mendapatkan ganjaran setiap menunjukan tingkah laku tersebut akan termotivasi untuk mempertahankan tingkah laku tersebut. ketiga, konsistensi membuat anak
menghargai aturan dan figur otoritas ”.
21
Konsistensi mempunyai beberapa nilai penting. Ia memacu proses belajar dengan membantu anak mempelajari peraturan dan menggabungkan peraturan
tersebut kedalam suatu kode moral. Hasilnya, anak-anak yang terus menerus diberikan pendidikan moral secara konsisten cenderung secara keseluruhan
menjadi lebih matang secara moral dibandingkan teman sebayanya yang diberikan pendidikan moral yang tidak konsisten. “Pengetahuan bahwa disiplin yang
diterima di rumah dan di sekolah konsisten, akan menciptaka dalam diri anak rasa hormat terhadap orang tua dan guru”.
Selanjutnya, Soegeng Prijodarminto, sebagaimana dikutip oleh Dr.Soedijarto dalam bukunya, Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu,
mengatakan bahwa “kuat tidaknya disiplin diri seseorang akan dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dalam melatih dan mempribadikan disiplin kedalam
dirinya.” Seorang anak yang menginjak dewasa akan memiliki disiplin pribadi yang kuat apabila dalam proses perkembangannya memperoleh pengalaman yang
positif dari usanya melaksanakan disiplin, tetapi sebaliknya akan goyah kalau dalam perjalan menuju kedewasaan mengalami kekecewaan dalam mencoba
berdisiplin.
22
Disiplin tidak akan terbentuk dengan sendirinya, akan tetapi memerlukan proses untuk menumbuhkanya. Oleh karena itu, disiplin harus dimulai dan
dibiasakan dengan melakuknya secara berulang-ulang atau terus menerus sehingga menjadi kebiasaan yang pada akhirnya akan menjadi kepribadian.
Seperti telah dijelaskan oleh teori belajar behaviorisme, Mengenai pembiasaan yang membutuhkan kontinuitas, mendapatkan penjelasan yang sama
oleh John B.Watson yang menyatakan bahwa, “yang terpenting dalam belajar
21
Majalah Ayah Bunda dan Meadjohnson, Dari A sampai Z Tentang Perkembangan Anak, pada bab perkembangan sosial anak Jakarta:gaya favorit Press h. 40
22
Soedijarto, Menuju Pendidikan yang Relefan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h. 165
adalah latihan yang kontinu”.
23
Yang diutamakan dari teori ini adalah belajar yang terjadi secara otomatis. Teori ini juga mengatakan bahwa segala tingkah laku
manusia juga merupakan hasil conditioning , yaitu “hasil latihan atau kebiasaan
bereaksi terhadap syarat atau perangsang tertentu yang dialami dalam kehidupannya”. Selanjutnya, teori Watson berpendapat bahwa,
24
a perangsang atau stimulus itu adalah situasi objektif, yang wujudnya dapat bermacam-macam,
perubahan sikap peserta didik yang perlu diobservasi secara bermakna digunakan oleh manager kelas yaitu guru sebagai alat pengendalian sikap disiplin peserta
didik. b respons adalah reaksi objektif dari pada individu terhadap situasi sebagai perangsang. Hal yang sama diutarakan oleh Wina Sanjaya, berpendapat
yang sama yaitu “ perubahan sikap terjadi disebabkan kebiasaan conditioning. Cara belajar sikap demikian menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap
suatu objek.
