Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Kejadian Banjir Pada Lanskap Das Ciliwung Hilir Dengan Pendekatan Sistem Dinamik

(1)

TESIS

KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN

TERHADAP KEJADIAN BANJIR PADA LANSKAP DAS CILIWUNG

HILIR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK

MUHAMMAD ALI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa rencana tesis berjudul Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap Kejadian Banjir pada Lanskap DAS Ciliwung Hilir dengan Pendekatan Sistem Dinamik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Muhammad Ali


(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ALI. Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap Kejadian Banjir pada Lanskap DAS Ciliwung Hilir dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BAMBANG SULISTYANTARA.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung memiliki luas 347 km2 dengan panjang sungai utamanya 117 km. DAS Ciliwung memiliki nilai yang sangat strategis karena melintasi Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu hingga hilir berlangsung dengan sangat cepat. Perkembangan dan kemajuan yang demikian cepat ini menyebabkan permasalahan, diantaranya dampak banjir yang semakin tinggi dan parah serta menurunnya kualitas sungai. Hingga saat ini kebijakan pengendalian banjir lebih didominasi oleh kebijakan struktural (fisik). Kebijakan non-struktural diperlukan untuk perbaikan dalam jangka panjang. Penataan ruang merupakan salah satu pendekatan non struktural dalam pengelolaan banjir. Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah dengan menganalisis perubahan penutupan lahan menggunakan pendekatan sistem dinamik. Konsep pendekatan sistem dinamik adalah bagaimana semua objek (variabel) dalam suatu sistem berinteraksi satu dengan lainnya sehingga menghasilkan suatu dinamika kecenderungan di masa depan. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis pola perubahan dan distribusi penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir, (2) membangun model struktur dinamik lahan DAS Ciliwung Hilir, dan (3) menyusun perencanaan lanskap DAS Ciliwung Hilir yang optimal.

Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hilir pada bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015 dengan melakukan pengambilan data (primer dan sekunder) serta pengamatan lapang (ground truth check). Analisa terhadap Citra Landsat dilakukan dengan penginderaan jauh (remote sensing) yaitu dengan klasifikasi terbimbing menggunakan Citra Landsat 5 tahun 1990 dan 2000, Landsat 7 ETM+ tahun 2010 dan Landsat 8 tahun 2014. Analisis dilanjutkan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh luasan perubahan tutupan lahan tahun 1990, 2000, 2010, dan 2014.

Tipe penutupan lahan untuk tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014 diklasifikasikan menjadi empat tipe penutupan lahan yaitu badan air, lahan terbangun, ruang terbuka hijau dan lahan terbuka. Analisis terhadap perubahan penutupan lahan antara tahun 1990 dan 2014 menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 penggunaan lahan paling dominan adalah lahan terbangun seluas 5485.71 ha meningkat menjadi 5587.62 ha pada tahun 2014 atau sebesar 1.86%. Lahan terbuka juga mengalami peningkatan sebesar 7.09%. Di sisi lain, dalam kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan pada badan air sebesar 30.19% diikuti ruang terbuka hijau sebesar 3.72% dari luas total DAS Ciliwung Hilir.

Struktur model yang dibangun pada penelitian ini terbagi menjadi tiga sub model, yaitu sub model perubahan tutupan lahan, sub model hidrologi dan sub model penduduk. Selanjutnya dilakukan terhadap skenario yang telah dibuat. Skenario yang dibuat adalah (1) skenario 1 (skenario eksisting), yaitu penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 0.04%, laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.41% dan kebijakan perbaikan badan air sebesar 0.1%, (2) skenario 2, yaitu


(5)

penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 1%, laju pertumbuhan penduduk 1.2% dan kebijakan perbaikan badan air 0.1%, (3) skenario 3, penetapan laju peningkatan area hijau sebesar 2%, laju pertumbuhan penduduk 1% dan kebijakan perbaikan badan air sebesar 0.2%.

Hasil simulasi menunjukkan pada skenario 1 terlihat bahwa lahan terbuka dan ruang terbuka hijau mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi lahan terbangun dan badan air. Besarnya luasan yang terkonversi adalah 202.30 ha lahan terbuka dan 112.90 ha ruang terbuka hijau pada akhir simulasi. Konversi ini dikarenakan kebutuhan akan ruang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pada skenario 2 terlihat bahwa lahan terbuka mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi badan air, lahan terbangun dan ruang terbuka hijau. Besarnya luasan yang terkonversi adalah 200.30 ha lahan terbuka pada akhir simualasi. Pada skenario 3 terlihat bahwa lahan terbuka dan lahan terbangun mengalami pengurangan karena terkonversi menjadi badan air dan ruang terbuka hijau. Besarnya luasan yang terkonversi adalah 200.10 ha lahan terbuka dan 102.73 ha lahan terbangun pada akhir simulasi.

Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh, skenario 3 adalah skenario paling optimal. Pada skenario ini, tinggi muka air sebagai penanda bahaya banjir berada pada ketinggian 845 cm di tahun 2045 yang berarti daerah hilir berada pada status siaga 3 dengan komposisi luasan optimal masing-masing penutupan lahan adalah lahan terbuka 3.81 ha, badan air 275.73 ha, lahan terbangun 5515.81 ha dan ruang terbuka hijau 666.82 ha.

Kata kunci: banjir, daerah aliran sungai, pendekatan sistem dinamik, perubahan penutupan lahan, SIG


(6)

SUMMARY

MUHAMMAD ALI. Study on the Effect of Land Cover Change to Flood Disaster of Ciliwung Downstream Watershed with Dynamic System Approach. Supervised by SETIA HADI and BAMBANG SULISTYANTARA.

Ciliwung watershed approximately has an area of 347 km2 and the length of its main river is 117 km. This watershed has a strategic value because it is located from southern part of West Java Province to northern part of Jakarta Province. The fast growing development along the watershed give the impacts to the city such as flood and water quality degradation. The policy of flood control mostly dominated by structural policies while on the other hand non-structural policies are needed to improve the long term management. Spatial planning is one of the non-structural approaches to manage the flood. Analysis of land cover change has used dynamic system approach. The concept of dynamic system is how all the objects in a system will interact to each other to create dynamic trend in the future. The purpose of this study are (1) to analyze the land use changes pattern and land cover distribution in the area of Ciliwung downstream watershed, (2) to build the land dynamic structure of the area of Ciliwung downstream watershed, and (3) to construct the landscape planning of area of Ciliwung downstream watershed based on carrying capacity.

This research was conducted in the area of Ciliwung downstream watershed from December 2014 until May 2015 including data collection (primary and secondary), and observation directly in the field (ground truth check). Research was carried out by remote sensing methods, namely supervised classification using Landsat 5 in 1990 and 2000, Landsat 7 ETM+ in 2010 and Landsat 8 in 2014. Geographic Information System is used in order to get information about the changing of land cover area of the year 1990, 2000, 2010 and 2014.

The type of land cover in 1990, 2000, 2010 and 2014 was classified into four type which are water bodies, built-up area, green area and bare land. Analysis on the changes of landcover patterns between year 1990 and 2014 shows that since 1990 the built-up area has increased from 5485.71 ha to 5587.62 ha in 2014 or 1.86% from the total area. The bare land has also increased 7.09%. On the other hand water bodies and green area have decreased amount 30.19% and 3.72% from the total area of Ciliwung downstream watershed.

The model structure that being constructed in this research is divided into three sub models, which are land cover change sub model, hydrology sub model and population sub model. Furthermore, simulation of the scenarios have been stated, which are: (1) scenario 1 (existing scenario), stated that the increasing rate of green area is 0.04%, the population growth is 1.41% and the rehabilitation of water bodies is 0.1%, (2) scenario 2, stated that the increasing rate of green area is 1%, the population growth is 1.2% and the rehabilitation of water bodies is 0.1%, and (3) scenario 3, stated that the increasing rate of green area is 2%, the population growth is 1% and the rehabilitation of water bodies is 0.2%.

The simulation results of the scenario 1 shows that bare land and green area are converted into water bodies and built-up area. The amount of the converted area is 202.30 ha of bare land and 112.90 ha of green area at the end of the simulation. This conversion is caused by the need for living space as the number


(7)

of population. Scenario 2 shows that the bare land area is decreased and converted into water bodies, built-up area and green area. The amount of the converted area is 200.03 ha of bare land. Scenario 3 shows that the bare land area and built up area are decreased and converted into water bodies and green area. The amount of the converted area is 200.10 ha of bare land and 102.73 ha of built up area at the end of the simulation.

Based on the results of all three scenarios, the optimum scenario that can be used is scenario 3. In this scenario, water levels as an indicator of the danger of flooding is at 845 cm of height, which means the downstream areas remain on standby status 3. In the scenario, in order to reach the water level to prevent flooding (845 cm), the optimal composition of the area of each land cover is 3.81 ha of bare land, 275.73 ha of water bodies, 5515.81 ha of built-up area, and 666.82 ha of green area in 2045.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN

TERHADAP KEJADIAN BANJIR PADA LANSKAP DAS CILIWUNG

HILIR DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan terhadap Kejadian Banjir di DAS Ciliwung Hilir dengan Pendekatan

Sistem Dinamik” dapat terselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr selaku anggota komisi pembimbing atas kesediaan membimbing dan membagi ilmunya selama penulis mengerjakan tesis ini, serta Dr. Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku dosen penguji atas semua masukannya demi perbaikan tulisan ini. Juga kepada Lutfy Abdullah, SHut, MSi atas konsultasinya dalam pembuatan model dinamik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq Badan Diklat Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat magister melalui program beasiswa Pegawai Tugas Belajar.

