Aspek – Aspek Hukum secara Umum yang dapat timbul dalam

1 Hipotek kapal berdasarkan Pasal 314 ayat 3 KUHD jo. Pasal 49 ayat 1 UU No. 211992 jo. Pasal 1168-1227 KUHPerdata atau Hipotek pesawat terbang berdasarkan Pasal 12 UU NO. 151992, jo. Pasal 1162- 1232 KUHPerdata. 2 Hak Tanggungan berupa tanah, berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996. 3 Jaminan Fidusia, berdasarkan UU No. 421999. 4 Berbentuk borgtocht berdasarkan Pasal 1820 KUHPerdata. 5 Dan juga berbentuk gadai berdasarkan Pasal 1150 KUHPerdata. Agar pemberian jaminan proporsional dengan prinsip utang dilindungi jaminan secured debt dan penjual berada pada posisi terjamin secured sehingga dikategori sebagai tagihan yang terjamin secured claim, nilai jumlah jaminan harus melebihi besarnya kewajiban yang harus dibayar pembeli. Pemberian jaminan yang cukup pada cara pembayaran tunda, merupakan syarat yang layak diterapkan dan dipenuhi pembeli. Oleh karena itu, dalam surat izin pemberian dispensasi pembayaran tunda yang diterbitkan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara sebaiknya digantungkan pada klausul pemberian jaminan dari pembeli. 40

C. Aspek – Aspek Hukum secara Umum yang dapat timbul dalam

pelelangan Dalam pelelangan memiliki aspek - aspek sebagai berikut : 1. Kewenangan Pengadilan Negeri untuk melelang barang sitaan tanpa perantaraan Kantor Lelang. 40 Ibid. h. 157 Universitas Sumatera Utara Penjualan barang yang disita menurut pertimbangan Ketua Pengadilan dapat dilaksanakan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Dengan ketentuan Pasal – Pasal ini berarti Pengadilan mempunyai pilihan untuk menentukan siapa yang akan melaksanakan pelelangan barang – barang sitaan yang ditanganinya. Ketentuan alternatif ini pada waktu lalu telah dilaksanakan oleh beberapa Pengadilan Negeri dengan melaksanakan sendiri lelang barang sitaannya. Terhadap ketentuan tersebut maka pertama – tama harus diusahakan, agar barang – barang sitaan itu dijual dengan perantaraan kantor lelang, baru kalau didaerah wewenangnya itu tidak ada perantaraan Kantor Lelang, maka boleh pelelangan itu dilakukan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang lain yang cakap dan dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri. Lagi pula Vendu Reglement dianggap sebagai aturan lex spesialis di bidang lelang, dan karena itu substansinya lebih mengikat. Dan akhir – akhir ini sudah tidak banyak Pengadilan Negeri yang melaksanakan pelelangan sendiri, namun masalah tersebut masih diperlukan penegasan dari Mahkamah Agung agar setiap pelaksanaan lelang barang sitaan oleh Pengadilan Negeri harus dilakukan dengan perantaraan Kantor Lelang. 2. Masalah gugatan Menurut Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Sekertaris Jenderal Departemen Keuangan sejak tahun 2000 sampai dengan Oktober 2010 tercatat 1824 perkaragugatan perdata dan 145 perkaragugatan Tata Usaha Negara Universitas Sumatera Utara TUN yang berkaitan dengan Pengurusan Piutang dan Lelang Negara. Banyaknya perkara yang di ajukan oleh debitur atau pihak ketiga terhadap Departemen Keuangan c.q. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara BUPLN tersebut, apabila dilihat dari segi materi gugatan atau alasan – alasan diajukannya gugatan dapat dilihat sebagai berikut : a. Adanya Itikad buruk dari pihak penggugat untuk mengulur – ulur pelaksanaan eksekusi atas barang jaminan. b. Adanya beberapa kelemahan dari kreditur dalam pengikatan kredit dan jaminan. c. Adanya beberapa kelemahan dalam proses administrasi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam beberapa kasus maupun proses pelelangan barang agunan. 3. Beding van eigenmachtige verkoop Selama ini ketentuan Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata merupakan aturan sangat efektif dalam melaksanakan eksekusi hipotik secara parate eksekusi. Menurut Pasal ini dalam perjanjian hipotik disepakati ”Beding Van Eigenmachtige Verkoop” yang memberikan hak kepada Kreditur untuk menjual barang hipotik tanpa melalui Pengadilan bila debitur wanprestasi. Dalam penerapannya sebagai berikut : 41 a. Secara tegas disebut dalam akta hipotik bahwa Debitur memberi kuasa mutlak kepada Kreditur untuk menjual barang agunan hipotik bila Debitur wanprestasi. 