namun juga dalam sekolah nilai itu pasti diajarkan dan diterapkan kepada anak didik.
Terkait dengan hal tersebut, peneliti bertanya tentang pandangan informan terhadap pendidikan di sekolah. Karena kita ketahui bahwa melalui pendidikan di
sekolah, anak akan diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Sekolah termasuk salah satu lembaga formal yang memelihara
kebudayaan dan nilai yang terkandung di dalamnya Lubis, 2012: 80. “Pendidikan adalah hal yang paling penting untuk orang tua
perjuangkan bagi anak-anak. Biarpun kita tidak punya apa-apa atau miskin, kita akan usahakan untuk kemajuan anak-anak dalam
pendidikan. Sekalipun harus menggadaikan barang, utang dan hal lainnya, pasti akan kami usahakan, asalkan ada kemauan bersekolah
dalam diri si anak. Karena bukan kemajuan kami orang tua ini lagi yang penting, tetapi kemajuan anak-anak. Bersusah payah akan kami
tahankan, asalkan anak-anak mau sekolah. Seperti nilai adat Batak Toba itu Anakhon ki do hamoraon di au. Kalau anak adalah kekayaan,
ya sekolahkan sedaya mampu kita. Dengan pendidikan yang dikecapnya kan pasti wawasannya semakin luas. Di sekolah juga kan
pastinya diajari bagaimana menerapkan nilai-nilai kehidupan yang baik dan benar. Jadi keluarga itu harus kerja sama dengan sekolah
untuk membentuk pribadi si anak.”
Menurut pendapat warga yang telah diwawancarai oleh peneliti, sekolah menjadi salah satu jalan memobilisasi masyarakat desa, dikarenakan kebutuhan
akan pendidikan. Karena fasilitas di desa itu tidak selengkap di perkotaan. Kebanyakan fasilitas yang ada di desa itu sampai jenjang SMA, namun untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi belum ada. Mau tidak mau, anak-anak harus merantau ke kota. Ketika anak merantau ke kota, wawasan akan semakin luas dan
tentunya pergaaulan tidak hanya sebatas sesama suku lagi, karena akan banyak individu dengan keanekaragaman latar belakang budaya yang datang ke kota.
Tidak bisa dipungkiri, akan ada hubungan komunikasi antarbudaya yang terjadi disana. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti menanyakan tentang
perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo kepada beliau,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dengan memposisikan anak beliau di posisi tersebut, yang sedang menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berasal dari suku Batak Karo.
“Kalau bapak secara pribadi, prinsip bapak yang bapak harapkan pada anak-anak adalah kalau bisa sesama Batak Toba saja, tetapi kalau
memang sudah jodoh, bagi bapak secara pribadi tidak ada istilah benci dengan suku lain, baik itu Karo, Simalungun, Pakpak, bahkan juga
suku Jawa. Karena bagaimana pun, siapa pun dia yang akan menjadi menantu bapak kelak, dia bapak anggap sebagai anak. Kehendak
orang tua itu jangan dipaksakan kepada anak. Jangan sampai anak itu depresi dan frustasi ketika kita melarang keras. Kalau memang anak
bapak itu tadi harus menikah dengan perempuan atau laki-laki yang berasal dari Batak Karo, ya apa boleh buat kan? Berarti kita harus
mau belajar. Adat istiadat dan bahasa adalah hal yang bapak soroti dalam peristiwa seperti itu. Jika kita bandingkan memang Batak Toba
ke Simalungun masih ada sedikit kecocokan dan persesuaian adat, tetapi ke Batak Karo ini memang jauh berbeda, baik itu adat dan juga
bahasanya. Pasti sangat susah untuk menyesuaikan itu, makanya kalau memang harus itu, dan jodoh, kemauan belajar harus ada. Saling
belajarlah diantara kedua belah pihak, agar bisa saling memahami, seperti pepatah orang Batak Toba yang mengatakan Sijumpa solup ma
na ro, yang artinya dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana acara adat itu dilakukan, kita harus ikuti sesuai adat yang
berlaku di daerah tersebut, namun bukan berarti kita menyerah begitu saja tanpa adanya perjuangan untuk mempertahankan adat budaya
kita, kalau sudah seperti ini, lakukan dalam dua versi, ada acara adat budaya Batak Toba, ada juga adat budaya Batak Karonya. Intinya
tetap bapak ingatkan kalau bisa cari yang sesama Batak Toba saja.”