Terakhir, penulis ucapkan terima kepada istri tersayang dan keluarga besar yang selalu memberikan doa dan dukungan serta kepada rekan-rekan Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2013.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Maret 2016


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat Penelitian 4 1.5 Kerangka Pikir Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 2.1 Ekosistem Daerah Aliran Sungai 5 2.2 Aliran Permukaan dan Tata Guna Lahan 7 2.3 Fenomena Banjir di DAS 8 2.4 Pengelolaan Banjir 10

2.5 Penataan Ruang 11

2.6 Pemodelan Sistem Dinamik 12

2.7 Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh 14

2.8 Daya Dukung Lingkungan 16

3 METODE 17 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 3.2 Data dan Sumber Data 17 3.3Analisis Data 19 Analisis Penutupan Lahan Analisis Hubungan antara Penutupan Lahan dan Curah Hujan Analisis Sistem Dinamik Batasan dan Asumsi Model serta Skenario Hasil 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4.1 Kondisi Umum Fisik Wilayah 27

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 30

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31 5.1 Klasifikasi Penutupan Lahan 31

5.2 Perubahan Pola Penutupan Lahan 35

5.3 Hubungan Penutupan Lahan dan Curah Hujan terhadap 42

Tinggi Muka Air 5.4 Pembangunan Model Sistem Dinamik 43

5.5 Simulasi Model 46


(14)

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, satuan, sumber dan kegunaan data 18

2 Analisis kebutuhan stakeholders 23

3 Persentase kekritisan lahan di DAS Ciliwung 28

4 Tingkat erosi bahaya DAS Ciliwung 28

5 Status siaga Sungai Ciliwung 29

6 Keadaan lingkungan DAS Ciliwung 31

7 Tutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014 32

8 Perubahan pola penutupan lahan 35

9 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1990-2000 36

10 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2000-2010 41

11 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 2010-2014 41

12 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1990-2014 41

13 Pola dominan perubahan penutupan lahan 42


(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 4

2 Metode pengendalian banjir 10

3 Tahapan pemodelan sistem dinamik 15

4 Peta lokasi penelitian 18

5 Proses raktifikasi untuk koreksi geometri 20

6 Tahapan analisis penutupan lahan 22

7 Diagram input-output penelitian 24

8 Diagram lingkar sebab-akibat kebutuhan 25

9 Konstruksi model dinamik (stock flow diagram) 26

10 Grafik curah hujan di DAS Ciliwung Hilir 27 11 Ketinggian air bulanan maksimum Ciliwung Hilir 29

12 Visualisasi badan air 33

13 Visualisasi lahan terbangun 34

14 Visualisasi ruang terbuka hijau 34

15 Visualisasi lahan terbuka 35

16 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 1990 37

17 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2000 38

18 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2010 39

19 Pola penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir tahun 2014 40

20 Hubungan sebab akibat penutupan lahan pada DAS Ciliwung Hilir 44

21 Sub model pengembangan sistem 45

22 Grafik luasan area tutupan lahan pada berbagai skenario 47

23 Ketinggian muka air hasil simulasi 48

24 Grafik tinggi muka air pada berbagai skenario 49

25 Peta arahan penutupan lahan hasil simulasi 50


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Overall Accuracy dan Kappa Accuracy 58 2 Persamaan model dinamik perubahan penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir 60 3 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 1 62 4 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 2 64 5 Komposisi penutupan lahan hasil simulasi skenario 3 66 6 Hasil validasi berdasarkan nilai AME pada berbagai tutupan lahan 68


(18)

(19)

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung memiliki luas 347 km2 dengan panjang sungai utamanya 117 km. DAS merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung gunung/bukit yang menampung dan penyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utamanya (Asdak 2010). DAS Ciliwung memiliki nilai yang sangat strategis karena wilayah hilirnya memasuki dan bermuara di ibukota negara Indonesia. Berdasarkan pewilayahan administratif, DAS Ciliwung melintasi dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan toposekuen, DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Sebagai suatu ekosistem DAS, perubahan bagian hulu DAS Ciliwung akan mempengaruhi seluruh bagian lainnya. Letak ibukota negara di bagian hilir DAS Ciliwung menjadikan kawasan ini memiliki nilai strategis dalam pengembangan dan pengelolaannya.

Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu hingga hilir berlangsung dengan sangat cepat. Daerah hulu yang menjadi tujuan wisata mengakibatkan pembangunan sarana rekreasi yang sangat cepat. Pembangunan fisik di daerah tengah yang dekat dengan ibukota berkembang dengan sangat pesat, karena pengaruh ibukota. Demikian pula dengan daerah hilir yang seluruhnya berada di ibukota negara, menjadi wilayah yang sangat padat oleh pemukiman, fasilitas publik dan lahan terbangun lainnya. Hasil penelitian Ruspendi (2014) menunjukkan bahwa terjadi pengurangan lahan pertanian kering sebesar 9%. Begitu juga tutupan lahan sawah dan hutan mengalami penurunan masing-masing 2%. Di sisi lain lahan terbangun meningkat sebesar 11%. Perkembangan dan kemajuan yang demikian cepat menyebabkan DAS Ciliwung saat ini mengalami banyak permasalahan, diantaranya dampak banjir yang semakin tinggi dan parah akibat pembangunan yang tidak terencana dan masalah kualitas sungai yang semakin menurun.

Bencana banjir yang sering terjadi telah memasuki kondisi yang sangat parah, dan menimbulkan kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Menurut BPDAS (2011), banjir besar terjadi pada tahun 1996 dan tahun 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah. Banjir pada tahun 2007 telah merendam hamper 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tangerang serta Kota Bekasi, menimbulkan kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah. Bencana tersebut diantaranya disebabkan oleh meluapnya sungai Ciliwung karena peningkatan debit dan sedimentasi sungai akibat pengurangan kapasitas dan infiltrasi air tanah di DAS Ciliwung. Kerusakan yang disebabkan oleh meluapnya sungai Ciliwung diperkirakan sebesar USD 321 milyar atau sekitar 4,2 trilyun per tahun (Budiyono 2015).

Beberapa hasil kajian menyampaikan bahwa penyebab timbulnya banjir di DAS Ciliwung, terutama yang terjadi di Jakarta adalah pengelolaan bagian hulu yang tidak tepat. Irianto (2000) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahu 1981-1999, hulu DAS seluas 14.860 ha telah beralih fungsi, dan menurut Pawitan (2004) perubahan penggunaan lahan tersebut berdampak pada peningkatan debit puncak banjir hulu sebesar 65% dan peningkatan volume banjir sebesar 50%.


(20)

Kontribusi run off dari daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung diprediksi sebesar 42.44%, sedangkan di daerah hilir sebesar 57.56% (BPDAS 2007). Banjir Jakarta juga disebabkan oleh penurunan permukaan tanah akibat ekstraksi air tanah (Abidin, Andreas et al. 2008). Publikasi Kementrian Lingkungan Hidup (2012) menyatakan bahwa kondisi DAS Ciliwung semakin memburuk akibat sedimentasi karena erosi dan penyempitan sungai karena rumah-rumah liar dibiarkan terbangun di bantaran sungai.

Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju keseimbangan baru yang lebih baik melalui konsep dasar pewilayahan DAS sebagai kesatuan hidrologis. DAS merupakan kesatuan hidrologis, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, sedangkan daerah tengah dan hilir merupakan daerah pemanfaatan (Asdak, 2010). Konversi lahan telah menyebabkan DAS Ciliwung semakin dikeliingi pemukimam penduduk, yang menyebabkan juga penyempitan dan pendangkalan sungai di bagian hilir. Pemukiman padat penduduk berdampak pada naiknya laju aliran permukaa karena tidak adanya resapan air. Steinberg (2007) menyebutkan bahwa banjir disebabkan oleh sistem drainase yang kurang baik dan sedimentasi hulu.

Kejadian banjir sangat sensitif terhadap adanya perubahan penggunaan lahan dan pengelolaan lahan yang tidak tepat (Woube 1999, Brath et al. 2006, Weather dan Evans 2009). Kondisi penutupan DAS berpengaruh terhadap interaksi daerah hulu dan hilir, air permukaan, air tanah, air pada daerah hilir dan siklus hidrologi suatu DAS (Molle dan Mamanpoush 2012). Jadi pada dasarnya, perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan penurunan infiltrasi tanah dan peningkatan debit aliran sungai (Poerbandono 2009).

Beberapa payung hukum telah diterbitkan oleh pemerintah untuk kawasan DAS Ciliwung Hilir, yaitu Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi – Puncak – Cianjur (Jabodetabekpunjur) dan Undang-undang Penataan Ruang No. 26 tahun 2007. Berdasarkan peraturan perundangan ini maka komposisi penutupan lahan yang baik sangat diperlukan. Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu area yang sangat penting untuk dilakukan penelitian karena dampak ekologisnya yang sangat signifikan terhadap lingkungan (Fang et al. 2006; Chen et al. 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan daya dukung lingkungannya.

