Kerangka Pikir Penelitian Kajian Dampak Perubahan Penutupan Lahan Terhadap Kejadian Banjir Pada Lanskap Das Ciliwung Hilir Dengan Pendekatan Sistem Dinamik

memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ada 5 lima indikator biofisik yang dapat dijadikan sebagai ukuran bahwa DAS dikatakan masih baik dan dapat berfungsi secara optimal, yaitu; 1 debit sungai konstan dari tahun ke tahun; 2 kualitas air baik dari tahun ke tahun; 3 fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil; 4 ketinggian muka air tanah dari tahun ke tahun konstan: dan 5 kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu.

2.2. Aliran Permukaan dan Tata Guna Lahan

Indarto 2010, menjelaskan bahwa aliran run-off sering didefinisikan sebagai hujan rainfall, salju danatau air irigasi yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai. Kadang-kadang juga disebut sebagai aliran permukaan surface run-off. Lebih lanjut Asdak 2010 mendefiniskan aliran permukaan run-off sebagai air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi, bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Menurut Indarto 2010 ada dua jenis aliran permukaan yang terjadi selama hujan atau pelelehan es, yaitu : 1 aliran permukaan yang berasal dari kelebihan infiltrasi infiltration excess overland flow; dan 2 aliran permukaan yang berasal dari kejenuhan tanah saturation excess overland flow. Aliran permukaan karena kelebihan infiltrasi terjadi jika besarnya hujan intensitas hujan yang jatuh atau salju yang meleleh lebih besar dari kapasitas infiltrasi. Air yang tidak terinfiltrasi selanjutnya menjadi aliran permukaan. Aliran ini umumnya teramati pada kejadian hujan deras dengan durasi pendek. Umumnya juga terjadi pada wilayah dimana tanahnya banyak mengandung lempung atau pada kasus permukaan tanah yang telah termodifikasi karena pemadatan tanah soil compaction, urbanisasi, atau kebakaran hutan. Aliran permukaan jenis ini sering disebut sebagai aliran Horton Hortonian flow. Aliran permukaan karena kejenuhan terjadi jika tanah menjadi jenuh dan air tidak dapat lagi terinfiltrasi. Umumnya terjadi pada hujan kecil hingga sedang dengan durasi panjang atau kejadian hujan atau pelelehan salju yang beruntun. Tanah mungkin sudah jenuh oleh kejadian hujan sebelumya, sehingga tidak lagi dapat menampung air infiltrasi. Aliran jenis ini dapat terjadi dimana saja selama tanah dalam keadaan basah. Lebih khusus lagi pada daerah beriklim humid dengan topografi datar atau kemiringan kecil. Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah. Setelah pengisian air pada cekungan itu selesai, air dapat mengalir di atas permukaan tanah dengan bebas. Ada bagian air yang berlangsung cepat dan selanjutnya membentuk aliran debit debit sungai. Bagian aliran permukaan lain, karena melewati cekungan-cekungan permukaan tanah sehingga memerlukan waktu beberapa hari bahkan beberapa minggu sebelum akhirnya menjadi aliran debit. Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan secara umum dapat dibagi dua yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS. Karakteristik hujan mencakup lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan. Pengaruh karakteristik DAS terhadap terhadap aliran permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran morfometri DAS, topografi, geologi dan tata guna lahan. Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Dengan demikian, total volume aliran permukaan akan lebih besar pada hujan intensif dibandingkan dengan hujan kurang intensif meskipun curah hujan total kedua hujan tersebut sama besarnya. Laju dan volume aliran permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS yang bersangkutan. Pengaruh morfometri DAS terhadap besaran dan waktu dari hidrograf aliran yang dihasilkannya dalam hal ini terdiri atas luas, kemiringan lereng, bentuk dan kerapatan drainase DAS. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diteima. Tetapi, beda waktu time lag antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian juga waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Kemiringan lereng suatu DAS mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal waktu. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju aliran permukaan sehingga mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit dan bentuk- bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan sebagian besar bentang lahan datar atau pada daerah dengan cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan outlet akan menghasilkan aliran lebih kecil dibandingkan dengan DAS dengan kemiringan lereng lebih besar serta pola pengairan yang dirancang denan baik. Dengan kata lain, sebagian aliran air ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari bentuk hidrograf yang lebih datar. Proses yang terjadi di DAS akan mengalihragamkan masukan berupa hujan menjadi luaran yang berupa hasil air kualitas, kuantitas dan sedimen. Apabila proses yang terjadi dalam DAS masih berjalan dengan baik maka fluktuasi aliran permukaan pada outlet DAS mempunyai perbedaan yang relatif kecil dan kandungan sedimen baik yang melayang maupun didasar sungai juga relatif kecil. Menurut Fakhrudin 2003, penggunaan lahan merupakan faktor yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Perubahan penggunaan lahan akan mengakibatkan perubahan terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan surface storage atau gabungan antara keduanya dan efek selanjutnya akan mempengaruhi aliran permukaan. Hubungan antara penggunaan lahan dan aliran permukaan juga dijelaskan oleh Wibowo 2011, debit sungai tidak semata-mata dipengaruhi oleh curah hujan yang bersifat acak, perubahan penutupan lahan menjadi yang bersifat masif atau kedap air akan meningkatkan limpasan permukaan yang selanjutnya memperbesar peluang terjadinya banjir.

