Dampak HIV/AIDS Bagi Masyarakat Di Kotamadya Medan (1987-1990).

(1)

DAMPAK HIV/AIDS BAGI MASYARAKAT DI KOTAMADYA MEDAN (1987-1990)

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O l e h

Dina Yuliandari Matondang Nim. 050706012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

MEDAN


(2)

DAMPAK HIV/AIDS BAGI MASYARAKAT DI KOTAMADYA MEDAN (1987-1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

l e h

Dina Yuliandari Matondang Nim. 050706012

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan Nip 131570490

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

Dampak HIV/AIDS Bagi Masyarakat Di Kotamadya Medan (1987-1990) Yang diajukan oleh

Nama : Dina Yuliandari Matondang Nim : 050706012

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan Tanggal 22 Oktober 2009

Nip 131570490

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap S.U Tanggal 24 Oktober 2009

Nip 195406031983032001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

Dampak HIV/AIDS Bagi Masyarakat Di Kotamadya Medan (1987-1990)

Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O

l e h

Dina Yuliandari Matondang 050706012

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan Nip 131570490

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap S.U Nip 195406031983032001


(6)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada :

Hari : Jumat

Tanggal : 13 Oktober 2009

Fakultas Sastra USU Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A,. Ph. D Nip 196509091994031004

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. Dra. Fitriaty Harahap S.U (……….)

2. Dra. Nurhabsyah M. Si (……….)

3. Drs. Samsul Tarigan (……….)

4. Drs. Bebas Surbakti (……….)


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah. Dialah yang memberikan karunia tidak terhingga berupa bimbingan, kekuatan, pertolongan, maupun hidayah, dan taufik-Nya serta shalawat dan salam atas junjungan nabi Besar Muhammad SAW yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun banyak hambatan dan tantangan.

Tulisan ini tidak akan pernah terwujud tanpa bantuan, kerja sama, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi penulis untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :

1. Ayahanda tersayang Almarhum Zainuddin Matondang, walaupun engkau telah tiada namun, Ayah tetap hidup di dalam hati Ananda. Ibunda tercinta Murwani yang selama 23 tahun terakhir ini berjuang seorang diri untuk membesarkan, mendidik, dan merawat Ananda semenjak lahir sampai kepada saat sekarang ini, hanya inilah saat ini yang bisa Ananda berikan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta.

2. Bapak Pimpinan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang memberikan segala bantuannya selama penulis tercatat sebagai Mahasiswi Fakultas Sastra. 3. Pimpinan Departemen Ilmu Sejarah Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, yang telah

banyak memberikan bantuan selama penulis mengikuti perkuliahan.

4. Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku dosen pembimbing yang bermurah hati menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini di sela-sela kesibukannya sebagai dosen sekaligus Pembantu Dekan II.

5. Seluruh Staf Pengajar, khususnya kepada Dra. Ratna M.S. selaku dosen wali penulis yang memberikan masukan serta bimbingan mengenai mata kuliah pada masa-masa perkuliahan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Edi Sumarno yang juga telah memberikan ide-ide baru kepada penulis serta teman-teman dalam pemilihan topik dan turut membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(8)

6. Staf administrasi pendidikan Departemen Sejarah (Bang Ampera) yang telah memberikan bantuan-bantuan kepada penulis khususnya menyangkut masalah-masalah administrasi dari awal masa kuliah hingga akhir.

7. Bapak Victory Brahmana, selaku Direktur LSM Medan Plus dan Bapak Andi Ilham Lubis Selaku Kabag. Pemberantasan Penyakit Menular Langsung Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utaradan Penyehatan Lingkungan yang telah memberikan waktu dan informasi berharga kepada penulis selama melakukan penelitian di lapangan, serta kepada informan-informan lain yang tidak di sebutkan di sini, penulis mengucapkan terima kasih karena memberikan infrmasi berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Abangku Muhammad Lufti Zaini Matondang yang merupakan sumber inspirasi penulis dalam meneliti topik ini, mudah-mudahan suatu saat nanti obat untuk penyakit ini bisa ditemukan dan Abang bisa hidup normal kembali seperti sedia kala. Amin.Adikku Dini Mustika yang telah ikut membantu penulis dalam pengetikan hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Abang, Kakak senior yang memberikan informasi kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Adik-adik sejurusan (Anggi dan Oki), serta sahabat-sahabatku Stambuk 2005 terkhusus kepada Nanda, Aisyah, Nopi, Handoko, Firman, dan Edi sebagai sahabat seperjuangan yang telah memberikan dukungan, semangat, juga bantuan selama dalam perkuliahan dan pengeditan skripsi ini sampai dengan selesai. Masa-masa indah yang pernah kita lewati merupakan selama mengikuti perkuliahan adalah kenangan terindah yang tidak akan mungkin untuk dilupakan.

10.Terima kasih khusus dan spesial penulis ucapkan kepada Muhammad Rasyid Sinaga selaku teman sekaligus kekasih yang telah mengorbankan waktu dan tenaga untuk membantu dan mendampingi penulis selama mengikuti kuliah sampai kepada saat sekarang ini.


(9)

Akhirnya penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Allah mencatat semua ini sebagai benih perjuangan yang berguna bagi banyak orang.

Medan, Oktober 2009

Penulis,

Dina Yuliandari Matondang


(10)

ABSTRAK

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah yang rumit, karena di dalamnya tidak hanya menyangkut masalah medis saja, tetapi penyakit ini juga menyinggung seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu masalah ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Kotamadya Medan memang tidak secepat Bali, Jakarta, dan Papua. Kasus pertama penyakit ini muncul di Kotamadya Medan pada tahun 1987 dengan menggunakan metode serosurvei yang dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang dianggap rawan penyebaran virus HIV. Hasil yang diperoleh dari penerapan metode ini adalah ditemukannya virus ini di dalam salah satu sampel darah. Sampel darah yang tercemar ini merupakan milik seorang nahkoda. Setelah ditemukannya kasus HIV pertama kemudian terjadi penambahan jumlah kasus-kasus baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS serta dampak yang ditimbulkan penyakit ini terhadap individu, keluarga, ekonomi, sosial, dan di dalam aspek kesehatan. Data yang diperoleh menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersumber dari buku dan dokumen yang berasal dari perpustakaan serta dinas terkait dan ditambah lagi dengan informasi yang di dapatkan melalui metode wawancara, kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan sumber yang telah diperoleh. Hampir setiap masyarakat tidak mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai HIV/AIDS, baik dari segi cara infeksi, penularannya, juga perilaku hidup sehat yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Hal ini kemudian sebagai pemicu dari sikap masyarakat yang cenderung menjauhi dan memberikan cap buruk kepada penderitanya dan parahnya lagi hal ini juga terjadi pada dunia medis, dimana penderita HIV/AIDS mendapatkan penolakan dari petugas kesehatan. Selain dari sikap masyarakat yang terlanjur memberikan stigma negatif kepada mereka, fakta bahwa penyakit ini menyerang masyarakat yang masih dalam usia produktif juga membawa kerugian tersendiri hal ini akan berdampak langsung pada perekonomian individu penderita, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu hendaknya dari penelitian ini perlu dirancang suatu program penanggulangan, pencegahan yang dapat mengurangi dan bahkan dapat menghilangkan stigma negatif bagi penderita HIV/AIDS serta dapat menekan laju perkembangan penderitanya, sehingga dapat menghilangkan dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini.


(11)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH……… i

ABSTRAK………. iv

DAFTAR ISI………. v

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang……….. 1

1.2Rumusan Masalah………. 5

1.3Tujuan dan Manfaat……….. 5

1.4Tinjauan Pustaka………... 7

1.5Metode Penelitian………. 14

BAB II GAMBARAN UMUM KOTAMADYA MEDAN………. 16

2.1 Sejarah Singkat Kotamadya Medan……….. 16

2.2 Letak Geografis dan Iklim……… 18

2.3 Keadaan Penduduk……… 19

2.4 Keadaan Kesehatan Penduduk di Kotamadya Medan……….. 24

BAB III PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PENDERITA HIV/AIDS DI KOTAMADYA MEDAN (1987-1990)…….………. 31

3.1 Latar Belakang Penderita HIV/AIDS……….. 32

3.1.1 Latar Belakang Ekonomi……….. 33


(12)

3.1.3 Latar Belakang Sosial……… 36

3.2 Kekeliruan Mengenai Penularan……….. 38

3.3 Stigma Sosial dan Diskriminasi Masyarakat……… 40

3.4 Pelayanan Medis Yang Tidak Memihak………... 44

BAB IV DAMPAK HIV/AIDS BAGI MASYARAKAT DI KOTAMADYA MEDAN (1987-1990)…….………..……….. 44

4.1 Dampak HIV/AIDS Terhadap Keluarga……… 44

4.2 Dampak Ekonomi……….. 52

4.3 Dampak Pada Kesehatan……… 56

4.4 Dampak Sosial HIV/AIDS………. 57

4.5 Dampak Terhadap Kependudukan………. 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 60

5.1 Kesimpulan………. 60

5.2 Saran………... 62

DAFTAR PUSTAKA………. 64

DAFTAR INFORMAN………. 67 LAMPIRAN

Peta Kotamadya Medan Pada Tahun 1987


(13)