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis penutupan menggunakan pendekatan sistem dinamik dan spasial dinamik. Sistem dinamik sebagai suatu metodologi yang dipahami melalui interaksi antar struktur. Konsep dasar sistem dinamik menngenalkan secara sederhana elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis, yang dilengkapi dengan langkah-langkah berpikir membangun model umum (generic model) mulai dari identifikasi gejala sampai menghasilkan struktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Pendekatan spasial dinamik merupakan pendekatan yang mengintegrasikan analisis sistem dinamik dengan Sistem Informasi Geografis. Konsep pendekatan sistem dinamik adalah bagaimana semua objek (variabel) dalam suatu sistem berinteraksi satu dengan lainnya sehingga menghasilkan suatu dinamika kecenderungan dimasa


(21)

depan. Seiring berkembangnya kemajuan teknologi dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) diharapkan hasil dari pendekatan model sistem dinamik tidak hanya dalam bentuk tabulasi tetapi juga dapat divisualisasikan dalam bentuk spasial kewilayahan.

1.2. Perumusan Masalah

Kejadian banjir merupakan salah satu gangguan ekologis yang terjadi di DAS, karena banyaknya curah hujan yang tidak mampu diserap oleh tanah. Salah satu penyebab terjadinya gangguan dalam proses penyerapan air adalah karena berkurangnya daerah resapan air. Perubahan luasan daerah resapan air disebabkan oleh perubahan pola penutupan lahan dari lahan yang bervegetasi menjadi lahan yang kedap air.

Curah hujan merupakan masukan utama pada proses daur hidrologi di suatu DAS. Ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah maka air hujan akan mengalir di atas permukaan tanah sebagai aliran permukaan (surface run-off) dan kemudian akan terakumulasi menjadi aliran debit. Pengaruh tata guna lahan terhadap besarnya aliran permukaan adalah ketika curah hujan tidak mampu lagi terserap oleh tanah akibat berkurangnya daerah resapan air. Hujan yang turun pada DAS Ciliwung akan langsung mengalihragamkan hujan tersebut menjadi aliran permukaan karena daerah resapan yang kurang. Akibatnya pada musim hujan debit sungai meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air rendah. Dengan demikian risiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.

Banjir di DAS Ciliwung Hilir (Jakarta) tidak semata-mata disebabkan oleh curah hujan di hulu. Wibowo (2011) dan BPDAS Citarum Ciliwung (2007) menjelaskan bahwa perubahan penutupan lahan menjadi bersifat masif atau kedap air merupakan faktor yang dapat memperbesar peluang kejadian banjir. Hadi (2012) menjelaskan bahwa perubahan pemanfaatan ruang di Kawasan Puncak berkorelasi positif terhadap peningkatan run-off dan kejadian banjir Jakarta. Kejadian banjir di hilir tersebut sekitar 40% akibat dari perubahan penutupan pada DAS Ciliwung Hulu.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pola perubahan dan distribusi penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir selama kurun waktu beberapa tahun terakhir?

2. Bagaimanakah distribusi penutupan lahan (pola penutupan lahan) DAS Ciliwung Hilir yang optimal sesuai dengan daya dukung kawasan dalam menurunkan tinggi muka air hingga mencapai titik aman?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pola perubahan dan distribusi penutupan lahan DAS Ciliwung Hilir


(22)

3. Menyusun perencanaan lanskap DAS Ciliwung Hilir yang optimal sesuai dengan daya dukung

1.4. Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi terkait dengan perubahan penutupan lahan yang telah terjadi pada DAS Ciliwung Hilir dan mendapatkan komposisi penutupan lahan yang baik sesuai daya dukung lingkungannya. Komposisi penutupan lahan tersebut dapat dijadikan acuan bagi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menata ruang Kawasan DAS Ciliwung Hilir.

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

Pada analisis sistem dinamik disusun beberapa skenario simulasi kebijakan agar dapat terlihat kecenderungan perubahan kawasan dimasa depan. Penggabungan dengan SIG akan dapat memfasilitasi dalam menentukan distribusi/penyebaran dari penggunaan lahan pada kawasan tersebut dengan memperhitungkan daya dukungnya.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Model Sistem Dinamik

Validasi model

Skenario

Skenario optimal

DAS Ciliwung Hulu : Konservasi Hilir : Pemanfaatan

Penggunaan lahan / Perubahan tata

guna lahan

Optimasi penggunaan lahan

Pembangunan pesat Banjir

Kebijakan

Struktural Non-Struktural

Mekanisme institusi

Data GIS

 Topografi

 Tutupan lahan

 Jenis Tanah

Perencanaan Lanskap DAS Ciliwung Hilir sesuai Daya Dukung


(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU Nomor 7 Tahun 2004, Seyhan 1990). Menurut Haridjaja (2008), DAS merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai tempat aktivitas dan perlindungan alam (hidrologi, konservasi plasma nutfah, dan lain-lain dengan aliran air atau sungai akan keluar melalui suatu outlet tunggal. Dengan demikian DAS menggambarkan suatu wilayah yang menjelaskan air yang jatuh diatasnya beserta sedimen dan bahan larut melalui titik yang sama sepanjang suatu alur atau sungai.

Lebih lanjut Manan (1979) menjelaskan bahwa DAS diartikan sebagai areal yang menampung, menyimpan dan menyalurkan air hujan ke sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, serta aliran air tanah yang dipisahkan dengan areal lainnya oleh batas topografi. Sri Harto (1993) menjelaskan bahwa DAS adalah daerah yang dibatasi atau dipisahkan dengan daerah lain oleh pisah topografis yaitu punggung bukit/igir-igir dan formasi geologis. Kelebihan air hujan yang jatuh pada suatu daerah aliran sungai mengalir dan terkonsentrasi pada satu sungai yang sama.

Ekosistem DAS, sebagaimana sistem ekologi, terdiri dari beberapa komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Sebagai sebuah ekosistem tentunya DAS terdiri komponen yang saling terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan komponen yang saling terkait ini jika berjalan seimbang maka akan menghasilkan kondisi ekosistem yang stabil. Sebaliknya jika hubungan ini mengalami gangguan maka terjadi gangguan ekologis. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem DAS yang tidak seimbang (Odum dalam Asdak, 2010). Berdasarkan hal tersebut, ekosistem DAS harus dipahami sebagai kerangka kerja yang holistik dan sosial budaya dalam suatu wilayah. Pendekatan holistik dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan (Asdak, 2010).

Asdak (2010) mengatakan bahwa DAS terbagi menjadi daerah hulu tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lahan yang besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dan jenis vegetasi yang umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, daerah dengan kemiringan lahan kecil sampai dengan sangat kecil (<8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan


(24)

pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. DAS bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Pilhan yang harus diambil dalam konservasi DAS harus memperhatikan dampak yang akan diterima bagian hilir.

Menurut Indarto (2014) ukuran dan besar kecilnya daerah tangkapan hujan yang memberi kontribusi terhadap aliran sungai (contributing area) di dalam DAS berpengaruh langsung terhadap total volume aliran yang keluar dari DAS. Umumnya jika hujan jatuh merata di dalam dua DAS, yang satu berukuran besar dan daerah tangkapan hujannya relatif luas (DAS besar) dan yang lain memiliki daerah tangkapan hujan lebih sempit (DAS kecil), maka total volume aliran yang dihasilkan oleh DAS besar akan relatif lebih banyak dari DAS yang berukuran kecil dan volume air tersebut proporsional terhadap luas daerah tangkapannya. Kebanyakan kejadian hujan hanya meliputi luasan tertentu di dalam DAS. Oleh karna itu, untuk berbagai situasi volume aliran hanya akan ditentukan oleh luasan kontribusi (contributing area). Luasan ini menyatakan luas bagian DAS yang terkena hujan, bukan luas total DAS.

Berdasarkan toposekuen, ekosistem DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi pada umumnya merupakan tegakan hutan. Daerah hilir dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, memiliki kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian (kecuali daerah estuaria didominasi oleh hutan bakau/gambut). Bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik tersebut (Asdak 2010).

DAS merupakan salah satu konsep sistem wilayah. Batasan dari luasan

wilayah lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring,

pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidak selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis dengan penekanan pada interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu (Rustiadi et al. 2009). Kawasan otoritas DAS merupakan suatu wilayah perencanaan yang dibentuk berdasarkan asumsi konsep wilayah sistem ekologi. Sebagai wilayah perencanaan, batasan DAS didasarkan pada sifat-sifat tertentu pada wilayah, baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan/pengelolaan. Berdasarkan konsep wilayah, manfaat klasifikasi DAS sebagai wilayah sistem ekologi adalah pengeloaan sumberdaya wilayah berkelanjutan, identifikasi carrying capacity kawasan dan siklus alam aliran sumberdaya, biomasa, energi dan sebagainya (Rustiadi et al. 2009).

Konservasi DAS dalam kaitan dengan perencanaan dan pengelolaannya meurpakan proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk


(25)

memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ada 5 (lima) indikator biofisik yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara optimal, yaitu; (1) debit sungai konstan dari tahun ke tahun; (2) kualitas air baik dari tahun ke tahun; (3) fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil; (4) ketinggian muka air tanah dari tahun ke tahun konstan: dan (5) kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu.