25
Lebih jauh lagi, pendekatan behavioral menekankan pentingnya bagaimana peserta didik membuat hubungan antara pengalaman dan perilaku. Proses
pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan oleh Skinner, Skinner menekankan pada
proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak akan menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan reinforcement dengan cara memberikan hadiah atau
perilaku yang menyenangkan. Lama kelamaan anak akan berusaha meningkatkan sikap positifnya
26
. pembahasan reinforcement atau penguatan akan lebih luas dijelaskan pada bab reward.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kontinuitas akan menghasilkan perubahan sikap. Wina Sanjaya pada buku yang sama menerangkan
bahwa selain pola pembiasaan, perubahan sikap juga dipengaruhi oleh “modeling”, yaitu, “pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses
mencontoh”. Namun, anak harus diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan,
23
Djaali, Psikologi Pendidikan Jakarta:Bumi Aksara, 2006 h. 86
24
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada 2010 h.267
25
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media,2006 h: 278
26
Ibid., h: 278
hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai. Selanjtnya, pemodelan dalam
proses pembelajaran juga dijelaskan oleh Dra.Sumiati yaitu, “proses pembelajaran dengan menghadirkan pemodelan akan lebih mudah dipahami dan diterapkan
oleh siswa”
5. Cara Menerapkan Disiplin yang Efektif
a. Mengenal akibat disiplin yang dipaksakan Kedisiplinan diterapkan sejak dini, tetapi penerapan disiplin tidak selamannya
dapat diterima dengan sepenuh hati oleh peserta didik. Peserta didik mungkin tidak menyukai peraturan yang diterapkan oleh guru atau orang tuanya. Akibatnya
anak merasa terpaksa menjalankan disiplin. Berikut ini Seto mulyadi menjelaskan beberapa akibat yang ditimbulkan karena disiplin yang dipaksakan, diantaranya:
1 Disiplin yang terjadi sesaat saja, peserta didik cenderung berlaku disiplin hanya saat ada guru atau orang tua. Hal ini dilakukan untuk
menghindari konsekuensi dari ketidakdisiplinannya. 2 Anak cenderung lebih mengingat hal-hal negatif dari disiplin dari pada hal-
hal positif, orang tua berharap agar anak dapat menjalankan disiplin dengan senang hati dan sukarela. Anak yang menjalankan disiplin
dengan keterpaksaan justru melakukannya dengan hati yang berat dan merasa terbebani. Akibatnya anak menjadi tertekan atau justru
melakukan pelanggaran atas bentuk protesnya terhadap paksaan dalam menjalankan disiplin. 3 Tujuan disiplin menjadi kurang efektif, karena
adanya tekanan dari guru dan orang tua yang memaksakan anak harus berdisiplin sehingga ada keterpaksaan dari diri anak membuat tujuab
disiplin menjadi kurang efektif, padahal tujuan disiplin sebenarnya adalah membantu membentuk anak bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri dan orang lain. Tolak ukur keberhasilan penerapan kedisiplinan tidak dilihat dari sejauh mana anak mematuhi setiap aturan yang
ditetapkan atau sejauh mana ia memenuhi keinginan orang tuanya. Kepatuhan seperti itu ialah hanya tujuan jangka pendek dari pendidikan
disiplin. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi hakikat dari disiplin.
27
Sama seperti dokter yang selalu memberika obat sebagai solusi dari sebuah penyakit. Permasalahan kedisiplinan pun harus dicari solusi yang tepat agar tujuan
disiplin dapat diterapkan secara hakikat. Beverly LaHaye sebagaimana dikutip
27
Seto Mulyadi, Membantu Anak Balita Mengelola Amarahnya, Jakarta: Erlangga, 2004 h:37
dalam bukunya Seto Mulyadi, mengajukan beberapa ciri disiplin yang baik sebagai berikut:
“1 Disiplin harus bersikap membangun. 2 Disiplin menyebabkan anak membuat pilihan yang bijaksa. 3 Disiplin harus konsisten.
4 Disiplin sebagai tanda kasih sayang kepada anak. 5 Disiplin bersifat rahasia
”.
28
Selanjutnya agar disiplin dapat diterapkan pada anak Seto Mulyadi, dalam bukunya yang berjudul “Membantu Anak Balita Mengelola Amarahnya”,
menjelaskan bahwa ada 9 trik yang dapat dipakai untuk mendisiplinkan anak, yaitu:
1 Menyadari bahwa ada faktor motivasi di balik tingkah laku buruk yang ditampilkan anak. 2 Tetapkan batasan yang jelas dan tepat. 3
Hubungkan disiplin dengan situasi yang telah terjadi. 4 Konsekuensi. 5 Jangan memberi sanksi disiplin di muka umum 6 Hindari amarah yang
meledak-ledak. 7 Tetapkan disiplin yang sesuai untuk prilaku buruk. 8 Sanksi disiplin diberikan segera setelah prilaku buruk ditampilkan. 9
Pengawasan hingga beberapa waktu.
29
Lebih dari itu, selain beberapa perlakuan yang telah dijelaskan diatas tadi, ada pula perlakuan yang tidak kalah pentingnya salah satunya adalah mengajak
anak berdiskusi mengenai apa saja hal positif yang anak dapatkan ketika mengikuti kedisiplinan dengan baik, seperti mendapatkan pujian, acungan jempol
bahkan hadiah. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Reisman dan Payne yang dikutip dalam buku karangan Prof.Dr. H.Mulyasa, mengemukakan lebih banyak
lagi trik ataupun cara yang tepat untuk mendisiplinkan anak, ada sembilan strategi untuk mendisiplinkan peserta didik, diantaranya sebagai berikut:
1 konsep diri self-concept, strategi ini menekankan bahwa konsep- konsep diri masing-masing individu merupakan faktor penting dari setiap
perilaku. Untuk menumbuhkan konsep diri, guru disarankan bersikap empatik, menerima, hangat, dan terbuka, sehingga peserta didik dapat
mengeksplorasikan pikiran dan perasaannya dalam memecahkan masalah. 2 keterampilan berkomunikasi communication skills, guru harus
memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan, dan mendorong timbulnya kepatuhan peserta didik. 3
konsekuensi-konsekuensi logis dan alami natural and logical consequences, perilaku-perilaku yang salah terjadi karena peserta didik
28
Ibid., h:38
29
Ibid., h:39-41
telah mengembangkan kepercayaan yang salah terhadap dirinya. 5 analisis transaksional transactional analysis, disarankan agar guru
belajar sebagai orang dewasa, terutama apabila berhadapan dengan peserta didik yang menghadapi masalah. 6 terapi realistis reality therapy,
sekolah harus berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Dalam hal ini guru harus bersikap positif dan
bertanggungjawab. 7 disiplin yang terinteraksi assertive discipline, metode ini menekankan pengendalian penuh oleh guru untuk
mengembangkan dan mempertahankan peraturan. 8 modifikasi prilaku behavior modivication, perilaku salah disebabkan oleh lingkungan,
sebagai tindakan remediasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif. 9 tantangan
bagi disiplin dare to discipline guru diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan dalam pengendalian yang tegas.