ABSTRAK

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah yang rumit, karena di dalamnya tidak hanya menyangkut masalah medis saja, tetapi penyakit ini juga menyinggung seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu masalah ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Kotamadya Medan memang tidak secepat Bali, Jakarta, dan Papua. Kasus pertama penyakit ini muncul di Kotamadya Medan pada tahun 1987 dengan menggunakan metode serosurvei yang dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang dianggap rawan penyebaran virus HIV. Hasil yang diperoleh dari penerapan metode ini adalah ditemukannya virus ini di dalam salah satu sampel darah. Sampel darah yang tercemar ini merupakan milik seorang nahkoda. Setelah ditemukannya kasus HIV pertama kemudian terjadi penambahan jumlah kasus-kasus baru.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS serta dampak yang ditimbulkan penyakit ini terhadap individu, keluarga, ekonomi, sosial, dan di dalam aspek kesehatan. Data yang diperoleh menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersumber dari buku dan dokumen yang berasal dari perpustakaan serta dinas terkait dan ditambah lagi dengan informasi yang di dapatkan melalui metode wawancara, kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan sumber yang telah diperoleh. Hampir setiap masyarakat tidak mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai HIV/AIDS, baik dari segi cara infeksi, penularannya, juga perilaku hidup sehat yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Hal ini kemudian sebagai pemicu dari sikap masyarakat yang cenderung menjauhi dan memberikan cap buruk kepada penderitanya dan parahnya lagi hal ini juga terjadi pada dunia medis, dimana penderita HIV/AIDS mendapatkan penolakan dari petugas kesehatan. Selain dari sikap masyarakat yang terlanjur memberikan stigma negatif kepada mereka, fakta bahwa penyakit ini menyerang masyarakat yang masih dalam usia produktif juga membawa kerugian tersendiri hal ini akan berdampak langsung pada perekonomian individu penderita, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu hendaknya dari penelitian ini perlu dirancang suatu program penanggulangan, pencegahan yang dapat mengurangi dan bahkan dapat menghilangkan stigma negatif bagi penderita HIV/AIDS serta dapat menekan laju perkembangan penderitanya, sehingga dapat menghilangkan dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan dari gejala dan

penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV

(Human Immunodeficiency Virus). Secara popular, AIDS diartikan sebagai virus fatal

yang membuat system kekebalan tubuh tidak berjalan baik. Penularan HIV/AIDS sebagian besar melalui hubungan seksual yang bersifat heteroseks (berganti-ganti pasangan), setelah itu diikuti oleh para pengguna narkoba suntik (Injection Drug

Users).1

Gejala-gejala yang menunjukkan adanya AIDS sudah ditemukan sejak 1959. Ketika itu, seorang lelaki kulit hitam yang tinggal di Leopoldville (kini kota Kinsasha) di Kongo menyerahkan contoh darahnya kepada tim dokter Amerika Serikat yang tengah melakukan studi tentang masalah genetik. Usai penelitian, sampel itu ternyata tidak dibuang, melainkan disimpan pada frezeer dan terlupakan begitu saja. Pada 1986, contoh darah itu ikut diperiksa bersama 1212 sampel darah lainnya oleh seorang dokter Amerika Serikat bersama peneliti-peneliti. Hasilnya darah itu positif terinfeksi HIV.2

Ada dugaan habitat asal virus ini berada di benua Afrika yang beriklim tropis dan basah. Dugaan ini berdasarkan informasi tentang asal muasal berjangkitnya virus

1Gde Muninjaya, AIDS di Indonesia Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya, Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal. 6.

2 Zubairi Djoerban, Membidik AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA, Yogyakarta: Galang

Press, 2000, hal. 7.


(15)

tersebut, yaitu di kalangan homoseks di Afrika. Mungkin pada suatu waktu ada seseorang yang tanpa di sengaja menjamah habitat virus itu dan masuk kedalam tubuhnya tanpa disadari, apalagi tidak didukung akan perlunya menjaga kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang baik.3

AIDS di Indonesia sudah dikenal dan menjadi isu pada awal Januari 1986, yakni dengan meninggalnya seorang pasien di RSIJ (Rumah Sakit Islam Jakarta) yang melalui uji darah dengan metode ELISA4 dan diketahui mengidap penyakit AIDS.5 Selama tahun 1991 dan 1992 terjadi penularan virus dua kali lipat. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengumumkan jumlah orang yang terinfeksi di seluruh dunia sebanyak 10 sampai 12 juta orang. WHO juga memproyeksikan pada tahun 2000 akan terdapat 5000 penderita dan 50.000 pengidap di Indonesia. Sedangkan di seluruh dunia diperkirakan tahun 2000 nanti sejumlah 30 sampai 40 juta orang telah terinfeksi HIV dan 18 juta orang telah menjadi penderita. Menurut laporan terakhir dari departemen kesehatan, tercatat pengidap di Indonesia awalnya 15 Propinsi dan 258 pengidap yang melaporkan.6

Pertambahan kasus yang cepat, penyebarannya yang semakin meluas, belum ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan serta keperihatinan. Langkah-langkah klasik untuk menanggulangi penyakit menular seperti pelacakan penderita, isolasi atau karantina serta pengobatan para penderita ternyata tidak dapat dilaksanakan untuk menanggulangi AIDS. AIDS menjadi ancaman serius bagi manusia karena beberapa sebab, yaitu HIV ditularkan terutama

3 Ronald Hutapea, AIDS dan PMS dan Perkosaan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995, hal. 16. 4 ELISA merupakan singkatan dari Enzym Linked Immunosorbent Assay yang merupakan alat

untuk mendeteksi antibodi ditemukan dan diumumkan dalam pertemuan Atlanta tahun 1985.

5 Alizar Isna, Penanggulangan PMS dan HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah, Yogyakarta:

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2005, hal. 10.


(16)

melalui hubungan seksual. Tidak banyak masyarakat yang dapat berbicara terbuka mengenai masalah seks, sehingga HIV/AIDS tidak dapat dikendalikan dengan mudah.

AIDS meliputi tiga macam epidemi.7 Yang pertama adalah penyebaran HIV. Penularan terjadi melalui hubungan seksual (hetero maupun homoseksual), dari ibu kepada bayi dan melalui darah tercemar (transfuse darah), pemakaian jarum suntik yang tidak steril. Epidemi ini terjadi secara “diam-diam” karena dapat ditularkan dari orang yang masih sehat yang tidak mengetahui bahwa ia tertular HIV. Epidemi kedua, berjangkitnya AIDS yang timbul setelah masa inkubasi sekitar 10 tahun. Orang yang menderita AIDS bertambah dan kematian meningkat.

Epidemi ketiga, bersifat sosial, yakni terjadinya stigmatisasi, prasangka, dan diskriminasi terhadap pengidap HIV dan penderita AIDS.8 Ketidaktahuan masyarakat mengenai cara penularan HIV menimbulkan berbagai masalah yang mempersulit ditanggulanginya penyakit ini. Penyakit pada umumnya menghasilkan kekompakan dan solidaritas dalam keluarga, namun pada AIDS terjadi sebaliknya. Orang yang sakit sering dikucilkan dan keluarga jadi pecah. Kelompok-kelompok yang banyak terkena penyakit ini seperti pemakai narkoba suntik dan pelacur seharusnya diajak bekerjasama, tetapi mereka kemudian dikucilkan, dicurigai dan dimusuhi.9

Virus HIV boleh jadi didapat dan berkembang dari perilaku dan interaksi social. Tetapi suatu kesalahan besar jika pandangan ini kemudian menjadi mitos, sebagai satu-satunya kebenaran. Pernah berkembang satu pandangan bahwa fenomena HIV/AIDS dapat ditangkal dengan iman dan perilaku yang sesuai dengan norma agama. Pandangan

8Panos Dossier, The Third Epidemic: Repercussions of the fear of AIDS, London: 1990, hal.

40-51.


(17)

ini bersumber pada mitos bahwa HIV merupakan penyakit yang berasal dari hukuman tuhan atas perilaku dan cara hidup mereka yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran yang berlaku.10

Pada masa ini masyarakat serasa dikepung dengan berita-berita yang menakutkan seputar penyakit ini maka hal yang sama juga pernah dirasakan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sekitar tahun 1960 penyakit menular kelamin yang paling ditakuti adalah

Gonore dan Sifilis. Kemudian penyakit kelamin lainnya barulah banyak muncul seperti herpes genetalis. Bagi kebanyakan remaja sekarang AIDS adalah penyakit menular

kelamin yang paling menjadi bahan pembicaraan dan paling ditakuti.

Tidak dapat disangkal AIDS yang mematikan itu telah berada di tengah-tengah kita setelah sekian tahun lamanya, kita seolah-olah kebal dari ancaman penyebarannya. Untuk dapat lebih mempersiapkan diri kita dalam menangkal dan memperkuat ketahanan keluarga serta generasi muda bangsa Indonesia khususnya Kota Medan sebagai perisai utama kita, sebaiknya kita memahami perjalanan sejarah penyakit ini. Penelitian ini, membahas tentang dampak HIV/AIDS bagi masyarakat di Kotamadya Medan. Untuk itu penulis membatasi periode penulisan tahun 1987-1990 dengan judul “Dampak

HIV/AIDS Bagi Masyarakat di Kotamadya Medan (1987-1990)”.

Skop temporal yang penulis pilih adalah tahun 1987. Tahun 1987 merupakan awal dikenalnya penyakit HIV/AIDS di Kotamadya Medan. Penulis membatasi skop temporal sampai pada tahun 1990 karena penulis beranggapan sudah dapat melihat dampak perkembangan HIV/AIDS di Kotamadya Medan.

10Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam Krisis Moral Ataukah Krisis Kemanusiaan?,


(18)

Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan perubahan masa lampau umat manusia. Menurut Louis Gotchalk sejarah merupakan ilmu yang bertugas untuk menerangkan sesuatu yang pernah terjadi pada masa lampau.11 Menurut Kuntowijoyo rekontruksi sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asal memenuhi syarat untuk disebut sejarah.12

1.2 Rumusan Masalah

Pokok permasalahan yang penulis bahas dalam penulisan ini adalah mengenai dampak serta masalah-masalah sosial yang timbul oleh adanya penyakit HIV/AIDS di Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990. Penulis akan membagi pokok permasalahan dalam penulisan ini agar lebih terarah dan tidak bertentangan dengan judul yaitu “Dampak HIV/AIDS Bagi Masyarakat di Kotamadya Medan (1987-1990)”. Adapun pokok-pokok pikiran permasalahan tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990?

2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap HIV/AIDS di Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan HIV/AIDS bagi masyarakat di Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

11 Louis Gotchalk, terjemahan Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas

Indonesia Press, 1985, hal. 27.

12Prof. DR. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka, 2005, hal.


(19)

Secara umum penelitian yang dilakukan seorang peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap terhadap permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan ini juga mempunyai tujuan. Adapun tujuan yang dalam penelitian ini di antaranya adalah :

1. Mengetahui bagaimana gambaran umum Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990.

2. Mendeskripsikan pandangan masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS di Kotamadya Medan selama tahun 1987-1990.

3. Menemukan dampak yang ditimbulkan HIV/AIDS terhadap masyarakat di Kotamadya Medan selama tahun 1987-1990.

Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat, dinas-dinas yang berkepentingan serta bagi pemerintah. Adapun manfaat yang diharapkan tersebut adalah :

1. Bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan lebih memahami dan memberikan pemahaman baru kepada masyarakat agar dapat menerima penderita HIV/AIDS tanpa adanya pendiskriminasian ataupun pengucilan terhadap penderita HIV/AIDS.

2. Bagi dinas kesehatan, kiranya penelitan ini dapat memberikan masukan bagi dinas kesehatan khususnya di Propinsi Sumatera Utara untuk lebih meningkatkan penyuluhan serta pencegahan penyakit HIV/AIDS agar perkembangan penyakit tersebut dapat di minimalkan.

3. Bagi Pemerintah, kiranya penelitian ini akan memberikan suatu masukan baru agar pemerintah dapat lebih memperhatikan penderita HIV/AIDS dengan jalan


(20)

membuat suatu kebijakan-kebijakan baru dalam hal pengobatan serta penanggulangan penderita HIV/AIDS.

1.4 Tinjauan Pustaka

Perkembangan penyakit HIV/AIDS yang semakin berkembang di seluruh wilayah Indonesia semakin mendapat perhatian dari publik terbukti dari buku-buku yang membahas penyakit tersebut. Salah satu buku yang membahas mengenai HIV/AIDS adalah buku karangan M. Syabudin Latif yang berjudul Penanggulangan PMS dan

HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah. Di dalam bukunya ia memfokuskan

permasalahannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Banyumas berkaitan dengan semakin tingginya kasus penderita PMS dan HIV/AIDS dalam usahanya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit PMS dan HIV/AIDS. Ia juga menjelaskan dalam bukunya bahwa pemerintah Kabupaten Banyumas dinilai lemah dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pertama, kebijakan dan program pemerintah lebih bersifat simbolis karena ketidakjelasan perencanaan. Kedua, pemerintah belum berani mengambil inisiatif kebijakan terhadap penanggulangan HIV/AIDS. Ketiga, berkurangnya aktifitas pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS. Keempat, tidak adanya perhatian terhadap perkembangan dan penanganan kesehatan para pekerja seks komersial (PSK).13

Kegagalan kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah juga tidak terlepas dari peranan media cetak dan elektronik sebagai jendela informasi bagi masyarakat. Syaiful W. Harahap dalam bukunya Pers Meliput AIDS menjelaskan dan mengupas

13M. Syahbudin Latief, Siapa Peduli AIDS di Yogya? Kinerja KPAD dan DPRD DIY Dalam

Penanggulangan HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2005, hal. 30.


(21)

peranan media cetak nasional dalam memberitakan penyakit ini dari tahun 1981-1997. Ternyata dalam pemberitaannya sering terdapat kekeliruan-kekeliruan yang berdampak sangat jelas bagi para penderita HIV/AIDS. Kekeliruan-kekeliruan itu antara lain adalah keliru tentang berbagai aspek medis, kurang informative mengenai perkembangan epidemic HIV/AIDS, berat sebelah tentang penyebarannya di masyarakat, tidak peka terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi penderita HIV/AIDS atau yang diduga sebagai penderita HIV/AIDS, dan tidak realistis mengenai strategi penanggulangan HIV/AIDS yang kesemuanya cenderung memposisikan penderita HIV/AIDS dalam posisi yang terjepit oleh adanya pemberitaan tersebut.14

Di dalam artikelnya berjudul AIDS in historical Perspective: Four Sexually

Transmitted Diseases (AIDS dalam perspektif Sejarah: Empat Pelajaran dari Sejarah

Perkembangan Penyakit Kelamin) Allan M. Brandt menjelaskan empat pelajaran dari sejarah social penyebaran penyakit kelamin dan menaksir hubungan mereka dalam mengahadapi wabah pada masa sekarang. Empat pelajaran itu adalah:

1. Kekhawatiran yang muncul karena penyakit tersebut telah dan akan selalu mempengaruhi pendekatan medis dan kebijakan di budang kesehatan masyarakat.

Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 masyarakat dunia mengalami ketakutan yang amat sangat pada infeksi penularan penyakit kelamin seperti Syphilis dan

Gonorrhea dimana dampak dari penyakit ini adalah kelumpuhan, mandul, kebutaan dan

penyakit jiwa. Selain dampak tersbut diatas alas an lain yang membuat Syphilis pada saat itu merupakan penyakit yang sangat menakutkan adalah asumsi masyarakat bahwa penyakit ini dapat ditularkan begitu saja. Dokter-Dokter sebelum abad ke 20 membuat


(22)

daftar bermacam-macam cara penularan seperti: pulpen, pinsil, sikat gigi, handuk dan peralatan tidur serta alat-alat medis merupakan media penularan yang utama.

Sekarang rasa ketakutan yang sama juga terjadi dengan ditemukannya AIDS ini. Dimana banyak rumor dan asumsi dari masyarakat bahwa penyakit ini dapat ditularkan secara cepat seperti yang terjadi pada penyakit kelamin lainnya. Walaupun kemudian dokter dan ahli medis telah menemukan bahwa HIV/AIDS tidak dapat ditularkan begitu saja namun hal ini tetap tidak bisa membuat rasa ketakutan pada masyarakat berkurang. Masih saja dapat kita lihat pengasingan anak-anak yang terinfeksi HIV dari sekolah mereka di lokasi tertentu, penolakan dari beberapa ahli kesehatan untuk mengobati pasien HIV/AIDS, hilangnya pekerjaan dan pengasingansemua mengungkapkan resiko ketakutan yang dapat menembus seluruh wabah.

2. Pendidkan tidak akan mengontrol wabah AIDS

Pada permulaan abad ke 20 ahli-ahli kesehatan kemudian berkonsentrasi dalam melakukan kampanye masalah Syphilis dan Kencing Nanah. Mereka beranggapan bahwa bahwa turun naiknya infeksi tidak dapat dibendung hingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah ini, model-model penularan dan pencegahannya. Akan tetapi hal ini dirasakan tidak tepat penggalakan kegiatan kampanye pada masyarakat untuk meredam perilaku seks yang tidak diinginkan tidak akan berhasil bila hanya didasari oleh perasaan takut. Namun, mereka yang menggabungkan perasaan takut yang wajar dengan cara praktis mengubah perilaku seks beresiko tinggi (seperti penggalakan penggunaan kondom untuk mencegah penyakit kelamin) dapat memberikan hasil yang jelas.


(23)

3. Program-program kesehatan masyarakat yang wajib dilakukan tidaklah dapat mengontrol wabah AIDS.

Sejarah dari usaha-usaha untuk mengontrol Syphilis selama abad ke 20 mengarah pada pengambilan langkah-langkah wajib dari uji laboratorium sampai kepada upaya karantina dari penderita yang terinfeksi. Pada permulaan dari abad ke 20 beberapa Negara telah menyampaikan uji tes laboratorium pra pernikahan untuk menjamin bahwa penyakit menular seksual tidak akan ditularkan pada perkawinan. Pada tahun 1935 Connecticut menjadi Negara bagian pertama yang mengharuskan tes prapernikahan kepada semua mempelai laki-lakidan perempuan. Melalui program ini maka penularan penyakit kelamin kepada pasangan dan anak dapat dihambat.

Banyak ahli yang kemudian meragukan hasil dari uji tes ini. Pada beberapa kasus telah terjadi kesalahan diagnosa, disebabkan oleh teknik yang tidak cukup dan mereka yang terkena kesalahan ini mendapatkan penderitaan lebih dan hubungan yang kacau dengan pasangannya masing-masing. Seperti halnya uji tes pra pernikahan maka, langkah selanjutnya yang diambil pemerintah dalam usaha pengendalian penyakit ini adalah diberlakukannya UU Karantina dimana orang-orang yang terinfeksi penyakit kelamin dapat ditahan dan dipenjara sampai ia diputuskan tidak lagi terinfeksi lagi. Selama Perang Dunia ke II lebih dari 20.000 wanita diamankan di Camp-Camp sebab mereka dicurigai sebagai penyebar penyakit kelamin.