2.2. Aliran Permukaan dan Tata Guna Lahan

Indarto (2010), menjelaskan bahwa aliran (run-off) sering didefinisikan sebagai hujan (rainfall), salju dan/atau air irigasi yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai. Kadang-kadang juga disebut sebagai aliran permukaan (surface run-off). Lebih lanjut Asdak (2010) mendefiniskan aliran permukaan (run-off) sebagai air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi, bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Menurut Indarto (2010) ada dua jenis aliran permukaan yang terjadi selama hujan atau pelelehan es, yaitu : (1) aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi (infiltration excess overland flow); dan (2) aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah (saturation excess overland flow). Aliran permukaan karena kelebihan infiltrasi terjadi jika besarnya hujan (intensitas hujan) yang jatuh atau salju yang meleleh lebih besar dari kapasitas infiltrasi. Air yang tidak terinfiltrasi selanjutnya menjadi aliran permukaan. Aliran ini umumnya teramati pada kejadian hujan deras dengan durasi pendek. Umumnya juga terjadi pada wilayah dimana tanahnya banyak mengandung lempung atau pada kasus permukaan tanah yang telah termodifikasi karena pemadatan tanah (soil compaction), urbanisasi, atau kebakaran hutan. Aliran permukaan jenis ini sering disebut sebagai aliran Horton (Hortonian flow). Aliran permukaan karena kejenuhan terjadi jika tanah menjadi jenuh dan air tidak dapat lagi terinfiltrasi. Umumnya terjadi pada hujan kecil hingga sedang dengan durasi panjang atau kejadian hujan atau pelelehan salju yang beruntun. Tanah mungkin sudah jenuh oleh kejadian hujan sebelumya, sehingga tidak lagi dapat menampung air infiltrasi. Aliran jenis ini dapat terjadi dimana saja selama tanah dalam keadaan basah. Lebih khusus lagi pada daerah beriklim humid dengan topografi datar atau kemiringan kecil.

Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan itu selesai, air dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian air yang berlangsung cepat dan selanjutnya membentuk aliran debit (debit sungai). Bagian aliran permukaan lain, karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelum akhirnya menjadi aliran debit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan secara umum dapat dibagi dua yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS. Karakteristik hujan mencakup lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan. Pengaruh karakteristik DAS terhadap terhadap aliran permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tata guna lahan. Intensitas hujan


(26)

akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume aliran permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan kurang intensif meskipun curah hujan total kedua hujan tersebut sama besarnya. Laju dan volume aliran permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan.

Pengaruh morfometri DAS terhadap besaran dan waktu dari hidrograf aliran yang dihasilkannya dalam hal ini terdiri atas luas, kemiringan lereng, bentuk dan kerapatan drainase DAS. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diteima. Tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian juga waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Kemiringan lereng suatu DAS mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal waktu. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju aliran permukaan sehingga mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan aliran lebih kecil dibandingkan dengan DAS dengan kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang denan baik. Dengan kata lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari bentuk hidrograf yang lebih datar.

Proses yang terjadi di DAS akan mengalihragamkan masukan berupa hujan menjadi luaran yang berupa hasil air (kualitas, kuantitas dan sedimen). Apabila proses yang terjadi dalam DAS masih berjalan dengan baik maka fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS mempunyai perbedaan yang relatif kecil dan kandungan sedimen baik yang melayang maupun didasar sungai juga relatif kecil. Menurut Fakhrudin (2003), penggunaan lahan merupakan faktor yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan (surface storage) atau gabungan antara keduanya dan efek selanjutnya akan mempengaruhi aliran permukaan. Hubungan antara penggunaan lahan dan aliran permukaan juga dijelaskan oleh Wibowo (2011), debit sungai tidak semata-mata dipengaruhi oleh curah hujan yang bersifat acak, perubahan penutupan lahan menjadi yang bersifat masif atau kedap air akan meningkatkan limpasan permukaan yang selanjutnya memperbesar peluang terjadinya banjir.

2.3. Fenomena Banjir di DAS

Gangguan ekologis pada DAS terjadi apabila hubungan antar komponen dalam ekosistem DAS tidak dalam keadaan seimbang. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem. Salah satu gangguan ekologis yang terjadi di DAS adalah kejadian


(27)

banjir, terutama di daerah hilir akibat aktivitas manusia di daaerah hulu hingga hilir yang tidak ramah lingkungan. Menentukan pengaruh gangguan DAS bagian hulu terhadap kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir memerlukan observasi respon DAS bagian hulu terhadap masukan curah hujan. Respon DAS terhadap curah hujan banyak ditentukan oleh karakteristik DAS, antara lain keadaan topografi, kelembaban dan jenis tanah, penutupan vegetasi dan ukuran kerapatan drainase DAS. Ukuran dan bentuk DAS, kemiringan lereng lahan dan sungai, jenis batuan dan kerapatan sungai adalah karakteristik yang tidak banyak berubah. Keseluruhan karakteristik fisik tersebut secara tersendiri maupun bersamaan akan mempengaruhi debit aliran sebagai respon DAS terhadap curah hujan. Sedangkan karakteristik biofisik seperti vegetasi dan tanah cenderung bersifat dinamis. Bila salah satu komponen tersebut berubah, maka berubah pula debit aliran sebagai respon terhadap curah hujan. Karena sifatnya yang dinamis, perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi besarnya debit aliran sebagai respon terhadap curah hujan (Asdak 2010).

Woube (1999) menjelaskan bahwa jenis-jenis, penyebab, besaran dan dampak banjir di DAS dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu terkait dengan banjir normal dan banjir abnormal. Banjir normal didefinisikan sebagai air hujan yang menghasilkan limpasan pada daerah tangkapan mengalir ke sistem drainase secara alami dalam siklus tahunan yang terjadi secara normal. Dalam kondisi keseimbangan hidro-fisik, ketinggian air tetap dalam kondisi banjir normal. Jika sistem hidro-fisik terganggu, maka terjadi perluasan zona banjir abnormal. Banjir abnormal menyebabkan kerusakan yang seringkali disebabkan oleh hujan lebat dan salah urus daerah tangkapan air.

Lebih lanjut Woube menjelaskan, daerah tangkapan air yang terganggu akibat land use dan land cover menyebabkan run-off meningkat, pada curah hujan yang tetap. Curah hujan tidak ditahan oleh vegetasi akan jaruh ke bumi kemudian menguap, meresap dan mengalir pada tanah yang lebih rendah. Dalam kondisi intensitas curah hujan yang tinggi atau hujan yang berkepanjangan, saluran sungai tidak mampu menampung kelebihan limpasan, maka terjadi banjir. Selama periode aliran tinggi, intensitas curah hujan meningkatkan limpasan sungai dan debit puncak sehingga resiko bahaya banjir juga semakin besar. Pemanasan dan perubahan iklim global yang diperkirakan akan terjadi pada masa mendatang akan memperburuk resiko terjadinya banjir (Cui et al. 2009).

Brath et al. (2006) menyatakan bahwa kejadian banjir sangat sensitif terhadap adanya perubahan penggunaan lahan. Hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian atau padang rumput, maka pada wilayah tersebut dapat terjadi banjir abnormal. Deforestasi sekitar 30% pada DAS tropis menyebabkan pengurangan debit sungai yang ditandai oleh penurunan aliran sungai. Sistem pertanian di tepi sungai memungkinkan tingkat air normal dipertahankan dan membantu membatasi daerah rawa dan non rawa.

Pembangunan perkotaan memberikan gambaran yang jelas tentang dampak perubahan lahan terhadap pengelolaan air. Aktivitas manusia seperti urbanisasi, peternakan, irigasi dan sebagainya menyebabkan dampak buruk pada ekosistem sungai, kekeringan, banjir dan polusi pada sungai (Steiner et al. 2000; Molle et al. 2010). Urbanisasi mempengaruhi proses yang terjadi pada aliran


(28)

sungai, karena run-off yang besar, debit puncak yang tinggi, waktu respon lebih cepat dan proses sedimentasi sering terjadi selama urbanisasi (Cui et al. 2009).

2.4. Pengelolaan Banjir

Pengelolaan banjir dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan mengoptimalkan kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial tanpa mengganggu kestabilan ekosistem. Pada prinsipnya ada dua metode pengendalian banjir yaitu metode struktural dan non-struktural sebagaimana tercantum dalam Gambar 2. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2010) pada masa lalu metode struktrural lebih diutamakan dibandingkan dengan metode non-struktural. Namun saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir denagn terlebih dahulu mengutamakan non-struktural, dilanjutkan dengan metode struktural.