Setiap pandangan tentunya diikuti dengan sebuah alasan. Ketika ada perkataan dan nasehat dalam keluarga beliau, untuk mencari menantu dari sesama
suku Batak Toba, apakah yang manjadi alasan bagi beliau selain dari ketidak sesuaian adat dan bahasa. Mungkin bisa saja ada penilaian lain yang belum
diungkapkan. Peneliti mencoba menggali persepsi dari beliau secara pribadi terhadap Batak Karo. Ternyata beliau tidak ingin mengungkapkan hal tersebut,
karena menurut beliau itu adalah sikap menghakimi suku lain. Dengan demikian, peneliti pun tidak mau memaksakan.
“Setiap suku itu kan pasti ada kelemahan dan kelebihannya, dan bapak secara pribadi, maaf nak, tidak mau untuk mengungkapkan hal-hal
seperti itu. Kebetulan keluarga kami ada yang berasal dari Batak Karo, mereka sangat baik kok nak. Sebelumnya pun bapak tidak pernah tahu
orang Batak Karo itu seperti apa. Jadi, maaf nak, bapak tidak mau
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan pendapat bapak tentang orang Batak Karo, bagi bapak semua suku itu, kalau kita baik mereka pasti baik.”
Setiap etnis atau suku tentunya mengandung nilai yang merupakan norma yang akan memberitahukan pada setiap individu yang memeluknya, man yang
baik, mana yang buruk, man yang benar dan salah, yang boleh dan yang tidak boleh. Nilai ini pastinya berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya. Nilai
apa saja yang ada dalam adat budaya Batak Toba, dan bagaimana sebenarnya beliau mengajari dan mendidik ank-anak supaya mereka juga paham akan adat
budaya sukunya sendiri, inilah yang ditanyakan peneliti kepada informan. “Nilai-nilai yang ada dalam adat itu sebenarnya hampir sama di semua
suku. Nilai yang paling penting menurut bapak dalam budaya Batak Toba ini adalah Dalihan Na Tolu yaitu sebagai prinsip kehidupan
dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga
golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan
pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua
adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan
ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari
suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi
dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Kemudian kalau dalam adat istiadat pernikahan, yang
penting dijalankan adalah Suhi ni Ampang Na Opat, dimana disana ada Na Marhamaranggi bersaudara secara marga, Hula-hula pihak
pemberi isteri dalam suatu perkawinan, Tulang saudara laki-laki dari isteri, dan Pariban saudara kandung. Dalam budaya yang dipegang
oleh orang Batak Toba, ada yang dinamakan Ulos dan Petuah. Hampir di setiap acara adat Batak Toba ini, berjalan budaya mangulosi. Nilai-
nilai seperti inilah yang sangat penting untuk kita tanamkan kepada anak, supaya kelak dia bisa paham, dan memang anak itulah yang
menjadi genersi penrus kita. Adat budaya Batak Toba itu tidak tertulis, untuk memahaminya harus banyak memperhatikan. Seperti pepatah
Batak Toba, Girgir manangi-nangi, bakkol manghatahon, memang harus banyak mendengar dan memperhatikan. Jadi, bapak dan ibu
akan mengarahkan anak-anak untuk rajin menghadiri adat dan memperhatikan apa yang terjadi disana. Tidak semua bisa jadi tetua
desa, tetapi menjadi tua sudah pasti kan nak? Sebenarnya bagi bapak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
secara pribadi, mengajari mereka secara teori tentang adat budaya ini tidaklah begitu penting, tetapi biarlah ank-anak bisa belajar dari sikap
dan perilaku bapak di rumah, karena kalau adat budaya ini akan sangat tampak dari sikap yang nyata. Kalau bicara kepada anak saja kita tidak
sopan, anak pun akan menirukan hal yang sama. Taburkanlah yang baik maka anak akan menaburkan yang baik juga. Istilahnya jadilah
teladan bagi anak-anak kita. Jangan beda perkataan dengan tindakan, supaya anak kita tidak heran nantinya.”
Pertanyaan penutup dari peneliti adalah bagaimana pandangan beliau terhadap pengikisan budaya zaman sekarang, dan apa saran yang bisa dikerjalakan
ke depannya. “Bapak secara pribadi cukup takut dan sedih melihat ank zaman
sekarang, siapa yang akan melanjutkan dan melestarikan adat budaya Batak toba ini nantinya? Sepertinya semakin mengikis dan semakin
banyak yang tidak peduli. Jadi, saran bapak secara pribadi, pemerintah setempat atau mungkin disepakati bersama oleh para tetua desa,
supaya mengadakan Cultur Show sekali sekali di desa ini. Jadi anak- anak muda kan bisa belajar disana, dan kalau bisa menikah dengan
sesama suku Batak Toba, itu saja sih nak.”