Di dalam masalah AIDS dimana tidak ada intervensi kesehatan untuk membuat individu yang terinfeksi menjadi tidak terinfeksi lagi, upaya karantina tidak dapat dilaksanakan sebab hal itu akan mangakibatkan perjalanan hidup yang panjang dan semu


(24)

bagi yang terinfeksi. Upaya karantina sering menimbulkan kritik sebab kebijaksanaan tersebut menyalahi dasar hak penduduk untuk dapat hidup dengan tenang.

4. Perkembangan ilmu kedokteran dan pemberian vaksin masih akan sulit menanggulangi wabah AIDS tersebut.

Pada awal tahun 1943 Dr. Jhon S. Mahoney menemukan Pinicilin sebagai obat yang ampuh dalam mengobati penyakit kelamin. Dengan penemuan obat ini maka ketakutan akan penyakit ini dapat dihindari dan secara berangsur-angsur penderita penyakit kelamin semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1987 Pusat Pengontrol Penyakit (CDC) melaporkan pertambahan kasus sifilis dasar dan lanjutan. Perkiraan rata-rata pertahun per 100.000 populasi meningkat meningkat dari 10,9 menjadi 13,3 kasus, pertambahan yang paling besar dalam 10 tahun. Anngka ini sangat mencolok sekali bahwa mereka timbul ditengah-tengah mewabahnya AIDS. Setelah delapan tahun kemunduran, rata-rata kasus dari

syphilis bawaan juga naik emnurut laporan sejak 1983. CDC menyimpulkan bahwa

individu dengan sejarah infeksi penyakit menular seksual meningkat dengan virus AIDS. Meskipun keefektifan Pinisilin sebagai obat untuk penyakit ini, wabah penyakit

ini tetap saja masih bertahan. Pengobatan yang efektif seharusnya menjadi sebuah prioritas didalam keanekaragaman pendekatan terhadap AIDS dan pada akhirnya akan menjadi sebuah komponen penting dalam mengontrolnya, tetapi bahkan sebuah vaksin tidak akan memecahkan masalah dengan cepat. Sudah pasti perawatan yang baru dan lebih efektif akan dikembangkan di tahun-tahun ke depan. Namun, perawatan yang


(25)

efektif dan obat yang ampuh tidak akan cukup efektif tanpa pendidikan yang memadai, konseling dan dana yang cukup menjangkau seluruh penderitanya.15

Willy F. Pasuhuk dalam bukunya yang berjudul AIDS menerangkan bahwa masalah penyakit hubungan seksual dan AIDS bukanlah masalah infeksi dan tidak infeksi saja. Ia merupakan masalah perilaku manusia dan perilaku manusia adalah suatu fenomena yang teramat sukar dipahami. Adanya pergeseran nilai-nilai, kelonggaran hubungan antar jenis ini menimbulkan problem sosial.

Problem social ini tak ayal lagi kemudian menimbulkan pula “penyakit social”. Karenanya insidens penyakit akibat hubungan seksual semakin meningkat. Dan ini tidak saja terjadi di satu negara tertentu, tetapi sifatnya sedunia. Salah sau penyakit hubungan seksual itu adalah AIDS. Sejak kemunculan penyakit ini pertama kali, korban-korban AIDS semakin banyak dijumpai di berbagai belahan dunia.

Korban AIDS ini kemudian mulai merasa orang menjauhinya, yang sering merupakan realitas yang menyedihkan. Derita mentalnya semakin menjadi-jadi setelah ia mengetahui bahwa ia adalah korban penyakit yang membawa kematian, karena hingga saat ini tidak ada jalan atau belum ada jalan untuk menyembuhkannya.16

Maria de Bruyn mengawali bukunya yang berjudul Altering the image of AIDS dengan menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat yang pernah mendengar tentang HIV/AIDS merupakan pelaku yang mempengaruhi, langsung maupun tidak, citra masyarakat mengenai epidemi tersebut. Pada diri setiap individu terdapat suatu naskah mental (mental script) atau suatu kerangka cerita yang memberi petunjuk bagaimana suatu peristiwa terjadi dan apa yang harus dilakukan sang aktor. Buku ini sarat akan

15Allan M. Brandt, AIDS in Historical Perspective: Four Lessons From The History of Sexually

Transmitted Diseases, New York: American Journal of Public Health, Volume 78 No.4, 1988, hal. 367.


(26)

penelitian budaya dalam hal HIV/AIDS keyakinan-keyakinan tertentu tentang terjadinya suatu keadaan sakit atau seksualitas sangat berperan. Di Botswana, misalnya AIDS di anggap sebagai salah satu bentuk meila, yaitu pelanggaran seksualitas baik oleh laki-laki ataupun wanita pada masa abstinensi selama setahun setelah pasangannya meninggal dunia. Di Indonesia, Vietnam, dan banyak negeri di Asia, AIDS adalah “barang impor”, “penyakit orang asing” atau “penyakit orang yang berdosa” yang tidak perlu dikhawatirkan. Di Zambia lain lagi. AIDS dianggap ditularkan oleh seorang wanita yang sedang menstruasi.

Di Indonesia, mulanya pemerintah bahkan tidak mengakui bahwa AIDS telah ada di Indonesia dengan mengatakan bahwa sebagai kasus yang ditemui kemudian setelah meninggalnya seorang Belanda di Bali sebagai ARC (AIDS Related Syndrome). Karena mau tak mau pemerintah pada akhirnya harus mengakui bahwa infeksi HIV/AIDS telah terjadi di Indonesia, maka citra yang diupayakan adalah HIV/AIDS sebagai penyakit orang-orang tertentu yang moralitas seksualnya bejat atau perlu dipertanyakan. Orang-orang ini disebut sebagai kelompok beresiko termasuk turis, Orang-orang-Orang-orang yang pernah tinggal di atau sering bepergian ke luar negeri, pelacur, dan kaum homoseksual (termasuk waria). Dengan demikian, pemerintah mudah mengatasi konflik kepentingan antara pemberian informasi pada masyarakat umum dengan kepentingan eknomi nasional (tourisme). Di Bali, pemerintah daerah menekan pemberitaan mengenai AIDS, tidak mengakui secara resmi adanya pelacuran dan poster-poster besar dicetak untuk memperingatkan turis.17

17Maria de Bruyn, Altering the Image of AIDS, Amsterdam: VU University Press, 1994, hal.


(27)

Buku-buku tersebut diatas menyajikan permasalahan HIV/AIDS tetapi belum terdapat penelitian yang memfokuskan kepada bagaimana sikap dan pandangan masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS sampai kepada bagaimana penanganan para penderita ataupun orang yang masih diduga sebagai penderita khususnya yang berada di wilayah Kotamadya Medan dalam kurun waktu 1987-1990.

1.5 Metode Penelitian

Suatu tulisan maupun karya ilmiah yang memenuhi syarat adalah tulisan yang didukung oleh data-data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta harus relevan dengan permasalahan yang ditulis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah meliputi: heuristik, verifikasi, interpretasi,

historiografi.

Langkah pertama yang dilakukan adalah melalui heuristik yaitu pengumpulan data atau

fakta-fakta dan sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang diteliti. Proses yang digunakan dalam hal ini adalah dengan melakukan library research (penelitian kepustakaan/studi literatur) yaitu mengumpulkan sejumlah sumber tertulis baik primer maupun sekunder, yang berupa laporan, majalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan objek yang dikaji. Sumber-sumber ini diperoleh dari Pemerintah Kotamadya Medan, Dinas Kesehatan Kota Medan, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berupa laporan-laporan yang dimiliki, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Propinsi Sumatera Utara dan Perpustakaan Kota Medan. Melalui studi kepustakaan, diperoleh data-data yang berkaitan dengan permasalahan serta merupakan acuan yang bersifat teoritis berupa sumber yang


(28)

dapat mendukung dan memiliki relevansi dengan penelitian. Field research (penelitian lapangan/ studi lapangan) juga dilakukan dengan menggunakan wawancara yang tidak berstruktur dan bersifat tertutup. Penulis melakukan wawancara melalui beberapa informan yang dapat memberikan keterangan dalam penelitian ini sebagai informasi. Dalam melakukan wawancara, dipilih beberapa informan yang mengetahui tentang masalah yang dibahas.

Langkah kedua yang dilakukan adalah dengan kritik sumber. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul. Kritik yang dilakukan yaitu kritik intern dan juga ekstern. Kritik intern diperlukan guna menilai kelayakan data sedangkan kritik ekstern digunakan untuk menentukan keabsahan data.

Tahapan selanjutnya adalah tahap interpretasi. Dalam tahapan ini, data yang diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu analisis baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang telah diteliti. Objek kajian yang jauh ke belakang membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapat fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada.

Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penulisan yang disusun berdasarkan interpretasi fakta-fakta yang ditemukan menjadi suatu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, secara kronologis dan rasional. Dimana setelah penelitian, dituliskan kedalam skripsi.