Gambar 2 Metode pengendalian banjir

(Kodoatie dan Sugiyono 2006 dalam Kodoatie dan Sjarief 2010) Kondisi tata guna lahan yang sudah padat karena bangunan menyebabkan kenaikan run-off yang signifikan dan pengurangan resapan air. Upaya perbaikan sungai dengan pelebaran akan memberikan pengaruh maksimal dua kali lipat saja,

Pengendalian Banjir

Metode Struktural Metode Non-struktural

Perbaikan dan pengaturan sistem

sungai

Sistem jaringan sungai

Perbaikan sungai

Perlindungan tanggul

Sodetan (by pass)

Floodway

Bangunan pengendali banjir

Bendungan (dam)

Kolam revisi

Pembuatan check dam (penangkap sedimen)

Bangunan pengurang

kemiringan sungai

Groundsill Retarding basin Pembuatan polder

Pengeloaan DAS

 Pengaturan tata guna lahan

 Pengendalian erosi

 Pengembangan daerah banjir

 Pengaturan daerah banjir

 Penanganan kondisi darurat

 Peramalan banjir

 Peringatan bahaya banjir

 Asuransi


(29)

itupun apabila proses pelebaran sebesar dua kali lipatnya bisa berjalan lancar. Perlu diperhatikan pelebaran sungai/drainase harus dipertahankan secara menyeluruh sampai ke hilir. Bilamana dilakukan pelebaran hanya dilakukan pada daerah hulu tetapi daerah hilir tidak dilebarkan maka akan terjadi penyempitan alur sungai, dan akhirnya daerah hulu kembali ke posisi semula. Selain itu potensi kembali pada lebar sungai semula cukup besar akibat sedimentasi dan morfologi sungai yang belum stabil. Demikian pula kedalaman sungai yang dikeruk menjadi dua kali akan kembali ke kedalaman semula akibat besarnya sedimentasi. Oleh karena itu metode non-struktural harus dikedepankan lebih dahulu (Kodoatie dan Sjarief 2010).

Van den Hurk et al. (2014) menyimpulkan bahwa pendekatan non-struktural memberikan hasil yang lebih serius dan konsisten dibandingkan pendekatan struktural. Hasil ini diperoleh dengan membandingkan kelembagaan penyelamatan air dan pengembangan spasial antara Belanda dan Kerajaan Inggris menggunakan kerangka Ostrom’s Institutional Analysis and Development (IAD). Belanda menyelesaikan permasalahan banjir melalui pembangunan fisik (tanggul dan bendungan) dan minimalisasi resiko banjir, dengan standar keselamatan yang tinggi dan diakui mempunyai reputasi yang baik sebagai pengelola air selama berabad-abad. Pemerintah Inggris mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan Belanda dalam menyelesaikan banjir. Inggris telah memiliki kelembagaan yang kuat dalam penyusunan tata ruang. Oleh karena itu meskipun standar keselamatannya rendah tetapi pendekatan resiko dapat diadaptasikan dalam perencanaan tata ruang melalui modifikasi pilihan lokasi. Inggris memiliki kebijakan pemanfaatan air yang baik, terutama pada saat terjadinya fenomena perubahan iklim seperti peningkatan curah hujan, variabilitas debit sungai dan naik turunnya permukaan air laut.

2.5. Penataan Ruang

Penataan ruang merupakan salah satu pendekatan non-struktural dalam pengelolaan banjir. Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan menuju kepada keseimbangan baru yang lebih baik. Sebagai proses perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara formal adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan. Tujuan penataan ruang adalah untuk (1) memenuhi efisiensi dan produktivitas, (2) mewujudkan distribusi sumberdaya guna terpenuhi prinsip pemerataan, keseimbangan dan keadilan dan (3) menjaga keberlanjutan (Rustiadi

et al. 2009).

Unsur penataan ruang menyangkut dua hal, yaitu unsur fisik ruang dan unsur non fisik (kelembagaan). Unsur fisik penataan ruang menyangkut pengaturan-pengaturan fisik (physical arrangement) dan sekaligus produk fisik dari suatu penataan ruang itu sendiri. Unsur fisik meliputi pengaturan pemanfaatan ruang fisik, penataan struktur/hierarki pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi, penataan jaringan keterkaitan pusat-pusat aktivitas dan pengembangan sistem sarana prasarana. Unsur non fisik/kelembagaan (institutional arrangement) dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai penyusunan aturan-aturan


(30)

(rule) dan aspek pengorganisasian atas pembagian peran (role) dalam rangka mengimplementasikan aturan-aturan penataan ruang. Unsur pengaturan atau tata pengaturan kelembagaan adalah pengaturan yang tidak bersifat fisik (tidak terlihat), akan tetapi sering dianggap sebagai hal yang terpenting dalam pengaturan ruang.

Cui et al. (2009) menyatakan bahwa salah satu strategi untuk mengurangi resiko banjir di perkotaan yang disebabkan oleh urbanisasi dan perubahan iklim menggunakan fluktuasi curah hujan sebagai dasar perbaikan, yaitu perbaikan saluran air, membangun bendungan dan membangun waduk, dan membuat saluran penyimpanan arus sungai dan sedimen yang terbentuk. Namun, langkah tersebut dianggap tidak efisien dan tidak hemat biaya untuk perbaikan ekologi. Strategi lain yang lebih baik berdasarkan jaringan sungai yang mencakup saluran dan muara sungai sehingga memungkinkan adanya pengembangan jaringan alur sungai untuk mengatur distribusi spasial sumber daya air. Dengan mengembangkan strategi ini maka perbaikan sungai yang harus dilakukan mencakup seluruh wilayah DAS.

Pembangunan perkotaan memberikan gambaran yang jelas tentang dampak perubahan penggunaan lahan terhadap pengelolaan air (Weather dan Evans 2009). Tanah bervegetasi diganti dengan permukaan kedap air sehingga meningkatkan aliran permukaan dan mengurangi infiltrasi, melewati penyimpanan alami dan memenuhi sub permukaan. Selain itu modifikasi aliran run-off ke sungai melalui jalur terpendek menyebabkan volume run-off yang lebih besar berpotensi meningkatkan puncak banjir secara cepat tetapi menurunkan resapan air tanah. Besarnya pengaruh pembangunan perkotaan pada debit sungai akan bergantung pada respon alami tangkapan air. Fragmentasi lanskap merupakan ancaman terhadap keberlanjutan DAS karena fragmentasi tersebut mengubah karakteristik lanskap yang dapat mengganggu keseimbangan ekologi (Molle et al. 2010).

Oleh karena itu, dalam pengelolaan DAS, perencanaan sumber daya air dan pengelolaan banjir untuk pembangunan berkelanjutan, harus mengintegrasikan model perubahan distribusi penggunaan lahan dan model distribusi hidrologi (Du et al. 2012). Selain itu, pemahaman hidrologi dan hubungan ekologis dalam ekosistem DAS sangat diperlukan. Pilihan yang harus diambil dalam pengelolaan DAS harus memperhatikan dampak yang akan diterima bagian hilir (Hipple et al. 2005; Molle dan Mamanpoush 2012). Dengan demikian, maka akan diperoleh manfaat dari pengelolaan DAS secara terpadu, meliputi (1) penyediaan suplai air yang memadai untuk keperluan alam dan manusia, (2) pemeliharaan dan peningkatan kualitas air, (3) pemulihan keanekaragaman hayati, dan (4) mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan regional (Cui et al. 2009).

2.6. Pemodelan Sistem Dinamik

Model adalah replikasi sistem dengan perbandingan tertentu, suatu konsep, sesuatu yang mengandung hubungan empiris, atau suatu seri persamaan matematis atau statistik yang menggambarkan sistem (Indarto 2010). Marpaung (2012) mendefinisikan model sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah


(31)

objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi dari realistis, pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model bukanlah suatu representasi yang sempurna dari yang dimodelkan, tetapi dapat sebagai alat yang sangat berguna untuk mempelajari dan memahami karakteristik sistem dan memprediksi perilaku sistem atau DAS terhadap masukan atau faktor eksternal. Perilaku sistem tersebut biasanya sulit diprediksi dengan hanya mengandalkan data pengukuran dan observasi lapangan.

Sistem adalah gugus elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Hartrisari 2007). Pengertian sistem ini mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian dan menunjukan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain. Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan sistem. Pendekatan sistem ini merupakan suatu pendekatan analisa organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Sistem dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sebaliknya pada sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Konsep pengertian sistem sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem (system approach). Pada dasarnya pendekatan tersebut merupakan penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah. Atau merupakan “kebiasaan berpikir atau beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya sesuatu” di dalam memandang atau menghasilkan kesalingterhubungkannya sesuatu benda, masalah, atau peristiwa. Jadi, pedekatan sistem berusaha menyadari adanya kerumitan di dalam kebanyakan benda, sehingga terhindar dari memandangnya sebagai sesuatu yang amat sederhana atau bahkan keliru.

Sistem dinamik sebagai suatu metodologi yang dipahami melalui interaksi antar struktur. Konsep dasar sistem dinamik mengenalkan secara sederhana elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis, yang dilengkapi dengan langkah-langkah berpikir membangun model umum (generic model) mulai dari identifikasi gejala sampai menghasilkan struktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Struktur model dibangun melalui analisis struktural berdasarkan pendekatan system thinking dan dimungkinkan mempunyai titik kontak yang banyak dan saling interdependen. Hubungan unsur-unsur yang saling interdependen itu merupakan hubungan sebab akibat yang bersifat umpan balik dan bukan hubungan sebab akibat bersifat searah (Hasan 2011). Ide utama dalam pemodelan sistem dinamik adalah untuk mengerti perilaku suatu sistem dengan menggunakan struktur matematika yang sederhana. Dengan demikian sistem dinamik dapat membantu perencana dalam hal-hal sebagai berikut: (a) menggambarkan suatu sistem, (b) mengerti suatu sistem, (c) mengembangkan model secara kualitatif dan kuantitatif, (d) mengidentifikasi perilaku umpan balik


(32)

dari suatu sistem, (e) mengembangkan kendali kebijakan untuk pengelolaan sistem yang lebih baik.

