Hasil Pengamatan dan Wawancara

Universitas Sumatera Utara adalah ayah beliau. Awalnya beliau bersikap sangat kaku dan menolak untuk diwawancarai, karena beliau berpikir bahwa ini adalah tugas akhir dan sangat penting untuk peneliti, tidak boleh sembarangan menjawab. Kemudian peneliti dengan nada yang sangat lembut kembali mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, serta inti permasalahan yang akan ditelitinya. Akhirnya beliau paham dan menyetujui untuk diwawancarai. Ibu Berto mempunyai anak lima orang, dua orang putra dan tiga orang putri. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah petani biasa dan sumber penghasilan lainnya dari bayaran tenaga mereka bekerja di sebuah Cattering di Desa Ambarita. wawancara tersebut berakhir pada pukul 21.30 wib.

4.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus sebagai kajian yang rinci atas suatu fenomena tertentu dan digunakan untuk menyelidiki unit sosial yang kecil seperti keluarga, masyarakat dalam suatu desa, dan juga kelompok kecil lainnya Robert, 2003. Hasil dari penelitian kualitatif dengan metode studi kasus adalah hasil yang tidak dapat digeneralisasikan, karena hasil penelitian tersebut hanya berlaku di daerah dimana penelitian tersebut berlangsung. Penelitian ini dilakukan di dua daerah, yaitu Desa Surbakti, Kabupaten Karo dan Desa Unjur, Kabupaten Samosir. Sebelum memulai wawancara terhadap informan di Desa Surbakti, dan Desa Unjur, peneliti sudah tinggal di desa tersebut untuk beberapa waktu dengan tujuan untuk melakukan pengamatan terhadap kehidupan warga secara umum. Dalam hal inilah peneliti bisa melihat bagaimana mereka berinteraksi satu dengan yang lainnya, bagaimana hubungan komunikasi yang terjalin antara satu dengan yang lainnya. Sangat menarik untuk mengamati serangkaian aktivitas mereka dalam satu hari. Bahkan yang paling menarik, Desa Surbakti adalah salah satu desa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dimana jumlah penduduk yang berasal dari suku Batak Toba lumayan banyak. Sementara Desa Unjur adalah desa yang tidak mempunyai penduduk yang berasal dari Batak Karo. Interaksi dan perilaku merekalah yang diamati oleh peneliti. Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap informan penelitian. Kasus Pertama Setelah peneliti bercerita panjang lebar kepada bapak Dedep, hangatnya sambutannya ditunjukkan dari sikapnya yang tidak canggung, beliau langsung mengajak peneliti ke rumahnya, supaya wawancara bisa dilaksanakan dengan efektif. Bapak Dedep pun bersedia untuk menjadi salah satu informan bagi peneliti. Rumah bapak Dedep tidaklah jauh dari perempatan jalan tempat kami saling menyapa, tepatnya di ujung desa Surbakti. Pada saat ditemui sore itu, isteri dari bapak ini sedang tidak berada dirumah, karena masih bekerja di ladang yang jaraknya cukup jauh dari rumah tersebut. sementara ketika peneliti menanyakan Nama : Bapak Dedep Sembiring Milala Boru Sitepu Umur : 57 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Keluarga Bapak Dedep Milala Sembiring adalah keluarga yang pertama diwawancarai oleh peneliti. Diawali dari perjalanan peneliti ke Desa Surbakti, tiba-tiba di perempatan jalan peneliti menyapa seorang bapak berkulit hitam, badan tinggi besar, rambut sudah mulai ubanan, dengan ciri khas kepala yang agak sedikit botak dibagian ubun-ubun. Bapak ini memakai kemeja kuning, celana tissue berwarna biru gelap, lengkap dengan jaket kulit hitam yang dikenakannya. Peneliti langsung memberi salam, “mejuah-juah, kila” dalam bahasa batak karo. Kila itu adalah sebutan untuk suami dari saudara perempuan ayah kita. Sapaan peneliti disambut hangat oleh bapak Dedep, bahkan peneliti diajak mengobrol. Banyak hal yang ditanyakan oleh Bapak Dedep kepada peneliti, mulai dari asal- usulnya, tujuannya ke Desa Surbakti dan juga kondisi lainnya. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kenapa bapak tidak ikut ibu ke ladang, bapak Dedep hanya menjawab sembari tersenyum kalau kondisi kesehatannya yang sudah tidak mengijinkan. Dalam keadaan yang sudah sama-sama rileks dan santai, maka situasi ini pun dipakai oleh peneliti untuk langsung memulai berbagi dan bertanya banyak hal kepada informan, bapak Dedep Milala. Peneliti memulai dari pandangan agama dan makna agama, nilai agama yang dianut, nilai budaya dari suku informan, pandangan terhadap pendidikan, pandangan informan terhadap perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba, efek bahasa yang berebeda dalam perkawinan campuran tersebut dan pewarisan nilai budaya yang dipegang oleh informan tersebut kepada anak-anaknya. Namun sebelumnya, peneliti menjelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi inti permasalahan dalam skripsi yang sedang dikerjakannnya. “Ihhh, suka kali pun orang batak Karo, terkhusus bapak lah ya nakku, kalau ada anakku pacaran sama orang batak Toba. Samanya kami sama bibi ndu dirumah ini. kami suka kok kalau anak kami pacaran sama Batak Toba. Sebetulnya batak Karo itu asli batak Toba, seperti aku sendiri kan nakkuh sebenarnya dari Tongging. Asli bataknya kita semua, bukan Karo sebenarnya ini. Tapi dibuatlah di Karo itu sembiring. Kalau gak nakku, marga Silalahinya kami ini semua di Batak Toba.” Bapak Dedep Milala, dengan spontan meresponi penjelasan peneliti tentang inti permasalahan dalam skripsi tersebut. itulah yang menjadi pendapat Bapak Dedep secara pribadi dan yang sependapat juga dengan isterinya, tidak ada istilah keberatan jika anak pacaran dengan orang yang berasal dari Suku Batak Toba. Menurut Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa, “Kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, dan interpretasi terhadapa suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang.” Apa kepercayaan yang dianut, apa maknanya, serta bagaimana nilai- nilai yang ada didalamnya? Itu menjadi hal yang sangat penting, “karena diterima sebagai suatu kebenaran” dalam Samovar, 2010: 224. Peneliti menanyakan kepada Bapak Dedep Milala tentang kepercayaan yang dianutnya dan maknanya serta bagaimana menerapkan nilai-nilai agama itu kepada anak-anak di rumah. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Agama kami Kristen. Makna agama yang kita anut itu banyak. Kita hidup ini kan susah, jangan kamu kira gampang loh, hidup kita ini kan merantau, kampung halaman kita kan sesudah meninggal. Nah itu kota kita, bukan yang kita diami sekarang ini. Walaupun penduduk disini, kita tetap penduduk sorga kelak. Seperti bapak ini kan sudah berumur 57 tahun, apalagi yang bapak cita-citakan selain daripada surga? Ya kan nak? Bapak dulu supir ke semua kota nak, bandung, surabaya, lampung, jakarta, dll. Sekarang untuk hal- hal seperti itu, tinggal perasaan bapak saja yang kuat namun tenaga sudah kurang. Jadi serahkan saja semua sama Tuhan, biarlah Tuhan yang memberkati.” Kepercayaan yang dianut oleh Bapak Dedep Milala adalah Kristen Protestan. Sesuai paparan jawaban Bapak Dedep, apapun yang dikerjakan dan diusahakan di dalam dunia yang hanya sementara ini, tidak akan kita bawa mati. Karena kampung halamannya menurut kepercayaan yang dianutnya adalah bersama Tuhan Yesus di Surga kelak. Makna agama pun bagi Bapak Dedep sangatlah banyak. Dia hanya mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan. Sebenarnya beliau banyak bercerita bagaimana pengalamannya selama berpuluh- puluh tahun menjadi supir lintas provinsi. Bagaimana beliau berserah kepada Yang Maha Kuasa dalam segala hal yang dikerjakan. Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana nilai agama itu diwariskan kepada anak-anak yang sudah dikaruniakan kepada keluarga Bapak Dedep. Beliau mengakui ada sedikit kesalahan dan kelainan dari dirinya sendiri sebagai seorang bapak yang bekerja sebagai supir, dibandingkan dengan kepala keluarga lainnya. Namun beliau tetap bersyukur telah dipercayakan 4 orang anak dalam keluarganya. “Aku bersyukur nakkuh, kami diberikan Anak 4 orang, 1 lagi lajang, 3 orang sudah menikah. Kalau soal mengajari anak nilai agama itu, ada sedikit kesalahan memang sama bapak, karena aku jarang kali dirumah, karena memang jadi supir itu adalah sangat susah kan, kesana kemari. Satu pun anak bapak ini tidak ada yang sekolah tinggi. Bapak usahakan nak, tapi kalau memang niat mereka tak ada, mau gimana lagi? Anak bungsu ini kelass 1 SMP berhenti sekolah, yang diatasnya SMA kelas dua udah kawin, yang nomor dua tamat SMP gak mau melanjut, yang pertama itu tamat SMA langsung kawin. Aku sudah disini mulai tahun 1977, tetapnya disini mulai tahun 2010 lah, ke Gereja aja bapak sangat jarang. Kadang-kadang nak, masih baru sampai di rumah sudah harus berangkat lagi. Jadi benar- benar tidak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ada waktu yang cukup untuk menanamkan nilai agama pada anak. Terkadang pun nak kuh, kalau ada waktu menginap dirumah entah satu malam dua malam, bapak tidak bisa mendidik anak-anak dengan sepenuhnya, karena kan memang udah capek dari kerjaan, sementara esoknya sudah berangkat lagi. Jadi anak-anak saya serahkan sama ibunya. Sejauh ini saya perhatikan, anak-anak saya ini baik-baik kok, sekalipun mereka tidak takut sama ibunya, maksud bapak tidak setakut mereka ke bapak, tapi mereka semua mendengarkan nasihat ibunya kok. Saya percayakan saja kalau mendidik dan mengajar itu kepada ibunya.” Dengan kondisi yang sangat jarang di rumah, dan mengakui kekurangannya sebagai seorang ayah yang seharusnya mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama kepada anak bersama dengan isterinya, peneliti bisa melihat kalau sebenarnya keluarga bapak Dedep ini kurang kuat dalam hal mewariskan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Peneliti pun kembali memintai pendapat bapak Dedep tentang perkawinan beda agama di luar kepercayaan yang dianut keluarga. “Itu saya ada prinsip nak kuh “asal mereka sama-sama senang, yasudah tidak ada masalah”, bagi bapak, mau orang apa pun diambilnya gak masalah. Toh bukan saya yang kelak jadi kawannya, kan kawan anakkunya nanti itu, kenapa harus saya campuri? Walaupun berbeda agama, bagi saya tidak masalah. Tapi kan yang pasti saya sudah katakan sebelumnya sama anakku, kalau dia itu orang kristen, ya kalau dia dapat yang beda agama, berarti itu kan jodoh dia nak kuh. Namun sejauh ini sih, anak bapak yang sudah menikah kan ada 3 orang, semua diberkati digreja. Makanya bapak selalu sigap mengurus semua surat-surat anak bapak ini dari gereja. Setelah diberkati, dia mau ke agama mana pun bagi bapak tidak masalah, asalkan dia dan isterinya sama-sama senang. Samanya kami sama bibimu ini, gak masalah buat kami itu.” Secara keseluruhan pemaparan Bapak Dedep tentang perkawinan beda agama itu, peneliti menemukan bahwa Bapak Dedep dan Ibu Sitepu tidak mempermasalahkan pernikahan yang berbeda agama, seandainya hal seperti ini terjadi pada anaknya sendiri. Karena pun memang prinsip yang dipegang oleh bapak itu sendiri adalah “asal mereka sama-sama senang, gak masalah buat kita.” Selanjutnya, peneliti mulai menanyakan tentang nilai-nilai yang ada dalam budaya yang dipegang teguh oleh informan. Seperti yang diungkapkan oleh Bertens 2004 bahwa tidak ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. “Sebenarnya nak kuh, nilai yang ada dalam budayamu sama dengan nilai yang ada dalam budaya bapak, gak ada bedanya. Pastinya harus saling menyayangi dalam keluarga kan nak? Jangan lupa dengan agama, dimana kau tinggal buat orang tuamu disitu, maksudnya cari orang yang semargamu, itulah yang kau anggap orang tuamu, gitu nak ku. Memang kalau di kami ini nak kuh, gak sekental dan sehormat orang batak Toba kalau soal adat istiadat dalam perkawinan itu sendiri. Misalnya kek di Toba sana kan, ada yang namanya “Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru,” kalau di kami ini tidak terlalu dipentingkan itu. Selanjutnya nak, kami Karo ini tidak mengenal yang namanya Ulos seperti orang Toba itu, yang diuloskan ke pengantinnya banyak-banyak. Adat kami itu cukup hanya Kain Panjang yang diberikan ke pengantin, tilam, tikar, lampu dan piring.” Jadi kami tidak ada istilah kasih ulos atau mangulosi seperti kalian batak Toba itu, kalau kami cukup datang ke pesta kasih sebisa mungkin duitnya, misalnya Rp. 20.000 cukup itu saja nak.” Seperti itulah Bapak Dedep menjelaskan kepada peneliti. Sebelumnya memang beliau sudah mengatakan kepada peneliti bahwa beliau kurang mengerti dan paham tentang adat budaya Karo itu sendiri secara menyeluruh, sekali pun beliau adalah orang Karo Asli. Bahkan lebih lanjut lagi, beliau katakan kalau budaya itu hanya sebatas melekat pada pribadi bapak dan bibi itu saja, bahkan mulai memudar ke anak-anak. Beliau menjelaskan pandangannya terhadap perkawinan campuran antara batak Karo dan Batak Toba. “Kalau istilah perkawinan campuran dengan batak Toba, mungkin yang lebih saya soroti itu biayanya yang sudah sangat tinggi. Modal harus besar kalau mau menikah dengan adat Batak Toba. Tukur di Batak Toba atau harga dari si perempuan itu kan tinggi kali, beda dengan kami orang Batak Karo. Udah gitu, kalau di Batak Toba ini kan harus kasi Ulos sama semua, itu aja udah sampai lima jutaan, udah gitu kalau di Toba itu setahu bapak pesta itu dilaksanakan di tempat si laki-laki kan? Beda dengan adat kami orang batak Karo ini, pesta adat itu harus di tempat atau dipihak si perempuan. Kalau di adatnya ya sama seperti kita batak Toba, pasti dikasi petuah kan sama orang- orang tua di kampung itu. Kalau seperti saya sendiri, seandainya anak saya pacaran dengan orang batak Toba misalnya ke Samosir sana, bapak pasti bilang sama dia, apa yang kau kejar dari anak gadis itu? kalau toh sama-sama ke ladangnya, yasudah ambil anak perempuan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sini sajalah. Jadi sama bapak sendiri, tidak ada masalah kalau anak saya pacaran atau menikah dengan orang mana pun. Karena anak itu bukan kita yang ciptakan, rejeki dan jodohnya ada di tangan Tuhan. Kita hidup ini kan hanya yang di atas yang tahu. Kita kan merantau ke dunia ini.” Tapi kalau kam bilang nikah atau pacaran anak orang Karo sama orang Sunda, atau suku jawa yang lainnya, barulah bapak keberatan nak kuh, karena orang sunda ini misalnya, musuh berat Karo ku rasa sembari tersenyum, karena kebanyakan mereka itu tidak beres cara berpikirnya. Kalau sama Batak Tobanya nak kuh senang kali pun aku. Karena prinsip orang batak Toba yang bapak lihat itu tidak suka menganggur atau bermalas-malasan di rumah, mereka itu pekerja keras, giat. Sekalipun tadi bapak bilang tentang biaya tinggi atau modal tinggi untuk menikah dengan orang batak Toba, bapak pasti berjuang dan berusaha, menjual ladang pun tidak masalah. Di Desa Surbakti ini sudah banyak orang Batak Karo yang menikah dengan Batak Toba nak kuh, kenapa itu bisa terjadi? Karena memang dimusyawarahkan, ada kesepakatan. Misalnya dikampung ini selalu dua kali adatnya dibuat. Sebelum makan siang adat Karo dulu, setelah makan siang masuk adat Batak Toba, jadi adil kan. Satu lagi prinsip yang bapak tanamkan sama anak-anak itu adalah jangan sampai menikah dua kali.” Prinsip yang dipegang teguh oleh Bapak Dedep sendiri adalah tidak melarang anaknya untuk menikah dengan suku Batak Toba, asalkan tidak menikah dengan orang sunda atau suku jawa lainnya. Karena bagi beliau yang menjadikan anak adalah Tuhan, dan yang tahu rejeki serta jodoh anak pun hanya Tuhan, untuk apa dilarang. Bahkan dalam hal lambang, yaitu bahasa pun, beliau tidak masalah. Beliau mengatakan bahwa kesepakatan akan membawa berkat. “Aku nak kuh, dari kelas satu SMP di Sidikalangnya aku sekolah, semua bisa kita pelajari kok nak kuh, aku aja banyak tau bahasa batak Toba, yang penting kita mau belajar. Memang jelas beda kali pun bahasa kita, lambang-lambang dalam adat budaya, tapi kan itulah yang perlu didiskusikan bersama, disepakati bersama. Jadi bahasa buat bapak tidak masalah, bisa dipelajari. Kalau masih susah, ya pakai bahasa indonesia kan bisa.” Kemudian bapak Dedep kembali menjelaskan seperti yang diungkapkan oleh Liliweri 2004, bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma yang berlaku, sistem budaya dan karakter budaya dari lawan bicara kita. Beliau berbagi banyak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara hal tentang pandangannya terhadap orang Batak Toba serta pengalamannya selama bertahun-tahun dengan orang Batak Toba. “Tadi kan bapak bilang kalau bapak dulu lama tinggal di Sidikalang, mulai dari kelas 1 SMP bapak di Sidikalang. Bersahabat sama orang Batak Toba mayoritas kan? Tapi aku suka. Sejak kecil pergaulanku sudah sama orang Batak Toba. Sebenarnya banyak orang yang bilang kalau orang Batak Toba ini kasar dan keras. Padahal kalau menurut bapak sendiri, orang Batak Karo pun banyaknya yang kasar dan keras, orang Jawa pun banyak yang kasar dan keras. Menurut bapak gak ada istilah “orang Batak Toba kasar dan keras” nak kuh. Sebenarnya dibilang kasar dan keras karena memang merantau dari kampung itu dengan tangan kosong tanpa modal, bisa dibilang kalau secara alam, lebih kaya nenek moyang orang Batak Karo daripada Batak Toba. Orang Batak Toba itu nak kuh Bertanggung jawab penuh terhadap keluarga, pekerja keras, tidak gengsian walaupun dibilang orang dia inang-inang sambu, dia tidak peduli, yang penting keluarga bisa bahagia, kebutuhan anak tercukupi, dan satu lagi bagi orang Batak Toba yang menganut kepercayaan tertentu, Kristen misalnya, yang bapak perhatikan selama ini tekun beribadah. Gak ke ladang hari minggu. Kalau kami oraang Batak Karo ini beda nak kuh, poin-poin yang bapak bilang untuk orang Batak Toba tadi kurangnya untuk Batak Karo. Kalau Batak Karo ini nak kuh, gengsian orangnya, lebih malasnya orang batak Karo daripada Batak Toba.” Pandangan Bapak Dedep terhadap pernikahan campuran Batak Karo dengan Batak Toba jelas tidak kaku, sekalipun berbeda agama. Karena persepsinya terhadap Batak Toba pun tidak menjadi penghalang baginya. Bagi beliau yang paling penting jangan menikah dengan orang diluar Batak, misalnya Jawa, Dayak, dll. Satu hal lagi jangan sampai menikah dua kali. Demikianlah wawancara peneliti dengan Bapak Dedep Milala. Kasus Kedua Nama : Bapak Olet Sitepu Ibu br Ginting Umur : 68 Tahun 58 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Keluarga ini adalah keluarga yang sebelumnya sudah dikenal oleh peneliti, bahkan peneliti sendiri diijinkan tinggal di rumah keluarga Bapak Sitepu dan Ibu br Ginting di Desa Surbakti ini selama penelitian berlangsung. Sebenarnya Bapak Sitepu ini, pernah saya dengar dari putrinya sendiri adalah salah satu sosok ayah yang melarang anak-anaknya untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba. Beliau adalah sosok yang cukup keras dengan pendirian dan pendapatnya. Bapak dan Ibu ini adalah pensiunan dari Perawat. Keseharian mereka kebanyakan dihabiskan dengan berladang dan berusaha