(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTAMADYA MEDAN

2.1 Sejarah Singkat Kotamadya Medan

Kotamadya Medan dahulunya adalah sebuah kampung kecil yang bernama Medan Puteri, yang berada di dekat pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli, tidak jauh dari Jalan Puteri Hijau sekarang. Menurut riwayatnya Kampung Medan didirikan oleh Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk Hamparan Perak dan Suka Piring, yakni dua dari empat Kepala-Kepala Suku Kesultanan Deli.18

John Anderson seorang pegawai Inggeris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya “Mission to the Eastcoast of

Sumatera”, bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200

orang. Anderson juga menyatakan bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok Mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar.19

Pesatnya perkembangan Kampung Medan Puteri juga tidak terlepas dari kedatangan orang-orang Belanda yang dipelopori oleh Nienhuys. Nienhuys membuka perkebunan tembakau di sekitar Medan, kira-kira 15 kilometer dari pusat ke arah timur. Daun tembakau Deli pada masa itu terkenal ke seluruh dunia sebagai daun pembungkus cerutu yang paling baik. Hal ini telah menarik para investor-investor asing untuk membuka perkebunan-perkebunan tembakau, serta mendorong kedatangan banyak orang

18Dada Meuraxa, Sejarah Hari Jadi Kota Medan 1 Juli 1590, Medan: Sastrawan, 1975, hal. 10. 19T. Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Tanpa Penerbit, 1994. hal. 6.


(30)

pindah ke wilayah Deli untuk mencari nafkah. Nienhuys akhirnya, memindahkan kantornya dari Labuhan ke Kampung Medan Puteri. Sejak itu, Kampung Medan Puteri mengalami kemajuan yang pesat. Perkembangan tersebut telah ikut mendorong pemerintah Kolonial Belanda untuk memusatkan kegiatannya di Medan. Pada tahun 1870, Belanda membentuk Keresidenan Sumatera Timur dan menetapkan Medan sebagai ibukotanya pada tahun 1884. 20

Pada tahun 1918, pemerintah Kolonial Belanda menetapkan Medan sebagai daerah Kotapraja kecuali daerah-daerah sekitar Kota Matsum dan Sei Kerah yang tetap merupakan daerah kesultanan Sultan. Di tahun yang sama penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropah 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 dan orang Timur Asing lainnya 139 orang.

Daerah Kotamadya Medan sejak tanggal 21 Nopember 1951, dengan keputusan Gubernur Propinsi Sumatera Utara No. 66/III/PSU yang kemudian diiringi dengan Maklumat Walikota Medan No. 21 tertanggal 29 Nopember 1951 telah diperluas menjadi tiga kali lipat seperti yang ditetapkan dalam staatsblad tahun 1921 No. 722.21

Bagian-bagian Swapraja seperti Kota Matsum yang letaknya sebelah Tenggara Medan, Sungai Kera Percut disebelah Timur Laut yang selama ini termasuk wilayah Kabupaten Deli Serdang, menjadi bagian dari daerah Kotamadya Medan setelah diadakan perluasan tersebut.

Kotamadya Medan di masa Pemerintahan Belanda dahulu disebut dengan

Gemeente Medan dibawah pimpinan seorang Burgemeester atau Walikota. Semasa

20Ibid., hal. 53-54

21 Said Efendi, Strategi Pembangunan Mewujudkan Kota Medan Bestari, Medan: Yayasan Potensi


(31)

Pemerintahan Jepang, sebutan Gemeente dan Burgemeester berganti nama dengan “Medan Shi” dan “Medan Shityo” yang berarti Kota Medan dan Walikota Medan.22

Masa itu Kota Medan yang menjadi Ibukota Propinsi Sumatera Utara yang sebelum Perang Dunia ke-II mendapat julukan “Paris of Sumatera”mempunyai luas 5.130 Ha yang meliputi empat Kecamatan dan 59 kepenghuluan, keempat kecamatan itu adalah

1. Kecamatan Medan 2. Kecamatan Medan Timur 3. Kecamatan Medan Barat 4. Kecamatan Medan Baru

Melalui Undang-Undang Darurat No.7 dan 8 tahun 1956, Propinsi Sumatera Utara umumnya dan Kotamadya Medan khususnya, diperluas untuk menampung laju perkembangan. Oleh karena itu, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1973, beberapa bagian dari Kabupaten Deli Serdang dimasukkan ke dalam Kotamadya Medan, sehingga luar daerah ini menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 kecamatan dan 116 kelurahan.23

2.2 Letak Geografis dan Iklim

Secara geografis, Kotamadya Medan terletak 3o 30’-3o 43’ LU dan 98o 35’-98o 44’ BT. Letaknya tidak jauh dari Selat Malaka, sehingga sangat strategis dari segi ekonomi, terutama dalam hal hubungan perdagangan dengan luar negeri. Posisinya sangat menguntungkan bila ditinjau dari letaknya, terhadap propinsi-propinsi tetangga Aceh,

22 Ibid., hal. 23-24.

23Bayo Suti, Medan Menuju Kota Metropolitan, Medan: Yayasan Potensi Pembangunan Daerah,


(32)

Sumatera Barat dan Riau, sehingga dapat mendorong Kota Medan menjadi pusat pengembangan Sumatera Bagian Utara.

Kota Medan berada pada ketinggian 2,4 M di bagian Utara-Belawan sampai 37,5 m di bagian Selatan diatas permukaan laut. Daerah Utara sampai 3 Km dari pantai, terdiri dari rawa-rawa yang mempunyai kedalaman 0,2 m sampai 2,5 m ketika pasang surut naik.

Iklim Kota Medan, misalnya suhu, kelembapan nisbi dan curah hujan di pengaruhi oleh letaknya di daerah tropis, namun tidak menggangggu usaha-usaha pengembangan kota dan kegiatan sehari-hari di dalam kota.

Batas-batas Kotamadya Daerah Tingkat II Medan adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli serdang - Sebelah Timur berbatasan dengan Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Deli Serdang

Sungai yang mengalir melalui Kotamadya Medan ialah Sungai Babura, Sungai Kera, Sungai Putih, Sungai Deli, dan Sungai Sikambing. Sungai-sungai ini dapat dipergunakan sebagai tempat saluran pembuangan air hujan dan mengatasi banjir.

2.3 Keadaan Penduduk

Penduduk Kotamadya Medan sampai periode Desember 1973 berjumlah 626.242 jiwa terdiri dari 309.390 jiwa laki-laki dan 316.842 perempuan, dengan kepadatan penduduk 1220 jiwa/km2. Sedangkan penduduk perluasan sampai Desember 1973 ialah 358.743 jiwa. Dengan demikian pada saat perluasan Kotamadya Medan dilaksanakan


(33)

penduduk sudah berjumlah 984.985 jiwa. Dari 984.985 jiwa penduduk Kotamadya Medan saat itu Indonesiaasli 475.084, WNI Cina 73.898, WNA Cina 65.137, sedang selebihnya adalah WNI dan WNA Asing lainnya.24

Jumlah penduduk akhir tahun 1987 adalah 1.715.798 jiwa yang tersebar pada sebelas Kecamatan, dimana tiga Kecamatan yang terbanyak jumlah penduduknya adalah Kecamatan Medan Kota (15,87%) disusul Kecamatan Medan Timur (13,13%), Kecamatan Medan Sunggal (12,37%). Di tingkat Kelurahan penduduk yang terbanyak adalah Kelurahan Helvetia Kecamatan Medan Sunggal 67.713 jiwa, disusul Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai 56.897 jiwa dan Kelurahan Belawan I Kecamatan Medan Kota Belawan 51.204 jiwa.

Tabel 1

Luas Daerah, Banyaknya Desa, Rumah Tangga, Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per-Km2 di Kotamadya Medan

Tahun/ Kecamatan

Luas (Km2)

Banyaknya Kepadatan Penduduk per-Km2 Desa Rumah Tangga Penduduk

(1) (2) (3) (4) (5) (9)

1982 1983 1984 1985 265 265 265 265

116 261.833 1.460.218 116 271.664 1.505.806 116 280.094 1.552.817 116 287.049 1.595.934

5.510 5.682 5.860 6.022


(34)

1986 1987 Medan Belawan Medan Labuhan Medan Deli Medan Sunggal Medan Denai MedanTuntungan Medan Johor Medan Baru Medan Barat Medan Kota Medan Timur 265 8 80 21 29 18 30 28 18 11 10 12

116 318.998 1.699.865

4 18.895 98.938 6 18. 562 93.812 5 20.180 121.250 12 33.125 212.009 9 33.845 202.303 11 9.619 42.444 10 22.191 98.659 15 45.973 181.743 10 31.282 173.132 22 46.953 272.243 12 39.516 225.265

6.415 11.617 1. 173 5.774 7.331 11.239 1.415 3.524 10.097 15.739 27.224 18.772 Jumlah 265 116 320.321 1.715.798 6.475 Sumber : Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1987

Menurut angka-angka Kependudukan Kotamadya Medan Jumlah penduduk Kotamadya Medan pada tahun 1987 adalah 1.715.798 jiwa, yaitu 863.392 laki-laki dan 852.406 perempuan. Dari tabel dibawah ini dapat diketahuilah bahwa penduduk Kotamadya Medan saat itu lebih banyak laki-laki dari pada perempuan, tapi belum begitu menyolok bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya misalnya didaerah Jawa. .

Tabel 2.


