Kepercayaan Penggunaan Sirih Dalam Kehidupan Sosio Kultural

2.3. Penggunaan Sirih Dalam Kehidupan Sosio Kultural

2.3.1. Kepercayaan

Penggunaan Sirih pada masyarakat Karo sudah ada sejak zaman dahulu . Sirih digunakan bila seseorang jatuh sakit atau lemah badannya, meninggal dunia untuk meramal, untuk penghormatan, pada acara merdang menanam padi, pada upacara berkeramas, untuk mengusir roh, pada upacara ngkuruk emas mengambil emas, dan upacara muat kertah mengambil belerang. Pada seseorang yang jatuh sakit atau lemah badannya, sirih digunakan untuk menentukan jenis penyakit dan siapa yang membuat sakit. Hal ini ditanyakan pada ”Guru Sibaso” yang berperan sebagai dukun melalui daun sirih Bangun T, 1986. Sirih juga digunakan ketika ada orang yang meninggal dunia. Ketika ada yang meninggal maka kuku jari tangan dan kaki famili terdekat dari yang meningggal dunia, dikikis keatas selembar daun sirih sambil meludahinya empat kali lalu dibuang ke mayat yang sudah dimasukkan dalam peti. Ini maksudnya agar mereka yang ditinggalkan tidak diganggu oleh begu arwah yang meninggal dunia tadi. Sirih juga dapat digunakan untuk meramal. Meramal dilakukan dengan cara memberikan sirih kepada guru dukun. Dari daun sirih yang disodorkan kepada dukun maka dapat diketahui tentang suatu kejadian ataupun penyakit serta tanda-tanda yang bakal datang cara mengatasi atau mengobati Bangun T, 1986. Pada suku Karo terdapat suatu rumah adat yang ditempati oleh delapan kepala rumah tangga yang disebut dengan rumah ”siwaluh jabu”. Dimana rumah pertama ditempati oleh ”penghulu taneh” atau ”bangsa taneh”. Sedangkan rumah tangga kedelapan disebut ”jabu singkapuri belo”. Kewajiban dari rumah tangga kedelapan Universitas Sumatera Utara adalah bilamana penghuni rumah tangga nomor satu didatangi tamu dari luar terutama dari luar kampung, maka wajiblah istri kepala rumah tangga delapan itu datang ke rumah tangga nomor satu dan salah satu istri menyodorkan kampil tempat berisi perlengkapan menyirih sebagai penghormatan seisi rumah tangga itu dan kemudian menanyakan apa maksud kedatangannya Prinst Darwan, 1986. Pada upacara merdang menanam padi, juga digunakan sirih. Merdang menanam padi adalah upacara yang dilakukan sebelum perladangan ditanami dengan bibit padi. Maksud penyelenggaraan ini untuk memohon kepada beraspati taneh atau dewa penguasa tanah agar memelihara padi yang ditanam. Sirih juga digunakan pada upacara berkeramas pada suku Batak Karo. Upacara ini disebut juga erpangir ngarkari berkeramas . Upacara ini dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab kejadian yang meresahkan masyarakat dan mengetahui sebab-sebab penyakit yang aneh. Upacara ini dilakukan didalam desa. Musyawarah diselenggakan di jambur balai desa, dan memilih hari baik yang dilaksanakan di rumah dukun. Pada acara erpangir ini digunakan juga sirih yang terdiri dari beberapa jenis yaitu belo bujur sebagai pertanda ucapan terima kasih, belo selangsong untuk mendorong membersihkan desa, belo limpek untuk mematahkan perbuatan tidak baik, belo pangan yang dimakan, belo sinambul untuk menutup roh jahat agar tidak masuk desa, dan belo baja minak untuk erpangir berkeramas. Acara ini dilakukan oleh beberapa dukun di desa. Setelah acara erpangir berkeramas selesai, maka tugas dukun selesai, maka selanjutnya diberikanlah upah dukun. Hal ini dilakukan di rumah dukun, dengan cara seorang Ibu yang dituakan menyerahkan seperangkat sirih yang terdiri dari sirih, gambir, kapur pinang dan tembakau. Sirih ini dinamakan belo bujur sebagai pertanda ucapan Universitas Sumatera Utara terima kasih. Setelah sirih diberikan, lalu disusul dengan penyerahan kampil tempat sirih dan sang dukun memakan sirih yang tersedia didalamnnya. Dan saat dukun mengunyah sirih, maka ditanyakanlah upah yang diminta dukun. Oleh dukun dijawab