kos-kosan di Medan. Namun pada hari kedua di Desa Surbakti, peneliti melihat Bapak dan Ibu ini tidak seperti biasanya langsung ke ladang pagi sekali. Kemudian peneliti mencoba menanyakan hal itu kepada kedua orang tua ini, dan memang benar mereka tidak berladang hari itu juga. Peneliti pun langsung memberitahukan niatnya kepada Bapak dan Ibu ini, utuk mengadakan wawancara atau berbagi tentang adat budaya. Dengan senang hati mereka bersedia untuk peneliti wawancarai. Sembari tersenyum, Bapak Sitepu dan Ibu br Ginting mempersilahkan peneliti untuk duduk bersama mereka. Di ruang tamu yang cukup luas, udara yang dingin karena angin yang berhembus, dan ditemani suguhan secangkir teh manis di pagi hari, cukup menambah kahangatan suasana pada saat itu. Bapak Sitepu dengan jaket kulit berwarna hitam yang masih melekat di badannya, lengkap dengan kaca mata cokelat miliknya, sementara Ibu br Ginting juga masih dihangatkan oleh jaket rajutan berwarna hijau, lengkap dengan syal berwarna abu-abu. Peneliti mulai bertanya kepada informan, bagaimana mereka bisa bertemu, bagaimana keluarganya dan berapa anak yang dikaruniakan Tuhan dalam keluarga mereka. Orang tua Bapak Sitepu ini sebenarnya di Kabanjahe, beliau disekolahkan menjadi seorang perawat. Beliau lahir dari keluarga yang bisa digolongkan dengan keluarga yang otoriter. Sebenarnya sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan Ibu br Ginting ini, Bapak Sitepu sudah punya seseorang yang berasal dari Batak Toba. Namun ayah dari beliau melarang keras untuk berhubungan dengan perempuan yang berasal dari Batak Toba tersebut. sejak itulah beliau mulai mencari seorang perempuan yang memang satu suku Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dengan dia, supaya mendapat restu dari orangtuanya. Bertemulah beliau dengan Ibu br Ginting. Tidak selama menjalin hubungan dengan perempuan yang berasal dari Batak Toba itu, Bapak Sitepu menikahi Ibu br Ginting. Mereka sangat bersyukur sudah dipercayakan anak sebanyak empat orang. Ketika peneliti mulai melihat situasi dan kondisi dari informan yang sudah cukup rileks, peneliti pun memulai menanyakan kepercayaan yang dianut dan maknanya bagi mereka, serta bagaimana sebenarnya nilai yang ada dalam kepercayaan yang mereka anut itu ditanamkan kepada anak-anak. Mangingat bahwa kepercayaan juga akan mempengaruhi cara berpikir dan cara pandang kita terhadap sesuatu, karena agama itu mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga Lubis, 2012. “Bapak sama ibu disini nak memeluk kepercayaan Kristiani. Kami agama kristen nak kuh. Bahkan kalau disinggung mungkin sedikit tentang masuknya agama ke Karo ini, masih jauh lebih dulu Tapanuli dibanding kami di Karo ini nak kuh, tetapi ketika Injil itu masuk ke Karo ini, dan kita dengar dan diajari orang tua juga dulunya, ya dari situlah lahir iman kepada Yesus Kristus. Kami gereja di GBKP nak kuh. Jadi kalau menurut bapak dan ibu disini, kami katakan kami percaya kepada Yesus Kristus, berarti hal yang mendasar itu haruslah saling mengasihi sesama manusia, kan sama-sama ciptaan Tuhan. Kalau soal menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak ini, kami bekerja sama dengan bibimu ini mendidik mereka sesuai dengan ajaran agama kami. Nilai yang paling penting dalam agama kristen itu kasihi Tuhan dan kasihi sesamamu manusia, Tuhan adalah Allah, jangan ada yang memegahkan diri, kan gitu nak kuh. Jadi dari kecil, mereka ini selalu bapak ajari dan bibimu didik untuk mengenal Tuhan. Karena kalau sudah kenal Tuhan, dengan sendirinya dia akan tahu apa yang baik yang harus dikerjakan. Sekalipun kita diberkati Tuhan dengan segala hal yang berkecukupan ini nak, kami selalu didik anak- anak ini untuk tidak pernah sombong, karena semua itu berasal dari Tuhan. Kemudian setelah beranjak remaja, bapak sama bibimu ini selalu menekankan dan mengingatkan untuk tetap gereja di GBKP, jangan jadi lari aliran, gitu dia nak kuh. Ada kakak ndu ini satu orang kuliah di USU di Medan, sering dia itu ke gereja kharismatik, bapak selalu arahkan dia itu nak. Bapak ijinkan dia kesana, tapi tetap kembali ke dasar, back to basic istilahnya. Karena itu jelas sudah beda aliran dengan GBKP, kalau untuk menambha wawasan kan tidak apa, menambah susana baru tidak apa, yang penting jangan jadi dibaptis disana nantinya.” Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Dengan semangat bapak dan ibu ginting menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Namun tidak hanya berhenti dalam hal nilai agama, penerapannya dan maknanya saja. Selanjutnya peneliti menanyakan pandangan bapak dan ibu terhadap pernikahan dengan beda agama. Ketegasan bapak dan ibu pun tampak dalam menjawab pertanyaan peneliti. “Kalau dari Bapak dan bibi disini nak kuh, katakan tidak untuk yang beda agama. Apa pun dibilang itu, kalau yang namanya beda agama tidak ada enaknya, tidak ada kesatuan hati nak kuh. Udah jelas itu, siapa pun dia, tidak akan ada kesatuan hati dan pikiran kalau beda agama. Sesama agama saja belum tentu nyaman dan bersatu, apalagi beda agama kan? Bapak dan bibi di rumah ini, selalu memperdengarkan itu ke anak-anak disini, bahkan ke cucu juga, supaya kelak tidak menjalin hubungan lebih dengan orang yang beda agama. Selalu kami tekankan itu nak. Saya rasa semua orang tua pasti melakukan hal yang sama untuk anak-anaknya. Kalau bapak secara pribadi nak, untuk sesama kristen saja bapak tidak asal merestui hubungan anak-anak bapak ini. Maksud bapak gini, kalau ada anak bapak ini nanti misalnya berhubungan dengan seseorang yang beragama kristen juga namun alirannya beda dengan GBKP, bapak tidak akan setuju, misalnya gereja kharismatik itulah, ke Khatolik juga bapak tidak setuju nak kuh. Memang sih tadi bapak bilang harus saling mengasihi sesama manusia, kan semua sama-sama ciptaan Tuhan, tetaapi beda halnya dengan beda agama ini nak. Kalau dibilang beda agama, bikin susah itu namanya. Nilai pasti langsung jauh berbeda kan? Makanya kalau bapak dan bibi disini, kami selalu mengarahkan anak-anak kami, kasi pandangan kepada mereka semua tentang kepercayaan yang kita anut, supaya tidak asal kristen saja. Kalau bapak dan bibi tau, ada dari antara mereka yang pacaran dengan beda agama jelas bapak dan bibi melarang, kita pasti langsung arahkan anak kita, sebelum melangkah lebih jauh lagi, gitu nak kuh.” Bapak sitepu dan juga ibu ginting dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pernikahan yang beda agama. Karena menurut mereka beda agama itu tidak akan ditemukan kesatuan hati dalam hal apa pun, dikarenakan nilai yang ada dalam setiap agama pasti berbeda. Bahkan peneliti pun disarankan untuk menikah dengan sesama agama saja. Terkait dengan adat budaya dari informan, peneliti menanyakan bagaimana nilai-nilai yang ada dalam adat budaya mereka. Bapak Sitepu dan Ibu Ginting dengan kompak menuturkan suara hati mereka mengenai nilai adat budaya Karo itu sendiri. Mereka juga Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara menjelaskan bagaimana menerapkan atau mewariskan nilai-nilai adat budaya Karo itu kepada anak-anak. “Sebenarnya hampir samanya semua dengan adat budaya Batak Toba nak kuh, kalau kami orang Batak Karo itu harus sopan sama Kalimbubu hula-hula dalam bahasa batak Toba, senina, artinya menjaga persaudaraan yang baik dengan saudara-saudara kita, dan bisa mengambil hati Berunya, itunya nak. Kalau sudah dilaksanakan ini, itulah orang yang memang benar-benar beradat. Satu hal lagi, kalau dia orang beragama, pasti dia orang beradat. Kalau nilai yang lain yang kami pegang itu, menantu itu tidak diperbolehkan berbicara langsung dengan mertua, harus ada yang memediasi. Tetapi sekarang sudah mulai memudar nak kuh. Jadi ini nilai yang sangat perlu kita tanamkan kepada anak-anak, kalimbubu itu apa artinya dan siapakah mereka itu, senina itu bagaimana, beru itu bagaimana? Supaya anak- anak itu kelak tahu silsilahnya, tahu bagaimana tarombonya dan yang paling penting tahu apa dan bagaimana posisinya dalam suatu pesta adat. Di rumah bapak sering mengajari dan mendidik mereka soal adat budaya Karo ini, selain itu juga budaya kan bisa tampak dari perilaku kita setiap harinya, kemudian bapak sendiri mengajak anak-anak bapak ini ke pesta atau acara adat gitu, kan ada musyawarahnya itu. Terutama bagi anak laki-laki ya, di acara adat itu bapak suruh dia memperhatikan, kalau ada hal yang tidak dimengerti ditanya sama bapak, gitu dia nak. Misalnya abangmu inilah, dari dia lajang sudah bapak ajak dia ke acara adat gitu, supaya dia belajar. Sekalipun lajang, harus pahamlah adat budayanya sendiri. Anak-anak bapak yang perempuan juga mau bapak sama bibi ini mengajaknya ke pesta, supaya sama-sama belajar disana. Bibi dan bapak juga mengajak anak- anak ini ke Pesta Tahunan, disitu kita bisa tunjukkan kepada anak- anak yang mana kalimbubu, senina, beru itu tadi. Karena kalau di kami Orang Karo itu, Pesta Tahunan itu adalah suatu pesta adat besar yang dihadiri seluruh keluarga besar juga. Tetapi Anak-anak zaman sekarang sudah banyak yang tidak peduli dengan adat istiadat juga budaya nak kuh. Hal ini disebabkan semakin banyaknya tuntutan hidup, waktu hanya digunakan untuk mencari duit, tidak lagi mau datang ke acara adat untuk belajar. Jangankan anak-anak muda sekarang, orangtua pun sekarang ini sudah banyak yang tidak memegang teguh adat istiadat itu, tidak paham gitu nak. Bagaimana dia bisa menerapkan dan mengajarkan itu kepada anak-anaknya kan?” Bapak Olet Sitepu dan ibu Ginting cukup banyak bercerita tentang nilai yang ada dalam budaya mereka, dan juga hal yang mereka lakukan supaya anak- anak mereka kelak paham dan mengerti budaya itu. Peneliti semakin penasaran dan mulai bertanya apa pandangan Bapak Sitepu dan Ibu Ginting terhadap Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pernikahan campuran antara Batak Karo dengan Batak toba. Informan langsung menarik ke keluarga mereka. Beliau langsung mencontohkan anaknya yang mengalami peristiwa itu. Secara halus mereka menolak adanya perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba. “Dari awal memang bapak katakan tadi harus saling mengasihi sesama manusia, tidak pandang bulu, gitu ya nak. Namun untuk kasus ini beda. Bapak tidak setuju apabila anak bapak pacaran dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba. Selama ini bibi dan bapak selalu kumandangkan itu dirumah supaya kelak pacaran atau menikah dengan sesama suku Batak Karo saja, jangan dengan Batak Toba. Hal itu dikarenakan, yang pertama, komunikasi yang tidak saling memahami, karena bahasa yang berbeda, itu bikin susah. Apa yang ingin kita inginkan tidak paham bagaimana menyampaikannya dalam bahasa Batak Toba. Kemudian yang kedua adalah tanyakan dia berasal dari agama apa? Bagi bapak secara pribadi, agama itu sangat penting. Seperti yang bapak jelaskan tadi kan nak, bapak setuju hanya sesama kristen yang satu aliran, seperti GBKP, HKBP, GKPS, GKPI. Kalau sudah beda aliran ke kharismatik, seperti GKII, GBI, GPdI, bapak dan bibi tidak setuju. Dan yang ketiga adalah tidak adanya kesesuaian adat istiadat. Berbeda jauh adat kita, walaupun ada sedikit-sedikit persamaannya nak. Bapak misalkan pesta pernikahan. Kalau kami orang Karo, pesta nikah itu harus diadakan di tempat si perempuan, jelas beda dengan Batak Toba yang pada umumnya diadakan di tempat si laki-laki. Kalau menurut bibi nak kuh, budaya dan adat Batak Toba ini sangat rumit, banyak sekali permintaannya. Lebih irit biaya pesta adat di Karo daripada Batak Toba. Tukur atau harga sinamot untuk Batak Toba itu sangat tinggi, padahal belum lagi biaya pestanya kan? Bisa habis orang Karo kalau menikah dengan orang Batak Toba. Kasih Ulos lagi sama semua. Walaupun sebenarnya bibi tidak terlalu mempermasalahkan biaya sih, tapi itulah ribetnya adat budaya Batak Toba ini, jadi kurang sesuaai di hati, karena pun kita gak ngerti. Kalau ke suku lain misalnya kan nak kuh, kek Batak Simalungun, kami masih ada kesesuaian adat. Lantara bapak ini dulu gitu nak, dulu dia pacaran dengan orang Batak Toba, namun dilarang sama bapaknya dulu. Jadi bapak ini pun mengarahkan anaknya seperti itu.” Itulah yang menjadi alasan bagi Bapak Sitepu dan Ibu Ginting, mengapa mereka melarang anak-anaknya pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba. Namun peneliti masih bertanya ada apa dibalik ketidaksetujuan mereka. Apakah memang hanya karena tiga faktor yang sudah disebutkan sebelumnya atau ada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara faktor lain yang mempengaruhi? Selanjutnya informan menjelaskan pandangannya terhadap orang Batak Toba. “Sudah bapak bilang tadi kan, bapak waktu sekolah banyak bergaul dengan orang Batak Toba nak, memang sih sedikit kasar. Tetapi itu sebenarnya bukan sifat lahir mereka, tapi pengaruh lingkungan yang membentuk. Kalau dalam lingkungannya banyak kedai tuak, lingkungan keras dan kasar seperti itu yang membentuk dia jadi seperti itu nak. Gak semua kok orang Batak Toba kasar dan keras. Kebanyakan orang Batak Toba ini menurut bapak dan bibi juga penjorok. Pemarah juga adalah sifat Batak Toba dominan, misalnya di pesta adat, kalau ada pembagian jambar bagian berharga, dan namanya tidak dipanggil, pasti langsung marah saat itu juga. Jadi terkesan gila hormat gitu nak kuh menurut bapak. Tetapi bibi dan bapak juga melihat banyak kelebihan orang Batak Toba ini, tidak gengsi, yang penting makan, kalau orang Karo itu gengsian. Ada kekompakan dan kontak darah dengan sesama orang Batak Toba. Misalnya diperantauan, sekali dia tahu kita orang Batak Toba juga, dia pasti langsung menganggap kita seperti saudaranya kandung. Karo mana ada seperti itu. Saling membantu di orang Batak Toba itu juga sangat tinggi. Orang Batak Toba juga terkenal dengan kesopanan dan kehormatannya dalam hal adat istiadat. Orang Batak Toba itu nak kuh, pada umumnya tau diri. Kalau dilihatnya orangtuanya susah dikampung, paasti ada inisiatif tamat SMP langsung merantau, dan berjuang keras untuk sukses di perantauan. Prinsip mereka kuat, tidak pulang kampung sebelum sukses. Kalau orang Karo nak, tamat SMA okelah dia merantau, tapi kalau di Jakarta misalnya susah, dia malas untuk berjuang, pasti langsung balik kemari. Pemikiran orang Batak Toba yang selalu memikirkan kemajuan dan peningkatan itu luar biasa, kalau anak-anak Karo ini mana ada pada umumnya yang berpikir seperti itu.” Dalam hal pendidikan, Bapak dan Ibu ini tidak membedakan bagaimana prinsip pendidikan di Batak Tobaa dan di Batak Karo. Menurut mereka kedua suku ini pasti sama-sama menjunjung tinggi pendidikan anaknya, mengutamakan sekolah anaknya sebisa mungkin. Pribadi Bapak Olet Sitepu dan Ibu Ginting adalah pribadi yang menjunjung tinggi pendidikan anaknya. Anak mau sekolah kita siap. Itulah prinsip dari bapak dan ibu Ginting. Bahkan sampai menjual ladang pun tidak masalah bagi mereka, asalkan anak ada kemauan bersekolah. Dengan berakhirnya peneliti menanyakan pandangan informan terhadap Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pendidikan anak, maka berakhir jugalah wawancara dengan Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting sebagai informan. Awalnya peneliti merasa sangat segan dan sungkan untuk mendatangi warung tersebut dengan tujuan mencari seorang kepala keluarga yang sesuai kriteria peneliti, yang bersedia untuk diwawancarai. Namun dengan keberanian serta semangat, peneliti melangkahkan kaki ke dalam warung. Semua mata tertuju kepada peneliti. Kebetulan ada seorang Bapak yang duduk di kursi dekat pintu masuk warung, memakai kaus berkerah berwarna biru dan rompi kulit berwarna hitam, lengkap memakai topi. Beliau berkulit sawo matang, dengan kumis tebal dan janggut yang tipis. Beliau langsung melemparkan senyuman yang hangat seakan menyambut peneliti dengan senang hati. Signal itu pun ditangkap oleh peneliti, dan peneliti pun langsung mendekati bapak tersebut, serta mulai membuka pembicaraan. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa tersebut. Awalnya informan menolak untuk diwawancarai Kasus Ketiga Nama : Bapak Regina Sinulingga Ibu br Ginting Umur : 52 Tahun 48 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Bapak Regina adalah informan ketiga yang diwawaancarai oleh peneliti. Wawancara ini berlangsung pada sore hari sekitar pukul 15.00 wib. Sebelum bertemu dengan bapak Regina, peneliti mencoba mendatangi beberapa rumah warga di desa itu. Ternyata tak satu pun warga yang sesuai dengan kriteria peneliti ada di rumah. Menurut cerita beberapa warga, pagi sampai sore memang waktu akan dihabiskan untuk berladang. Mereka menyarankan supaya peneliti mengadakan waawancara itu pada malam hari saja. Desa Surbakti memang sangat sepi saat itu. Ketika peneliti mencoba menyusuri setapak demi setapak, peneliti sedikit kaget melihat sebuah warung kopi yang cukup diramaikan oleh kaum Adam. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dan menyarankan peneliti untuk mewawancarai penatua adat di desa tersebut. Beliau mengatakan bahwa dia tidak banyak tahu soal adat budaya. Semangat peneliti tidak hilang, peneliti mencoba menjelaskan kalau hal yang diwawancarainya bukan sepenuhnya berbicara mengenai adat budaya. Setelah itu barulah informan mau memberikan waktu dan setuju untuk diwawancarai. “Oh, jadi kam mau wawancara ke Surbakti ini nak kuh? Emangnya wawancara apa itu? kok sampai jauh kesini dari Medan sana? Oh, masalah adat Batak Karo dan Batak Toba? Kalau gitu lebih baik kam wawancara saja dengan penatua adat disini, supaya lebih lengkap nantinya nak kuh, kalau bapak tidak banyak tahu tentang adat budaya ini, nanti jadi susah skripsimu itu. selain penatua adat, Sekretaris Desa ini atau Kepala Desa gitu. Baiklah nak, kalau memang tidak sepenuhnya yang kam tanya itu tentang adat budaya, okelah bapak bersedia untuk kam wawancarai nak, bapak akan jawab seadanya dan sejujurnya.” Sebagaimana telah dipelajari oleh peneliti mengenai tehnik wawancara mendalam sebelum terjun ke lapangan, bahwa peneliti tidak boleh memulai untuk langsung masuk ke topik sebenarnya sebelum keadaan santai dan rileks. Hal ini supaya informan yang akan dimintai keterangan lewat wawancara tidak merasa terpaksa untuk menjawab berbagai pertanyaan peneliti. Untuk itu peneliti pun mulai memancing informan, Bapak Regina, untuk bercerita tentang keluarganya. “Bapak marga Sinulingga, biasa dipanggil Pak Regina, kalau bibi boru Ginting nak. Kami diberkati di GBKP Gereja Batak Karo Protestan, kami agama Kristen Protestan. Sampai saat ini kami tetap bersyukur kepada Tuhan yang telah mempercayakan dua orang anak di dalam keluarga kami, yah walaupun dua-duanya perempuan, tidak ada laki- laki, kami tetap bersyukur. Kakakmu ini dua-duanya di Medan sekolah nak kuh. Biasanya kan kita orang Batak ini, kalau tidak ada anak laki- laki langsung sedih. Kalau bapak dan bibi tidak demikian, karena anak itu kan pemberian Tuhan. Bapak sama bibi ndu nak, kerjanya berladang. Ada sepetak ladang kami nak kuh.” Setelah keadaan Bapak Regina sudah santai dan cukup rileks, terlihat dari caranya bercerita, maka peneliti pun mulai mengarahkan pembicaraan ke topik permasalahan yang diteliti. Seperti yang diungkapkan oleh Dedy Mulyana 2004 bahwa kepercayaan yang kita anut mempengaruhi cara kita berpikir dan memandang sesuatu. Peneliti pun menanyakan soal kepercayaan kepada Bapak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Regina serta maknanya bagi bapak itu sendiri. Bagaimana informan memandang sesuatu dengan didasari nilai agama atau kepercayaan. Beliau menjelaskan bahwa yang nilai yang paling penting dari kepercayaan yang dianutnya adalah Kasih. Saling mengasihi sesama manusia, tidak membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Bahkan ketika peneliti mencoba bertanya mengenai hubungan atau pernikahan yang berbeda agama, bagi beliau itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah perbedaan pandangan antara Bapak Regina dan Ibu br Ginting dalam menanamkan nilai agama kepada anaknya. Ibu br Ginting melarang anaknya untuk berhubungan dekat dengan orang yang berbeda agama. “Bagi saya sendiri secara pribadi, sudah bapak bilang kami ini memeluk kepercayaan Kristen Protestan, yang bapak ketahui bahwa inti dari orang kristen ini adalah kasih. Itulah nilai yang dipegang kuat oleh orang kristen. Termasuk saya sendiri, makanya saya tidak pernah membeda-bedakan manusia, baik dari segi suku, agama, atau apa pun itu, karena yang saya tahu bahwa saya harus mengasihi dia, kan sama- sama manusia ciptaan Tuhan. Ini nilai yang bapak ajarkan juga sama kakak mu yang dua orang ini. Bapak tetap arahkan supaya memegang teguh percaya kepada Tuhan. Kalau bagi bapak nak, seperti yang kam tanyakan itu tadi hubungan anak yang pacaran atau mungkin menikah namun beda agama, bagi bapak itu tidak menjadi masalah. Masalah seperti ini kan tergantung si laki dan si perempuan yang menjalin hubungan, kalau memang mereka ada kesepakatan, apa masalahnya? Yang namanya agama kan alirannya lain-lain, makanya harus kesepakatan antara kedua belah pihak. Koordinasilah mereka kemana mereka cocoknya. Kalau sudah dewasa kan anak bukan sangkut paut orang tua. Jangan karena paksaan orang tua, terjadi yang tidak tidak bagi anak. Bagi bapak, kalau mereka sama-sama saling mengasihi, ya sudah. Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada kami. Putri bapak yang pertama itu menjalin hubungan dekat, mungkin bisa dikatakan hubungan yang lebih dari sekedar temn dengan seseorang yang berasal dari agama lain. Ketika putri bapak itu cerita, bapak tidak terlalu peduli, asalkan mereka saling mengasihi satu sama lain, namun pandangan bapak beda dengan bibimu di rumah ini. kalau bibi melarang keras putri bapak itu pacaran dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan. Akhirnya hubungan itu pun diputuskan putri bapak tadi.” Demikianlah penjelasan Beliau mengenai pandangannya terhadap pernikahan atau hubungan dari segi beda kepercayaan. Kemudian peneliti mulai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara menggali pandangan Bapak Regina akan hubungan anak dengan seseorang yang berbeda suku dari segi beda suku. Beliau menjelaskan kembali nilai yang dipegangnya bahwa hidup itu harus saling mengasihi, tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Pemikiran yang melarang anak pacaran atau bahkan menikah dengan seseorang yang berasal dari suku lain, menurut Beliau adalah pemikiran yang sempit, sebatas desanya. Beliau menjelaskan prinsip yang dipegangnya mengenai teman hidup, bahwa Tuhan di atas segalanya. Tuhan sudah mnetapkan takdir dan menentukan jodoh kita masing-masing. Tidak ada istilah larang-melarang bagi Bapak Regina. “Sebenarnya itu tergantung orangnya nak kuh, orangtuanya itu. Menurut bapak orang tua yang cara berpikirnya seperti itu sih kurang luas, sempit hanya sebatas desanya mungkin nak cara dia berpikir. Manusia hidup di dunia ini kan sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, bahkan untuk jodoh sekali pun sudah ditetapkan oleh Tuhan. Gak mungkin keinginan orang tua kan? Mana bisa seperti itu, pasti kehendak Tuhan. Memang semua orang tua pasti menginginkan jodoh yang terbaik dan yang sempurna untuk anaknya. Jadi kalau bapak sendiri nak, tidak ada istilah seperti itu, kalau memang anak-anak saya ini berhubungan dengan orang yang lain suku, misalnya tadi suku Batak Toba, ya sudah itulah takdirnya, yang penting mereka saling mengasihi. Saya tidak mau memaksakan harus ini, harus itu, kepada anak-anak saya. Sekali pun mungkin dalam hati berharap ke sesama suku, tapi bapak tidak pernah mengutarakan itu kepada anak-anak kok. Kalau putri bapak menikah dengan orang Batak Toba, hal yang bapak soroti kemungkinan adatnya lah yang berbeda ya, kalau adat Batak Karo kan simpel saja, beda dengan adat Batak Toba yang cukup rumit, dilengkapi dengan silsilah yang berkelas-kelas itu, setiap marga punya nomor keturunan, bisa sampai puluhan dan semua itu harus diperhitungkan di pesta misalnya. Sementara kami di orang karo ini tidak demikian, cukup hanya hubungan antara marga. Adat kami itu singkat nak. Kemudian kalau di Batak Toba ini kan nak, tukur harga yang dibayar laki-laki kepada pihak perempuan sangat mahal, banyak sekali biaya. Kalau Batak Karo umumnya tukur itu sebesar Rp. 686.000,- cukup. Namun bagi bapak itu tidak jadi masalah, dari Batak Toba pun, yang penting jalannya benar. Makanya kalau menikah dengan suku lain, ya silahkan saja, tetapi harus saling belajar antara dua suku tersebut agar bisa saling memahami nantinya kalau ada acara adat, apalagi dalam hal bahasa kan? Ya harus mau belajar. Kalau di acara adat nikahnya nanti misalnya, ya supaya adil buat adat Batak Karonya, buat juga adat budaya Batak Tobanya, supaya masing- masing pihak sama-sama bisa menerapkan adat masing-masing. Orang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tua bapak pun dulu tidak ada istilah harus sesama orang Batak Karo, adik ku perempuan nikahnya sama orang Batak Toba kok.” Terkait dengan adat budaya antara Batak Karo dengan Batak Toba, beliau menjelaskan dengan panjang lebar tentang persepsinya terhadap orang Batak Toba. Beliau sudah sangat lama bergaul dengan orang Batak Toba. Pengenalannya terhadap sifat dan adat istiadat orang Batak Toba itu cukup baik. Kekentalan persaudaraan dan persahabatan orang Batak Toba adalah salah satu hal yang dikagumi oleh beliau. “Saya sudah bergaul dengan orang Batak Toba selama 12 tahun, lebih banyak teman kami orang Batak Toba daripada Karo. Kami hanya ada dua orang suku Batak Karo. Karena kami saling menjiwai, kami tidak dianggap orang lain lagi, kami dianggap seperti saudaranya. Memang kalau ku perhatikan dari segi bahasa, orang Batak Toba ini terlampau kasar bahasanya. Misalnya, kalau di kami orang Batak Karo ini tidak bisa bilang “kau” ke orang tua, harus “kam”, lebih lembut kalimatnya. Sementara kalian Batak Toba itu kan, ke orang tua pun bilang “Ho kau”, sangat kasar kedengarannya. Namun orang Batak Toba ini, hubungan persaudaraan yang sangat erat, saling tolong menolong, apalagi kalau tahu sesama orang Batak Toba bertemu di perantauan. Batak Karo ini tidak seperti itu, malah orang Batak Karo ini sangat pendendam, sampai wafat pun diingatnya nanti sakit hati itu. orang Batak Toba kan tidak, kesusahan atau sakit hati cukuplah sampai hari itu saja. Pada umumnya seperti itu nak.” Adat budaya dari setiap suku mempunyai nilai masing-masing yang melekat dan dipegang teguh oleh setiap orang yang memeluknya. Peneliti mulai menanyakan masalah nilai-nilai budaya yang ada di dalam adat budaya Karo yang dipegang oleh bapak itu sendiri, serta bagaimana nilai itu bisa diwariskan kepada anak-anak supaya anak-anak pun kelak bisa mengerti dan paham akan adat istiadat yang dijunjung. Bukan hanya nilai dalam kebudayaan, tetapi juga nilai- nilai dalam keidupan. Namun beliau hanya menjelaskan beberapa nilai yang dipegangnya dari budaya sebagai orang Batak Karo. Salah satu yang paling penting bagi informan ini adalah menanamkan nilai “Sangkep Sitelu”, dan juga beberapa nasehat dan nilai kehidupan lainnya. “Bagi bapak, kalau dikatakan nilai dalam budaya kami Karo ini, bapak pegang kuat itu adalah Sangkep Sitelu, dimana kita itu harus hormat kepada Kalimbubu saudara laki-laki dari isteri saya, berhati-hati dan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tetap menjaga hubungan yang baik dengan saudara Senina, kemudian menghormati dan pandai mengambil hati menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Beru. Makanya bapak kalau dirumah, jika ada waktu, bapak mau menjelaskan kepada anak-anak siapa yang jadi kalimbubu, senina dan beru itu dalam keluarga kami. Supaya mereka kelak paham dan mengenali mereka satu per satu. Sama saya rasa seperti di Batak Toba, harus hormat kepada kalimbubu kan? Atau bahasa tobanya Hula-hula kan? Kalau kami disini, misalnya bapak nanti menikahkan putri bapak ini dengan seseorang, maka tukur harga yang diberikan anak laki-laki kepada perempuan yang akan dijadikan isteri ini ada persennya yang harus dibayarkan kepada Mamanya saudara laki-laki dari ibu sebesar dua per tiga dari tukur, kalau tidak mereka itu tidak akan mengakui pernikahan dari putri saya. Mereka itulah yang bapak sebut tadi dengan kalimbubu. Kemudian bapak senang dengan yang namanya impal, namun bapak tidak memaksakan itu, senang aja nak, tetapi bagi kami orang karo ini, gak boleh bapak yang minta itu, maunya bibinya yang menjodohkan anaknya dengan anak saya, gitu nak. Kalau bapak sendiri nak, tidak mendidik secara keras anak-anak ini, apalagi waktu mereka kecil, karena mereka pasti belum paham kan. Sejak masuk dalam usia remaja, barulah bapak mulai sering mengajari, menasehati dan mendidik mereka. Bapak selalu tekankan kalau kami adalah keluarga yang tidak punya apa-apa. Supaya mereka lebih mengahargai pengorbanan orangtuanya untuk menyekolahkan mereka. Istilahnya kita harus mempengaruhi pemikiran anak-anak kita itu untuk nilai- nilai yang baik.” Menurut Galvin dan Brommel 1991 dalam Lubis, 2012 bahwa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari keluarga. Namun bukan hanya dalam keluarga, sekolah tingkat pendidikan pun menjadi salah satu wadah untuk menanamkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima dalam kebudayaan, dan sikap kepada anak. Seperti yang dikemukakan oleh Samovar dan Porter 1993:16 dalam Lubis, 2012 bahwaa sekolah adalah organisasi sosiaal yang diberikan tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Peneliti mencoba menanyakan pendapat informan tentang pandangannya terhadap pendidikan. Beliau menjelaskaan bahwa pendidikan adalah sangat penting bagi anak, apalagi zaman sekarang. Bahkan beliau juga menjelaskan bahwa organisasi sosial seperti sekolah atau pendidikan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ini menjadi salah satu mobilisasi atau penggerak untuk membuka pikiran anak- anaknya, dengan cara berbaur dengan banyak orang yang berasal dari berbagai suku, tidak seperti di desa yang hanya menemui suku Batak Karo saja. “Orang tua pasti akan selalu mendorong anak-anaknya sebisa mungkin. Seperti itu juga bapak dan ibu disini, kami berusaha menyekolahkan mereka sampai mereka bisa mencapai cita-citanya. Prinsip saya dan bibi mu disini, sekalipun kami adalah orang yang tak punya, orang yang susah, sebisa mungkin kami akan menyekolahkan anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, supaya kelak mereka tidak susah seperti kami orangtuanya. Lagian sekolah itu kan bagus nak, keluar dari desa ini melanjutkan perguruan tinggi ke Medan itu kan bagus nak, supaya wawasan anak kita itu bertambah pastinya, tidak sesempit pemikiran orang desa. Luas nanti wawasannya, karena gak cuma orang kita karo lagi yang akan ditemuinya kan? Pasti dari berbagai suku ada di kota. Kalau kami selalu mendukung dan mendoakan anak-anak kami, Tuhan tau yang terbaik bagi mereka.” Wawancara dengan Bapak Regina pun berakhir setelah peneliti mendapatkan jawaban mengenai persepsi beliau sebagai orang karo terhadap pernikahan campuran atau mungkin hubungan anak pacaran anatar Batak Karo dengan Batak Toba. Sekitar pukul 19.00 wib peneliti kembali menyusuri Desa Surbakti ingin mengadakan wawancara dengan warga yang sesuai dengan kriteria peneliti. Ditemani rintik hujan yang tidak begitu deras dan juga semilir angin yang membuat suasana cukup dingin, langkah peneliti mendaratkan langkah kakinya di sebuah warung yang tidak jauh dari sebuah Los Jambur yang ada di Desa Surbakti ini. Dengan senyuman hangat Bapak Cinta Tami yang ternyata adalah pemilik warung kopi ini menyambut kehadiran peneliti disana. Sembari Kasus Keempat Nama : Bapak Cinta Tami Sinulingga Rawati Ginting Umur : 47 Tahun 43 Tahun Agama : Islam Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tersenyum beliau menanyakan peneliti ingin minum apa. Sambil menyuguhkan segelas teh manis hangat, beliau langsung duduk dihadapan peneliti. Beliau tampak berwibawa dari penampilannya. Kaos berkerah berwarna abu-abu, celana kain berwarna hitam, dan jaket kulit berwana hitam adalah busana yang dikenakan beliau malam itu. kulit yang tidak terlalu gelap, jidat yang cukup menonjol, dan juga kumis serta rambut yang cukup tebal, inilah ciri-ciri Bapak Cinta Tami Sinulingga. Tak lama kemudian peneliti dan Bapak Cinta Tami ini pun berkenalan. Beliau banyak bercerita tentang prinsip hidup dan pengalaman pribadinya. Beliau adalah pribadi yang tidak mau patah semangat dan selalu bekerja keras untuk meningkatkan kemajuan dan memperbaiki taraf hidupnya. Beberapa kali beliau mencoba untuk duduk di kursi dewan, beberapa kali itu juga beliau gagal. Namun semangat tak pernah pudar, sampai akhirnya beliau menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Tanah Karo, dari golongan Partai PDI Perjuangan. Kedudukan itu sudah berakhir satu tahun yang lalu. Beliau juga adalah seorang Tokoh Agama, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat yang cukup dipercayai dan diakui oleh masyarakat khususnya warga Desa Surbakti. Keluarga ini adalah sebuah keluarga yang cukup rukun dan bahagia. Keluarga yang dikaruniakan anak sebanyak empat orang, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Keluarga ini memeluk agama Islam. Selain berwarung, yang menjadi sumber penghasilan mereka adalah berladang. Dalam kehidupannya, beliau selalu menanamkan semangat itu kepada anak-anaknya, agar kelak tidak gampang menyerah dengan keadaan. Setelah berkenalan dengan Bapak Cinta Tami Sinulingga, peneliti pun melanjutkan pembicaraan dengan menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa Surbakti dan menjelaskan apa sebenarnya inti dari permasalahan yang hendak diteliti. Peneliti mulai mengarahkan pembicaraan dan menyuguhkan beberapa pertanyaan pembuka kepada informan, tentang kepercayaan yang dianut, maknanya dalam hidup serta nilai yang ada dalam kepercayaannya, dan bagaimana beliau menerapkan atau mewarisi nilai yang ada kepada anak-anak. Beliau menjelaskan bahwa keluarga mereka memeluk Agama Islam, dan pastinya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara itulah yang jadi pegangan hidup, dasar di dalam menjalankan kehidupan keluarganya. “Seperti yang bapak katakan tadi, bapak memeluk kepercayaan Islam. Bapak membawa keluarga untuk memeluk kepercayaan yang sama. Kami mempercayai perkataan Allah SWT yang ada dalam Al- Quran itu, yang mengatakan “Wahai umat manusia”, tidak dikatakan “wahai umat Islam”, berarti kan tidak ada istilah membeda-bedakan manusia. Itu nilai yang paling penting dalam kepercayaan kami. Semua manusia itu sama, kita harus sama-sama mengasihi dengan tidak pandang bulu. Dengan adanya agama pun, hidup kita akan tentram dan damai, itulah maknanya bagi kita. Namun sekarang ini kebanyakan manusia punya agama, tetapi tidak dijalankan. Setiap nilai yang ada dalam agama yang bapak peluk pasti bapak ajarkan dan wariskan kepada anak-anak dengan mengajari mereka sholat, membaca kitab Quran, supaya anak- anak saya kelak menjadi pribadi yang takut akan Allah SWT, bukan hanya Islam KTP. Bapak kan tokoh agama dan ibu di rumah adalah mantan tenaga pengajar dari sekolah pesantren, kami bekerja sama mendidik dan mengajari anak-anak akan nilai yang kami pegang sebagai umat muslim.” Setelah beliau memaparkan jawaban demikian, maka peneliti bisa mengambil kesimpulan bahwa beliau adalah seorang umat muslim yang memang benar-benar menghidupi kepercayaan yang dianutnya. Kemudian peneliti mengajak beliau untuk memandang pernikahan atau mungkin hubungan pacaran dengan seseorang yang berbeda agama. Peneliti mengarahkan cerita dengan memisalkan anak beliau dalam posisi tersebut. beliau menjelaskan bahwa sedari kecil anak-anaknya sudah diajari,dididik serta diarahkan supaya tetap teguh memegang kepercayaan itu. “Kalau soal beda agama gini nak, bagi kami agama Islam, kalau seorang anak sudah berumur 13 tahun, maka dia sudah berhak menentukan langkahnya atau cara hidupnya ke depan bagaimana, hal ini disebut dengan “akil balik” nak. Maksudnya, jika anak itu nantinya mualaf atau melakukan hal yang salah, sudah dia sendiri yang menanggung dosanya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan mengingatkan. Misalnya, anak bapak ada di posisi itu, sebelum janur kuning melengkung, bapak pasti selalu mengingatkan dan mengarahkan, namun jika Tuhan sudah berkehendak itu adalah jodohnya, mau gimana kan? Orang tua seperti bapak dan ibu pasti arahkan, sampai bapak kemarin bilang ke anak-anak, kalau maut hanya Tuhan yang tahu, kalau kalian nantinya murtad ke agama lain, silahkan, tapi jangan menyesal kemudian hari. Buat bapak begitu nak, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sekali pun dulu orang tua saya memaksakan kami harus ke sesama Islam, namun bapak tidak demikian, buat bapak bebas saja, biarkan dia menentukan pilihannya, tetapi jangan menyesal di kemudian hari, itu saja.” Liliweri 2004 mengungkapkan bahwa setiap kebudayaan pasti memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pegangan hidup dan mempengaruhi cara pandang setiap individu. Inilah yang menjadi filosofi hidupnya yang akan mengantar kemana individu tersebut melangkah. Dengan demikian peneliti pun menanyakan hal tersebut kepada Bapak Cinta Tami Sinulingga, bagaimana nilai yang ada dalam adat budaya Batak Karo yang menjadi aturan dan peraturan bagi mereka, serta bagaimana beliau mewariskan nilai itu kepada anak-anaknya. Beliau hanya mengatakan bahwa dasar dalam adat budaya Karo adalah Sangkep Sitelu, yaitu bagaimana supaya kita hormat kepada kalimbubu, senina dan anak beru. “Kalau bagi kami orang Karo ini nak, satu kunci untuk adat istiadat ini, dan inilah yang menjadi nilai dasar kami dalam pelaksanaan