Dengan berakhirnya jawaban dari Bapak Op. Devita Ambarita untuk pertanyaan terakhir dari peneliti, maka berakhirlah sudah wawancara dengan
beliau.
Informan terakhir yang ditemui oleh peneliti adalah Ibu Berto Sitanggang. Keluarga ini adalah keluarga yang cukup hangat menyambut kehadiran peneliti di
tengah-tengah mereka. Ketika dijumpai peneliti, beliau baru saja pulang dari Gereja, menghadiri latihan koor. Jadi pakaian masih dilengkapi dengan sarung
bercorak bunga-bunga dan baju berwarna cokelat motif bunga-bunga, badan gemuk, daan warna kulit yang agak gelap, itulah sedikit deskripsi tentang beliau.
Kasus Kesebelas
Nama : Ibu Berto Sitanggang
Umur : 50 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak Toba
Alamat : Desa Unjur
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Ibu Berto sedang duduk santai di beranda rumah bersama dengan putrinya yang sudah menikah, dan juga kakek yang adalah ayah beliau.
Awalnya beliau bersikap sangat kaku dan menolak untuk diwawancarai, karena beliau berpikir bahwa ini adalah tugas akhir dan sangat penting untuk
peneliti, tidak boleh sembarangan menjawab. Kemudian peneliti dengan nada yang sangat lembut kembali mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, serta
inti permasalahan yang akan ditelitinya. Akhirnya beliau paham dan menyetujui untuk diwawancarai. Sebelumnya peneliti telah mengetahui bahwa beliau adalah
salah satu warga di desa tersebut yaang sudah menjalin kekeluargaan dengan orang Batak Karo, karena saudara laki-laki beliau menikah dengan orang Batak
Karo. Peneliti mencoba mencairkan suasana dengan mengajak beliau bercerita tentang keluarganya.
Keluarga mereka adalah keluarga yang cukup sederhana. Beliau bersyukur dipercayakan anak sebanyak lima orang, dua orang putra dan tiga orang putri.
Mereka juga sangat bersyukur kepada Tuhan, karena dikuatkan dan dicukupkan Tuhan untuk menyekolahkan anak-anak sampai jenjang yang lebih tinggi. Anak
Sulung sudah berumah tangga, namun belum dikaruniai anak oleh Tuhan, pendidikannya hanya sampai SMA, karena si Anak tidak ingin melanjut ke
perguruan tinggi; anak kedua sudah berumah tangga, masih dalam tahap pendidikan Sarjana; anak ketiga itu sudah tamat dengan dari perguruan tinggi,
sekarang telah bekerja; anak keempat juga sedang mengecap pendidikan di bangku perguruan tinggi; dan si bungsu masih duduk di bangku SMA.
Setelah suasana semakin cair, tampak dari sikap beliau yang tidak sekaku di awal pertemuan tadi, maka peneliti melanjutkan pembicaraan dan
mengarahkannya pada beberapa pertanyaan yang sudah dirancang. Sistem kepercayaan, maknanya bagi beliau dan cara beliau menerapkannya kepada anak-
anak menjadi pertanyaan yang mengawali wawancara tersebut. Mengingat bahwa kepercayaan orang Batak menurut Tinambunan 2010, anak akan berpegang
teguh pada kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya. Maka ketika anak berpaling dari kepercayaan tersebut, anak dianggap melanggar didikan orang
tuanya, dan orang tua akan dianggap tidak berhasil menanamkan nilai
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
kepercayaan yang dianutnya. Beliau pun menjawab dengan baik dan jelas kepada peneliti.