Pendekatan sistem dalam penataan ruang suatu wilayah adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan ruang sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem tata ruang yang dianggap efektif. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor yang penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.

Menurut Hartrisari (2007) dan Djakapermana (2010), untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem dapat melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pelaku sistem,

2. Formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem,

3. Identifikasi sistem, merupakan pemahaman mekanisme yang terjadi dalam sistem,

4. Pemodelan sistem, proses untuk mengubah konsep sistem atau struktur model yang telah disusun ke dalam persamaan atau bahasa komputer

2.7. Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh

Menurut Malczewski (1999) definisi SIG berfokus pada dua aspek sistem yaitu teknologi dan pemecahan masalah. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan teknologi untuk penanganan data spasial. Terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang mampu menangkap, menyimpan dan memproses informasi spasial berupa data kualitatif dan kuantitatif, menyatukan dan menginterpretasi peta (Farina 1998). Sedangkan menurut Tkach dan Simonovic (1997) SIG merupakan teknologi yang berkembang dengan cepat dalam hal keefisienan penyimpanan data, analisis dan manajemen informasi spasial. Hampir semua proses manajemen pengambilan keputusan memerlukan analisis informasi spasial. Dengan menggunakan teknologi SIG maka banyak informasi berguna yang dapat dihasilkan dari data dasar. Ketelitian serta pengaturan kembali aliran informasi dalam pelaksanaannya dapat semakin efektif dan secara nyata memperbaiki kualitas kerja (Lin 2000). Foote and Lynch (1996) memuat tiga hal penting yang dimiliki oleh SIG, yaitu:

1) SIG berhubungan dengan berbagai aplikasi database lainnya dengan menggunakan georeference sebagai dasar utama dalam proses penyimpanan dan akses informasi.

2) SIG merupakan sebuah teknologi yang terintegrasi, karena dapat menyatukan berbagai teknologi geografi yang ada seperti penginderaan jauh, Global Positioning System (GPS), Computer Aided Design (CAD) dan lainnya.

3) SIG dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya dilihat sebagai sistem perangkat keras/lunak.


(33)

Gambar 3 Tahapan pemodelan sistem dinamik (sumber: Hartrisari (2007) dan Djakapermana (2010))

Formulasi Permasalahan Mulai

Analisis Kebutuhan

Identifikasi Permasalahan

Identifikasi Sistem 1. Diagram lingkar

sebab-akibat (causal loop) 2. Diagram input-output

(black box)

Identifikasi Sistem 1. Operasi matematik 2. Program (komputer)

Validasi

Implementasi

Evaluasi Layak

Persiapan

Pemodelan

Eksekusi model atas data lapangan

Tindak lanjut Ya


(34)

Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu pengetahuan dalam memperoleh informasi tentang suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tertentu tanpa ada kontak dan investigasi dengan objek tersebut (Lillesand dan Kiefer 2000). Informasi remote sensing yang dihasilkan dari satekit image untuk analisis lebih lanjut menggunakan SIG. Secara umum data dari penginderaan jauh agar dapat digunakan di SIG harus diinterpretasi dan dikoreksi geometrik terlebih dahulu (Farina 1998).

Paling sedikit ada tiga alasan menggabungkan penggunaan SIG dan remote sensing (De Bruin dan Molenaar 1999), yaitu :

1. Analisis image dalam penginderaan jauh lebih menguntungkan dari GIS-stored data.

2. Penginderaan jauh dapat menjadi dasar untuk memperbaharui informasi geografi.

3. Penggabungan dari informasi yang diperoleh dari proses-proses dalam SIG dapat membantu untuk menjaga dari kesalahan dan ketidaktentuan dalam menangkap dan memanipulasi data.

2.8. Daya Dukung Lingkungan

Salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu ekosistem adalah ecological footprint (tapak ekologi). Ecological footprint

mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan metrik, yaitu area global biokapasitas. Dengan mengemukakan mengenai bagaimana mengurangi dampak penduduk terhadap alam, konsep ecological footprint menjadi isu dunia yang penting, setidaknya dalam dua cara pandang (Mc Donald dan Patterson 2003

dalam Rustiadi et al. 2010). Pertama, ecological footprint mengukur total biaya ekologis (dalam area lahan) dari suplai seluruh barang dan jasa kepada penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk tidak hanya secara langsung memerlukan lahan untuk produksi pertanian, jalan, bangunan dan lainnya, akan tetapi secara tidak langsung lahan pun turut mewujudkan barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk. Dalam cara pandang ini, ecological footprint dapat digunakan untuk membuat nyata biaya ekologis dari aktivitas penduduk. Kedua, ecological footprint sebagai indikator keberlanjutan, yaitu carrying capacity. Carrying capacity dalam ekologi adalah jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh area lahan tertentu. Konsep ini merujuk untuk semua anggota ekosistem. Menjadi sangat menarik apabila populasi di sini adalah populasi manusia atau penduduk.

Ecological footprint digunakan salah satunya untuk menghitung daya dukung lingkungan. Konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity) dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep kepadatan penduduk (population density). Kepadatan penduduk menunjukkan hubungan kuantitatif antara jumlah penduduk dan unit luas lahan. Konsep daya dukung menekankan pada kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingkat kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Dengan demikian kemampuan ini sangat bergantung pada


(35)

kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumber daya oleh suatu organisme.

Di Indonesia, secara legal konsep daya dukung sudah diperkenalkan dalam Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini membedakan konsep daya dukung lingkungan atas daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial, dimana pengertian dari masing-masing konsep tersebut adalah sebagai berikut :

1. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumbernya untuk menunjang perikehidupan manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan.

2. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk. 3. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan

kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib, dan aman.

3 METODOLOGI

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Secara geografis DAS Ciliwung Hilir terletak pada 6°7’12.55” - 6°15’27.33” LS dan 106°49’42.17” - 106°51’36.10” BT. DAS Ciliwung Hilir berbatasan dengan DAS Krukut dan Grogol di sebelah Barat yang terhubung dengan Banjir Kanal Barat (BKB). Sementara di sebelah Timur berbatasan dengan DAS Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung yang terhubung dengan Banjir Kanal timur (BKT). Berdasarkan pewilayahan administratif, DAS Ciliwung Hilir berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4). Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2014 – Mei 2015 di kawasan DAS Ciliwung Hilir.

3.2 Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan survei lapang sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur, hasil penelitian, laporan, peta dan data statistik yang diperoleh dari instansi pemerintah, yaitu IPB, BPDAS Citarum Ciliwung, BBWS Ciliwung Cisadane, LAPAN, BMG, BPS dan SKPD terkait.


(36)

Gambar 4 Peta lokasi penelitian Tabel 1 Jenis, satuan, sumber dan kegunaan data

No. Jenis Data Satuan Sumber Kegunaan

A. Peta Dasar DAS Ciliwung Hilir

1 Citra Landsat (Path : 122, Row : 64)

 Landsat 5 Image LAPAN Deliniasi tutupan

 Landsat 7 ETM+ Image www.usgs.co.us Lahan

 Landsat 8 Image

2 Peta Tutupan Lahan DAS Ciliwung Hilir

Peta Tematik

BAPPEDA DKI

3 Peta Topografi BALITTANAH Peta Kesesuaian


(37)

Tabel 1 Lanjutan

3.3Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan beberapa bagian atau tahapan, yaitu analisis penutupan lahan, analisis periode ulang curah hujan, analisis hubungan antara penutupan lahan dan curah hujan terhadap debit air, analisis sistem dinamik dan analisis distribusi spasial.

1. Analisis Penutupan Lahan

Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap penutupan lahan pada daerah penelitian. Data yang digunakan dalam tahap ini adalah Citra Landsat tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014. Pengolahan citra merupakan suatu cara memanipulasi data citra menjadi suatu keluaran (output) sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum data dari penginderaan jauh agar dapat digunakan SIG harus diinterpretasikan terlebih dahulu. Tahapan identifikasi (interpretasi) tersebut adalah sebagai berikut :

a. Import data

Langkah awal yang dilakukan adalah import data file ke dalam format data yang diinginkan sesuai jenis data yang dipakai dalam software ERDAS IMAGINE, yaitu format (.img). Data yang disimpan biasanya dalam bentuk data raster.