adat, yaitu Sangkep Sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam suku Batak Karo, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut kalimbubu, golongan kedua adalah tetap berhati- hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut senina, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut anak beru. Kalau bagi orang Karo, kalimbubu itu adalah Tuhan yang dilihat, yang memberi berkat pasu- pasu dalam budaya adat. Kita tidak boleh main-main atau seloro- seloro dengan kalimbubu. Itulah karena sangat berharganya kalimbubu dan sangat dihormati. Nilai yang lain bagi orang Karo itu antara menantu dengan mertua tidak boleh berbicara secara langsung, namun itu dulu sih, sekarang sudah semakin memudar. Nilai lainnya adalah Orang Batak Karo itu, acara adat pernikahan diadakan di kampung halaman perempuan, bukan seperti Batak Toba di kampung halaman laki-laki. Kemudian nilai berikutnya, yang menjadi pelayan di acara adat adalah anak beru, bukan cattering. Nilai-nilai sperti inilah yang bapak ajarkan sama anak-anak juga, supaya mereka tau nilai dasar dalam adat itu seperti apa. Apalagi untuk Sangkep Sitelu itu tadi, anak- anak juga harus tahu yang mana mamanya, mana maminya, dan kekerabatan lainnya. Kalau gak diajari kan, bisa jadi mereka nikah semarga nantinya karena gak paham. Bapak dan ibu sama-sama Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara memberitahukan dan mengajari mereka apa, bagaimana dan siapa ketiga golongan Sangkep Sitelu itu di dalam keluarga kami. Peraturan dan aturan lain sebenarnya masih banyak, hanya saja bagi bapak sendiri yang menjadi nilai dasar ya itu tadi lah nak.” Bukan hanya dari segi agama saja beliau dipercaya menjadi tokoh agama, tetapi dari segi budaya juga beliau adalah seorang yang cukup kuat memegang teguh nilai yang ada dalam budayanya sebagai orang Batak Karo. Maka terkait dengan budaya, peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan informan terhadap perkawinan campuran antara suku Batak Karo dengan Suku Batak Toba. Namun sekali pun beliau adalah tokoh adat yang memegang teguh nilai adat budaya Karo, ternyata beliau bukanlah termasuk dalam golongan orang tua yang melarang anaknya berhubungan lebih dari teman pacaran, bahkan menikah dengan orang Batak Toba. “Iya, misalnya langsung anak saya saja kita buat di posisi itu ya nak. Kalau anak bapak pacaran atau menikah dengan orang yang berbeda suku, bagi bapak itu tidak masalah, yang penting harus bisa saling menghormati antara dua suku tersebut, Batak Karo dan Batak Toba. Satu lagi hal yang harus diterapkan jika pacaran atau bahkan menikah dengan orang yang berasal dari suku Batak Toba, harus ada kemauan untuk belajar menyenangi hidup bersama orang tersebut, artinya harus ada kemauan untuk mempelajari budaya Batak Karo dan Batak Toba. Misalnya tadi anak saya yang pacaran dengan orang Batak Toba, mungkin yang bapak soroti adalah perbedaan adat budayanya dari segi pakaian adat, tukur harga yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan, dan bahasanya. Berarti anak saya harus mau belajar budaya Batak Toba, termasuk bahasanya, dan juga sebaliknya. Soal pelaksanaan adatnya, kita buat adat Batak Tobanya, dibuat adat Batak Karonya. Kalau zaman sekarang nak, orang Jerman pun ada yang menikah dengan orang kita Batak kan? Jadi tidak sesempit dulu lagi cara berpikir sekarang. Prinsip bapak yang diajarkan kepada anak- anak itu kalau dalam hal pacaran adalah carilah lelaki atau perempuan yang soleha, artinya seseorang yang beriman, beradat, dan jelas jati dirinya. Karena banyak anak zaman sekarang yang tidak jelas asal usulnya jati dirinya. Intinya nak, bapak tidak ada melarang anak-anak pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba, saya tidak membeda- bedakan suku. Bapak netral nak, tidak memihak. Lagian disisi lain, keluarga kita semakin bertambah nak, tidak karo karo saja. Karena Tuhan menciptakan bangsa-bangsa dengan beraneka ragam suku, tetapi semua itu adalah satu dan adalah sama. Keluarga bapak pun banya kok orang Batak Toba, didukung juga orang tua bapak, nenek Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kakekmu, tidak ada istilah melarang kami anaknya pacaran ke Batak Toba.” Pengalaman adalah pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan ini. bapak Cinta Tami adalah seorang yang sangat banyak pengalaman mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Bahkan bersahabat dengan orang Batak Toba juga semasa mudanya membentuk persepsi baru baginya tentang orang Batak Toba. “Menurut bapak ya nak, selama yang bapak tahu dari pengalaman ya, secara umum orang Batak Toba itu paling egois. Pandangan saya yang lain adalah orang Batak Toba itu pada umumnya keras, terlihat dari jenis musiknya yang paling keras dari antara semua musik suku batak yang ada, baik Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Angkola dan yang lainnya. Tapi yang saya salut dengan orang Batak Toba, perjuangan yang sangat tinggi untuk menyekolahkan anak-anak sampai jadi orang semua, disamping orang tua yang seperti itu, anak- anaknya pun tau diri dengan situasi kondisi keluarganya, sehingga mau berjuang untuk memperbaiki taraf hidup ke depannya. Sementara Batak Karo, lantaran lahannya subur, dan kaya akan hasil tanaman, perjuangan tinggi itu tidak sehebat orang Batak Toba. Namun bagi bapak nak, pandangan bapak terhadap orang Batak Toba itu tidak mempengaruhi bapak untuk menjadi takut mengizinkan anak bapak pacaran dengan orang Batak Toba, yang penting mereka bisa saling mengasihi, gitulah nak.” Beliau adalah seorang kepala keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan anak-anaknya. Pengalaman beliau juga dalam dunia pendidikan sudah sangat banyak dan sangat berjuang. Jadi, beliau tidak ingin anak-anaknya bersantai ria, hanya tinggal menikmati hasil kerja keras orang tua. Beliau ingin anak-anaknya lebih baik daripada beliau, supaya anak-anaknya bisa mengejar cita-cita dan menambah wawasan bagi mereka. Seperti orang tua lainnya, beliau juga akan berjuang dan berusaha sebisa mungkin untuk mendukung anak-anknya menggapai cita-citanya lewat dunia pendidikan. “Pendidikan bagi saya sendiri merupakan modal untuk masa depan. Kalau sejak dini pun sudah malas-malasan, maka nanti ke depannya tidak akan pernah bisa jadi orang yang berguna, maksudnya jadi orang pinggiran terus. Saya juga dulu pernah gagal melamar polisi di Sampali, namun lulus SIPENMARU di IKIP, jurusan Bahasa Perancis. Semester tujuh saya berhenti kuliah dan balik ke kampung. Walaupun bapak seperti itu berhenti kuliah, namun harapan untuk maju tetap ada. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Bahkan saya sudah pernah menjabat sebagai anggota DPRD di pemerintahan Kabupaten Karo tahun 2009. Jadi, saya sangat menjunjung tinggi pendidikan anak-anak. Saya bilang kepada anak- anak, jangan mau kalah dan patah semangat mengejar cita-citamu. Bapak dan ibu akan dukung sebisa mungkin, sedaya mampu kami, untuk mereka menggapai cita-cita, asalkan ada kemauan bersekolah, itu saja.” Sudah banyak adat budaya yang tidak dipegang kuat lagi oleh orang Batak Karo di zaman sekarang ini. Hal ini akibat dari perkembangan zaman. Perdagangan bebas pun berakibat kepada budaya. Sekarang ini bahasa yang diutamakan dipelajari sebagai les tambahan di sekolah-sekolah adalah bahasa mandarin, bahasa Jerman, bahasa Perancis, sementara pembelajaran tentang adat budaya Batak Karo sendiri semakin menghilang. Beliau pun menjelaskan bahwa pengikisan adat budaya ini dipengaruhi oleh ketergerakan hati keluarga yang kurang untuk sama-sama membawa semua keluarga ke Pesta Tahunan sebagai wadah pembelajaran budaya menurut beliau. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan Bapak Cinta Tami Sinulingga. Sambutan demi sambutan yang begitu hangat dari warga Desa Surbakti kepada peneliti, membuat peneliti tidak pernah mengenal yang namanya lelah dan malas untuk mencari terus informan yang sesuai dengan kriteria peneliti, yang bisa diajak berbagi untuk melengkapi data yang dibutuhkan oleh peneliti. Menyambut senja yang begitu indah, peneliti sambil berbagi cerita dengan salah seorang warga di Desa Surbakti, sambil mengamati tingkah laku warga di sekitar saat itu. Malam pun tiba, peneliti pamit kepada seorang warga yang menemani sorenya tadi. Setapak demi setapak, langkahan kaki peneliti membawanya ke Kasus Kelima Nama : Bapak Efran Ginting Umur : 48 Tahun Agama : Islam Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sebuah warung yang tidak begitu ramai. Peneliti melihat seorang bapak sedang duduk merenung disana ditemani secangkir kopi. Beliau mengenakan kaos putih berkerah, jaket kulit berwarna hitam dan topi rajutan di kepalanya. Peneliti mencoba masuk ke warung tersebut dan duduk di hadapan Bapak tersebut. Sembari tersenyum indah, peneliti menyapa si Bapak. Tersentak dari lamunannya, beliau pun ikut tersenyum dan menjawab sapaan peneliti. senyuman itu seakan bermakna sambutan baik kepada peneliti. Dengan tidak ragu lagi, peneliti mulai memperkenalkan diri kepada beliau, dan sebaliknya. Perkenalan itu membawa peneliti dan bapak tersebut ke dalam cerita yang santai tetapi serius. Tak lupa juga peneliti menjelaskan maksud kedatangannya ke Desa Surbakti tersebut. Selama perkenalan itu, peneliti menangkap seuah signal, bahwa beliau sesuai dengan kriteria peneliti. Akhirnya, peneliti dan beliau sepakat untuk mengadakan wawancara di warung tersebut. Bapak Efran Ginting adalah nama beliau, memperisteri wanita boru Sitepu. Keluarga telah dikaruniakan anak sebanyak tiga orang dan semuanya masih dalam bangku perkuliahan. Keluarga ini adalah pemeluk agama Kristen Protestan. “Biasanya orang sini panggil saya itu Bapak Efran Ginting, isteri saya nak boru Sitepu. Puji Tuhan kami telaah dikaruniakan anak sebanyak tiga orang, laki-laki semua. Dua orang merantau sekolah, satu orang lagi disini. Bapak tetap bersyukur walaupun tidak ada perempuan, laki-laki pun kan pemberiaan Tuhan juganya. Keluarga saya itu pemeluk agama Kristen Protestan.” Penjelasan beliau di awal cukup jelas akan identitas keluarga mereka. Peneliti selanjutnya menanyakan makna kepercayaan yang dianutnya, serta nilai- nilai yang ada di dalamnya, dan bagaimana itu diwariskan kepada anak-anak. Karena menurut Liliweri 2001, agama adalah suatu keyakinan yang dianut oleh seseorang yang menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, dan diimani sebagai suatu refrensi yang mempengaruhi cara pandang individu. “Kalau bapak katakan tadi keluarga bapak adalah pemeluk agama Kristen Protestan, tentunya kami hanya percaya kepada Tuhan Yesus. Tuhan yang memberikan berkat bagi kami sampai sekarang. Hidup kami hanya kami serahkan kepada Tuhan. Masa depan anak-anak sering kami khawatirkan, namun tetap kami doakan dan kami serahkan pada yang di atas. Hanya Tuhan yang tau apa yang terbaik bagi kami, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara itulah maknanya bagiku pribadi. Nilai-nilai yang ada dalam kepercayaan yang bapak anut ini, pastinya semua perkataan Tuhan dalam kitab suci Alkitab itu lah nak, di Bibel kata kita orang batak, semua perintah Tuhan, tetapi bagi bapak dan ibu dirumah, ada sedikit kesulitan dalam mewarisi nilai-nilai itu kepada anak-anak di rumah nak ku, keluarga kami kebanyakan orang muslim, ada Ustad, Haji, guru mengaji, bayangkan dari keluarga ibu dirumh, sembilan mereka bersaudara, Cuma keluarga kami yang Kristen Protestan. Hanya saja bapak dan ibu kalau di rumah selalu berjuang dan berusaha mengajari anak-anak untuk tetap memegang teguh kepercayaan itu, jangan mau pindah-pindah agama, itu jelas bapak tekankan pada anak-anak”. Dari sudut kepercayaan, bapak Efran adalah seorang kepala keluarga yang mengajak anak-anak dan mendidik anak-anak dalam nilai-nilai yang ada dalam kepercayaan yang dianutnya. Bukan hanya dari segi kepercayaan, dari sudut pandang terhadap pendidikan juga, Bapak Efran selalu mengajarkan dan mendidik anak-anak untuk semangat berjuang, semangat bersekolah, supaya tidak merasakan seperti yang dirasakan orang tua. Menurut beliau, dengan bersekolah, maka akan menambah banyak pengalaman dan wawasan yang semakin luas. “Untuk pendidikan sih bapak dan ibu selalu menekankan dan memahamkan kepada anak-anak supaya bergiat belajar, sekalipun miskin tidak punya apa-apa, paling tidak tamat SMA harus, wajib istilahnya. Sebisa mungkin akan bapak dan ibu usahakan untuk sekolah anak, asalkan anak ada kemauan sekolah, kemana pun akan kami junjung. Biarpun susah, sekolah harus tetap lanjut. Sementara zaman sekarang ini nak, ijazah SMA pun tak laku. Soalnya kita sudah rasakan itu dulu, bagaimana sakitnya tidak mengecap dunia pendidikan. Paling tidak ijazah SMA kan bisa dibawanya dasar untuk cari kerjaan kemana-mana. Anak pertama saya tamat SMA merantau ke Batam, anak kedua tamat juga SMA merantau ke Malaysia, anak yang ketiga sekarang SMA di Belawan. Kami disini tidak punya lahan sepetak pun nak, jadi kalau tidak merantau, cari duit, kita mau makan apa nantinya? Lagian kalau anak tamat dari SMA itu jelas pemikirannya berbeda dengan yang tamat SD dan SMP. Merantau beda cara pandangnya dengan yang tinggal di desa.” Ketika pendidikan dan tuntutan hidup menjadi salah satu jalan untuk terjadinya mobilisasi, artinya ketika di suatu Desa kebutuhan akan pendidikan dan kebutuhan hidup tidak tercukupi, maka keluar dari desa menuju perkotaan yang diharapkan memberikan jawaban akan segala kebutuhan itu, adalah jalan yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara harus ditempuh oleh individu. Terkait dengan hal di atas, maka peneliti pun mulai mengarahkan pembicaraan tentang jodoh anak-anaknya kelak, karena memang tidak bisa dipungkiri jika anak-anaknya kelak sudah merantau ke kota, pasti akan bertemu dengan banyak orang dari berbagai suku. Jadi, peneliti mencoba menanyakan pendapat beliau tentang perkawinan campuran, terkhusus untuk Batak Karo dan Batak Toba, sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti. “Bapak oke oke saja, bapak perbolehkan. Semua suku baik itu Batak Karo dan Batak Toba kan punya sisi baik dan sisi buruknya masing- masing. Kalau anak zaman sekarang, jika tidak diijinkan bisa dia nanti jadi lari dari jalan yang benar, jadi ngapain kita halang-halangi kan? Bagi bapak sendiri, semua suku itu sama. Prinsip bagi bapak dan ibu di rumah itu, kalau masalah pacaran, pernikahan atau perkawinan itu bebas suku, yang penting orangnya beradat. Hanya saja mungkin kalau anak bapak pacaran dengan orang Batak Toba atau mungkin nantinya menikah, yang paling bapak soroti adalah perbedaan bahasa, tetapi bahasa kan bisa dipelajari sih nak. Kami tidak mengerti bahasa Batak Toba, gimana mau berkomunikasi dengan baik, apalagi kalau orang tua yang umurnya sekitar 50 tahun lebih gitu mana ngerti. Dulu kebanyakan tidak sekolah, bahasa yang dimengerti itu hanya sebatas bahasa sukunya saja, bahasa batak karo. Kemudian yang kedua adalah rumitnya adat budaya orang Batak Toba ini. Batak Karo adat budayanya sangat simpel. Ketiga adalah banyaknya biaya yang habis di suku Batak Toba, salah satunya tukur harga yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sementara kami suku Batak Karo ini paling tinggi sekitar Delapan ratus ribu saja. Intinya semua itu nak, adanya kesepakatan untuk masalah biaya, dan ada pembelajaran untuk kedua suku, jngan fanatik kali dengan suku sendiri.” Peneliti pun bertanya mengenai pandangan beliau terhadap orang Batak Toba, apakah itu tidak berpengaruh terhadap pemberian izin kepada anak untuk pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba. Ternyata bagi beliau itu tidak menjadi alasan kita melarang hubungan pacaran anak dengan orang Batak Toba. “Saya juga punya pengalaman dengan orang Batak Toba, yang saya lihat dan perhatikan orang Batak Toba itu semangat juang dan semangat hidup sangat tinggi, tidak gengsian, tidak malu sekali pun harus kerja berat. Harga diri sangat dipertahankan, kalau menghadiri acara-acara misalnya, diusahakan supaya tidak dipandang rendah oleh orang lain. Sangat kental dalam adat istiadat. Namun di sisi lain, orang Batak Toba ini pada umumnya pelit, sedikit kasar. Sementara orang Batak Karo ini pribadi yang sangat gengsian pada umumnya. Namun itu semua tidak jadi alasan bagi saya secara pribadi untuk melarang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara anakanak saya pacaran atau mungkin menikah nantinya dengan orang Batak Toba.” Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap suku pasti memiliki nilai-nilai yang dipegang teguh di dalamnya. Itulah yang menjadi falsafah hidup masyarakat atau komuniatas yang memegang budaya tersebut. Sama halnya dengan Bapak Efran Ginting, bahwa bagi beliau nilai-nilai dalam adat budaya suku Batak Karo itu sangat perlu diwarisi kepada anak-anak. Menurut pengakuan beliau, beliau juga bukanlah pribadi yang cukup matang dan paham sekali dengan adat budaya Karo. Namun beliau tetap mengajari anak sebisa mungkin. Sekedar memberitahu kepada anak-anak, inilah yang dilakukan beliau. “Iya, kami adalah Karo asli yang memegang dan menjunjung tinggi budaya adat suku Batak Karo ini, sekalipun bapak adalah bukan orang yang cukup matang untuk hal adat nak, jadi mengajari anak-anak pun soal adat ya sekedar yang saya tahu ajalah yang bapak ajarkan. Nilai yang paling penting menurut bapak secara pribadi yang harus kita warisi kepada anak itu adalah silsilah, tarombo, supaya dia kelak tahu dan paham tentang Sangkep Sitelu, siapa yang jadi mamanya, maminya, kalimbubunya saudara laki-laki dari ibu, senina saudarai kandung, dan anak beru anak perempuan yang sudah menikah dan keluarga yang dinikahinya, itu seperti apa. Nilai yang lain misalnya kita beritahukan kepada anak-anak, jika kelak mereka berumah tangga, antara menantu dengan mertua itu tidak boleh berbicara langsung empat mata.” Demikianlah pandangan Bapak Efran Ginting terhadap perkawinan campuran. Beliau juga menyarankan supaya orang tua memberikan waktu untuk mengajari anak-anak dalam hal adat budaya, agar adat itu nantinya tidak menghilang di generasi-generasi berikutnya. Seperti memperhatikan acara adat di Los atau wisma, dan juga di acara adat terbesar bagi suku Batak Karo, yaitu Pesta Tahunan. Demikianlah hasil wawancara peneliti dengan Bapak Efran Ginting. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Setelah banyak berkenalan dan bercerita, maka peneliti pun tidak lupa untuk menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya ke rumah tersebut. Bapak Kristop dan Ibu Nangin Ginting sama-sama memberikan pendapat dan sanggahan untuk setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. untuk mengawali wawancara Kasus Keenam Nama : Bapak Kristop Siregar Ibu Ngina br Ginting Umur : 59 Tahun 62 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Karo Alamat : Desa Surbakti Setelah satu minggu lebih mengadakan penelitian dan pengamatan di Dessa Surbakti, peneliti masih berjuang untuk mengadakan wawancara dengan satu orang lagi warga di desa ini. Malam sudah tiba, peneliti masih berjalan disekitar pusat desa. Sebuah rumah panggung yang sangat bersih dan dihiasi beraneka ragam bunga di halamannya, mengalihkan pandangan peneliti. Dengan semangat yang menyala peneliti melangkahkan kakinya ke arah rumah tersebut, dengan harapan bisa mengadakan wawancara dengan warga tersebut. Peneliti akhirnya tiba di halaman depan rumah panggung tersebut, ternyata pemilik rumah telah memperhatikan peneliti dari celah pintu yang sedikit terbuka. Seorang bapak keluar menemui peneliti dan mempersilahkan peneliti masuk. Mereka menyambut hangat kedatangan peneliti ke rumah itu. Keluarga Bapak Kristop adalah keluarga yang mengalami perkawinan campuran, suku Batak Toba Bapak dan suku Batak Karo Ibu. Kepercayaan yang mereka anut adalah Kristen Protestan. Keseharian mereka dihabiskan dengan mengusahakan ladang. Ada empat orang yang tinggal di rumah tersebut. Bapak Kristop dengan kemeja corak liris-liris, celana kain berwarnacoklat muda, lengkap dengan jaket tebal yang menutupi badannya, juga seorang ibu yang adalah isteri dari beliau, kaos coklat dan jaket rajutan, serta celana kotak-kotak yang dikenakannya, kemudian ada anak dan menantu beliau. Keluarga ini telah dikaruniai lima orang anak, satu orang putra dan empat orang putri, semua sudah menikah. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ini, peneliti bertanya seputar kepercayaan atau agama, makna agama bagi mereka dan bagaimana nilai agama diwariskan kepada anak-anak. “Kami memeluk agama Kristen Protestan, anak-anak juga. Kalau soal makna beragama bagi kita kan tergantung pribadi kita masing-masing nak. Bagi bapak sendiri, agama itu banyak sekali maknanya, kalau agama itu kita hidupi dan kita jalankan. Dengan adanya agama, maka kita menyerahkan segala sesuatu itu hanya kepada Tuhan Yesus saja. Hidup ini tergantung padaNya. Agama itu memberikan kita nilai-nilai yang perlu kita pegang dalam hidup ini yang akan mengarahkan langkah kita kedepannya. Hanya saja sekarang ini semakin banyak orang yang hanya sebatas agama KTP saja, tidak mengimani, menghidupi dan juga menjalankannya. Hanya ketika butuh saja ingat dengan Tuhan, ketika bahagia lupa kepada Tuhan. Nilai yang paling utama dalam kepercayaan yang kami anut adalah Kasih, adanya saling mengasihi sesama manusia. Nilai inilah yang sangat kami tekankan kepada anak-anak. Bapak dan ibu di rumah ini selalu berusaha mengajari dan mendidik anak-anak supaya hidup di dalam Tuhan, berpegang teguh pada ajaran agama, jangan mau digoda oleh ajaran- ajaran lain. Satu hal lagi, prinsip kami disni sebagai orang tua, kami melarang mereka untuk pacaran atau menikah dengan orang yang berbeda agama, tetapi kalau memang harus pacaran, ajak dan tarik dia ke agama kita, memang kakak dan abangmu disini semua menikah dengan orang yang beragama Kristen Protestan.” Bukan hanya agama atau kepercayaan yang diajrkan dengan tekun kepada anak-anak. Menurut Informan, budaya dan adat istiadat adalah hal yang tidak kalah pentingnya untuk diwarisi kepada anak-anak. Sekalipun Bapak Kristop adalah orang Batak Toba, namun semua anak-anaknya menikah dengan orang Batak Karo. Menurut pengakuan beliau, budaya dan adat istiadat Batak Karo sudah mendarah daging dalam dirinya, namun tidak berarti melupakan adat istiadat Batak Toba juga. Terkait dengan pengakuan beliau, maka peneliti menanyakan soal nilai-nilai dalam adat istiadat Batak Karo, jika dibandingkan mungkin berbeda dengan adat istiadat Batak Toba. Akan tetapi menurut penjelasan Bapak Kristop dan Ibu Nangin, hampir semua adat istiadat kedua suku ini sama, hanya sedikit perbedaannya. “Bagi Batak Karo itu, nilai yang pada umumnya sudah harus dipahami oleh masing-masing individu adalah Sangkep Sitelu, dimana ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam suku Batak Karo, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut kalimbubu, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut senina, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut anak beru. Nah, yang bapak tahu juga dalam suku Batak Toba ada istilah ini disebut Dalihan na Tolu, somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Bagi Batak Karo itu kalau dalam adat orang meninggal, orang yang ditinggal isteri atau suami yang membagikan ulos kepada kalimbubu pihak pemberi isteri. Acara adat pernikahan Batak Karo cukup hanya dengan menjalankan Pinggan Panganan yaitu bagian-bagian tertentu dari kurban yang dipotong, yang mempunyai makna tersendiri, inilah yang dipersembahkan kepada kalimbubu itu tadi. Kemudian nilai lain yang biasanya bapak dan ibu ajarkan itu, kalau mereka kelak menikah, supaya tidak berbicara secara langsung kepada mertuanya, duduk sejajar dengan mertua juga tabu.” Ketika ditanyakan peneliti mengenai cara mereka mewarisi nilai dalam adat budaya itu kepada anak-anak, Ibu Nangin langsung menjelaskannya dengan cara diajari dan dididik dirumah, kadang dengan cara membawa anak-anak ke acara adat supaya mereka memperhatikan. “Pastinya kami sebagai orang tua mengajari anak-anak tentang adat budaya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Salah satunya hal yang kami lakukan adalah mengajak anak-anak ke Los atau wisma untuk memperhatikan adat istiadat. Kita selalu menasihatkan anak-anak supaya banyak mendengar di acara adat dan banyak memperhatikan.” Keluarga ini adalah salah satu keluarga yang menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Terkait dengan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui pandangan mereka terhadap pernikahan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba. Ternyata setelah dijabarkan dengan jelas, Bapak Kristop dan Ibu Nangin adalah pasangan suami isteri yang tidak pernah membeda-bedakan suku yang satu dengan yang lainnya. Bagi mereka perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba adalah sah dan diterima dengan senang hati, yang penting kedua belah pihak ada kemauan untuk saling mengasihi dan menghormati diantara kedua suku Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tersebut. Menurut penjelasan beliau, sudah banyak yang mengadakan perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba. “Sebenarnya semua suku itu sama, terkadang ada orang Batak Karo yang tidak mengijinkan anaknya pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba, itu dikarenakan bahasa dan adat yang sangat berbeda, jadi tidak ada pengertian yang sama, tetapi kan ada waktu untuk belajar. Kemudian di dukung oleh adanya rasa etnosentrisme atau fanatisme yang tinggi diantara kedua suku itu. Salah satu adat budaya yang berbeda yang saya perhatikan diantara kedua suku ini adalah acara adat orang yang meninggal, kalau Batak Toba, hula-hula pihak keluarga isteri atau saudara laki-laki isteri yang memberikan ulos kepada suami atau pun isteri yang ditinggal. Sementara bagi Batak Karo itu adalah sebaliknya, orang yang ditinggal isteri atau suami yang membagikan ulos kepada kalimbubu dalam Batak Toba hula- hula. Kemudian yang sangat berbeda itu adalah harga yang dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau tukur bahasa karonya. Beda jauh antara harga di Batak Toba yang begitu mahal dengan di Batak Karo yang sangat murah, hanya sekitar 600 ribuan. Maksudnya biaya untuk acara adat, salah satunya acara adat menikah dengan orang Batak Toba itu sangat besar, tetapi itu kan bisa dimusyawarahkan, disepakati bersama. Nilai adat yang lain yang berbeda adalah Batak Karo tidak mengenal pembagian bagian-bagian tubuh dari kurban yang dipotong secara merata kepada kerabat dan keluarga, dalam bahasa Batak Toba disebut Jambar. Jadi, untuk melarang anak saya menikah dengan orang Batak Karo atau Batak Toba, bapak dan ibu disni tidak pernah, karena sekuat apa pun kita membendung itu, kalau mereka sudah sama-sama saling mengasihi, tidak akan terbendung. Nanti yang menjalaninya kan anak-anak itu, bukan kami orangtuanya. Malah ibu sendiri sangat berharap anak-anak ini kelak menikah dengan orang Batak Toba saja. Bagi kami adalah baik kok jika ada perkawinan campuran, yang penting mau saling mengasihi dan saling menghormati diantara kedua suku. Lagian kalau di desa ini nak, sudah banyak yang kawin campur antara Batak Karo dengan Batak Toba. Supaya adil pelaksanan adatnya diadakan dua versi, ada adat Batak Karo, ada adat Batak Toba.” Peneliti semakin penasaran ada apa dibalik nilai bebas suku tersebut. untuk itu peneliti mulai bertanya tentang pandangan merekaa terhadap orang Batak Toba, karena dari penjelasan sebelumnya, tampak rasa senang mereka terhadap Batak Toba. Informan hanya menjelaskan sisi positif dari orang Batak Toba tanpa mau mengutarakan sisi negatifnya. Bahkan menurut informan, tidak ada sisi negatif dari Batak Toba. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Batak Toba ini enaknya antara menantu dengan mertua itu bisa kompak karena tidak ada istilah tabu dalam hal berbicara diantaranya. Kalau Batak Karo ini kan dilarang itu berbicara secara langsung antara mertua dengan menantu. Salut melihat kekompakan mereka, seperti bapak dengan anaknya, padahal mertua dan menantu. Batak Toba ini lagi kental sekali dalam adat istiadat, sangat hormat, manusia beradat istilahnya. Rasa persaudaraan dan persahabatan yang sangat tinggi. Kalau orang lain bilang orang Batak Toba itu kasar dan keras, bagi ibu tidak, terlepas dulu karena ibu menikah dengan orang Batak Toba ya nak. Batak Toba pun tidak pendendam seperti orang Batak Karo. Pekerja keras yang sangat tinggi ada di orang Batak Toba. Kalau masalah kasar, kita kasar orang lain pun pasti kasar kan? Bukan hanya Batak Toba yang kasar.” Pendidikan adalah salah satu nilai yang sangat berharga bagi informan, sebisa mungkin dan sedaya mampu harus menjunjung tinggi pendidikan anak- anak, supaya kelak hidupnya bisa lebih baik dari sekarang. “Sekolah anak-anak adalah hal yang paling utama bagi kami nak, sebisa mungkin akan kami junjung tingi. Jangan sampai anak-anak itu merasakan seperti yang kami orang tua rasakan ini. Kehidupan anak- anak harus lebih baik daripada kami orangtuanya, dan itu didapatkan jika ada kemauan bersekolah.” Dengan berakhirnya pembicaraan tentang pandangan terhadap dunia pendidikan dan cita-cita anak, maka berakhir jugalah wawancara peneliti dengan Bapak Kristop Siregar dan Ibu Nangin boru Ginting sebagai informan terakhir di Desa Surbakti. Rintik hujn yang tidak begitu deras pada sore hari, sekitar pukul 17.00 wib, inilah yang menemani jejak peneliti untuk menelusuri sebuah desa yang bernama Desa Unjur di Samosir, yang terdiri dari beberapa bagian lingkungan, yang disebut dengan huta dalam bahasa Batak Toba. Peneliti ingat dengan salah Kasus Ketujuh Nama : Bapak Likson Ambarita Ibu Likson boru Umur : Tahun Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Toba Alamat : Desa Unjur, Sosor Nangka Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara satu warga yang pernah diwawancarainya ketika mengadakan pra penelitian ke Desa Unjur. Peneliti pun langsung mempercepat langkahnya menuju rumah beliau, tepatnya di Huta Sosor Nangka. Peneliti hanya sekedar tahu tentang beliau, tidak mengenal begitu dalam akan keluarganya. Senyuman yang hangat menyambut peneliti di rumah tersebut. Bapak Likson dan Ibu Likson langsung mempersilahkan peneliti ke rumah dan disuguhkan secangkir teh hangat. Rumah panggung yang cukup luas, dengan penghuni yang ramai dikarenakan beberapa anak-anak mereka dan juga cucunya yang tinggal bersama-sama di rumah tersebut. Ketika ditemui peneliti, Bapak Likson mengenakan kemeja biru bercorak garis-garis, celana hitam dan jaket tebal. Sementara ibu yang masih baru pulang dari pasar, mengenakan kaos putih dan pendek, dibawah lutut. Warna kulit ibu jauh lebih cerah dari bapak. Itulah sekedar ciri-ciri informan pertama di Desa Unjur. Lubis 2012 mengungkapkan bahwa agama atau kepercayaan adalah salah satu unsur yang tentunya mempengaruhi cara kita mempersepsi sesuatu, karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Demikian halnya dengan Bapak Likson dan Ibu Likson, bahwa kepercayaan itu sangatlah penting nilainya untuk dipegang, itulah dasar kita melangkah, bertingkah laku, bertutur sapa dan dasar kita memandang orang lain. Menurut mereka hal ini sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak yang sudah dikaruniakan Tuhan. “Kami adalah keluarga besar nak, puji Tuhan dikaruniakan anak sebanyak delapan orang. Kepercayaan yang bapak dan ibu anut adalah Kristen Protestan, ini juga yang kita ajarkan dan didik kepada anak- anak. Makna kepercayaan yang kami anut ini sangatlah banyak, dengan kita percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat kita, maka seluruh hidup ini kita serahkan saja ke dalam tanganNya. Hidup menjadi aman dan tenang dengan percaya kepadaNya. Berkat yang mengalir, penyertaan Tuhan sepanjang kehidupan baik suka maupun duka, kesehatan, hikmat dan masih banyak lagi ragam berkat yang kami terima dari Tuhan. Hidup penuh pengharapan kepada Tuhan, bukan hanya sekedar ikut-ikutan menjadi orang Kristen. Nilai-nilai seperti ini sangat penting untuk kita warisi kepada anak-anak, supaya mereka juga semakin tahu bersyukur dan menyadari berkat Tuhan atas hidupnya. Mulai dari kecil, anak-anak sudah kami ajari dan kami bawa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ke gereja untuk mengenal Tuhan, diajari berdoa, diingatkan untuk terus berdoa.” Menurut Samovar dan Porter 1993:16 dalam buku Lubis 2012, organisasi sosial adalah wadah untuk memperkenalkan dan mengkomunikasikan kebudayaan kepada anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang turut serta membentuk pola pikir seorang individu dalam kehidupannya, yaitu keluarga dan sekolah. Terkait dengan hal tersebut, peneliti kembali menanyakan pandangan Bapak Likson dan Ibu Likson terhadap pendidikan. “Bapak dan Ibu sangat menjunjung tinggi pendidikan, apalagi untuk anak-anak kami ini, kami sangat berharap, berjuang dan berusaha untuk mereka mengecap pendidikan yang lebih baik daripada kami. Karena tanpa pendidikan, manusia itu tidak ada manfaatnya. Apalagi sekarang ini zaman semakin maju, hidup harus dibarengi dengan pengetahuan yang tinggi. Makanya bapak dan ibu selalu berprinsip minimal tamat SMA. Pemikiran orang yang berpendidikan jelas sangat jauh berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan. Ya sekali pun nantinya si anak jadi petani, wawasannya pasti sudah berbeda dengan orang yang hanya tamat SD misalnya dalam hal mengolah tanah. Sekolah itu juga kan mengajari anak-anak kita akan nilai-nilai yang sangat penting untuk dipegang dan dilakukan, jadi bukan hanya di keluarga mereka dapatkan nilai-nilai kehidupan, tetapi sekolah juga. Kemana pun anak-anak ini mengejar cita-cita lewat pendidikan, bapak dan ibu selalu mendukung dan tidak mengkhawatirkannya, serahkan semua pada Tuhan. Pengetahuan adalah modal.” Sekolah atau pendidikan menjadi salah satu mobilisasi atau penggerak bagi orang desa. Karena kebutuhan akan pendidikan akan lebih terpenuhi ketika merantau ke kota. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan menambah wawasan kepada individu yang mengejarnya, baik dari segi pengetahuan, maupun dari segi pengalaman. Kota merupakan titik temu antara jutaan manusia yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, khusunya berbagai suku. Sementara sebelumnya informan mengakui tidak pernah melarang anak-anak pergi merantau demi pendidikan. Mengingat hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana pandangan informan terhadap hubungan lebih dari teman atau bahkan menuju pada perkawinan campuran, terkhusus ketika anak beliau misalnya menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Menurut pribadi bapak sendiri, kunci utama adalah kita beri nasehat kepada si anak, sebelum mereka pergi merantau. Akan tetapi, jika memang sudah itu yang menjadi jodohnya, apa boleh buat? Lagian bukan bapak atau ibu yang akan menjalaninya kan? Tetapi mereka sendiri. Jadi, kita sebagai orang tua hanya membina, mengingatkan dan menasehatkan saja. Bapak dan ibu selalu mengingatkan anak-anak dirumah, supaya nantinya jika ingin menikah carilah yang sesama suku Batak Toba, tetapi itu adalah arahan ya, bukan menjadi sebuah paksaan. Memang yang paling berat adalah adanya perbedaan adat dan juga bahasa, jadi mau gimana kita bisa berkomunikasi dengan baik? Paling itu saja yang jadi keberatan di hati, kalau misalnya anak kita ini pacaran atau menikah dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo. Zaman sekarang nak, sudah banyak orang kita yang menikah dengan orang dari luar negeri, apalagi kita yang masih sama-sama suku Batak aja pun. Nilai yang penting dalam perkawinan itu adalah anak dan calon menantu kita itu bisa satu hati, hormat kepada orang tua, sayang kepada keluarga dari kedua belah pihak. Banyak orang yang langsung menyoroti harga beli perempuan dari pihak laki-laki di Batak Toba itu tinggi, sementara di Batak Karo rendah, tetapi itu bukan menjadi salah satu hambatan menurut bapak, karena itu kan bisa disepakati bersama, bukan jadi suatu paksaan itu harga. Kesepakatan adalah kunci utama. Memang kita harus akui bahwa biaya untuk sebuah acara adat di Suku Batak Toba itu sangat banyak.” Menurut pengakuan informan, bahwa mereka mengingatkan kepada anak supaya pacaran dan menikah dengan sesama suku Batak Toba. Bagaimana sebenarnya penilaian atau pandangan informan terhadap orang Batak Karo. “Menurut kami sifat buruk orang Batak Karo itu adalah pendendam, sampai mati kesalahan seseorang itu akan dibawa. Kemudian Batak Karo ini, tidak jujur, maksudnya lain di lidah nulut tapi lain juga di hati. Mereka bisa ngomong lembut sekali, tetapi hatinya busuk, sudah sangat dendam. Bukan ini hal yang kami soroti ketika anak kami pacaran atau mungkin menikah nantinya dengan seseorang yang berasal dari Batak Karo, tetapi kembali seperti yang sudah kami katakan tadi, yaitu perbedaan adat dan juga bahasa.” Ada budaya, ada agama. Kedua hal tersebut adalah sangat berkaitan. Nilai- nilai yang dikandung juga menjadi pedoman bagi setiap individu yang memeluknya. Setelah berbagi banyak hal tentang perkawinan campuran, ternyata Bapak Likson dan Ibu Likson adalah orang tua yang tidak menyetujui anaknya berpacaran atau menikah dengan agama lain, besar harapan mereka kepada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sesama agama Kristen Protestan, dan itu pun harus satu aliran dengan doktrin agama yang mereka anut. “Sama halnya seperti jawaban kami untuk perkawinan campuran, tetap arahkan, nasehatkan dan ingatkan. Sekali pun anak-anak ini jauh dari kami merantau, kami tetap jalin komunikasi yang baik, agar tetap mengarahkan