Tinjauan Pustaka Drs. Bebas Surbakti

membuat suatu kebijakan-kebijakan baru dalam hal pengobatan serta penanggulangan penderita HIVAIDS.

1.4 Tinjauan Pustaka

Perkembangan penyakit HIVAIDS yang semakin berkembang di seluruh wilayah Indonesia semakin mendapat perhatian dari publik terbukti dari buku-buku yang membahas penyakit tersebut. Salah satu buku yang membahas mengenai HIVAIDS adalah buku karangan M. Syabudin Latif yang berjudul Penanggulangan PMS dan HIVAIDS Pada Era Otonomi Daerah. Di dalam bukunya ia memfokuskan permasalahannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Banyumas berkaitan dengan semakin tingginya kasus penderita PMS dan HIVAIDS dalam usahanya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit PMS dan HIVAIDS. Ia juga menjelaskan dalam bukunya bahwa pemerintah Kabupaten Banyumas dinilai lemah dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIVAIDS. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pertama, kebijakan dan program pemerintah lebih bersifat simbolis karena ketidakjelasan perencanaan. Kedua, pemerintah belum berani mengambil inisiatif kebijakan terhadap penanggulangan HIVAIDS. Ketiga, berkurangnya aktifitas pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIVAIDS. Keempat, tidak adanya perhatian terhadap perkembangan dan penanganan kesehatan para pekerja seks komersial PSK. 13 Kegagalan kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah juga tidak terlepas dari peranan media cetak dan elektronik sebagai jendela informasi bagi masyarakat. Syaiful W. Harahap dalam bukunya Pers Meliput AIDS menjelaskan dan mengupas 13 M. Syahbudin Latief, Siapa Peduli AIDS di Yogya? Kinerja KPAD dan DPRD DIY Dalam Penanggulangan HIVAIDS Pada Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2005, hal. 30. Universitas Sumatera Utara peranan media cetak nasional dalam memberitakan penyakit ini dari tahun 1981-1997. Ternyata dalam pemberitaannya sering terdapat kekeliruan-kekeliruan yang berdampak sangat jelas bagi para penderita HIVAIDS. Kekeliruan-kekeliruan itu antara lain adalah keliru tentang berbagai aspek medis, kurang informative mengenai perkembangan epidemic HIVAIDS, berat sebelah tentang penyebarannya di masyarakat, tidak peka terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi penderita HIVAIDS atau yang diduga sebagai penderita HIVAIDS, dan tidak realistis mengenai strategi penanggulangan HIVAIDS yang kesemuanya cenderung memposisikan penderita HIVAIDS dalam posisi yang terjepit oleh adanya pemberitaan tersebut. 14 Di dalam artikelnya berjudul AIDS in historical Perspective: Four Sexually Transmitted Diseases AIDS dalam perspektif Sejarah: Empat Pelajaran dari Sejarah Perkembangan Penyakit Kelamin Allan M. Brandt menjelaskan empat pelajaran dari sejarah social penyebaran penyakit kelamin dan menaksir hubungan mereka dalam mengahadapi wabah pada masa sekarang. Empat pelajaran itu adalah: 1. Kekhawatiran yang muncul karena penyakit tersebut telah dan akan selalu mempengaruhi pendekatan medis dan kebijakan di budang kesehatan masyarakat. Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 masyarakat dunia mengalami ketakutan yang amat sangat pada infeksi penularan penyakit kelamin seperti Syphilis dan Gonorrhea dimana dampak dari penyakit ini adalah kelumpuhan, mandul, kebutaan dan penyakit jiwa. Selain dampak tersbut diatas alas an lain yang membuat Syphilis pada saat itu merupakan penyakit yang sangat menakutkan adalah asumsi masyarakat bahwa penyakit ini dapat ditularkan begitu saja. Dokter-Dokter sebelum abad ke 20 membuat 14 Syaiful W Harahap, Pers Meliput AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hal. 189. Universitas Sumatera Utara daftar bermacam-macam cara penularan seperti: pulpen, pinsil, sikat gigi, handuk dan peralatan tidur serta alat-alat medis merupakan media penularan yang utama. Sekarang rasa ketakutan yang sama juga terjadi dengan ditemukannya AIDS ini. Dimana banyak rumor dan asumsi dari masyarakat bahwa penyakit ini dapat ditularkan secara cepat seperti yang terjadi pada penyakit kelamin lainnya. Walaupun kemudian dokter dan ahli medis telah menemukan bahwa HIVAIDS tidak dapat ditularkan begitu saja namun hal ini tetap tidak bisa membuat rasa ketakutan pada masyarakat berkurang. Masih saja dapat kita lihat pengasingan anak-anak yang terinfeksi HIV dari sekolah mereka di lokasi tertentu, penolakan dari beberapa ahli kesehatan untuk mengobati pasien HIVAIDS, hilangnya pekerjaan dan pengasingansemua mengungkapkan resiko ketakutan yang dapat menembus seluruh wabah. 