(35)

Tahun/ Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki Perempuan

(1) (2) (3) (4)

1982 1983 1984 1985 1986 1987 Medan Belawan Medan Labuhan Medan Deli Medan Sunggal Medan Denai Medan Tuntungan Medan Johor Medan Baru Medan Barat Medan Kota Medan Timur

734.757 725. 461 757.833 747.973 781.755 771.062 804.546 791.387 858.680 841.185

47.296 45.642 48.677 45.135 65.503 55.747 107.296 104.713 100.982 101.321 21.358 21.086 48.683 50.021 88.939 92.801 86.304 86.828 134.571 137.672 113.828 111.437

1.460.218 1.505.806 1.552.817 1.595.933 1.699.865 92.938 93.812 121.290 212.009 202.303 42.444 98.659 131.743 173.243 272.243 225.265 Jumlah 863.392 852.496 1.715.798 Sumber : Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1987


(36)

Berbicara mengenai kepadatan penduduk, maka rata-rata kepadatan penduduk Kotamadya Medan akhir tahun 1987 adalah 6.745 jiwa/Km2. Kecamatan yang terpadat penduduknya adalah Kecamatan Medan Kota 27.224 jiwa/Km2, disusul Kecamatan Medan Timur 18.772 jiwa/ Km2 dan Kecamatan Medan Barat 15.739 jiwa/Km2, sedang yang relatif rendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Medan Labuhan 1.173/Km2 dengan luas wilayah 80 Km2 disusul Kecamatan Medan Tuntungan 1.415 jiwa/Km2 dengan luas wilayah 30 Km2 dan Kecamatan Medan Johor 3.452 jiwa/Km2 dengan luas wilayah 28 Km2. Ditinjau dari luas wilayah maka yang terluas adalah Kecamatan Medan Labuhan 80 Km2, disusul Kecamatan Medan Tuntungan 30 Km2 yang ketiga adalah Kecamatan Medan Johor 28 Km2.

Berdasarkan keterangan diatas maka rata-rata pertumbuhan penduduk Kotamadya Medan adalah 3,5%. Peningkatan jumlah penduduk Kotamadya Medan bukanlah hanya disebabkan oleh kelahiran saja, tapi faktor utamanya adalah urbanisasi.25 Masalah urbanisasi ini bukannya masalah kota Medan saja, atau sudah menjadi masalah umum pada kota-kota lainnya di Indonesia. Peningkatan perpindahan penduduk desa ke kota pada hakikatnya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terdapat dalam kota tempat tujuan, misalnya lapangan pekerjaan yang tersedia karena fasilitas pendidikan yang lebih baik, serta faktor-faktor lain yang menarik bagi masyarakat pedesaan.26

Dari para pendatang baru ke kotamadya Medan terdiri dari berbagai lapisan, dari golongan yang dilatar belakangi oleh kehidupan ekonomi yang kuat sampai kepada mereka yang tergolong ekonomi lemah. Adanya golongan ekonomi inilah maka gejala urbanisasi tampak menonjol di kotamadya Medan.

25Badan Pusat Statistik, Penduduk Kotamadya Medan (Hasil Registrasi Penduduk) Akhir Tahun

1987, 1988, hal. 1.


(37)

Dapat diambil kesimpulan sebenarnya arus perpindahan mereka bukan disebabkan karena pengaruh parahnya kehidupan di daerah asal, tetapi oleh faktor lain, yaitu motif ekonomi merupakan dasar utama dan perbedaan fasilitas-fasilitas kehidupan antara kota dan desa ikut membantu di dalamnya.

2.4 Keadaan Kesehatan Penduduk di Kotamadya Medan Secara Umum.

Keadaan kesehatan rakyat di Kotamadya Medan boleh dikatakan cukup baik atas adanya usaha-usaha dari Dinas Kesehatan Rakyat Kotamadya Medan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat kotanya. Usaha-usaha yang dilakukan tersebut menurut keterangan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kotamadya Medan adalah :

1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat melalui Puskesmas, Balai Pengobatan, Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), dan Klinik Gigi.

2. Memberikan perawatan persalinan di Klinik-klinik Bersalin DKK Medan.

3. Untuk menambah pengetahuan dari pada masyarakat telah diadakan usaha penyuluhan Kesehatan Masyarakat melalui ceramah-ceramah, kunjungan kerumah-rumah, poster, slide, dan juga turut dalam kegiatan Dinas-Dinas lain. 4. Dalam rangka terlaksananya usaha-usaha peningkatan kesehatan ini Dinas

Kesehatan juga melaksanakan korelasi secara lintas sektoral.

5. Kepada anak-anak sekolah melalui UKS (Usaha Kesehatan sekolah) dan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah) telah diberikan pendidikan Kesehatan dan kepada Guru beserta orang tua murid diberikan penyuluhan mengenai cara hidup sehat.


(38)

6. Untuk peningkatan Gizi masyarakat telah diberikan penataran kepada tokoh-tokoh masyarakat dan telah dilakukan dibeberapa desa serta memberikan ceramah-ceramah mengenai gizi dan pameran gizi.

Dari usaha-usaha yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan ini, jelaslah sudah bagi kita bahwa Dinas Kesehatan lebih mengutamakan menjaga jangan timbulnya penyakit rakyat. Tidak seperti yang pernah dilakukan oleh kaum penjajah didaerah jajahannya, mereka hanya dapat menyembuhkan penyakit-penyakit daripada menjaga timbulnya.

Dalam hal perbaikan hygiene Sanitasi lingkungan diadakan : 1. Pemeriksaan control air buang, air sungai, air minum, dsb. 2. Pembangunan jamban keluarga dan sumur pompa tangan 3. Pengawasan makanan atau minuman ditempat-tempat umum 4. Pengawasan penggunaan Peptisida

5. Membentuk team gerak cepat untuk menanggulangi penyakit menular

6. Melakukan pengawasan terhadap pramuria-pramuria melalui VD control pada dua tempat.

7. Mengadakan penyemprotan pada daerah-daerah tersangka adanya Malaria dan Demam Berdarah

8. Mengadakan TB Control pada dua tempat untuk menanggulangi penyakit TBC 9. Mengadakan Surveilans Epidemiologis untuk menanggulangi penyakit menular 10.Menyediakan obat-obatan standar diseluruh Instalasi DKK Medan (Puskesmas,

BP, BKIA) dengan penyebaran yang relatif murah sesuai dengan perda yang berlaku.


(39)

Dalam usaha mengurangi penyakit rakyat Dinas Kesehatan Kotamadya Medan telah melakukan berbagai usaha, disamping mempertinggi atau memperbaiki kesehatan masyarakat. Usaha-usaha tersebut antara lain ialah pemberian kekebalan, Vaksinasi

Cacar, Rabies, perbaikan Hygene Sanitasi. Pemeriksaan air buangan, sungai, air minum

dan sebagainya. Pembangunan jamban, sumur pompa dan pengawasan Pestisida.

Masalah penyakit menular di Kotamadya Medan Dinas Kesehatan melakukan pemberantasan peyakit tersebut dengan tujuan untuk mematahkan mata rantai penularan. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah hubungan dengan penyebab penyakit atau memberi kekebalan kepada penduduk.

Selanjutnya dalam menentukan penyakit-penyakit apa saja yang harus diberantas Dinas Kesehatan Kotamadya Medan mempergunakan faktor-faktor pertimbangan sebagai berikut:

a. Ikatan perjanjian dengan luar negeri (International Health Regulation) yang dituangkan dalam Undang-Undang Karantina (Cacar, Kolera dan Pes)

b. Penyakit yang merupakan masalah kesehatan rakyat dan telah diketahui cara-cara pemberantasannya yang efektif seperti Malaria, Tuberclosis paru-paru, Kusta,

Framboesia dan Penyakit Kelamin.

c. Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan perlu diambil tindakan seperlunya (Anthrax, Demam Berdarah) dan penyakit yang perlu dipersiapkan penanggulangannya dengan mengadakan survei, studi dan percobaan pemberantasan


(40)

Sebagai kegiatan yang merupakan dasar penyokong atau penunjang pemberantasan peyakit menular di atas, yang sekaligus dapat mengatasi permasalahan yang ada atau timbul di daerah-daerah dilakukan pula :

a. kegiatan penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya (Epidemiological

Surveillance) di daerah-daerah yang meliputi: penemuan penderita penyakit

menular tertentu, pengumpulan data epidemiology tertentu sehubungan dengan timbulnya penyakit pada penderitanya, menganalisa data dan menyampaikan analisa data tersebut kepada yang bertugas mengambil tindakan.

b. Pemeriksaan laboratorium serta meningkatkan fasilitas ruangan kerja, peralatan dan tenaga yang terlatih serta sistim penghubung yang seluas-luasnya.

c. Kegiatan karantina dengan meningkatkan pencegahan masuk atau keluarnya penyakit menular ke atau dari Kotamadya Medan berdasarkan pertimbangan

epidemiology, yang dalam hal ini memerlukan rehabilitasi fasilitas kerja.

d. Usaha hygiene dan sanitasi dengan memperbaiki persediaan air minum dalam rangka pemberantasan atau pencegahan penyakit Kolera dan mendidik masyarakat dalam hal kebiasaan hidup yang higienis.

Dinas kesehatan Kotamadya Medan membagi masalah penyakit menular ini didalam dua bagian yaitu :

a. Penyakit menular wabah (terjadi suatu saat melonjak dan kemudian menghilang). Penyakit menular yang termasuk didalam jenis ini adalah:

- Kolera

- Demam Berdarah - Cacar


(41)

- Pest

b. Penyakit menular Endemis (terjadi sepanjang tahun). Penyakit menular Endemis ini terdiri dari:

- TBC

- Kelamin (VD) - Malaria - Kusta

- Frambusia dan sebagainya

Dalam menanggulangi penyakit menular wabah Dinas Kesehatan menghimbau kepada masyarakat agar segera memberitahukan kepada instansi kesehatan terdekat dalam waktu 1x24 jam setelah mengetahui adanya penderita penyakit menular ini maka segera dilakukan pengobatan sesuai dengan penyakit masing-masing, dan pencegahan dilakukan dengan vaksinasi atau imunisasi. Sedang penentuan kepastian penyakit dilakukan melalui pemeriksaan bahan-bahan sesuai dengan penyakitnya masing-masing. Misalnya tinja, darah dan sebagainya.