dan mengingatkan mereka. Misalnya hari Minggu, kita ingatkan mereka untuk ibadah ke gereja, dan mendengarkan Firman Tuhan. Namun ada syarat, jangan hanya sekedar ibadah, ibadah lah di gereja dimana dia di baptis. Jangan lari ke aliran atau doktrin yang tidak sejalan dengan doktrin yang sudah kita anut selama ini, misalnya kharismatik. Bapak dan ibu sangat tidak setuju dengan doktrin kharismatik itu, jadi jika anak-anak pacaran dengan aliran dari kharismatik, kami pasti larang, masih lebih baik ke Khatolik kami rasa, gitu nak. Karena kharismatik ini tidak mengakui adanya budaya Batak Toba. Kharismatik sangat berlawanan dengan budaya dan adat istiadat Batak Toba.” Sebagai seorang tokoh agama, juga tokoh adat dan tokoh masyarakat, peneliti pun bertanya kepada beliau mengenai nilai-nilai yang ada dalam adat budaya Batak Toba dan bagaimana cara yang dilakukan agar anak-anaknya juga mau mewarisi, memegang taguh serta paham akan nilai dalam adat dan budaya Batak Toba. Sehingga adat budaya itu tidak hanya berhenti pada orang tua saja. “Nilai yang sangat penting dalam adat budaya Batak Toba ini adalah “Dalihan Na Tolu” Batak Toba, sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak Toba,. artinya, ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, “Somba marhula-hula” Batak Toba, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, “manat mardongan tubu”Batak Toba, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut “Elek marboru” Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Inilah sebenarnya nilai dasar yang harus dan wajib diketahui oleh anak-anak kita. Kalau anak sudah paham ini, maka untuk memahami adat lainnya sudah lebih gampang. Nilai yang lain adalah orang Batak Toba itu harus bisa mewujudkan “3H” dalam kehidupannya, yaitu Hamoraon Kekayaan, Hagabeon Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Kesuksesan dan Hasangapon Kehormatan. Kekayaan itu menurut budaya Batak Toba adalah mempunyai keturunan putra dan putri, bukan sepenuhnya dari harta benda. Kesuksesan yang dimaksud adalah berhasil dalam ladang dan berhasil dalam rumah, kehormatan itu menyangkut harga diri, tetapi bukan berarti gengsi ya. Kita sebagai orang tua selalu mendoakan anak-anak supaya menjadi anak-anak yang mau mendengarkan nasehat orang tua dan berpikir, bertingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai adat yang kita pegang. Bapak dan ibu selalu mengajari anak-anak di rumah atau sharing tentang adat istiadat Batak Toba. Supaya kelak mereka tahu dan paham siapa saja yang menjadi kerabat keluarga. Apa itu “dalihan na tolu” dan siapa saja yang menjadi bagian dari “dalihan na tolu” dalam keluarga kami. Jadi bapak dan ibu ajari, siapa yang jadi tulang, nantulang, bou, tante, maktua, dan yang lainnya.” Semakin maju zaman, maka semakin terkikis juga budaya dan adat istiadat yang sudah diwariskan nenek moyang kepada kita. Dari generasi ke generasi, adat istiadat dan budaya itu semakin memudar. Semakin banyak anak muda zaman sekarang yang tidak lagi peduli tentang budaya adat. Hal ini juga ditanyakan oleh peneliti kepada beliau, apa dan bagaimana caranya supaya adat istiadat dan budaya Batak Toba itu tetap terjaga dan terpelihara. “Perkembangan zaman semakin mengikis budaya yang ada. Anak muda sebagai generasi penerus tidak lagi peduli dengan adat budaya yang ada. Tidak mau belajar. Jangankan anak muda, orang tua pun sudah banyak yang tidak paham betul tentang adat budaya Batak Toba ini, misalnya dalam sebuah acara adat, sudah lebih menyukai musik barat dengan keyboard daripada musik Batak Toba dengan uning- uningan asli. Keyboard itu kan orang luar punya, Batak Toba mana ada pake keyboard. Jadi, saran ke depan supaya orang tua mau mengajari anak akan nilai adat istiadat Batak Toba yang baik dan benar, kedua supaya sekolah kembali mengajarkan tambahan bidang study, Bahasa Daerah Batak Toba. Maka dari itu, budaya Batak Toba ini bisa tetap bertahan dan terjaga.” Demikianlah saran beliau kepada orang tua dan anak-anak muda sebagai generasi penerus. Hal ini sangat penting untuk diterapkan dalam hidup bermasyarakat, untuk menjaga dan melestarikan budaya Batak Toba. Demikianlah hasil wawancara dengan Bapak Likson Ambarita dan Ibu Likson. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Sore hari ketika senja mulai menyapa, peneliti kembali mengunjungi keluarga ini. Kehadiran peneliti langsung disambut hangat, bahkan mereka cukup santai tampaknya, tidak bersikap kaku. Rumah bercat putih dengan ukuran yang cukup luas, dilengkapi pagar berwarna biru menjadi ciri khas tempat kediaman mereka. Peneliti menemui ada beberapa orang yang sedang duduk santai di beranda rumah. Ada bapak dengan kemeja batik berwarna ungu, kompak dengan ibu yang mengenakan kemeja batik ungu juga, bersama empat orang anaknya yang balik ke kampung dikarenakan hari libur. Sebelum membawa informan ke arah pembicaraan yang fokus, terlebih dahulu peneliti mencoba untuk menggali informasi mengenai keluarga tersebut. Mereka terbuka dan senang hati berbagi cerita dengan peneliti. Keluarga ini menikah pada tahun 1978 tepat pada bulan Desember. Kepercayaan yang mereka anut adalah Kristen Protestan, ini juga aliran yang diajarkan kepada anak-anak yang telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka, sebanyak tujuh orang. Keluarga ini sangat bersyukur dengan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarganya. Mereka mengungkapkan betapa bersyukurnya mereka atas perkenanan Tuhan dalam hidup mereka , terkhusus bagi Bapak Ronald yang diutus menjadi penatua gereja. Satu pun dari anak-anak mereka belum ada yang menikah. Tiga orang dalam tahap pendidikan, sementara Kasus Kedelapan Nama : Bapak Ronald Togatorop Ibu Nurmala boru Siallagan Umur : 60 Tahun 57 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Toba Alamat : Desa Unjur Keluarga ini adalah keluarga kedua yang diwawancarai oleh peneliti di Desa Unjur, Samosir. Keluarga ini adalah keluarga yang menjadi informan peneliti ketika mengadakan pra penelitian. Keluarga yang cukup hangat menyambut kedatangan orang lain dan keluarga yang menghargai keberadaan orang lain. Hal inilah yang dirasakan oleh peneliti pada kunjungan pertama dalam pra penelitian sebelumnya. Ketika pra penelitian tersebut, peneliti telah membuat janji dengan keluarga ini untuk diwawancarai nantinya. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara empat orang lagi telah bekerja dan mandiri. Besar harapan keluarga ini anak- anaknya yang sudah layak umur segera menikah dengan sesama suku Batak Toba. Aktivitas kedua orang tua ini adalah mengajar anak didik SD ibu dan SMP ayah. Setelah suasana sudah cair, peneliti pun mengingatkan kembali tujuan dan maksud kedatangannya ke Desa Unjur tersebut, yaitu untuk mengadakan wawancara dengan warga di desa tersebut demi memenuhi tugas akhir peneliti. Sistem kepercayaan dan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya, serta cara beliau menerapkannya kepada anak-anak, menjadi awal pertanyaan peneliti kepada mereka. “Bapak dan ibu adalah penganut kepercayaan Kristen Protestan, kami ibadah di Gereja HKBP. Kami mengajari dan membawa anak-anak sejak kecil untuk mengenal Tuhan. Makna agama bagi kami itu sangat banyak. Hal yang paling penting dalam kepercayaan yang bapak anut dan bapak ajarkan kepada anak-anak adalah untuk keselamatan. Mengikut Tuhan dan mengimani Yesus sebagai Juru Selamat yang hidup, itulah keselamatan, tidak akan binasa nantinya. Dengan adanya agama, hati bapak dan keluarga bapak bisa tentram, damai dan menikmati berkat Tuhan yang luar biasa. Banyak nilai yang ada dalam kepercayaan atau agama yang kita anut tersebut. Menurut bapak, cara yang paling baik untuk mewarisinya kepada anak-anak, yang pertama itu adalah melalui perbuatan kita sehari-hari. Karena nilai itu akan sangat tampak dan terlihat lewat perbuatan kita sehari-hari. Misalnya, ketika nilai yang bapak ajarkan itu di rumah adalah saling mengasihi, sementara hal yang bapak dan ibu kerjakan adalah berbeda atau bertolak belakang, kan susah nak. Tidak jadi teladan yang baik lagi bagi anak-anak. Nilai yang sering bapak dan ibu ingatkan dan ajarkan kepada anak-anak itu adalah saling mengasihi sesama. Anak-anak sejak kecil sudah kita bawa mengenal Tuhan, kita ajari membaca Alkitab setiap malam hari, ajari berdoa, kita sama-sama beribadah ke Gereja, kita himbau langkah mereka seperti apa di luar.” Menurut Galvin dan Bromel 1991, keluarga adalah institusi dasar dan tertua dibandingkan yang lainnya. Keluargalah yang menjadi dasar dari segala sesuatunya, dimana anak dilahirkan, dibesarkan dan juga dididik sebaik mungkin, diwarisi nilai-nilai dan juga budaya yang berlaku, hingga akhirnya individu itu paham dan dewasa, membentuk keluarga sendiri, yang pada akhirnya akan mewarisi hal yang sama pada anak-anaknya Lubis, 2012. Namun, bukan hanya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara keluarga yang turut berperan dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kepada anak. Sekolah pendidikan juga menjadi salah satu organisasi sosial yang turut berperan mewarisi nilai-nilai kepada anak. Maka dari itu, peneliti mulai menanyakan tentang pandangan Bapak Ronald dan Ibu Nur terhadap sekolah dan pendidikan anak. Mereka mengakui bahwa pendidikan adalah hal yang terutama, terkait dengan nilai dalam adat budaya Batak Toba, Anakhonhi do hamoraon di au. “Sesuai dengan nilai atau prinsip hidup orang kita Batak Toba dan juga yang bapak dan ibu pegang, yaitu Anakhonhi do hamoraon di au, maka harta bukan segalanya. Namun, yang paling utama adalah anak- anak yang sudah Tuhan percayakan dalam keluarga kami, itulah harta yang terbesar bagi kami, itulah kekayaan yang bapak dan ibu miliki. Tujuh anak bapak dan ibu, harus bisa minimal sarjana semua. Pendidikan, taraf hidup, dan keadaan mereka nantinya harus lebih tinggi dari bapak dan ibu sekarang. Rumah adat Batak Toba kan bermakna seperti itu, dengan ujung atap yang lebih tinggi di bagian belakang. Bapak dulu hanya sebatas Sarjana Muda, ibu disini hanya tamatan SPG, jadi prinsip itu yang terus kami pegang, mereka harus lebih tinggi lagi dari kami. Pendidikan anak harus lebih tinggi dari kami orangtuanya, walaupun menuntut ilmu itu nantinya menciptakan jarak yang sangat jauh antara anak dengan kami orang tua. Ini menjadi doa kami kepada Tuhan, agar Tuhan selalu menyertai anak-anak di setiap pendidikan yang ditempuh, agar tidak terpengaruh dengan kejahatan anak-anak muda zaman sekarang, sehingga motto atau nilai Anakhonhi do hamoraon di au ittu bisa terwujud. Kebanyakan orang kita Batak Toba ini adalah pejuang sejati untuk anak-anakya. Walaupun miskin dan tidak punya apa-apa, tetapi anak itu harus sekolah dan mencapai cita-citanya. Dengan mengecap pendidikan yang semakin baik, maka wawasan anak pasti semakin luas dan pengetahuan semakin tinggi, dengan sendirinya hal itu akan menanamkan nilai-nilai kepada anak, jadi bukan hanya dirumah mereka bisa mendapatkan pengajaran. Perilaku orang yang berpendidikan pasti jauh berebda dengan perilaku orang yang tak punya pendidikan.” Menuntut ilmu memobilisasi orang desa merantau ke kota. Sebagaimana kita ketahui bahwa kota adalah tempat persinggahan manusia dengan keanekaragaman latar belakang satu dengan yang lainnya. Mau tidak mau, pergaulan di kota menjadi wadah terciptanya komunikasi antarbudaya, tentunya diantara dua orang yang berbeda suku dan juga agama. Terkait dengan hal Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tersebut, peneliti menanyakan bagiamana pandangan Bapak Ronald dan juga Ibu Nurmala, jika anak-anak mereka yang merantau untuk pendidikan tersebut, menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Dengan nada yang sedikit lantang, Ibu Nurmala mengatakan bahwa berbeda agama itu tidak diperbolehkan dalam keluarga mereka. “Jika anak kami berhubungan atau mungkin pacaran dengan seseorang yang berbeda agama, ibu jelas akan menentangnya. Tidak untuk yang beda agama Makanya dari kecil kita sudah didik dan ajari itu anak supaya tidak sekali-sekali murtad.” Karena suasana sedikit tegang, maka Bapak Ronald kemudian menjelaskan dengan lembut dan jelas kepada peneliti, bagaimana pandangannya akan hal tersebut. “Begini sebenarnya nak, kami jelas jelas melarang anak kami untuk pacaran dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Menurut kepercayaan yang bapak dan ibu yakini, bahwa anak-anak itu sudah dibaptis di dalam nama Yesus Kristus, Roh Tuhan ada padanya, bagaimana mungkin dia akan murtad lagi? Yah walaupun sebenarnya keselamatan yang kami yakini itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan, maksud bapak ketika dia murtad pun, itu adalah pilihan hidupnya, jika mau binasa silahkan murtad, berarti keselamatan yang ada padanya itu perlu kita beri tanda tanya. Akan tetapi, sebisa mungkin kita akan terus berdoa untuk anak-anak agar tidak murtad hanya karena cinta dan godaan dunia yang hanya sesaat. Bapak dan ibu disini juga kan tidak mau melihat begitu saja anak-anak kami berjalan menuju kebinasaan. Kita harus tetap arahkan, nasehati dan didik mereka. Kalau memang harus menikah dengan seseorang yang berbeda agama tersebut, yasudahlah jangan menyesali orang tua, itu adalah pilihannya.” Selanjutnya peneliti menggali kembali bagaimana pandangan mereka terhadap perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo. Mengingat bahwa kota adalah tempat perantauan manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda. Jadi bukan hanya agama, namun suku juga. Agar mereka lebih memahami maksud pertanyaan dari peneliti, peneliti permisi untuk memisalkan anak mereka dalam posisi tersebut. Bapak Ronald dan Ibu Nurmala menjelaskan pandangan mereka dengan saling menambahkan jawaban. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Pendapat bapak sih seperti tadi, tidak jauh beda dengan perbedaan agama, tetapi kalau memang harus itu dan sudah itu jodoh yang Tuhan tetapkan, ya tidak masalah. Yang penting kan dia dengan suaminya kelak, atau dia dengan calon isterinya, bukan kita lagi. Pastinya nasehat sudah kita berikan jauh sebelumnya, jauh sebelum anak mulai masuk dalam tahap tertarik dengan laki-laki. Bagi ibu juga itu adalah hal yang penting, karena tidak hanya menyangkut mereka berdua menurut ibu, itu sudah menyangkut dua keluarga yang sangat besar, karena sudah pasti masuk dalam acara adat nantinya kan jika menikah. Ibu sendiri adalah pribadi yang tidak setuju anak pacaran dengan orang Karo, ibu akan terus menasehati dan mengarahkan anak-anak untuk tidak pacaran dengan beda agama dan beda suku, terutama orang suku Batak Karo. Bahkan di rumah pun bapak dan ibu selalu mengingatkan supaya tidak pacaran dengan orang Batak Karo. Perkawinan campuran itu sangat susah untuk dijalankan nak, karena yang pertama, tidak ada kesesuaian adat istiadat dengan mereka orang Batak Karo, kemudian yang kedua itu adalah dari segi bahasa kita tidak mengerti apa yang mereka katakan, dan mereka juga demikian. Jadi, bagaimana komunikasi bisa nyambung? Bagaimana pesan bisa tersampaikan? Misalnya, sinamot manang tuhor ni boru harga yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Bagi orang Batak Karo, sinamot itu sangat murah, sementara Batak Toba sinamotnya harus besar. Kenapa? Karena memang orang Batak Toba itu adalah anak dan boru ni Raja. Makanya sebagai raja harus berwibawa ke dalam dan keluar, terutama dalam hal adat istiadat. Mungkin bagi mereka sesama itu tidak menjadi masalah, tetapi ketika keluar dari suku itu menjadi batu sandungan, karena sering menimbulkan masalah. Nilai yang lain yang tidak sesuai dari Batak Karo ke Batak Toba adalah adanya keharusan bagi tulang dari pihak laki-laki untuk membuat surat pernyataan setuju akan pernikahan berenya ke putri Batak Karo itu tadi, jika itu tidak ada, maka perkawinan akan segera ditunda. Itulah beberapa nilai adat istiadat yang berbeda.” Sesuai dengan pengakuan kedua informan ini, maka peneliti ingin mengetahui pandangan mereka terhadap orang Batak Karo, mengapa di dalam keluarga itu anak-anak diarahkan untuk tidak pacaran dengan orang yang berbeda suku, terutama suku Batak Karo. “Orang Batak Toba itu masih mau kata memaafkan, sementara kalau orang Batak Karo itu keras sekali, tidak mau memaafkan, sangat pendendam. Kemudian egoisme yang cukup tinggi, terus masih banyak mereka yang percaya kepada dunia gaib atau mistik, kalau hal lain sih mereka suka makan sirih, jadi terkesan jorok, tetapi memang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kebanyakan mereka itu penjorok, jarang memperhatikan kebersihan di rumah, karena mereka itu fokus hanya ke ladang.” Bapak Ronald Togatorop adalah seorang yang cukup dipercayakan dalam hal adat istiadat di Desa Unjur, bahkan di luar desa itu juga sudah diakui. Peneliti ingin mengetahui nilai-nilai seperti apa yang ada dalam adat budaya orang Batak Toba yang dipegang dan dijunjung tinggi, bahkan diwariskan kepada anak-anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Harahap dan Siahaan 1987, bahwa nilai-nilai suku Batak Toba itu mencakup Kekerabatan Dalihan Na Tolu, religi, hamoraon, hagabeon, hasangapon, hamajuon, hukum, pengayoman, inilah hal yang juga dipegang dan dikerjakan dengan baik oleh beliau dan diwariskan kepada anak- anak. Tidak ketinggalan hal yang juga sama pentingnya yaitu tarombo silsilah, karena Silsilah atau Tarombo sangatlah penting bagi orang batak, karena rasa semarga klan membuat dekatnya persaudaraan baik di rantau maupun di tanah asalnya sendiri Hutagalung, 1961:9. “Pertama itu adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak, yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Dengan adanya silsilah orang Batak Toba, maka anak-anak saya itu tahu yang mana keluarganya, dan tahu bagaimana bertutur sapa dengan kerabat keluarga, dia juga bisa tahu kepada siapa dia bisa menikah. Kemudian nilai yang lain yang juga bapak ajarkan ke anak- anak bahwa orang Batak Toba itu memegang teguh dan mengusahakan hidupnya menuju 3H, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Simbol orang batak yaitu ulos juga penting kita jelaskan maknanya bagi anak-anak, karena memang ulos itu kan berbeda-beda maknanya dan ragamnya, seperti Ulos Sibolang diberikan kepada orang yang sudah meninggal, Ulos Bintang maratur diberikan kepada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara anaknya yang datang dari perantauan, kemudian dibawa ke rumah tulang, dan diberkati disana, itulah ulos yang diberikan tulang kepada anak, Ulos Mangiring itu diberikan kepada yang sudah berkeluarga, supaya punya putra dan putri yang banyak, dan keturunan yang sejahtera.” Semakin hari budaya semakin mengikis, keadaan yang sangat menyedihkan ketika budaya dan adat istiadat itu tidak diwarisi oleh anak-anak muda zaman sekarang yang menjadi generasi penerus. Tidak ada lagi