41 Retnowulan Sutantio, dkk, Op. Cit. h. 53 Universitas Sumatera Utara b. Dengan pemberian kuasa tersebut penjualan lelang dapat dilakukan tanpa melalui Pengadilan. c. Penjualan barang harus tetap bersifat umum melalui Kantor Lelang sesuai ketentuan Pasal 1211 KUHPerdata. Sebagai akibat saat ini Kantor Lelang cenderung untuk menghindari pelaksanaan ”Eksekutorial Verkoop” berdasarkan Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata. Padahal pihak perbankan, khususnya Bank swasta sangat mengharapkan dapat dilaksanakannya lembaga ini guna mempercepat proses penyelesaian kredit macet melalui lelang. Namun apabila pihak Lembaga Peradilan menganggap tetap di filter berupa fiat eksekusi Pengadilan Negeri, maka perlu dipertimbangkan suatu batas waktu yang cepat dalam pemberian fiat eksekusinya. 4. Masalah titel eksekutorial dalam lelang hipotik Ketidakpastian mengenai titel eksekutorial hipotik harus dicantumkan pada akta hipotik atau sertifikat hipotik harusnya diselesaikan. Di satu sisi ada sementara hakim yang menganggap cacat hipotik bila titel eksekutorial dicantumkan pada akta hipotik. Agar hipotik memenuhi syarat formal sebagai grosse akta, maka Titel Eksekutorial harus sebagai grosse akta maka titel eksekutorial harus dicantumkan pada akta hipotik saat pemasangan hipotik. Pencantuman Titel Eksekutorial pada sertifikat hipotik bertentangan dengan pasal 224 HIR jo. Pasal 51 dan 57 Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria mengingat bahwa Sertifikat Hipotik hanya merupakan tindakan administratif belaka. Di sisi lain Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan Universitas Sumatera Utara Surat Edaran No. SE-59433102KBPN tanggal 29 Desember 1988 yang menetapkan bahwa pada akta hipotikcredietverband. Hal ini mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 7 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria No. 15 tahun 1961 yang menentukan bahwa sertifikat hipotikcredietverband mempunyai fungsi sebagai grosse. Agar masalah ini menjadi kendala dalam eksekusi kiranya perlu ada penegasan yang pasti. 5. Pengumuman lelang Perihal pengumuman lelang eksekusi sejauh ini telah diatur dalam Undang – Undang No. 19 tahun 1959, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 40PMK 072006 yang pada pokoknya diatur sebagai berikut : a. Untuk pengumuman lelang barang tidak bergerak atau barang bergerak yang dijual bersama - sama dengan barang tidak bergerak di umumkan 2 kali dengan tenggang waktu berselang 15 hari. Pengumuman kedua harus dilakukan dalam surat kabar harian yang terbit didalam wilayah barang yang akan di lelang atau yang terdekat atau surat kabar beredar dalam wilayah tersebut dan yang berdekatan dengan tempat objek lelang terletak. 42 b. Untuk penjualan barang bergerak diumumkan menurut kebiasaan setempat dan penjualan tidak dapat dilakukan sebelum lewat hari ke delapan setelah barang – barang itu disita. Tidak dijelaskan bagaimana pengumuman dilakukan apabila diperlukan lelang ulang karena sebelumnya lelang tersebut tidak laku atau di tahan karena 42 Mahkamah Agung RI, Op.Cit. h. 97. Universitas Sumatera Utara belum mencapai harga yang diinginkan. Begitu juga dengan pengertian kebiasaan setempat untuk pengumuman lelang barang bergerak, pada masa sekarang perlu dipertegas mengingat nilai jual barang bergerak yang dilelang dapat berjumlah milyaran dan kebiasaan sekarang mengumumkan lelang melalui surat kabar harian sudah menjadi kebiasaan yang patut di pertimbangkan. Di samping itu juga perlu dipertimbangkan bahwa dalam hal pemohon eksekusi tidak mampu membiayai iklan pada surat kabar harian terlebih dahulu dan barang yang akan dilelang diperkirakan hasil penjualannya tidak sebanding dengan biaya iklan yang akan dikeluarkan, maka untuk itu barangkali diperlukan untuk memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri menggunakan cara pengumuman lelang tidak melalui surat kabar harian, tapi cukup dengan pengumuman tempel atau selebaran atau cara – cara lain yang dianggap lebih efisien dan efektif. 6. Harga limit lelang Harga limit lelang merupakan satu aspek penting yang diperhatikan dalam pelaksanaan lelang. Harga Limit yang berfungsi sebagai patokan terendah yang harus dicapai dalam pelaksanaan lelang perlu ditetapkan secara optimal. Untuk itu menetapkan harga limit dalam jumlah yang optimal adalah tidak mudah. Dalam hal harga limit ditetapkan pada tingkat harga yang belum optimal biasanya mendorong pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membocorkannya demi kepentingan tertentu. Maka oleh sebab itu harga limit lelang yang sifatnya wajib seperti eksekusi pada dasarnya dirahasiakan. Dalam Universitas Sumatera Utara praktek harga limit juga ada, sifatnya terbuka, seperti harga limit untuk lelang yang sifatnya sukarela. 