2.3. Fenomena Banjir di DAS

Gangguan ekologis pada DAS terjadi apabila hubungan antar komponen dalam ekosistem DAS tidak dalam keadaan seimbang. Gangguan ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi, energi dan informasi antar komponen ekosistem. Salah satu gangguan ekologis yang terjadi di DAS adalah kejadian banjir, terutama di daerah hilir akibat aktivitas manusia di daaerah hulu hingga hilir yang tidak ramah lingkungan. Menentukan pengaruh gangguan DAS bagian hulu terhadap kemungkinan terjadinya banjir di daerah hilir memerlukan observasi respon DAS bagian hulu terhadap masukan curah hujan. Respon DAS terhadap curah hujan banyak ditentukan oleh karakteristik DAS, antara lain keadaan topografi, kelembaban dan jenis tanah, penutupan vegetasi dan ukuran kerapatan drainase DAS. Ukuran dan bentuk DAS, kemiringan lereng lahan dan sungai, jenis batuan dan kerapatan sungai adalah karakteristik yang tidak banyak berubah. Keseluruhan karakteristik fisik tersebut secara tersendiri maupun bersamaan akan mempengaruhi debit aliran sebagai respon DAS terhadap curah hujan. Sedangkan karakteristik biofisik seperti vegetasi dan tanah cenderung bersifat dinamis. Bila salah satu komponen tersebut berubah, maka berubah pula debit aliran sebagai respon terhadap curah hujan. Karena sifatnya yang dinamis, perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi besarnya debit aliran sebagai respon terhadap curah hujan Asdak 2010. Woube 1999 menjelaskan bahwa jenis-jenis, penyebab, besaran dan dampak banjir di DAS dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu terkait dengan banjir normal dan banjir abnormal. Banjir normal didefinisikan sebagai air hujan yang menghasilkan limpasan pada daerah tangkapan mengalir ke sistem drainase secara alami dalam siklus tahunan yang terjadi secara normal. Dalam kondisi keseimbangan hidro-fisik, ketinggian air tetap dalam kondisi banjir normal. Jika sistem hidro-fisik terganggu, maka terjadi perluasan zona banjir abnormal. Banjir abnormal menyebabkan kerusakan yang seringkali disebabkan oleh hujan lebat dan salah urus daerah tangkapan air. Lebih lanjut Woube menjelaskan, daerah tangkapan air yang terganggu akibat land use dan land cover menyebabkan run-off meningkat, pada curah hujan yang tetap. Curah hujan tidak ditahan oleh vegetasi akan jaruh ke bumi kemudian menguap, meresap dan mengalir pada tanah yang lebih rendah. Dalam kondisi intensitas curah hujan yang tinggi atau hujan yang berkepanjangan, saluran sungai tidak mampu menampung kelebihan limpasan, maka terjadi banjir. Selama periode aliran tinggi, intensitas curah hujan meningkatkan limpasan sungai dan debit puncak sehingga resiko bahaya banjir juga semakin besar. Pemanasan dan perubahan iklim global yang diperkirakan akan terjadi pada masa mendatang akan memperburuk resiko terjadinya banjir Cui et al. 2009. Brath et al. 2006 menyatakan bahwa kejadian banjir sangat sensitif terhadap adanya perubahan penggunaan lahan. Hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian atau padang rumput, maka pada wilayah tersebut dapat terjadi banjir abnormal. Deforestasi sekitar 30 pada DAS tropis menyebabkan pengurangan debit sungai yang ditandai oleh penurunan aliran sungai. Sistem pertanian di tepi sungai memungkinkan tingkat air normal dipertahankan dan membantu membatasi daerah rawa dan non rawa. Pembangunan perkotaan memberikan gambaran yang jelas tentang dampak perubahan lahan terhadap pengelolaan air. Aktivitas manusia seperti urbanisasi, peternakan, irigasi dan sebagainya menyebabkan dampak buruk pada ekosistem sungai, kekeringan, banjir dan polusi pada sungai Steiner et al. 2000; Molle et al. 2010. Urbanisasi mempengaruhi proses yang terjadi pada aliran sungai, karena run-off yang besar, debit puncak yang tinggi, waktu respon lebih cepat dan proses sedimentasi sering terjadi selama urbanisasi Cui et al. 2009.

2.4. Pengelolaan Banjir

Pengelolaan banjir dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mengkoordinasikan pengembangan dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan mengoptimalkan kepentingan ekonomi dan kesejahteraan sosial tanpa mengganggu kestabilan ekosistem. Pada prinsipnya ada dua metode pengendalian banjir yaitu metode struktural dan non-struktural sebagaimana tercantum dalam Gambar 2. Menurut Kodoatie dan Sjarief 2010 pada masa lalu metode struktrural lebih diutamakan dibandingkan dengan metode non-struktural. Namun saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalian banjir denagn terlebih dahulu mengutamakan non- struktural, dilanjutkan dengan metode struktural. Gambar 2 Metode pengendalian banjir Kodoatie dan Sugiyono 2006 dalam Kodoatie dan Sjarief 2010 Kondisi tata guna lahan yang sudah padat karena bangunan menyebabkan kenaikan run-off yang signifikan dan pengurangan resapan air. Upaya perbaikan sungai dengan pelebaran akan memberikan pengaruh maksimal dua kali lipat saja, Pengendalian Banjir Metode Struktural Metode Non-struktural Perbaikan dan pengaturan sistem sungai  Sistem jaringan sungai  Perbaikan sungai  Perlindungan tanggul  Sodetan by pass  Floodway Bangunan pengendali banjir  Bendungan dam  Kolam revisi  Pembuatan check dam penangkap sedimen  Bangunan pengurang kemiringan sungai  Groundsill  Retarding basin  Pembuatan polder Pengeloaan DAS  Pengaturan tata guna lahan  Pengendalian erosi  Pengembangan daerah banjir  Pengaturan daerah banjir  Penanganan kondisi darurat  Peramalan banjir  Peringatan bahaya banjir  Asuransi  Law enforcement