perhatian terhadap budaya, tidak ada lagi usaha untuk mengembangkan dan melestarikannya, semua semakin egois dengan kebutuhan dan kesenangan masing-masing. Menurut pengakuan mereka, faktor orang tua yang semakin banyak tidak peduli lagi terhadap budaya sendiri, tidak peduli apakah nilai adat ini perlu disampaikan kepada anak. “Memang benar itu nak, zaman sekarang sudah banyak anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu lagi tentang budaya dan adat istiadat orang Batak Toba, hal ini diakibatkan oleh kemajuan telekomunikasi, mereka banyak meniru gaya yang ditampilkan dalam pesawat televisi, padahal itu kan gaya orang luar negeri, bukan gaya dan adat kita, tetapi bukan hanya faktor kemajuan teknologi, faktor orang tua juga ada. Banyak orang tua yang tidak peduli akan perkembangan dari anaknya, tidak peduli apakah adat istiadat ini perlu saya sampaikan kepada anak? Bahkan pendidikan anak pun tidak diperhatikan, kenapa? Karena pendidikan zaman sekarang sudah jauh lebih canggih dari zaman dulu, jadi orang tua tidak mampu lagi menjangkau apa yang dikerjkan anak di sekolah, ini membuat orang tua malas mendampingi anaknya belajar, dibiarkan begitu saja. Padahal secara psikologi, hanya didampingi belajar atau mungkin duduk disamping anak saja ketika anak itu belajar, itu sangatlah berarti. Perilaku anak itu adalah cerminan bagaimana didikan dalam keluarga.” Adat budaya yang semakin mengikis adalah hal yang sangat menyedihkan tentunya. Sebagai warga negara yang baik, kita tentunya harus melakukan sesuaatu untuk tetap bisa mempertahankan dan menjaga dengan baik adat istiadat dan budaya kita masing-masing, karena itu adalah kekayaan budaya negara kita. Terkait dengan hal tersebut, peneliti menanyakan saran dari informan, bagaimana dan apa yang seharusnya dilakukan agar budaya dan adat istiadat itu tetap dijaga dan dilestarikan. Bapak Ronald dan Ibu Nurmala mengungkapkan dengan nada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara yang sedikit tegas, bahwa menikah dengan seseorang yang berasal dari sesama suku Batak Toba adalah salah satu cara untuk menjaga dan melestarikan. “Kembali ke topik sebelumnya tadi, tentang perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo, jadi menikah dengan seseorang yang berasal dari suku yang sama adalah salah satu cara untuk tetap menjaga kelesatrian adat istiadat dan budaya sendiri. Karena jika menikah dengan beda suku, nilai budaya suku apa yang akan diwariskan kepada anak nantinya? Kalau seperti ini kan jadi menimbulkan konflik tersendiri di rumah tangga. Kedua itu anak harus juga banyak bertanyalah, jangan diam dan cuek. Ketiga adalah budaya itu harus diajarkan di sekolah, mata pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba. Inilah sekarang yang menjadi kelemahan dari pemerintah kabupaten Samosir ini, kenapa itu dihapuskan dari mata pelajaran? Saran bapak, Mata Pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba harus dikembalikan ke awal, supaya tidak semakin hilang dari jiwa anak- anak zaman sekarang.” Setelah Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan menjelaskan jawaban pertanyaan terakhir dari peneliti, maka peneliti pun mengakhiri wawancara dengan Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan. Keadaan di rumah Bapak Devi sangat sepi, hanya ada beliau dan isterinya Ibu br Siadari. Menurut pengakuan mereka, hal ini dikarenakan anak-anak mereka Kasus Kesembilan Nama : Bapak Devi Manik Ibu R. br Siadari Umur : 46 Tahun 45 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Toba Alamat : Desa Unjur Malam hari adalah waktunya untuk beristirahat bagi kebanyakan orang, namun tidak untuk peneliti. dengan penuh kesabaran peneliti masih berjlan mengelilingi Desa Unjur, untuk mencari warga yang mau memberikan waktunya untuk diwawancarai. Sampai akhirnya peneliti tiba di salah satu rumah warga yang letaknya tidak jauh dari tempat peneliti tinggal. Susunan bata berwarna cokelat, beratapkan seng dan halaman yang dipenuhi dengan bunga menjadi ciri khas dari rumah tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara semua berada merantau ke kota demi pendidikan, mereka hanya memiliki tiga orang anak. Belum satu pun dari anak-anak yaang sudah menikah atau berumah tangga. Ditemani secangkir teh manis, peneliti terus memancing mereka untuk mau bercerita tentang kehidupan dan juga pandangan-pandangan mereka. Menurut kepercayaan orang Batak Toba yang telah diungkapkan Tinambunan 2010, anak akan berpegang teguh pada kepercayaan yang telah dipegang teguh oleh orang tuanya. Maka ketika anak telah berpaling dari kepercayaan tersebut, anak dianggap telah melanggar didikan orang tuanya, dan orang tua akan dianggap tidak berhasil menanamkan nilai kepercayaan yang dianutnya. Peneliti menanyakan kepada Bapak Devi dan Ibu br Siadari tentang kepercayaan tersebut, nilai yang ada dalam kepercayaan yang dianut serta bagaimana mereka mewaarisi itu kepada anak-anak. “Bapak adalah seorang Penatua Gereja. Bapak dan ibu adalah pemeluk agama Kristen Protestan dan kami membawa, mendidik dan mengajari anak-anak untuk memeluk kepercayaan yang sama juga. Hidup ini akan sangat indah kita jalani jika kita bersama Yesus, baik dalam melewati suka dan duka. Nilai yang penting dalam kepercayaan yang kami anut itu adalah saling mengasihi dan saling menghormati satu dengan lainnya. Ini yang menjadi nilai dasar dalam kehidupan orang Kristen, inilah titik tolak keberangkatan kami melangkah ke depannya seperti apa. Orang yang beragama jelas berbeda perilakunya dengan orang yang beragama. Sebagai orang yang percaya, kita pasti akan menyerahkan segala sesuatunya ke dalam Tuhan sebelum itu kegiatan dimulai, dengan harapan Tuhan memberkati setiap hal yang kita kerjakan dan kita pun dikuatkan untuk mengerjakannya. Tidak hanya berhenti di orang tua saja, nilai ini adalah hal yang sangat penting untuk kami ajarkan kepada anak-anak. Kami bersyukur karena selama mengajari anak-anak, mereka mau mendengar nasehat dan didikan dari kami orang tuanya. Sejak kecil kami sudah mengajari dan mendidik mreka sesuai kehendak Tuhan, juga satu hal lagi yang paling penting adalah mengingatkan dan mengarahkan anak-anak supaya tidak menjalin hubungan atau pacaran bahkan menikah dengan orang yang berbeda agama.” Organisasi sosial yang sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak adalah keluarga dan juga sekolah. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pendangan Bapak Devi Manik dan Ibu br Siadari terhadap sekolah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara atau pendidikan anak. Menurut pengakuan beliau, pendidikan anak adalah modal utama untuk memperbaiki taraf hidup ke depannya. “Yang pasti orang yang berpendidikan berbeda dengan orang yang tidak mengecap pendidikan, dari segi berbicara, berpikir sudut pandang, dan juga dari segi bertingkah laku. Dalam masa pendidikan pastinya anak kita itu diwarisi nilai-nilai juga, sehingga wawasaan anak akan lebih luas, pandangannya terhadap sesuatu akan lebih bermakna, kan gitu. Kami sebagai orang tua akan menjunjung tinggi pendidikan anak-anak sampai mereka mencapai cita-cita masing- masing. Perjuangan orang tua adalah untuk anak-anak, sebisa mungkin akan kami usahakan untuk cita-cita anak-anak, sekali pun itu menciptakan jarak yang memisahkan anak dan orang tua.” Agama dan pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kedua orang tua ini, dan nilainya adalah sangat penting untuk diwariskan kepada anak-anak. Maka dari itu, peneliti menanyakan kepada informan tentang pandangan mereka jika anak-anaknya pacaran atau menikah dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. “Bapak misalkan dengan anak bapak yang kuliah di Semarang ya nak, disana mayoritas Muslim tentunya, jadi bapak dan ibu tetap nasehatkan dan arahkan mereka, besar harapan bapak dan ibu untuk anak-anak untuk tidak murtad ke agama lain. Jauh sebelum mereka tertarik dengan lawan jenisnya, bapak dan ibu sudah menekankan harapan itu tadi, yaitu tidak menikah dengan orang yang berbeda agama. Kami pun selalu doakan mereka di tanah perantauan itu nak, supaya memegang teguh kepercayaan yang sudah diajarkan orang tua, yang sudah dianut sejak kecil. Bagi kami itu nak, agama adalah hal yang paling penting dibanding yang lain.” Sebagai orang tua, tentunya masa depan anak-anak adalah hal yang dikhawatirkan. Dengan siapa kelak ia akan menghabiskan hidupnya, bagaimana kesejahteraan anak kelak dan masih banyak kekhawatiran yang lain. Terkait dengan hal tersebut, peneliti menanyakan kepada informan tentang pendapat mreka terhadap perkawinan campuran antara Batak Toba dan Batak Karo. Dengan persetujuan beliau, peneliti memisalkan anak beliau menjalin hubungan dengan seseorang yaang berasal dari Batak Karo. Secara jujur informan mengakui bahwa mereka tidak paham dengan adat istiadat budaya Batak Karo. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Sebenarnya jika masih satu suku Batak, titik temu adat istiadat dan budaya kita pasti ada. Beda halnya jika ke lain suku ya kan? Misalnya suku Jawa, jelas tidak ada titik temu adat istiadat kita dengan mereka. Memang adat istiadat dan budaya Batak Karo kan sudah beda dengan kita, itulah yang jadi alasan bagi bapak dan ibu sendiri untuk keberatan jika hal ini terjadi pada anak kami. Yang kedua itu adalah bahasa kita dengan mereka kan jauh berbeda, tidak saling memahami antara kita dengan mereka, pasti komunikasi tidak lancar kalau kita tidak saling memahami bahasa. Bapak dan ibu selalu memperhatikan perkembangan jiwa anak-anak kami, ketika mereka masuk dalam tahap remaja dan mulai tertarik dengan lawan jenis, kita pasti arahkan dan nasehati anak, kalau bisa berhubungan dengan orang Batak Toba saja. Sebenarnya beda suku tidak terlalu masalah bagi kami nak, yang penting agama harus sama. Selagi bisa kami akan arahkan anak supaya menikah dengan sesama Batak Toba, arahkan bukan paksakan, tetapi jika mereka tetap bersikukuh untuk hubungan dengan suku Batak Karo itu misalnya, ya sudah kita terima.” Untuk suatu pendapat, pasti ada sebuah alasan. Menurut pendapat informan, mereka akan mengarahkan dan menasehati anak-anaknya untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang berasal dari suku Batak Toba. Maka dari itu, peneliti menanyakan alasan beliau untuk tidak mengijinkan anaknya pacaran dengan orang Batak Karo, selain perbedaan adat istiadat dan budaya yang ada. Karena Ibu Siadari tidak pernah bersahabat dengan orang Batak Karo, beliau tidak berani memberikan pendapat tentang orang Batak Karo, beliau hanya mengungkapkan bahwa kekentalan budaya dan menjunjung tinggi budaya masih kurang di orang Batak Karo itu sendiri. Hanya Bapak Devi yang menjawab pertanyaan dari peneliti. “Di sisi lain sebenarnya kalau untuk penilaian secara pribadi terhadap orang Batak Karo, tidak terlalu spesifik, hanya pengalaman sekedar saja. Sifat orang Batak Karo itu egois sekali, kebanyakan dari mereka merasa diri paling jago, sok jagolah istilahnya nak. Satu lagi secara umum, anak Batak Karo itu banyak yang malas, semangat untuk berjuang masih lebih tinggi di orang Batak Toba. Itu saja sebenarnya membuat kita malas menjalin hubungan dengan mereka.” Sebagai seorang tokoh adat dalam acara adat istiadat di Desa Unjur, tentunya mengajari dan mendidik anak untuk tetap memegang dan menjunjung tinggi adat istiadat serta budaya Batak Toba itu sudah menajdi kewajiban bagi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Bapak Devi Manik dan Ibu Siadari. Inilah yang ditanyakan peneliti kepada beliau, bagaimana mereka mewarisi nilai adat istiadat itu kepada anak. “Bagi bapak sendiri mengajari mereka sudah menjadi suatu kewajiban. Hal yang paling penting untuk mereka ketahui adalah tarombo silsilah, dengan adanya silsilah dan kita ajari untuk bertutur sapa, maka semakin hari mereka akan semakin memahami kerabat kekeluargaannya, kemudian yang kedua itu yang penting adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak, yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Siapa-siapa sajakah Dalihan Na Tolu itu, itulah tugas kita sebagai orang tua, memperkenalkan keluarga yang masuk dalam kerabat tersebut, misalnya siapa tulang, namboru, bere, ibebere, dan lainnya. Terkait belajar adat istiadat ini, anak pun harus ada kemauanlah untuk bertanya.” Zaman yang semakin maju sangat berpengaruh terhadap kelestarian adat budaya dari suatu suku, seperti Suku Batak Toba. Semakin banyak anak-anak muda zaman sekarang yang tidak peduli dengan budaya mereka sendiri. tidak mau belajar, tidak mau memperhatikan, itulah anak-anak zaman sekarang. Menurut Bapak Devi dan Ibu Siadari, masukkan mata pelajaran Bahasa Daerah ke dalam pendidikan di sekolah. Karena orang tua tidak lagi bisa diharapkan sepenuhnya untuk mendidik anak tentang nilai budaya dan adat istiadat. Demikianlah hasil wawancara dengan Bapak Devi Manik dan Ibu Siadari. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Untuk mencairkan suasana, peneliti mulai menanyakan alasan beliau merenung dan melamun sendiri di warung sebelum peneliti datang. Beliau hanya tersenyum dan mengatakan bahwa bukan lamunan, namun hanya ungkapan kekaguman pada Tuhan pencipta langit dan bumi. Gunung yang begitu indah, langit malam yang penuh dengan bintang, sungguh tak terselami pikiran Tuhan, itulah yang mengisi hati dan pikiran beliau yang terkesan melamun saat ditemui peneliti. Beliau mulai banyak bercerita tentang penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarganya. Keluarga beliau dikaruniai Tuhan empat orang anak, tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan, semua anak-anak adalah penurut kepada nasehat orang tua, tidak susah dinsehati, takut akan Tuhan, semua anak- anak bisa disekolahkan, itu semua adalah berkat Tuhan yang sangat dikagumi oleh beliau. Karena topik pembicaraan sudah mengarah ke topik yang diinginkan Kasus Kesepuluh Nama : Op. Devita Ambarita Umur : 68 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Toba Alamat : Desa Unjur Keluarga berikutnya yang ditemui peneliti untuk mengadakan wawancara adalah keluarga Op. Devita Ambarita. Sebelumnya, peneliti dan informan telah mengadakan perjanjian untuk wawancara malam harinya, karena pagi sampai dengan sore, beliau bekerja di ladang. Kebetulan beliau adalah salah satu informan peneliti ketika mengadakan pra penelitian di desa tersebut. Ketika di temui oleh peneliti, beliau sedang duduk termenung di warung miliknya, warung itu pun tampak sepi yang biasanya ramai dikunjungi warga. Namun, sepinya warung tidak menjadi suatu alasan bagi beliau untuk tidak semangat melaksanakan proses wawancara. Dengan senyuman dan tangan terbuka, beliau menyambut kehadiran peneliti, duduk di warung ala kadarnya. Kemeja batik lengan pendek, celana panjang berwarna hitam, dengan warna kulit sawo matang, lengkap dengan uban yang semakin merata, seperti itulah keadaan informan ketika ditemui di warung tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara peneliti, dengan tidak kaku, peneliti langsung bertanya apa sebenrnya makna agama itu sendiri bagi beliau dan keluarga dan bagaimana mewariskan atau menerapkan itu kepada anak-anak. “Bapak seorang pemeluk kepercayaan Kristen Protestan, dan harus digaris bawahi bahwa bapak bukan hanya Kristen Protestan. Banyak sekali makna agama bagi bapak sendiri, artinya inilah yang menjadi titik tolak kita berpikir dan bertindak. Dalam agama yang bapak anut, kita diajarkan untuk saling mengasihi tanpa pandang bulu. Seperti simbol HOTEL yang sangat dikenal dalam istilah Batak Toba, yaitu Hosom, teal, elat dan late itu tidak boleh merasuki kita, kalau kita sudah mengenal Tuhan, karen Tuhan itu adalah Kasih. Kalau masalah mewariskan nilai-nilai kepada anak, itu tergantung anak itu sendiri. banyak ank yang tidak mau menerima ajaran dan nasehat dan didikan orang tua, tetapi puji Tuhan, semua kakak dan abangmu disini mau mendengarkan nasehat dan didikan kami orang tuanya. Bapak dan ibu disini selalu mengajarkan nilai itu kepada anak sejak kecil, kasih, saling menghormati dan sopan terhadap sesama. Kami juga mengajari mereka membaca Firman Tuhan, membawa mereka ibadah bersama ke Gereja.” Banyak manusia yang beragama, namun hanya sedikit yang menjalankan dan menghidupinya. Hal ini bisa juga terlihat dari salah satu cara kita mempertahankan agama kita ketika dihadapkan dengan berbagai godaan dunia, termasuk salah satunya adalah dalam hal teman hidup. Sejauh apakah Bapak Op. Devita Ambarita menghidupi dan mempertahankan agama dan kepercayaannya kepada Tuhan, ketika anaknya berada dalam hubungan yang lebih dengan seseorang yang berasal dari agama lain? Inilah yang ditanyakan peneliti kepada beliau. “Sebenarnya hati kita sangat menentang yang namanya beda agama, besar harapan kita untuk anak-anak tentunya agar menikah dengan sesama agama Kristen Protestan. Jika anak bapak pacaran atau ingin menikah dengan orang yang beda agama, sah sah saja. Sebenarnya bertitik tolak dari nilai agama itu tadi, saling mengasihi, kita sama- sama manusia ciptaan Tuhan, tetapi ada satu syarat mutlak jangan sampai anak saya itu murtad ke agama lain. Calon menantu itulah yang kita tarik ke agama kita, tetapi kalau anak tetap bersikeras untuk menikahinya dengan cara murtad, bapak akan biarkan dan jangan sampai menyesal, itu saja. Kebetulan sekarang ini kan bebas memeluk agama apa pun. Karena kepercayaan ini kan menyangkut urusan pribadi dengan Tuhan. Tidak ada istilah bapak bisa menyelamatkan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kau, itu tidak ada. Jadi, kalau dia murtad, padahal sudah kita nasehatkan, ya sudah, itu pilihannya, itu dosanya, itu urusannya dengan Tuhan Yesus.” Nilai-nilai kehidupan tidak hanya didapatkan dalam keluarga saja, namun juga dalam sekolah nilai itu pasti diajarkan dan diterapkan kepada anak didik. Terkait dengan hal tersebut, peneliti bertanya tentang pandangan informan terhadap pendidikan di sekolah. Karena kita ketahui bahwa melalui pendidikan di sekolah, anak akan diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan etnis-etnis yang ada di dunia. Sekolah termasuk salah satu lembaga formal yang memelihara kebudayaan dan nilai yang terkandung di dalamnya Lubis, 2012: 80. “Pendidikan adalah hal yang paling penting untuk orang tua perjuangkan bagi anak-anak. Biarpun kita tidak punya apa-apa atau miskin, kita akan usahakan untuk kemajuan anak-anak dalam pendidikan. Sekalipun harus menggadaikan barang, utang dan hal lainnya, pasti akan kami usahakan, asalkan ada kemauan bersekolah dalam diri si anak. Karena bukan kemajuan kami orang tua ini lagi yang penting, tetapi kemajuan anak-anak. Bersusah payah akan kami tahankan, asalkan anak-anak mau sekolah. Seperti nilai adat Batak Toba itu Anakhon ki do hamoraon di au. Kalau anak adalah kekayaan, ya sekolahkan sedaya mampu kita. Dengan pendidikan yang dikecapnya kan pasti wawasannya semakin luas. Di sekolah juga kan pastinya diajari bagaimana menerapkan nilai-nilai kehidupan yang baik dan benar. Jadi keluarga itu harus kerja sama dengan sekolah untuk membentuk pribadi si anak.” Menurut pendapat warga yang telah diwawancarai oleh peneliti, sekolah menjadi salah satu jalan memobilisasi masyarakat desa, dikarenakan kebutuhan akan pendidikan. Karena fasilitas di desa itu tidak selengkap di perkotaan. Kebanyakan fasilitas yang ada di desa itu sampai jenjang SMA, namun untuk melanjutkan ke perguruan tinggi belum ada. Mau tidak mau, anak-anak harus merantau ke kota. Ketika anak merantau ke kota, wawasan akan semakin luas dan tentunya pergaaulan tidak hanya sebatas sesama suku lagi, karena akan banyak individu dengan keanekaragaman latar belakang budaya yang datang ke kota. Tidak bisa dipungkiri, akan ada hubungan komunikasi antarbudaya yang terjadi disana. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti menanyakan tentang perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo kepada beliau, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dengan memposisikan anak beliau di posisi tersebut, yang sedang menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berasal dari suku Batak Karo. “Kalau bapak secara pribadi, prinsip bapak yang bapak harapkan pada anak-anak adalah kalau bisa sesama Batak Toba saja, tetapi kalau memang sudah jodoh, bagi bapak secara pribadi tidak ada istilah benci dengan suku lain, baik itu Karo, Simalungun, Pakpak, bahkan juga suku Jawa. Karena bagaimana pun, siapa pun dia yang akan menjadi menantu bapak kelak, dia bapak anggap sebagai anak. Kehendak orang tua itu jangan dipaksakan kepada anak. Jangan sampai anak itu depresi dan frustasi ketika kita melarang keras. Kalau memang anak bapak itu tadi harus menikah dengan perempuan atau laki-laki yang berasal dari Batak Karo, ya apa boleh buat kan? Berarti kita harus mau belajar. Adat istiadat dan bahasa adalah hal yang bapak soroti dalam peristiwa seperti itu. Jika kita bandingkan memang Batak Toba ke Simalungun masih ada sedikit kecocokan dan persesuaian adat, tetapi ke Batak Karo ini memang jauh berbeda, baik itu adat dan juga bahasanya. Pasti sangat susah untuk menyesuaikan itu, makanya kalau memang harus itu, dan jodoh, kemauan belajar harus ada. Saling belajarlah diantara kedua belah pihak, agar bisa saling memahami, seperti pepatah orang Batak Toba yang mengatakan Sijumpa solup ma na ro, yang artinya dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana acara adat itu dilakukan, kita harus ikuti sesuai adat yang berlaku di daerah tersebut, namun bukan berarti kita menyerah begitu saja tanpa adanya perjuangan untuk mempertahankan adat budaya kita, kalau sudah seperti ini, lakukan dalam dua versi, ada acara adat budaya Batak Toba, ada juga adat budaya Batak Karonya. Intinya tetap bapak ingatkan kalau bisa cari yang sesama Batak Toba saja.” Setiap pandangan tentunya diikuti dengan sebuah alasan. Ketika ada perkataan dan nasehat dalam keluarga beliau, untuk mencari menantu dari sesama suku Batak Toba, apakah yang manjadi alasan bagi beliau selain dari ketidak sesuaian adat dan bahasa. Mungkin bisa saja ada penilaian lain yang belum diungkapkan. Peneliti mencoba menggali persepsi dari beliau secara pribadi terhadap Batak Karo. Ternyata beliau tidak ingin mengungkapkan hal tersebut, karena menurut beliau itu adalah sikap menghakimi suku lain. Dengan demikian, peneliti pun tidak mau memaksakan. “Setiap suku itu kan pasti ada kelemahan dan kelebihannya, dan bapak secara pribadi, maaf nak, tidak mau untuk mengungkapkan hal-hal seperti itu. Kebetulan keluarga kami ada yang berasal dari Batak Karo, mereka sangat baik kok nak. Sebelumnya pun bapak tidak pernah tahu orang Batak Karo itu seperti apa. Jadi, maaf nak, bapak tidak mau Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara mengungkapkan pendapat bapak tentang orang Batak Karo, bagi bapak semua suku itu, kalau kita baik mereka pasti baik.” Setiap etnis atau suku tentunya mengandung nilai yang merupakan norma yang akan memberitahukan pada setiap individu yang memeluknya, man yang baik, mana yang buruk, man yang benar dan salah, yang boleh dan yang tidak boleh. Nilai ini pastinya berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya. Nilai apa saja yang ada dalam adat budaya Batak Toba, dan bagaimana sebenarnya beliau mengajari dan mendidik ank-anak supaya mereka juga paham akan adat budaya sukunya sendiri, inilah yang ditanyakan peneliti kepada informan. “Nilai-nilai yang ada dalam adat itu sebenarnya hampir sama di semua suku. Nilai yang paling penting menurut bapak dalam budaya Batak Toba ini adalah Dalihan Na Tolu yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Kemudian kalau dalam adat istiadat pernikahan, yang penting dijalankan adalah Suhi ni Ampang Na Opat, dimana disana ada Na Marhamaranggi bersaudara secara marga, Hula-hula pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, Tulang saudara laki-laki dari isteri, dan Pariban saudara kandung. Dalam budaya yang dipegang oleh orang Batak Toba, ada yang dinamakan Ulos dan Petuah. Hampir di setiap acara adat Batak Toba ini, berjalan budaya mangulosi. Nilai- nilai seperti inilah yang sangat penting untuk kita tanamkan kepada anak, supaya kelak dia bisa paham, dan memang anak itulah yang menjadi genersi penrus kita. Adat budaya Batak Toba itu tidak tertulis, untuk memahaminya harus banyak memperhatikan. Seperti pepatah Batak Toba, Girgir manangi-nangi, bakkol manghatahon, memang harus banyak mendengar dan memperhatikan. Jadi, bapak dan ibu akan mengarahkan anak-anak untuk rajin menghadiri adat dan memperhatikan apa yang terjadi disana. Tidak semua bisa jadi tetua desa, tetapi menjadi tua sudah pasti kan nak? Sebenarnya bagi bapak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara secara pribadi, mengajari mereka secara teori tentang adat budaya ini tidaklah begitu penting, tetapi biarlah ank-anak bisa belajar dari sikap dan perilaku bapak di rumah, karena kalau adat budaya ini akan sangat tampak dari sikap yang nyata. Kalau bicara kepada anak saja kita tidak sopan, anak pun akan menirukan hal yang sama. Taburkanlah yang baik maka anak akan menaburkan yang baik juga. Istilahnya jadilah teladan bagi anak-anak kita. Jangan beda perkataan dengan tindakan, supaya anak kita tidak heran nantinya.” Pertanyaan penutup dari peneliti adalah bagaimana pandangan beliau terhadap pengikisan budaya zaman sekarang, dan apa saran yang bisa dikerjalakan ke depannya. “Bapak secara pribadi cukup takut dan sedih melihat ank zaman sekarang, siapa yang akan melanjutkan dan melestarikan adat budaya Batak toba ini nantinya? Sepertinya semakin mengikis dan semakin banyak yang tidak peduli. Jadi, saran bapak secara pribadi, pemerintah setempat atau mungkin disepakati bersama oleh para tetua desa, supaya mengadakan Cultur Show sekali sekali di desa ini. Jadi anak- anak muda kan bisa belajar disana, dan kalau bisa menikah dengan sesama suku Batak Toba, itu saja sih nak.” Dengan berakhirnya jawaban dari Bapak Op. Devita Ambarita untuk pertanyaan terakhir dari peneliti, maka berakhirlah sudah wawancara dengan beliau. Informan terakhir yang ditemui oleh peneliti adalah Ibu Berto Sitanggang. Keluarga ini adalah keluarga yang cukup hangat menyambut kehadiran peneliti di tengah-tengah mereka. Ketika dijumpai peneliti, beliau baru saja pulang dari Gereja, menghadiri latihan koor. Jadi pakaian masih dilengkapi dengan sarung bercorak bunga-bunga dan baju berwarna cokelat motif bunga-bunga, badan gemuk, daan warna kulit yang agak gelap, itulah sedikit deskripsi tentang beliau. Kasus Kesebelas Nama : Ibu Berto Sitanggang Umur : 50 Tahun Agama : Kristen Protestan Suku : Batak Toba Alamat : Desa Unjur Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Ibu Berto sedang duduk santai di beranda rumah bersama dengan putrinya yang sudah menikah, dan juga kakek yang adalah ayah beliau. Awalnya beliau bersikap sangat kaku dan menolak untuk diwawancarai, karena beliau berpikir bahwa ini adalah tugas akhir dan sangat penting untuk peneliti, tidak boleh sembarangan menjawab. Kemudian peneliti dengan nada yang sangat lembut kembali mencoba menjelaskan maksud dan tujuannya, serta inti permasalahan yang akan ditelitinya. Akhirnya beliau paham dan menyetujui untuk diwawancarai. Sebelumnya peneliti telah mengetahui bahwa beliau adalah salah satu warga di desa tersebut yaang sudah menjalin kekeluargaan dengan orang Batak Karo, karena saudara laki-laki beliau menikah dengan orang Batak Karo. Peneliti mencoba mencairkan suasana dengan mengajak beliau bercerita tentang keluarganya. Keluarga mereka adalah keluarga yang cukup sederhana. Beliau bersyukur dipercayakan anak sebanyak lima orang, dua orang putra dan tiga orang putri. Mereka juga sangat bersyukur kepada Tuhan, karena dikuatkan dan dicukupkan Tuhan untuk menyekolahkan anak-anak sampai jenjang yang lebih tinggi. Anak Sulung sudah berumah tangga, namun belum dikaruniai anak oleh Tuhan, pendidikannya hanya sampai SMA, karena si Anak tidak ingin melanjut ke perguruan tinggi; anak kedua sudah berumah tangga, masih dalam tahap pendidikan Sarjana; anak ketiga itu sudah tamat dengan dari perguruan tinggi, sekarang telah bekerja; anak keempat juga sedang mengecap pendidikan di bangku perguruan tinggi; dan si bungsu masih duduk di bangku SMA. Setelah suasana semakin cair, tampak dari sikap beliau yang tidak sekaku di awal pertemuan tadi, maka peneliti melanjutkan pembicaraan dan mengarahkannya pada beberapa pertanyaan yang sudah dirancang. Sistem kepercayaan, maknanya bagi beliau dan cara beliau menerapkannya kepada anak- anak menjadi pertanyaan yang mengawali wawancara tersebut. Mengingat bahwa kepercayaan orang Batak menurut Tinambunan 2010, anak akan berpegang teguh pada kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya. Maka ketika anak berpaling dari kepercayaan tersebut, anak dianggap melanggar didikan orang tuanya, dan orang tua akan dianggap tidak berhasil menanamkan nilai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kepercayaan yang dianutnya. Beliau pun menjawab dengan baik dan jelas kepada peneliti. “Ibu adalah penganut kepercayaan Kristen Protestan, bapak di rumah ini juga demikian. Makna agama yang ibu anut itu sih, ibu dan keluarga bisa merasakan kasih Tuhan yang luar biasa, berkat yang selalu melimpah kepada kita itu kan datang dari Tuhan yang kita percayai sebagai Juru Selamat kita. Misalnya, kesehatan, berkat Tuhan ibu bisa menyekolahkan anak-anak yang sudah dipercayakan Tuhan bagi keluarga. Ibu mengenal Tuhan tentunyadari Firman Tuhan yang disampaikan Pendeta di Gereja, dan membaca Firman Tuhan juga di rumah, makanya sampai sekarang ibu tetap berpengharapan pada Tuhan saja. Kepercayaan ini tidak hanya untuk bapak dan ibu saja, anak-anak ibu juga penting untuk mengetahui kebesaran Tuhan dalam hidup ini. Sejak kecil, anak-anak sudah ibu bawa ibadah ke Gereja, ibu dan bapak arahkan di rumah supaya berbuat sesuai dengan yang diinginkan Tuhan. Memang bapak di rumah ini jarang ke Gereja, ibu yang sering mengarahkan anak-anak untuk tetap berdoa, pergi ke Gereja mendengar Firman Tuhan, supaya anak-anak kelak tidak gampang dipengaruhi oleh ajaran sesat, agar anak-anak tidak gampang murtad ke agama lain hanya karena godaan dunia ini.” Terkait dengan organisasi sosial yang adalah wadah formal untuk memberikan atau mewarisi nilai-nilai adat istiadat kepada anak, salah satunya adalah sekolah, maka peneliti mencoba menanyakan pandangan beliau terhadap pendidikan. Ternyata tidak terlepas dari falsafah hidup orang Batak Toba, Anakhon ki do hamoraon di Au Anak-anakku adalah kekayaan terbesar bagi ku. “Pendidikan itu pastinya menambah wawasan dan pengetahuan kepada anak, dan itu menjadi modal utama untuk kehidupan anak-anak ibu kelak. Harus ada perjuangan yang sangat tinggi dari ibu dan bapak, bekerja keras adalah kewajiban ibu untuk menyekolahkan anak sampai mereka mencapai cita-citanya, karena bagi kita orang Batak Toba ini, Anakhon ki do Hamoraon di Au. Ibu dan bapak akan bekerja keras pagi sampai malam, itu semua hanya untuk anak-anak kami, harus bersekolah setinggi-tingginya, sedaya mampu kami orang tuanya. Sekalipun ibu tidak bisa mengikuti gaya kebanyakan ibu zaman sekarang, seperti kekayaan misalnya berlian, pakaian yang cantik, dan harta kekayaan lainnya, tidak masalah, yang penting anak-anak saya itu berkecukupan. Asalkan ada kemauan anak untuk sekolah. Sambil berdoa terus untuk anak-anak.” Tidak hanya berhenti pada pandangan terhadap pendidikan dan kepercayaan, namun peneliti menggali kembali, apa pendapat beliau seandainya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara hubungan lebih dari teman pacaran dengan seseorang yang berbeda agama itu terjadi pada anak beliau. Karena kepercayaan juga kan mempengaruhi cara kita memandang sesuatu. “Ibu melarang keras jika anak-anak pacaran dengan seseorang yang berbeda agama. Jangankan yang berbeda agama, satu agama Kristen Protestan pun jika alirannya sudah beda dengan aliran doktrin yang diajarkan di Gereja ibu, misalnya GKII, GBI, GSJA dan lainnya, ibu tidak akan pernah setuju. Makanya tadi ibu bilang, sejak mereka kecil ibu sudah bawa mereka mengenal Tuhan, membawa mereka ibadah bersama ke Gereja, mengajari mereka berdoa dan membaca Firman Tuhan. Ibu hanya setuju jika anak ibu itu pacaran dengan orang yang ibadahnya di HKBP, GKPI, GMI, HKI, dan aliran lain yang serupa, itu saja.” Bukan hanya pandangan terhadap perkawinan campuran dengan beda agama, dari segi adat budaya, peneliti juga ingin mengetahuinya, bagaimana pandangan beliau terhadap adanya pekawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo. Ternyata beliau adalah pribadi yang sangat keras untuk menentang adanya perkawinan campuran Batak Toba dengan Batak Karo tersebut, hal ini disebabkan oleh faktor stereotip orang Batak Karo menurut beliau dan juga faktor pengalaman. “Secara pribadi ibu juga melarang keras anak-anak ibu untuk menjalin hubungan dengan orang Batak Karo. Ya, karena pengalaman ibu dengan orang Karo itu sangat pahit. Abangku menikah dengan boru Sembiring, sampai sekarang abangku ini tidak lagi perhatian dengan kami keluarganya, ibu yakin dia sudah diguna-gunai. Kami seakan- akan bukan lagi keluarganya. Boru Sembiring itu menciptakan jarak yang sangat jauh diantara yang bersaudara. Terlepas dari pengalaman ibu itu tadi, dari dulu pun ibu tidak suka dengan Batak Karo, tidak berharap punya keluarga dari Batak Karo. Otak Batak Karo itu kotor, dunia gaib itu masih kuat bagi orang Batak Karo, dendam berkarat sudah jadi ciri khas mereka, tidak ada jiwa untuk meminta maaf, beda dengan kita Batak Toba, jadi ibu sangat tidak suka berkeluarga dengan orang Batak Karo. Ibu dan bapak di rumah ini melarang keras kepada anak-anak sejak mereka mulai tertarik dengan lawan jenisnya, bahkan salah satu hal yang sangat penting untuk ibu ingatkan kepada anak sebelum merantau adalah jangan pacaran dengan orang Batak Karo, ibu dan bapak tidak akan merestui. Batak Karo, Nias, dan suku di Jawa sana, ibu selalu nasehatkan jangan coba-coba pacaran dengan mereka. Kalau Batak Simalungun masih ada persamaan adat budaya dan juga bahasa yang hampir sama, sedikit ibu mengerti. Jadi, sifat- Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sifat itu tadi yang membuat ibu sangat tidak senang melihat orang Batak Karo, barulah ke perbedaan adat budaya, juga bahasanya yang sangat susah untuk ibu pahami. Misalnya, pemakaian bulang-bulang, ulos kita beda dengan mereka, pelaksanaan adat istiadat itu pun jauh berbeda, jenis musik Batak Karo juga beda dengan kita Batak Toba, kalau gendang, musik, dan tortor Batak Toba itu girang dan semangat, Batak Karo terkesan lambat dan malas. Jadi, perkawinan campuran itu sangat rumit, menghabiskan waktu, dan tidak bisa ibu nikmati, karena tidak ada perpaduan.” Peneliti ingin mengetahui nilai-nilai seperti apa yang ada dalam adat budaya orang Batak Toba yang dipegang dan dijunjung tinggi, bahkan diwariskan kepada anak-anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Harahap dan Siahaan 1987, bahwa nilai-nilai suku Batak Toba itu mencakup Kekerabatan Dalihan Na Tolu, religi, hamoraon, hagabeon, hasangapon, hamajuon, hukum, pengayoman, inilah hal yang juga dipegang dan dikerjakan dengan baik oleh beliau dan diwariskan kepada anak-anak. Tidak ketinggalan hal yang juga sama pentingnya yaitu tarombo silsilah, karena Silsilah atau Tarombo sangatlah penting bagi orang batak, karena rasa semarga klan membuat dekatnya persaudaraan baik dirantau maupun di tanah asalnya sendiri Hutagalung, 1961:9. “Supaya anak-anak ini juga paham akan adat budaya itu, ibu dan bapak sering menjelaskannya di rumah. Misalnya sekembalinya dari acara adat, ketika mereka bertanya ibu jelaskan, gitu nak. Bapak paling sering berbagi tentang adat budaya dengan anak-anak ini, terutama itu Tarombo Silsilah, inilah nilai yang paling dasar yang harus anak-anak ketahui, supaya mereka tahu posisinya dalam acara adat Batak Toba, kemudian sistem kekerabatan Batak Toba, yaitu Dalihan Na Tolu yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudarai kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya bagi anak perempuan yang telah menikah, disebut Elek marboru. Dengan mengetahui silsilah dan juga sistem kekerabatan ini, maka dengan sendirinya anak akan semakin mengetahui nilai-nilai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara yang ada dalam adat budaya. Nilai lainnya dalam adat budaya sehari- hari itu paling bisa kita wujudkan dari cara kita berpikir, berbicara dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat, jadilah orang tua yang memberi contoh yang baik untuk anak-anak.” Menurut beliau menikahkan anak dengan sesama Batak toba adalah salah satu cara untuk tetap menjaga, melestarikan, dan mempertahankan budaya Batak Toba itu sendiri, karena dengan demikian, nilai adat itu juga yang akan diwariskan kepada anak-anaknya kelak, sehingga budaya itu tidak hilang. Inilah saran yang dianjurkan beliau untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai orang beradat. Dengan demikian berakhirlah sudah wawancara peneliti dengan Ibu Berto Sitanggang sebagai informan terakhir di Desa Unjur, Kabupaten Samosir.

4.3 Pembahasan

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba

35 167 106

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

3 74 80

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Perspektif Interpretivisme - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa S

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

0 1 7

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 15

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

0 0 23