43 Untuk melindungi para pihak yang berkepentingan dalam lelang eksekusi tentunya penetapan besarnya harga limit harus ada dan harus dapat dipertanggung jawabkan. Ketiadaan harga limit dapat menimbulkan kerawanan. Harga limit yang tidak optimal juga dapat menjadi bencana bagi Pemohon Lelang. Oleh sebab itu untuk menetapkan harga limit tersebut sebaiknya dibentuk tim kecil dan tim kecil tersebut harus dapat menghimpun masukan – masukan harga dari berbagai instansi terkait termasuk Kantor Lelang Negara. Berdasarkan taksasi yang ditetapkan tim kecil, maka Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua PUPN menetapkan harga limit lelang. 7. Gugatan terhadap harga lelang Sering kantor lelang digugat karena dianggap menjual barang dengan harga yang rendah. Terbentuknya harga sebenarnya ditentuak oleh pasar yaitu karena ada permintaan dan penawaran. Dalam pelaksanaan lelang, harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar dengan penawaran yang kompetitif. Di samping itu harga limit yang dapat dipertanggungjawabkan. Pejabat lelang tidak akan melepas barang, apabila harga lelang di bawah harga yang diinginkan si penjual. Dengan demikian tidak wajar jika Kantor Lelang di gugat mengenai harga lelang yang rendah. Untuk itu mengenai soal harga yang terbentuk dalam lelang tidak terlalu mudah menyalahkan Kantor Lelang. Sebaiknya hal ini harus di waspadai, karena 43 Retnowulan Sutantio,dkk, Op. Cit. h. 56. Universitas Sumatera Utara akan sangat mudah dijadikan alasan untuk menggugat, sekedar untuk menunda pengosongan dan sebagainya. Hal ini akibat adanya perbedaan kepentingan antara kreditur dan debitur. 8. Ketepatan waktu pelaksanaan lelang Setiap pelaksanaan lelang biasanya diumumkan terlebih dahulu kapan, di mana, dan jam berapa lelang dilaksanakan. Sering terjadi pada lelang atas permintaan Pengadilan Negeri soal ketetapan waktu tidak terjamin. Sementara itu Kantor Lelang juga sering kali memberi toleransi. Hal ini seharusnya jangan samapi terjadi karena rawan gugatan. Untuk itu waktu yang telah di jadwalkan dapat dipenuhi oleh pihak Pengadilan Negeri. Seandainya pelaksanaan tidak dapat dilakukan sesuai dengan jadwal, sebaiknya lelang tetap dibuka tepat waktu. Selanjutnya kepada peserta dapat diberikan penjelasan sehingga terdapat kepastian dan juga untuk menghindari timbulnya complaint dan kecurigaan dari peserta lelang. Masalah ini juga yang menjadi alasan gugatan. 9. Para pihak yang dilarang membeli melalui lelang. Meskipun sulit untuk dibuktikan masih ada berbagai pihak yang sebenarnya dilarang untuk ikut membeli dalam lelang tetapi secara langsung atau tidak langsung telah membeli atau ikut membelinya. Apabila hal ini terjadi dan terus dibiarkan, maka masalah ini akan mengganggu jalannya sistem yang pada akhirnya menjadi kendala dan mendiscourage masyarakat untuk membeli barang eksekusi. Akibatnya bisa merugikan Debitur maupun negara dan masyarakat pada umumnya. Universitas Sumatera Utara Aturan barang untuk ikut membeli ini sebenarnya sudah ada Pasal 1468 dan 1469 KUHPerdata. Para Hakim, Jaksa, Panitera, Advokat, Pengacara, Juru Sita, Notaris, Pejabat Lelang yang menangani kasus atas barang yang dlelang, dilarang ikut membeli. Agar aturan ini lebih efektif ada baiknya apabila Mahkamah Agung berkenan memberi penegasan. Khususnya kepada para Pejabat Lelang, Menteri Keuangan telah menegaskan kembali adanya larangan ini. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PELAKSANAAN PENJUALAN OBJEK HAK TANGGUNGAN MELALUI

LELANG A. Proses Peralihan Hak Atas Suatu Objek Agunan Kepada Pembeli Lelang Mengenai masalah peralihan hak kepada Pembeli Lelang, merujuk pada Pasal 32 Peraturan Lelang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 40PMK 072006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pada garis besarnya, Pasal - Pasal tersebur mengatur administrasi pembayaran Uang Hasil Lelang. Pembeli memenuhi syarat - syarat pembayaran yang diwajibkan kepadanya. Berdasarkan pembayaran itu, kepadanya diberi bukti atau surat keterangan oleh Kantor Lelang, yang menyatakan pembeli telah memenuhi semua kewajiban pembayaran. Memperhatikan Pasal - Pasal tersebut, peralihan hak kepada pembeli lelang, tidak dengan sendirinya terjadi pada saat pembeli dinyatakan dan disahkan Pejabat Lelang sebagai pemenang. Pernyataan dan pengesahan itu, belum mengakibatkan peralihan hak secara efektif karena hal itu baru merupakan proses ke arah perolehan hak secara yuridis. Perolehan hak, baru terjadi menurut hukum antara lain : 1. Setelah pembeli lelang memenuhi semua syarat lelang, terutama pelunasan pembayaran Uang Hasil Lelang, yang dibuktikan dengan surat keterangan pelunasan dari kantor Lelang. Universitas Sumatera Utara