“Ibu adalah penganut kepercayaan Kristen Protestan, bapak di rumah ini juga demikian. Makna agama yang ibu anut itu sih, ibu dan
keluarga bisa merasakan kasih Tuhan yang luar biasa, berkat yang selalu melimpah kepada kita itu kan datang dari Tuhan yang kita
percayai sebagai Juru Selamat kita. Misalnya, kesehatan, berkat Tuhan ibu bisa menyekolahkan anak-anak yang sudah dipercayakan Tuhan
bagi keluarga. Ibu mengenal Tuhan tentunyadari Firman Tuhan yang disampaikan Pendeta di Gereja, dan membaca Firman Tuhan juga di
rumah, makanya sampai sekarang ibu tetap berpengharapan pada Tuhan saja. Kepercayaan ini tidak hanya untuk bapak dan ibu saja,
anak-anak ibu juga penting untuk mengetahui kebesaran Tuhan dalam hidup ini. Sejak kecil, anak-anak sudah ibu bawa ibadah ke Gereja, ibu
dan bapak arahkan di rumah supaya berbuat sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Memang bapak di rumah ini jarang ke Gereja, ibu
yang sering mengarahkan anak-anak untuk tetap berdoa, pergi ke Gereja mendengar Firman Tuhan, supaya anak-anak kelak tidak
gampang dipengaruhi oleh ajaran sesat, agar anak-anak tidak gampang murtad ke agama lain hanya karena godaan dunia ini.”
Terkait dengan organisasi sosial yang adalah wadah formal untuk memberikan atau mewarisi nilai-nilai adat istiadat kepada anak, salah satunya
adalah sekolah, maka peneliti mencoba menanyakan pandangan beliau terhadap pendidikan. Ternyata tidak terlepas dari falsafah hidup orang Batak Toba,
Anakhon ki do hamoraon di Au Anak-anakku adalah kekayaan terbesar bagi ku. “Pendidikan itu pastinya menambah wawasan dan pengetahuan
kepada anak, dan itu menjadi modal utama untuk kehidupan anak-anak ibu kelak. Harus ada perjuangan yang sangat tinggi dari ibu dan bapak,
bekerja keras adalah kewajiban ibu untuk menyekolahkan anak sampai mereka mencapai cita-citanya, karena bagi kita orang Batak Toba ini,
Anakhon ki do Hamoraon di Au. Ibu dan bapak akan bekerja keras pagi sampai malam, itu semua hanya untuk anak-anak kami, harus
bersekolah setinggi-tingginya, sedaya mampu kami orang tuanya. Sekalipun ibu tidak bisa mengikuti gaya kebanyakan ibu zaman
sekarang, seperti kekayaan misalnya berlian, pakaian yang cantik, dan harta kekayaan lainnya, tidak masalah, yang penting anak-anak saya
itu berkecukupan. Asalkan ada kemauan anak untuk sekolah. Sambil berdoa terus untuk anak-anak.”
Tidak hanya berhenti pada pandangan terhadap pendidikan dan kepercayaan, namun peneliti menggali kembali, apa pendapat beliau seandainya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
hubungan lebih dari teman pacaran dengan seseorang yang berbeda agama itu terjadi pada anak beliau. Karena kepercayaan juga kan mempengaruhi cara kita
memandang sesuatu. “Ibu melarang keras jika anak-anak pacaran dengan seseorang yang
berbeda agama. Jangankan yang berbeda agama, satu agama Kristen Protestan pun jika alirannya sudah beda dengan aliran doktrin yang
diajarkan di Gereja ibu, misalnya GKII, GBI, GSJA dan lainnya, ibu tidak akan pernah setuju. Makanya tadi ibu bilang, sejak mereka kecil
ibu sudah bawa mereka mengenal Tuhan, membawa mereka ibadah bersama ke Gereja, mengajari mereka berdoa dan membaca Firman
Tuhan. Ibu hanya setuju jika anak ibu itu pacaran dengan orang yang ibadahnya di HKBP, GKPI, GMI, HKI, dan aliran lain yang serupa,
itu saja.”