Sedangkan penanggulangan terhadap penyakit Endemis dilakukan dengan pengobatan terhadap penderita secara berkelanjutan dan penentuan penyakitnya melalui pemeriksaan Laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium terhadap Specimen, contoh bahan pemeriksaan seperti darah, dahak dan sebagainya untuk mengetahui secara pasti Invasi atau penyerangan penyakit dilakukan pemeriksaan terhadap seluruh daerah penderita. Dalam upaya memberantas penyakit kelamin maka kebijaksanaan yang diambil oleh Dinas Kesehatan Kotamadya Medan adalah:


(42)

a. Melaksanakan penemuan penderita (Case Finding) aktif dengan pemeriksaan STS

(Test Serologik terhadap Syphilis) terhadap golongan-golongan masyarakat

tertentu (Closed Communities).

b. Melanjutkan penyuntikan sekali seminggu terhadap para WTS yang dilokalisir

(Regular Mass Treatment/RMT) dan razia terhadap WTS liar.

c. Meningkatkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat mengenai penyakit kelamin.

d. Mengembangkan cara pemberantasan Gonorrhea

Selain menghadapi masalah penanggulangan penyakit-penyakit rakyat hal lain yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan Kotamadya Medan dalam upayanya meningkatkan kesehatan masyarakat Kotamadya Medan adalah masalah penanggulangan ketergantungan obat narkotika. Pada umumnya korban narkotik adalah para remaja yang berumur antara 16-25 tahun, satu hal yang sangat mencemaskan mengingat bahwa mereka adalah generasi penerus, yang berarti juga menyangkut masa depan bangsa dan negara kita.

Penyalahgunaan narkotika ini adalah satu dari gejala-gejala kenakalan remaja yang melanda Kotamadya Medan, di samping gejala-gejala lainnya seperti pergaulan yang terlalu bebas, kurangnya sopan santun, perkelahian-perkelahian, pengebutan-pengebutan dan lain sebagainya. Dalam menghadapi situasi ini Pemerintah telah bertindak cepat dan tegas dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 6/1971. Dengan berlandaskan Instruksi Presiden ini dibentuklah Team Narkotika dan Kenakalan Remaja, yang bertugas melakukan koordinasi usaha penanggulangan kenakalan ramaja di seluruh


(43)

Indonesia. Departemen Kesehatan, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, ikut aktif dalam usaha ini.

Lembaga Ketergantungan Obat ini meliputi beberapa unit yaitu detoxifikasi,

outpatient (ambulatoir), rehabilitasi/resosialisasi, epidemiologi dan Laboratorium.

Dengan demikian terhimpun kerjasama antara para dokter, psikiater, pekerja sosial, psikolog, perawat dan tenaga administrasi untuk pemulihan kesehatan dan pengembalian para remaja yang dirawat ke dalam masyarakat dan lingkungannya.27


(44)

BAB III

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP

PENDERITA HIV/AIDS DI KOTAMADYA MEDAN

(1987-1990)

Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan april 1987 dengan meninggalnya seorang wisatawan Belanda disalah satu RS terbesar di Bali. Sebelumnya penyakit ini sebenarnya telah berada di Indonesia sejak tahun 1983, hal ini dibuktikan oleh dr. Zubairi Djoerban dari hasil penelitian yang ia lakukan terhadap 20 orang wanita tuna susila terdapat 3 orang yang positif terinfeksi HIV, dengan demikian sebenarnya HIV telah ada di Indonesia sebelum tahun 1987. Sikap pemerintah pada mulanya justru menutupi adanya kasus tersebut di Indonesia. Sebagian masyarakat juga menyangkalnya. Masalah AIDS rasanya tidak mungkin berkembang di Indonesia karena masyarakatnya masih memegang norma-norma dan adat ketimuran. Hal ini merupakan salah satu sikap irasional yang memungkiri adanya kasus ini.

Respon pemerintah terhadap masalah AIDS baru terlihat karena, penyakit ini bukan saja menyerang para warga negara asing tetapi justru sudah melanda warga Negara Indonesia. Korban pertama AIDS di Indonesia adalah mereka yang tergolong berperilaku resiko tinggi28 seperti kelompok pekerja seks komersial yang sering melakukan hubungan seks yang tidak aman lewat anus dan berganti-ganti pasangan seks. Kelompok lain adalah

28Perilaku beresiko tinggi adalah sikap dan perilaku individu yang memungkinkan dirinya untuk

tertular virus HIV, misalnya melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan alat kontrasepsi (kondom) dan pemakaian narkoba melalui jarum suntik yang tidak steril.


(45)

kelompok homoseksual, dan para pengguna narkoba suntik. Dari sejak semula kelompok-kelompok inilah yang dianggap paling berpotensi tertular HIV/AIDS, selain karena pengetahuan mereka masih sangat terbatas mengenai penyakit ini, kondisi kehidupan mereka juga menghadapkan mereka dengan resiko tertular virus HIV.

Sikap dan tindakan lain yang muncul di masyarakat adalah dalam bentuk pengucilan penderita dan keluarganya karena mereka dianggap menodai lingkungan masyarakat. Penderita AIDS adalah anggota masyarakat yang melakukan perilaku yang tercela sehingga mereka pantas mendapat hukuman dari Tuhan dan patut dikucilkan dari pergaulan. Semua sikap tersebut merupakan reaksi social masyarakat yang emosional karena kurangnya pemahaman mereka tentang perjalanan penyakit ini, terutama tentang cara penularannya.

Kotamadya Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia juga tidak luput dari virus ini. Kasus pertama HIV di Kotamadya Medan diindikasikan telah ada pada tahun 1987, dimana penderita pertama di Kotamadya Medan adalah seorang Nahkoda. Kasus penyakit ini ditemukan melalui metode serosurvei29 yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara pada daerah-daerah yang merupakan daerah rawan penyebaran virus HIV.30

3.1Latar Belakang Penderita HIV/AIDS

Masyarakat di seluruh dunia, di semua negara bukanlah masyarakat homogen yang merata. Masyarakat senantiasa terdiri dari berbagai lapisan sosial dengan banyak faktor yang menyebabkan perbedaan antara semua lapisan sosial masyarakat.

29Serosurvei adalah survei yang dilengkapi dengan pengambilan sampel darah secara sukarela

untuk dilakukan pengujian (testing) serologic adanya infeksi HIV pada populasi tertentu.

30Wawancara dengan Bapak Andi Ilham Lubis, di Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera


(46)

Lapisan sosial yang berbeda pada masyarakat menyebabkan kerentanan yang berbeda pula terhadap penderita suatu penyakit. Ini bukan hanya disebabkan oleh suatu faktor tunggal, namun tergantung pada banyak sekali faktor, terutama ekonomi pendidikan, dan sosial, di samping biologis dan lingkungan.

Cara hidup dan gaya hidup manusia juga merupakan fenomena yang dapat dikaitkan dengan kemunculan dan berkembangnya suatu penyakit yang sebelumnnya tak dikenal orang. AIDS merupakan salah satu contoh dimana gaya dan cara hidup manusia yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut membantu kemunculan dan berkembangnya jumlah penderita penyakit ini.31

Khusus di Kotamadya Medan penyakit ini banyak menyerang pada kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku beresiko tinggi. Penderita penyakit ini kebanyakan adalah wanita pekerja seksual, pengguna narkoba khususnya pada mereka yang memakai narkoba dengan menggunakan alat suntik, dan pada lelaki homoseksual. Walaupun pada perkembangan selanjutnya penderita penyakit ini adalah ibu rumah tangga yang ditularkan oleh suami yang berperilaku beresiko tinggi dan anak-anak yang ditularkan melalui ibunya selama dalam masa kehamilan.32

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapatlah diklasifikasikan atau digolongkan latar belakang penderita penyakit HIV/AIDS dari beberapa sudut pandang. Yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.

3.1.1 Latar Belakang Ekonomi

31Benyamin Lumenta, Penyakit Citra, Alam, dan Budaya Tinjauan Fenomena Sosial, Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 1989, hal. 40-41.

32Wawancara dengan Bapak Andi Ilham Lubis, di Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera

Utara bidang Pemberantasan Penyakit Menular Langsung dan Penyehatan Lingkungan pada tanggal 22 Mei 2009.