2. Pendidkan tidak akan mengontrol wabah AIDS Pada permulaan abad ke 20 ahli-ahli kesehatan kemudian berkonsentrasi dalam melakukan kampanye masalah Syphilis dan Kencing Nanah. Mereka beranggapan bahwa bahwa turun naiknya infeksi tidak dapat dibendung hingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah ini, model-model penularan dan pencegahannya. Akan tetapi hal ini dirasakan tidak tepat penggalakan kegiatan kampanye pada masyarakat untuk meredam perilaku seks yang tidak diinginkan tidak akan berhasil bila hanya didasari oleh perasaan takut. Namun, mereka yang menggabungkan perasaan takut yang wajar dengan cara praktis mengubah perilaku seks beresiko tinggi seperti penggalakan penggunaan kondom untuk mencegah penyakit kelamin dapat memberikan hasil yang jelas. Universitas Sumatera Utara 3. Program-program kesehatan masyarakat yang wajib dilakukan tidaklah dapat mengontrol wabah AIDS. Sejarah dari usaha-usaha untuk mengontrol Syphilis selama abad ke 20 mengarah pada pengambilan langkah-langkah wajib dari uji laboratorium sampai kepada upaya karantina dari penderita yang terinfeksi. Pada permulaan dari abad ke 20 beberapa Negara telah menyampaikan uji tes laboratorium pra pernikahan untuk menjamin bahwa penyakit menular seksual tidak akan ditularkan pada perkawinan. Pada tahun 1935 Connecticut menjadi Negara bagian pertama yang mengharuskan tes prapernikahan kepada semua mempelai laki-lakidan perempuan. Melalui program ini maka penularan penyakit kelamin kepada pasangan dan anak dapat dihambat. Banyak ahli yang kemudian meragukan hasil dari uji tes ini. Pada beberapa kasus telah terjadi kesalahan diagnosa, disebabkan oleh teknik yang tidak cukup dan mereka yang terkena kesalahan ini mendapatkan penderitaan lebih dan hubungan yang kacau dengan pasangannya masing-masing. Seperti halnya uji tes pra pernikahan maka, langkah selanjutnya yang diambil pemerintah dalam usaha pengendalian penyakit ini adalah diberlakukannya UU Karantina dimana orang-orang yang terinfeksi penyakit kelamin dapat ditahan dan dipenjara sampai ia diputuskan tidak lagi terinfeksi lagi. Selama Perang Dunia ke II lebih dari 20.000 wanita diamankan di Camp-Camp sebab mereka dicurigai sebagai penyebar penyakit kelamin. Di dalam masalah AIDS dimana tidak ada intervensi kesehatan untuk membuat individu yang terinfeksi menjadi tidak terinfeksi lagi, upaya karantina tidak dapat dilaksanakan sebab hal itu akan mangakibatkan perjalanan hidup yang panjang dan semu Universitas Sumatera Utara bagi yang terinfeksi. Upaya karantina sering menimbulkan kritik sebab kebijaksanaan tersebut menyalahi dasar hak penduduk untuk dapat hidup dengan tenang. 4. Perkembangan ilmu kedokteran dan pemberian vaksin masih akan sulit menanggulangi wabah AIDS tersebut. Pada awal tahun 1943 Dr. Jhon S. Mahoney menemukan Pinicilin sebagai obat yang ampuh dalam mengobati penyakit kelamin. Dengan penemuan obat ini maka ketakutan akan penyakit ini dapat dihindari dan secara berangsur-angsur penderita penyakit kelamin semakin berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 1987 Pusat Pengontrol Penyakit CDC melaporkan pertambahan kasus sifilis dasar dan lanjutan. Perkiraan rata-rata pertahun per 100.000 populasi meningkat meningkat dari 10,9 menjadi 13,3 kasus, pertambahan yang paling besar dalam 10 tahun. Anngka ini sangat mencolok sekali bahwa mereka timbul ditengah- tengah mewabahnya AIDS. Setelah delapan tahun kemunduran, rata-rata kasus dari syphilis bawaan juga naik emnurut laporan sejak 1983. CDC menyimpulkan bahwa individu dengan sejarah infeksi penyakit menular seksual meningkat dengan virus AIDS. Meskipun keefektifan Pinisilin sebagai obat untuk penyakit ini, wabah penyakit ini tetap saja masih bertahan. Pengobatan yang efektif seharusnya menjadi sebuah prioritas didalam keanekaragaman pendekatan terhadap AIDS dan pada akhirnya akan menjadi sebuah komponen penting dalam mengontrolnya, tetapi bahkan sebuah vaksin tidak akan memecahkan masalah dengan cepat. Sudah pasti perawatan yang baru dan lebih efektif akan dikembangkan di tahun-tahun ke depan. Namun, perawatan yang Universitas Sumatera Utara efektif dan obat yang ampuh tidak akan cukup efektif tanpa pendidikan yang memadai, konseling dan dana yang cukup menjangkau seluruh penderitanya. 