Bukan hanya pandangan terhadap perkawinan campuran dengan beda agama, dari segi adat budaya, peneliti juga ingin mengetahuinya, bagaimana
pandangan beliau terhadap adanya pekawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo. Ternyata beliau adalah pribadi yang sangat keras untuk
menentang adanya perkawinan campuran Batak Toba dengan Batak Karo tersebut, hal ini disebabkan oleh faktor stereotip orang Batak Karo menurut
beliau dan juga faktor pengalaman. “Secara pribadi ibu juga melarang keras anak-anak ibu untuk menjalin
hubungan dengan orang Batak Karo. Ya, karena pengalaman ibu dengan orang Karo itu sangat pahit. Abangku menikah dengan boru
Sembiring, sampai sekarang abangku ini tidak lagi perhatian dengan kami keluarganya, ibu yakin dia sudah diguna-gunai. Kami seakan-
akan bukan lagi keluarganya. Boru Sembiring itu menciptakan jarak yang sangat jauh diantara yang bersaudara. Terlepas dari pengalaman
ibu itu tadi, dari dulu pun ibu tidak suka dengan Batak Karo, tidak berharap punya keluarga dari Batak Karo. Otak Batak Karo itu kotor,
dunia gaib itu masih kuat bagi orang Batak Karo, dendam berkarat sudah jadi ciri khas mereka, tidak ada jiwa untuk meminta maaf, beda
dengan kita Batak Toba, jadi ibu sangat tidak suka berkeluarga dengan orang Batak Karo. Ibu dan bapak di rumah ini melarang keras kepada
anak-anak sejak mereka mulai tertarik dengan lawan jenisnya, bahkan salah satu hal yang sangat penting untuk ibu ingatkan kepada anak
sebelum merantau adalah jangan pacaran dengan orang Batak Karo, ibu dan bapak tidak akan merestui. Batak Karo, Nias, dan suku di
Jawa sana, ibu selalu nasehatkan jangan coba-coba pacaran dengan mereka. Kalau Batak Simalungun masih ada persamaan adat budaya
dan juga bahasa yang hampir sama, sedikit ibu mengerti. Jadi, sifat-
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
sifat itu tadi yang membuat ibu sangat tidak senang melihat orang Batak Karo, barulah ke perbedaan adat budaya, juga bahasanya yang
sangat susah untuk ibu pahami. Misalnya, pemakaian bulang-bulang, ulos kita beda dengan mereka, pelaksanaan adat istiadat itu pun jauh
berbeda, jenis musik Batak Karo juga beda dengan kita Batak Toba, kalau gendang, musik, dan tortor Batak Toba itu girang dan semangat,
Batak Karo terkesan lambat dan malas. Jadi, perkawinan campuran itu sangat rumit, menghabiskan waktu, dan tidak bisa ibu nikmati, karena
tidak ada perpaduan.”
Peneliti ingin mengetahui nilai-nilai seperti apa yang ada dalam adat budaya orang Batak Toba yang dipegang dan dijunjung tinggi, bahkan diwariskan
kepada anak-anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Harahap dan Siahaan 1987, bahwa nilai-nilai suku Batak Toba itu mencakup Kekerabatan Dalihan Na Tolu,
religi, hamoraon, hagabeon, hasangapon, hamajuon, hukum, pengayoman, inilah hal yang juga dipegang dan dikerjakan dengan baik oleh beliau dan diwariskan
kepada anak-anak. Tidak ketinggalan hal yang juga sama pentingnya yaitu tarombo silsilah, karena Silsilah atau Tarombo sangatlah penting bagi orang
batak, karena rasa semarga klan membuat dekatnya persaudaraan baik dirantau maupun di tanah asalnya sendiri Hutagalung, 1961:9.
“Supaya anak-anak ini juga paham akan adat budaya itu, ibu dan bapak sering menjelaskannya di rumah. Misalnya sekembalinya dari
acara adat, ketika mereka bertanya ibu jelaskan, gitu nak. Bapak paling sering berbagi tentang adat budaya dengan anak-anak ini,
terutama itu Tarombo Silsilah, inilah nilai yang paling dasar yang harus anak-anak ketahui, supaya mereka tahu posisinya dalam acara
adat Batak Toba, kemudian sistem kekerabatan Batak Toba, yaitu Dalihan Na Tolu yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan
budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang
melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu
menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah
tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan
ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari
suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dengan mengetahui silsilah dan juga sistem kekerabatan ini,
maka dengan sendirinya anak akan semakin mengetahui nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yang ada dalam adat budaya. Nilai lainnya dalam adat budaya sehari- hari itu paling bisa kita wujudkan dari cara kita berpikir, berbicara dan
berperilaku di tengah-tengah masyarakat, jadilah orang tua yang memberi contoh yang baik untuk anak-anak.”
Menurut beliau menikahkan anak dengan sesama Batak toba adalah salah satu cara untuk tetap menjaga, melestarikan, dan mempertahankan budaya Batak Toba
itu sendiri, karena dengan demikian, nilai adat itu juga yang akan diwariskan kepada anak-anaknya kelak, sehingga budaya itu tidak hilang. Inilah saran yang
dianjurkan beliau untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai orang beradat. Dengan demikian berakhirlah sudah wawancara peneliti dengan Ibu Berto
Sitanggang sebagai informan terakhir di Desa Unjur, Kabupaten Samosir.
4.3 Pembahasan