4 Peta Jenis Tanah

B. Bio-fisik

1 Debit/Tinggi Muka Air Sungai

ltr/dtk; cm BP DAS Citarum-Ciliwung, BBWSCC, Dinas PU Tata Air

2 Curah Hujan mm/thn BMKG Peubah

3 Data Sungai Dinas PU Tata

Air

C. Sosial

1 Populasi jiwa BPS Kondisi umum


(38)

b. Raktifikasi data

Koreksi geometri dimana row dan path data citra landsat mempunyai sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yang belum tentu sama dengan basemap atau sistem proyeksi yang digunakan. Sehingga sebelum dilakukan pendugaan maka terlebih dahulu dilakukan koreksi secara geometris berdasarkan Ground Control Point (GCP) sebagai titik kontrol/referensi. Setelah dilakukan koreksi secara geometrik, maka dilakukan juga koreksi secara atmosferik/radiometrik, untuk melihat sejauhmana citra tersbeut layak untuk digunakan dalam analisis. Citra dianggap layak jika kondisi tutupan awan <20% sebagai acuan untuk penentuan histogram.

Hal penting untuk mempertajam luas cakupan penutupan lahan yang dapat diidentifkasi termasuk waktu, jam dan tanggal pengambilan citra tersebut untuk mengetahui pola-pola penutupan lahan saat melakukan klasifikasi dimana panduannya dapat diestimasi dari rekaman kejadian yang terjadi pada saat citra diprogram. Gambar 5 menunjukkan kondisi sebelum dikoreksi dan setelah dikoreksi.

c. Subset image

Subset image adalah memotong (cropping) citra untuk menentukan daerah penelitian, Citra landsat tahun 1990, 2000, 2010 dan 2014 akan di-subset dengan

boundary DAS Ciliwung Hilir.

d. Komposit band

Citra satelit Landsat 7+ETM mempunyai 8 band (gelombang) (cakupan per scene 185 x 185 km) dengan resolusi 30 m (multispectral). Untuk keperluan penafsiran citra ini diperlukan beberapa band yang dikombinasikan (komposit) sehingga memudahkan dalam proses penafsiran. Citra ditampilkan pada layar monitor dengan model warna RGB (Red Green Blue) atau kombinasi band 5-4-3 karena merupakan tampilan terbaik untuk identifikasi secara visual. Tampilan RGB ini merupakan tampilan yang sangat baik karena merupakan warna primer (true color).

Gambar 5 Proses raktifikasi untuk koreksi geometri citra (sumber: Hadi, Suwarto, Rusdiana, 2006)


(39)

e. Klasifikasi terbimbing (supervised classification)

Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan sampel untuk setiap kelas atau membuat training site (area contoh) berupa poligon tertutup dalam bentuk vektor yang di-overlay-kan ke dalam citra yang ada. Penentuan daerah contoh dalam citra dilakukan berdasarkan nilai warna pada raster contoh tertentu. Pemilihan dan penentuan daerah contoh diusahakan mencakup seluruh tipe penutupan lahan yang ada pada citra, agar tidak terjadi pemaksaan pengklasifikasian. Pemilihan dan penentuan lokasi daerah contoh juga memperhatikan pengaruh posisi lereng dan naungan citra. Setelah training sample

(AOI) dibuat, maka proses klasifikasi terbimbing dapat dilakukan.

Secara umum tahapan analisis penutupan lahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Hasil pengecekan lapang kemudian dibandingkan dengan nilai interpretasi yang sudah dilakukan, kemudian dihitung akurasinya menggunakan Overall Accuracy dan Kappa Accuracy. Akurasi penutupan dan penggunaan lahan menggunakan akurasi Kappa (Congalton dan Mead dalam Jaya 2014) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut :

dimana:

Xii = nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i

X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

Xi+ = jumlah piksel dalam baris ke-i

N = banyaknya piksel dalam contoh

Nilai Kappa Accuracy menghitung titik-titik uji dengan nilai

commission/user’s accuracy (nilai yang benar dalam baris dibagi nilai total dalam baris error matrix) serta nilai omission/producer accuracy (nilai yang benar dalam kolom dibagi nilai total dalam kolom error matrix). Nilai overall accuracy

umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan Kappa accuracy. Pengujian hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy di atas 85% (Jensen 1996).

2. Analisis Hubungan antara Penutupan Lahan dan Curah Hujan

Analisis regresi digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu variabel. Dalam mengkaji hubungan tersebut, perlu dilakukan penetapan variabel tidak bebas dan variabel bebas. Jika ingin dikaji hubungan atau pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, maka model regresi yang digunakan adalah model regresi linier berganda.


(40)

Gambar 6 Tahapan analisis penutupan lahan (sumber: Hadi, Suwarto, Rusdiana, 2006)

Bentuk umum model regresi linier berganda dengan p variabel bebas adalah seperti yang tertera di bawah ini :

y = a + bx1 + cx2 + dx3 + ex4 + …… + gxn + Ɛ dimana:

y = debit maksimum aliran sungai (m3/dtk) x1..xn = penggunaan lahan

a,b,c,.. = konstanta/parameter Ɛ = faktor koreksi

Citra Landsat

Koreksi Geometrik

Presisi

Komposit Band

Interpretasi

Training Area (AOI)

Analisis Spatial Citra Digitasi Spasial

Klasifikasi Terbimbing

GPS

GCP

OverlayData Klasifikasi Citra


(41)

3. Analisis Sistem Dinamik

a. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses pengembangan sistem model. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap stakeholder dalam penataan ruang untuk mengendalikan banjir.

Stakeholder yang terlibat antara lain pemerintah, masyarakat lokal dan swasta. Tabel 2 Analisis kebutuhan stakeholders

Kebutuhan Masyarakat Pemerintah Swasta

Luas RTH stabil / bertambah

- vv -

Debit terkendali v vv v

Titik banjir berkurang vv vv v

Daya dukung stabil - vv -

- : tidak ada keterkaitan v : berkaitan

vv : sangat berkaitan

b. Formulasi Permasalahan

Menurut Hartrisari (2007), formulasi permasalahan disusun dengan cara mengevaluasi keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (limited of resources) dan atau adanya konflik/perbedaan kepentingan diantara stakeholders (conflicts of interest) untuk mencapai tujuan sistem.

c. Identifikasi Sistem

Dalam melakukan identifikasi sistem akan melalui beberapa tahapan yang perlu diperhatikan. Kinerja sistem yang dipengaruhi dimana di dalamnya terdapat (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan dan (6) variabel kontrol sistem. Hubungan antar variabel dapat dilihat pada gambar 7 di bawah ini.

Menurut Eriyatno (1998) konsep identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang akan diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut, yang digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal-loop). Diagram lingkar sebab akibat adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab akibat (causal relationships) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa gambar tersbeut dibuat dalam bentuk garis panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram sebab akibat (causal-loop), dimana pangkal panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Gambar 8).


(42)

Model perencanaan untuk optimasi tata ruang kawasan merupakan kombinasi antara subsistem sosial, subsistem ekonomi dan subsistem lahan. Hal ini sejalan dengan kajian yang dilakukan oleh Yu et al (2011).

Gambar 7 Diagram input-output penelitian

d. Konstruksi model dinamik

Konstruksi model dinamik merupakan proses untuk mengubah konsep sistem atau struktur model yang telah disusun ke dalam persamaan-persamaan atau bahasa komputer dengan pemrograman Stella (Gambar 8). Program Stella

merupakan perangkat lunak untuk pemodelan berbasis flowchart. Stella termasuk bahasa pemrograman interpreter dengan pendekatan multi-level hierarkis, baik untuk menyusun model maupun berinteraksi dengan model. Alat penyusun model yang tersedia dalam Stella adalah :

1. Stocks, yang merupakan hasil suatu akumulasi, fungsinya untuk menyimpan informasi berupa nilai suatu parameter yang masuk ke dalamnya;

2. Flows, berfungsi seperti aliran, yaitu menambah dan mendukung stock, arah anak panah menunjukkan arah aliran tersebut, aliran bisa satu arah maupun dua arah;

3. Converters, berfungsi luas, dapat digunakan untuk menyimpan konstanta, input lainnya atau menyimpan data dalam bentuk grafis (tabulasi x dan y), secara umum fungsinya adalah untuk mengubah suatu input menjadi output;

4. Connectors, berfungsi menghubungkan elemen-elemen dari suatu model. INPUT TDK TERKONTROL  Iklim  Penduduk INPUT LINGKUNGAN

 UU No. 26/2007

 Permen PU

 Perda DKI No.1/2014

OUTPUT YG DIINGINKAN

 TMA < 850 cm

 RTH stabil/bertambah

INPUT TERKONTROL

 Tata Ruang Wilayah

 Luas RTH

 Debit

OUTPUT YG TDK DIINGIN

 TMA > 850 cm

 RTH berkurang

MODEL PENATAAN RUANG OPTIMAL


(43)

Tata Guna Lahan Banjir Hilir Penduduk Kondisi Biofisik Kelahiran Kematian Imigrasi Emigrasi Ketinggian Sungai Slope Jenis tnh CH Lahan Terbangun RTH Badan Air Sampah + + -+ + + -- -+ -+ Debit +

Gambar 8 Diagram lingkar sebab-akibat kebutuhan

Dengan alat penyusun model seperti di atas, program Stella akan mampu menjalankan model dinamis dalam penataan ruang kawasan yang telah diskenariokan; dengan input, nilai parameter, keterkaitan parameter antar aspek, dan output yang telah ditetapkan.

e. Simulasi

Salah satu cara untuk melihat kinerja model yang dibangun melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simualsi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Dengan simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan (Muhammad dalam Djakapermana, 2010).

f. Validasi model

Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pekerjaan pemodelan obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model dan validasi kinerja. Validasi struktur model sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Tujuannya untuk melihat sejauhmana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi sistem nyata. Sedangkan validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana “kinerja” model dengan “kinerja” sistem nyata sehingga


(44)

Penduduk

Kelahiran Kematian

Angk Kelahiran Angk Kematian

BdnAir Krg BdnAir LhnTerbangun

TmbLhnTerb RTH KrgRTH

Total LuDAS QMax

CrhHjn

TinggiManggarai

LjLahir LjMati

Sub Model Sosial Sub Model Penggunaan Lahan

memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk sejauh mana perilaku “output” model sesuai dengan perilaku data empirik.