15 Willy F. Pasuhuk dalam bukunya yang berjudul AIDS menerangkan bahwa masalah penyakit hubungan seksual dan AIDS bukanlah masalah infeksi dan tidak infeksi saja. Ia merupakan masalah perilaku manusia dan perilaku manusia adalah suatu fenomena yang teramat sukar dipahami. Adanya pergeseran nilai-nilai, kelonggaran hubungan antar jenis ini menimbulkan problem sosial. Problem social ini tak ayal lagi kemudian menimbulkan pula “penyakit social”. Karenanya insidens penyakit akibat hubungan seksual semakin meningkat. Dan ini tidak saja terjadi di satu negara tertentu, tetapi sifatnya sedunia. Salah sau penyakit hubungan seksual itu adalah AIDS. Sejak kemunculan penyakit ini pertama kali, korban-korban AIDS semakin banyak dijumpai di berbagai belahan dunia. Korban AIDS ini kemudian mulai merasa orang menjauhinya, yang sering merupakan realitas yang menyedihkan. Derita mentalnya semakin menjadi-jadi setelah ia mengetahui bahwa ia adalah korban penyakit yang membawa kematian, karena hingga saat ini tidak ada jalan atau belum ada jalan untuk menyembuhkannya. 16 Maria de Bruyn mengawali bukunya yang berjudul Altering the image of AIDS dengan menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat yang pernah mendengar tentang HIVAIDS merupakan pelaku yang mempengaruhi, langsung maupun tidak, citra masyarakat mengenai epidemi tersebut. Pada diri setiap individu terdapat suatu naskah mental mental script atau suatu kerangka cerita yang memberi petunjuk bagaimana suatu peristiwa terjadi dan apa yang harus dilakukan sang aktor. Buku ini sarat akan 15 Allan M. Brandt, AIDS in Historical Perspective: Four Lessons From The History of Sexually Transmitted Diseases, New York: American Journal of Public Health, Volume 78 No.4, 1988, hal. 367. 16 Willy F Pasuhuk, AIDS, Jakarta: Indonesia Publishing House, 1988, hal. 35 Universitas Sumatera Utara penelitian budaya dalam hal HIVAIDS keyakinan-keyakinan tertentu tentang terjadinya suatu keadaan sakit atau seksualitas sangat berperan. Di Botswana, misalnya AIDS di anggap sebagai salah satu bentuk meila, yaitu pelanggaran seksualitas baik oleh laki-laki ataupun wanita pada masa abstinensi selama setahun setelah pasangannya meninggal dunia. Di Indonesia, Vietnam, dan banyak negeri di Asia, AIDS adalah “barang impor”, “penyakit orang asing” atau “penyakit orang yang berdosa” yang tidak perlu dikhawatirkan. Di Zambia lain lagi. AIDS dianggap ditularkan oleh seorang wanita yang sedang menstruasi. Di Indonesia, mulanya pemerintah bahkan tidak mengakui bahwa AIDS telah ada di Indonesia dengan mengatakan bahwa sebagai kasus yang ditemui kemudian setelah meninggalnya seorang Belanda di Bali sebagai ARC AIDS Related Syndrome. Karena mau tak mau pemerintah pada akhirnya harus mengakui bahwa infeksi HIVAIDS telah terjadi di Indonesia, maka citra yang diupayakan adalah HIVAIDS sebagai penyakit orang-orang tertentu yang moralitas seksualnya bejat atau perlu dipertanyakan. Orang- orang ini disebut sebagai kelompok beresiko termasuk turis, orang-orang yang pernah tinggal di atau sering bepergian ke luar negeri, pelacur, dan kaum homoseksual termasuk waria. Dengan demikian, pemerintah mudah mengatasi konflik kepentingan antara pemberian informasi pada masyarakat umum dengan kepentingan eknomi nasional tourisme. Di Bali, pemerintah daerah menekan pemberitaan mengenai AIDS, tidak mengakui secara resmi adanya pelacuran dan poster-poster besar dicetak untuk memperingatkan turis. 17 17 Maria de Bruyn, Altering the Image of AIDS, Amsterdam: VU University Press, 1994, hal. 45- 50. Universitas Sumatera Utara Buku-buku tersebut diatas menyajikan permasalahan HIVAIDS tetapi belum terdapat penelitian yang memfokuskan kepada bagaimana sikap dan pandangan masyarakat terhadap penderita HIVAIDS sampai kepada bagaimana penanganan para penderita ataupun orang yang masih diduga sebagai penderita khususnya yang berada di wilayah Kotamadya Medan dalam kurun waktu 1987-1990.

1.5 Metode Penelitian