Latar Belakang Perilaku Menyirih Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Yang Dirasakan Wanita Karo Di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2009

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Antropologi kesehatan dipandang oleh para dokter sebagai disiplin biobudaya yang memberikan perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosial-budaya dari tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi keduanya sepanjang kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit. Fiennes 1964 berpendapat bahwa penyakit yang ditemukan dalam populasi manusia adalah suatu konsekuensi dari suatu gaya hidup. Petugas kesehatan melihat bahwa kesehatan dan penyakit bukan hanya merupakan gejala biologis, melainkan juga gejala sosial budaya. Kebutuhan kesehatan dari negara sedang berkembang tidak hanya dipenuhi dengan sekedar memindahkan pelayanan kesehatan dari negara-negara industri maju. Status kesehatan yang dipengaruhi oleh pola kebudayaan tertentu hanya berubah bila ada perubahan-perubahan sosial budaya Natamiharja, 2002. Untuk itu masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat sering berhubungan dengan sosial budaya. Masalah kesehatan dapat kita lihat dari dua faktor yaitu faktor bukan perilaku biologis dan epidemiologis dan faktor perilaku dan sosial budaya. Faktor perilaku dan sosial budaya mempunyai indikator-indikator yang biasanya sulit tetapi bisa diukur, seperti: tindakan-tindakan preventif, pola penggunaan fasilitas kesehatan, pola gizi dan lain-lain Natamiharja, 2002. Salah satu perilaku yang berakar pada sosial budaya dan berhubungan dengan kesehatan adalah perilaku menyirih. Tradisi mengunyah sirih merupakan warisan budaya Universitas Sumatera Utara silam, lebih dari 3.000 tahun yang lampau pada zaman neolitik. Literatur mengenai kebiasaaan menyirih sudah ada sejak 2000 tahun lalu. Tembakau diperkenalkan sebagai komposisi menyirih sejak abad ke-16. Diperkirakan sekitar 200 juta orang di dunia mengkonsumsi sirih dan kebiasaan ini sekarang tersebar luas di Asia Tenggara dan Asia Selatan Natamiharja, 2002. Studi ini meneliti mengenai perilaku menyirih di wilayah Sumatera Utara yaitu pada suku Karo. Secara geografis dan budaya, suku Karo adalah suku yang banyak mendiami daerah Dataran Tinggi Karo. Suku Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut dengan ”marga”, terdiri dari lima cabang yaitu Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Karo-karo. Kelima marga ini dalam kehidupannya mempunyai perilaku menyirih terutama pada acara adat istiadat Alwi, 2001. Perilaku menyirih sangat sulit untuk dihilangkan, karena dahulu perilaku ini berhubungan dengan adat-istiadat yaitu pada acara pertunangan dan pernikahan. Perilaku menyirih juga sangat erat hubungannya dengan kepercayaan suku Karo. Perilaku menyirih pada masyarakat Karo sudah ada sejak zaman dahulu. Sirih digunakan bila seseorang jatuh sakit atau lemah badannya, meninggal dunia untuk meramal, untuk penghormatan, pada acara merdang, pada upacara berkeramas, untuk mengusir roh, pada upacara ngkuruk emas mengambil emas, dan upacara muat kertah mengamnil kertah. Walaupun kebiasaan penggunaan sirih yang berhubungan dengan kepercayaan sebagian besar telah hilang, namun kebiasaan menyirih yang berhubungan dengan adat-istiadat tetap ada sampai sekarang. Kebiasaan mengunyah sirih yang berhubungan dengan adat- istiadat digunakan sebagai persembahan untuk orang-orang atau tamu yang dihomati, misalnya pada acara pertemuan atau acara perkawinan. Untuk itu studi ini khusus akan Universitas Sumatera Utara membahas perilaku menyirih pada wanita karo karena pada dasarnya setting budaya Karo itu sendiri adalah menyirih. Namun dari tradisi ini hal itu sampai sekarang telah bergeser karena pada wanita Karo khususnya dalam mengkonsumsi sirih tidak lagi pada acara- acara adat istiadat saja tapi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Selain itu, sirih telah berabad-abad dikenal oleh nenek moyang kita sebagai tanaman obat berkhasiat dan sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Sirih juga digunakan untuk pengobatan disertai dengan jampi dan mantra oleh dukun. Hal ini yang membuat sulit untuk meninggalkan kebiasaan menyirih yang telah melekat di masyarakat, karena segala sesuatu yang bersifat sosial dan berakar budaya sulit untuk dihilangkan. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, disebut superorganik http:en.wikipedia.orgwikiCulture.2008. Komposisi menyirih yang biasa digunakan masyarakat Suku Karo terdiri dari daun sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Nama latin dari sirih adalah Piper betle. Sirih Piper betle merupakan tumbuhan obat yang sangat besar manfaatnya. Daun sirih mengandung zat antiseptik daunnya banyak digunakan untuk mengobati mimisan, mata merah, keputihan, membuat suara nyaring, dan banyak lagi, termasuk disfungsi ereksi. Pinang Areca Cathechu diduga dapat menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik, sensasi hangat di tubuh, keringat, menambah saliva, menambah stamina kerja dan menahan rasa lapar. Selain tersebut di atas, pinang juga mempengaruhi sistem syaraf pusat dan otonom. Gambir termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Gambir digunakan sebagai bahan tambahan untuk menyirih. Selain untuk menambah rasa, gambir juga memberi manfaat lain, yaitu untuk mencegah berbagai penyakit di daerah kerongkongan. Penggunaan kapur sirih dapat mengakibatkan panyakit periodontal. Penyebab terbentuknya penyakit periodontal Universitas Sumatera Utara adalah karang gigi akibat stagnasi saliva pengunyah sirih karena adanya kapur CaOH 2 . Gabungan kapur dengan pinang mengakibatkan respon primer terhadap formasi oksigen reaktif dan mungkin mengakibatkan kerusakan oksidatif pada DNA di bukal mukosa penyirih. Tembakau Nicotiana spp Nikotin merupakan komponen penting dalam tembakau karena sifatnya yang menimbulkan ketagihan atau adiksi http.wikipedia.org. Perilaku menyirih juga dilakukan sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama wanita-wanita di Tanah Karo. Dengan alasan menyirih bersama-sama lebih menyenangkan daripada menyirih sendirian. Wanita Karo menyirih karena mereka merasakan dengan menyirih dapat membuat gigi-geligi kuat, menstimulasi air ludah, obat untuk saluran pernafasan, menghilangkan rasa lapar, memiliki efek euphoria perasaan senang dan sebagai penyegar nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tak sedap kemungkinan telah mendarah daging diantara para penggunanya. Padahal efek negatif menyirih dapat mengakibatkan penyakit periodontal, adanya lesi-lesi pada mukosa mulut seperti sub mucous fibrosis, oral premalignant dan bahkan dapat mengakibatkan kanker mulut. Kanker pada mukosa pipi dihubungkan dengan kebiasaan mengunyah campuran pinang, daun sirih, kapur dan tembakau. Campuran tersebut berkontak dengan mukosa pipi kiri dan kanan selama beberapa jam. Kanker pada gingiva umumnya berasal dari daerah dimana susur tembakau ditempatkan pada orang-orang yang memiliki kebiasaan ini. Daerah yang terlibat biasanya lebih sering pada gingiva mandibula daripada gingiva maksila Karena anggapan bahwa mengunyah sirih mempunnyai banyak kegunaan, maka penulis mencoba untuk meneliti perilaku menyirih dan dampaknya terhadap kesehatan yang dirasakan pada wanita Karo. Universitas Sumatera Utara

1.2. Rumusan Masalah