bahwa upah yang diinginkan adalah beras sada tumba 2 liter, manuk nggeluh sada ikur ayam hidup seekor, gambir sada keping sekeping gambir, bako sada lingkar tembakau selingkar, dan pinang sebuah. Pada acara ini, seperangkat sirih melambangkan kekuatan untuk mengusir roh. Sirih melambangkan alat berkomunikasi kepada orang lain. Belo selongsong adalah untuk mendorong membersihkan desa. Belo limpek adalah untuk mematahkan perbuatan yang tidak baik. Belo selongsong adalah untuk mendorong membersihkan desa. Belo sinumbul adalah untuk menutup roh jahat agar tidak masuk ke desa Sinaga et al, 1985 . Sirih juga digunakan dalam upacara ngkuruk emas mengambil emas. Upacara ini dilakukan bila warga desa ingin mengambil emas dengan cara menambangnya. Hal ini dilakukan agar begu jabu roh penjaga rumah merestui keberangkatannya. Dengan demikian selama dalam perjalanan agar tetap dijagai begu jabu. Sirih diberikan sebagai persembahan kepada dewa taneh atau beraspati taneh dewa penguasa tanah sebagai persembahan agar sang dewa tidak merasa terkejut ketika mengambil emas atau mengorek tanah. Sirih juga diartikan sebagai ucapan terima kasih Sinaga, 1985. Sirih juga digunakan dalam upacara mengambil belerang pada suku Karo. Upacara ini disebut muat kertah mengambil belerang. Penduduk desa mengambil belerang dari puncak Gunung Sibayak. Hal-hal yang harus dilakukan pada upacara ini adalah ersudip man begu jabu yaitu berdoa kepada roh penjaga rumah untuk memohon restu, ercibal belo ras ngasap kemenen yaitu memberikan sirih dan membakar kemenyan Universitas Sumatera Utara sebagai persembahan kepada roh penghuni Gunung Sibayak, ercibal belo man beraspati taneh yaitu memberikan sirih persembahan kepada beraspati taneh dewa penguasa tanah. Ercibal belo ras ngasap kemenen dimaksudkan sebagai permohonan kepada nini sibayak batu ernala roh penghuni Gunung Sibayak agar bermurah hati memberikan belerang kepada warga. Diyakini bahwa belerang tersebut adalah milik sang nini. Sirih dan kemenyan adalah sebagai ucapan terima kasih Sinaga, 1985. Persiapan yang dilakukan dalam upacara muat kertah mengambil belerang adalah menyediakan bahan dan peralatan upacara. Untuk keperluan ersudip man begu jabu dipersiapkan antara lain sirih belo, kapur dan gambir. Kemudian piring digunakan sebagai tempat sirih dan tikar digunakan sebagi tempat meletakkan persembahan. Kamar tidur juga dibersihkan. Gambir dan kapurdimasukkan ke dalam lipatan sirih dan diletakkan diatas piring dan tikar dihamparkan di atas tempat tidur. Untuk upacara di Puncak Gunung Sibayak dipersiapkan pula belo cawir sirih, kapur, gambir, kemenen kemenyan dimana sirih dikepitkan dicelah kayu dan tangkai sirih menghadap kepada orang lain dan bagian ujung daun sirih menghadap kepada orang dan bagian sirih ujung daun sirih menghadap kearah matahari. Setelah selesai upacara dilanjutkan dengan persembahan sirih kepada beraspati taneh. Pada salah satu babatuan yang dipecah, sirih yang telah berisi kapur dan gambir diletakkan dan menghadap ke matahari terbit. Ketika menyampaikan sirih persembahan, tangkai sirih tidak boleh mengarah kepada yang diberikan. Perbuatan yang demikian dianggap tidak beradat Sinaga et al, 1985. Sirih persembahan yang diberikan kepada roh penghuni Gunung Sibayak tujuannya adalah memohon agar ”beliau” bermurah hati memberikan tanamannya yakni belerang, sekaligus sirih tersebut merupakan ucapan terima kasih. Sirih merupakan alat Universitas Sumatera Utara komunikasi dengan roh. Sirih, kapur, dan gambir merupakan susunan kekerabatan masyarakat Karo yang terdiri dari kalimbubu kerabat pemberi isteri, senina teman semarga, dan anak beru kerabat penerima isteri. Letak sirih dan tikar persembahan diatas kepala ketika tidur menandakan tanda hormat kepada penjaga roh rumah Sinaga et al , 1985.

2.3.2. Adat Istiadat