Selanjutnya, diterangkan pada artikel ibu dan anak bahwa, ada tiga macam teknik disiplin, yaitu:
1. Teknik disiplin otoriter. Dalam teknik disiplin otoriter, aturan ditegakkan secara kaku. Bila tingkah laku anak tidak sesuai dengan
patokan yang berlaku, pasti ada hukumannya. Tapi, hanya sedikit atau bahkan tidak ada pujian, bila anak bertingkah laku sesuai dengan aturan.
2 Teknik disiplin permisif. Teknik ini bisa dikatakan tidak mengarahkan anak untuk sesuai dengan masyarakat. Mereka diperbolehkan untuk
melakukan apa saja. 3 Teknik Demokratis. Yang menjadi pemikiran dasar teknik disiplin ini adalah mengembangkan kendali tingkah laku
sehingga anak mampu melakukan hal yang benar tanpa harus ada yang mengawasi.
30
Dari banyak macam teknik yang dijelaskan diatas, terlihat sekali bahwa kedisiplinan bisa diberikan dengan banyak cara. Tujuan nya hanya satu yaitu
mengajarkan anak bertindak sesuai dengan hukum lingkungannya, sehingga anak akan mudah untuk diterima di masyarakat dengan baik.
B. Hakikat Reward dalam pendidikan
1. Pengertian Reward
Reward adalah ganjaran Ganjaran menurut bahasa, berasal dari bahasa Inggris reward yang berarti penghargaan atau hadiah. Sementara itu, dalam
30
Majalah Ayah Bunda dan Meadjohnson, Dari A sampai Z Tentang Perkembangan Anak, pada bab perkembangan sosial anak Jakarta:gaya favorit Press h. 40
bahasa Arab “ganjaran” di istilahkan dengan “tsawab”. Kata “tsawab”bisa juga berarti: “pahala, upah dan balasan.
31
Sedangkan reward menurut beberapa pakar adalah sebagai berikut: Sebagaimana dikutip dalam bukunya Armai Arief “Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam” menjelaskan bahwa, kata “tsawab” dalam
kaitannya dengan pen didikan islam adalah “pemberian ganjaran yang baik
terhadap perilaku baik dari anak didik”. Dalam pengertian yang luas, pengertian istilah “ganjaran” adalah: “a. ganjaran adalah alat pendidikan preventif dan
represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi murid, dan b. ganjaran adalah hadiah dari perilaku yang baik dari anak
didik dalam proses pendidikan”.
32
Selanjutnya, Ngalim Purwanto menjelaskan arti ganjaran adalah
“alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat merasa senang karna perbuatan atau pekerjaannya mendapatkan penghargaan
”.
33
Penjelasan berikutnya adalah, menurut Amir Daien Indrakusuma “reward
adalah penilaian yang bersifat positif terhadap belajar siswa ”.
34
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Alisuf Sabri, reward
merupakan “alat pendidikan yang diberikan kepada anak-anak yang menunjukan prestasi atau hasil pendidikan yang
baik, baik dari segi prestasi kepribadiannya kelakuan, kerajinan, dan sebagainya maup
un dalam prestasi belajarnya”.
35
Selanjutnya menurut Ramayulis, reward adalah “suatu yang menyenangkan yang dijadikan sebagai hadiah bagi anak yang
berprestasi baik dalam belajar, dalam sikap prilaku”.
36
Dalam agama Islam juga dikenal metode reward. Ini terbukti dengan adanya pahala. Pahala adalah bentuk penghargaan yang diberikan Allah SWT kepada
umat manusia yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, misalnya: shalat, puasa, membaca Al-Qur
’an, dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Kata “tsawab”
31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam Jakarta:Ciputat Pers,2002., h:125
32
Ibid., h:127
33
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, h.182.
34
Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan Surabaya: Usaha Nasional,1973 ,h.159.
35
Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007 , Cet.ke-18, h.182.
36
Ramayulis, ilmu pendidikan islam jakarta:kalam mulia. 2008 Cet.ke 6 hal. 210.