Gambar 9 Konstruksi model dinamik (stock flow diagram)

3.4Batasan dan Asumsi Model serta Skenario Hasil

Dengan keterbatasan data yang didapatkan selama pengambilan data di lapangan, maka model yang direncanakan didasarkan pada beberapa asumsi. Asumsi-asumsi ini dibuat agar model lebih mendekati realistik dan logis, sehingga memungkinkan untuk diterapkan pada tingkat kebijakan.

Asumsi dasar yang dibuat pada model ini yaitu pola penutupan ruang yang cukup guna menghasilkan tata ruang optimal dengan pengaturan ruang terbuka hijau dan perbaikan badan air dan tetap mengakomodir jumlah penduduk.

Model dibatasi dan difokuskan pada tujuan memprediksi perubahan penutupan lahan akibat perkembangan penduduk dan dampaknya kepada kejadian banjir akibat ketinggian muka air yang melebihi 850 cm.


(1)

Lampiran 4 Lanjutan

2026 2,498,050 3.99 260.53 5,747.69 449.96 1,137.09 2027 2,501,047 3.95 261.33 5,743.99 452.90 1,132.43 2028 2,504,048 3.92 262.13 5,740.27 455.85 1,127.74 2029 2,507,053 3.91 262.93 5,736.54 458.79 1,123.04 2030 2,510,062 3.90 263.73 5,732.81 461.72 1,118.35 2031 2,513,074 3.90 264.53 5,729.09 464.66 1,113.65 2032 2,516,090 3.89 265.33 5,725.36 467.59 1,108.95 2033 2,519,109 3.89 266.13 5,721.64 470.51 1,104.26 2034 2,522,132 3.89 266.93 5,717.92 473.43 1,099.57 2035 2,525,158 3.89 267.73 5,714.20 476.35 1,094.89 2036 2,528,189 3.89 268.53 5,710.49 479.26 1,090.21 2037 2,531,222 3.89 269.33 5,706.78 482.18 1,085.54 2038 2,534,260 3.88 270.13 5,703.07 485.08 1,080.87 2039 2,537,301 3.88 270.93 5,699.37 487.99 1,076.21 2040 2,540,346 3.88 271.73 5,695.67 490.88 1,071.55 2041 2,543,394 3.88 272.53 5,691.98 493.78 1,066.89 2042 2,546,446 3.88 273.33 5,688.29 496.67 1,062.24 2043 2,549,502 3.88 274.13 5,684.60 499.56 1,057.60 2044 2,552,561 3.88 274.93 5,680.92 502.44 1,052.96 2045 2,555,624 3.87 275.73 5,677.24 505.33 1,048.32 2046 2,558,691 3.87 276.53 5,673.56 508.20 1,043.69 2047 2,561,762 3.87 277.33 5,669.89 511.08 1,039.06 2048 2,564,836 3.87 278.13 5,666.22 513.95 1,034.44 2049 2,567,914 3.87 278.93 5,662.56 516.81 1,029.82 2050 2,570,995 3.87 279.73 5,658.90 519.68 1,025.21


(2)

Tahun Penduduk (jiwa) Lahan Terbuka (ha) Badan Air (ha) Lahan Terbangun (ha) RTH (ha) TMA (cm) 2000 2,421,359 198.90 226.53 5561.58 475.16 902.59 2001 2,423,780 199.40 228.53 5562.78 471.46 904.10 2002 2,426,204 199.90 230.53 5563.98 467.76 905.61 2003 2,428,630 200.40 232.53 5565.18 464.06 907.13 2004 2,431,059 200.90 234.53 5566.38 460.36 908.64 2005 2,433,490 201.40 236.53 5567.58 456.66 910.15 2006 2,435,924 201.90 238.53 5568.78 452.96 911.66 2007 2,438,359 202.40 240.53 5569.98 449.26 913.17 2008 2,440,798 202.90 242.53 5571.18 445.56 914.69 2009 2,443,239 203.40 244.53 5572.38 441.86 916.20 2010 2,445,682 203.90 246.53 5573.58 438.16 917.71 2011 2,448,128 204.40 248.53 5574.78 434.46 919.22 2012 2,450,576 202.20 249.33 5578.98 431.66 924.51 2013 2,453,026 200.00 250.13 5583.18 428.86 929.81 2014 2,455,479 197.80 250.93 5587.38 426.06 935.10 2015 2,457,935 195.60 251.73 5591.58 423.26 940.39 2016 2,460,393 98.60 252.53 5690.58 420.46 1065.13 2017 2,462,853 51.24 253.33 5728.56 429.04 1112.99 2018 2,465,316 27.56 254.13 5742.78 437.70 1130.90 2019 2,467,781 15.73 254.93 5745.12 446.38 1133.86 2020 2,470,249 9.81 255.73 5741.55 455.07 1129.35 2021 2,472,719 6.86 256.53 5735.03 463.76 1121.13 2022 2,475,192 5.37 257.33 5727.04 472.43 1111.07 2023 2,477,667 4.63 258.13 5718.32 481.08 1100.09 2024 2,480,145 4.26 258.93 5709.26 489.72 1088.67 2025 2,482,625 4.07 259.73 5700.03 498.34 1077.04 2026 2,485,108 3.98 260.53 5690.73 506.94 1065.32


(3)

Lampiran 5 Lanjutan

2027 2,487,593 3.93 261.33 5681.39 515.52 1053.56 2028 2,490,080 3.90 262.13 5672.06 524.08 1041.79 2029 2,492,570 3.88 262.93 5662.73 532.62 1030.04 2030 2,495,063 3.87 263.73 5653.41 541.15 1018.30 2031 2,497,558 3.87 264.53 5644.11 549.66 1006.58 2032 2,500,056 3.86 265.33 5634.83 558.15 994.89 2033 2,502,556 3.86 266.13 5625.57 566.62 983.21 2034 2,505,058 3.85 266.93 5616.32 575.07 971.56 2035 2,507,563 3.85 267.73 5607.09 583.50 959.93 2036 2,510,071 3.85 268.53 5597.88 591.91 948.33 2037 2,512,581 3.84 269.33 5588.69 600.31 936.75 2038 2,515,093 3.84 270.13 5579.51 608.69 925.19 2039 2,517,609 3.84 270.93 5570.36 617.05 913.65 2040 2,520,126 3.83 271.73 5561.22 625.39 902.14 2041 2,522,646 3.83 272.53 5552.10 633.71 890.65 2042 2,525,169 3.82 273.33 5543.00 642.01 879.18 2043 2,527,694 3.82 274.13 5533.92 650.30 867.74 2044 2,530,222 3.82 274.93 5524.86 658.57 856.32 2045 2,532,752 3.81 275.73 5515.81 666.82 844.92 2046 2,535,285 3.81 276.53 5506.78 675.05 833.54 2047 2,537,820 3.81 277.33 5497.77 683.26 822.19 2048 2,540,358 3.80 278.13 5488.78 691.46 810.86 2049 2,542,898 3.80 278.93 5479.81 699.63 799.56 2050 2,545,441 3.80 279.73 5470.85 707.79 788.27


(4)

Lahan Terbuka

Tahun Aktual Simulasi AME

2011 196.34 199.40 0.0155852 2012 193.77 199.90 0.0316354 2013 191.21 200.40 0.0480623 2014 188.64 200.90 0.0649915

Badan Air

Tahun Aktual Simulasi AME

2011 225.63 228.53 0.0128529 2012 224.74 230.53 0.0257631 2013 223.84 232.53 0.0388224 2014 222.94 234.53 0.0519871

Lahan Terbangun

Tahun Aktual Simulasi AME

2011 5568.09 5562.78 (0.0009536) 2012 5574.6 5563.98 (0.0019051) 2013 5581.11 5565.18 (0.0028543) 2014 5587.62 5566.38 (0.0038013)


(5)

Lampiran 6 Lanjutan Ruang Terbuka Hijau

Tahun Aktual Simulasi AME

2011 472.27 471.46 (0.0017151) 2012 469.39 467.76 (0.0034726) 2013 466.5 464.06 (0.0052304) 2014 463.61 460.36 (0.0070102)


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Februari 1978 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Mat Idji dan Hj. Djuah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 39 Jakarta pada tahun 1996, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Arsitektur Pertamanan. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 tahun 2002, dan kemudian bekerja pada beberapa perusahaan pengembang sebagai perencana lanskap hingga tahun 2009. Tahun 2010 penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta.

Pada tahun 2013 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Stara-2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan Program Studi Arsitektur Lanskap melalui program beasiswa Pegawai Tugas Belajar yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.