(47)

Ekonomi merupakan faktor penting dari kehidupan manusia, dan ini merupakan sifat manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang dalam kesempatan mana ada yang menempuh jalan yang terhormat dan ada jalan yang tercela. Dalam kaitannya dengan latar belakang penderita HIV/AIDS masalah ekonomi memiliki peranan sangat penting, dimana hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seorang individu itu dapat terjangkit virus HIV.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penderita HIV/AIDS yang terbanyak berasal dari pengguna narkoba yang menggunakan alat suntik secara bergantian dan pekerja seks komersial. Mereka yang berprofesi sebagai wanita tuna susila (WTS) pada umumnya melakukan profesi tersebut karena terdesak kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini prostitusi merupakan jalan untuk mendapatkan nafkah, sehingga banyak wanita yang kemudian terjerumus menjadi WTS. Menurut Hull dan Sulistyaningsih ada berbagai cara wanita dapat terjebak didalam praktek pelacuran

“Ada banyak jalan perempuan terjun ke dunia seks, masing-masing berhubungan dengan berbagai sector yang berbeda di industri ini. Ada yang terbujuk iming-iming imbalan uang besar yang ditawarkan oleh berbagai jenis pekerja seks, keuntungan yang mereka dapat dan yang bisa mereka raih dari menjual jasa seks ke pelanggan jenis tertentu, dan kemudian memilih dunia pelacuran daripada bekerja di bidang lain. Namun hal ini sangat jarang. Yang lebih banyak terjadi adalah para perempuan tersebut dipaksa oleh berbagai keadaan yang menyudutkan, kegagalan pernikahan atau percintaan, kurang adaya pilihan pekerjaan lain, tapi yang paling sering terjadi adalah keputusasaan dalam mendapatkan penghasilan untuk menunjang hidup mereka, keluarga dan anak-anak mereka”.33

Mereka dalam melakukan praktek prostitusinya ada yang secara terang-terangan dan ada yang melakukannya secara terselubung. WTS yang secara terang-terangan melakukan praktek prostitusi dan liar, baik secara perorangan ataupun kelompok.

33Hull, Jones, (terj) Sulistyaningsih, Prostitusi di Indonesia: sejarah dan evolusi, Jakarta: Pustaka


(48)

Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya tidak tertentu. Bisa disembarang tempat, mencari “mangsa” sendiri. Sedangkan WTS yang melakukan praktek prostitusinya secara terselubung biasanya mereka mempunyai pekerjaan sampingan yang menutupi status mereka sebagai seorang WTS. hal ini dapat kita jumpai pada tempat-tempat hiburan, penginapan, konsentrasi wisatawan asing, salon-salon kecantikan dan panti-panti pijat.34

Pada umumnya mereka yang melacurkan diri kurang mempedulikan kesehatannya, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya ke dokter.35 Dengan demikian WTS yang secara terang-terangan melacurkan diri dengan WTS yang terselubung sama-sama mempunyai resiko tinggi untuk terkena HIV begitu juga dengan pria-pria yang memakai jasa mereka.

Pada penderita HIV yang berasal dari pengguna narkoba suntik berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas, sehingga mereka dapat dengan mudah membeli dan menggunakan narkoba tersebut secara bergantian. Selain itu, pengguna narkoba suntik cenderung juga melakukan kegiatan seks dengan berganti-ganti pasangan (hubungan seks beresiko tinggi).

3.1.2 Latar Belakang Pendidikan

Sebagian besar penderita HIV yang berprofesi sebagai WTS berpendidikan rendah. WTS yang berpendidikan rendah relatif berimbang, antara kelompok WTS langsung dan WTS tidak langsung, yaitu lebih dari setengahnya maksimum hanya tamat SD.36

34 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, hal. 214-218.

35Wawancara dengan Bapak Fery, di Kantor Dinas Kesehatan Kotamadya Medan bidang

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada tanggal 18 Juli 2009.

36 Badan Pusat Statistik, Laporan Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 1990 Sumatera Utata,


(49)

WTS tidak langsung lebih banyak yang berpendidikan lebih tinggi dibanding WTS langsung meskipun perbedaannya tidak signifikan. Sedangkan pria-pria yang menggunakan jasa WTS ini mempunyai pendidikan lebih tinggi dari WTS, yaitu lebih dari 65 persen minimal berpendidikan tamat SLTP, dan pelanggan yang tidak tamat SD hanya sebagian kecil saja, yaitu 10,2 persen.37

Penderita HIV/AIDS bila dilihat dari pekerjaannya kebanyakan dari mereka mengaku sebelum terkena HIV/AIDS mereka berprofesi sebagai wiraswasta. Hal ini terjadi karena mereka tidak jujur dengan profesi asli mereka.38 Pengakuan yang seperti ini sering dilakukan oleh WTS yang berprofesi ganda (praktek prostitusi tidak langsung).

3.1.3 Latar Belakang Sosial

Keluarga merupakan unit yang terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan merupakan sendi dasar organisasi sosial serta mempunyai corak tersendiri. Bayi yang baru dilahirkan pertama kali yang ia temukan adalah masyarakat kecil ini. Dalam keluargalah sosialisasi dilakukan pertama kali. Kepribadian dan bagaimana cara bertindak didalam masyarakat merupakan hasil pengalaman dalam keluarga. Tetapi dengan adanya perubahan sosial-modernisasi keluarga sebagai tempat pembentuk kepribadian kemudian berubah menjadi hubungan apektif dan hubungan emosional menjadi renggang. Komunikasi antar anggota keluarga menjadi kurang. Anggota keluarga kehilangan pegangan dan mengikuti jalannya sendiri. Anak-anak lebih suka mencari hiburan di luar lingkungan keluarga dan menemukannya didalam lingkungan kawan. Sehingga secara sosial dan emosional mereka didewasakan di luar keluarga dan

37Ibid., hal 10.

38Wawancara dengan Bapak Edo di Kantor Dinas Kesehatan Kotamadya Medan bidang

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan pada tanggal 20 Juli 2009.


(50)

di luar sekolah. Timbullah keregangan antara orang tua dan anak. Keadaan ini kemudian diperparah oleh semakin berkembangnya teknologi komunkasi massa sehingga nilai yang diikuti oleh anggota keluarga dari generasi yang berbeda tidaklah sama. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman antara orang tua dan anak karena perbedaan nilai ini. Keadaan yang seperti ini kemudian mengacu kepada kenakalan remaja, narkotik, dan broken

home.39

Lima puluh persen dari penderita HIV/AIDS adalah orang dewasa muda dalam usia produktif atau yang berkisar antara 20-25 tahun. Jadi, bila masa inkubasi40 penyakit ini adalah 2-10 tahun maka bisa dipastikan bahwa virus HIV telah berada didalam tubuh mereka pada saat mereka berumur kurang lebih 15-17 tahun.41 Hal ini berarti ketika mereka masih duduk di bangku sekolah mereka telah tertular virus HIV ini, dan tentu saja mereka tertular virus ini akibat dari narkoba.

Hal yang sama juga terjadi pada penderita HIV/AIDS yang dulu sebelum terkena virus ini berprofesi sebagai WTS. Mereka melacurkan diri pada dasarnya diakibatkan pergaulan yang kurang baik di masa lalu, keluarga yang tidak mampu mendidik, kekurangan, kehilangan cinta kasih semasa anak dari orang tua, sehingga menimbulkan perasaan tidak aman dengan demikian mereka dengan mudah mencari cinta kasih melalui hubungan kelamin. Dan persetubuhan yang paling mudah adalah dengan jalan melacur. Lingkungan yang buruk juga menjadi faktor penentu untuk mereka melacurkan diri.

39Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan dan Hancurnya Generasi Akibat Narkoba, Jakarta:

Restu Agung, 2007, hal. 40-41.

40Masa Inkubasi adalah periode antara mulai terinfeksi sampai muncul gejala-gejala penyakit.

Masa Inkubasi HIV antara 2-10 tahun, dalam periode ini penderita HIV dapat menularkan HIV kepada orang lain.

41 Wawancara dengan Bapak Andi Ilham Lubis, di Kantor Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera

Utara bidang Pemberantasan Penyakit Menular Langsung dan Penyehatan Lingkungan pada tanggal 22 Mei 2009.


(51)

Apabila lingkungan tempat tinggal atau perumahan buruk membuat anak-anak muda belajar mengenal perbuatan seksual ditambah lagi dengan tidak adanya kontrol dari orang tua sehingga mereka dapat leluasa untuk berjalan di malam hari. Disamping itu suasana pekerjaanpun menjadi salah satu faktor penting untuk terjadinya pelacuran seperti pelayan night club, hotel-hotel, panti pijat, salon-salon kecantikan dan lain-lain.

3.2 Kekeliruan Mengenai Penularan

Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya bahwa HIV adalah virus yang hanya dapat ditularkan lewat media darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lainnya konsentrasi virus ini sangat kecil sekali, sehingga cairan tersebut tidak dapat menularkan virus tersebut kepada orang lain. Implikasi dari sifat HIV ini adalah HIV juga tidak bisa ditularkan lewat udara seperti Tuberclosis (TBC).42

Ternyata banyak berita, baik itu media massa ataupun cetak tidak menjelaskan cara penularan HIV dan hal itu mengakibatkan masyarakat merasa kebingungan. Mereka menganggap bahwa daerah rawan penyebaran HIV/AIDS adalah tempat pelacuran non formal ataupun liar dan jalur lalu lintas padat. Kesimpulan ini seperti ini merupakan suatu kekeliruan besar. Sebagai contoh apabila orang berdesakan di bus dimana keberadaan manusia berada didalam satu bus di tengah lallulintas yang padat, sama sekali tidak membawa bahaya terinfeksi HIV. Walaupun apabila salah satu diantara mereka merupakan orang yang terinfeksi HIV.43 Kecenderungan untuk mengecap daerah tertentu sebagai daerah rawan AIDS juga keliru. Karena bukan suatu tempat yang rawan AIDS,

42 Ahmad Syams Madyan, Op.Cit., hal. 70.


(52)

tetapi manusia yang berperilaku resiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS di manapun mereka berada merupakan hal yang patut untuk diwaspadai.

Penularan HIV yang hanya berdasarkan pada cairan tertentu didalam tubuh manusia memunculkan anggapan baru bahwa penyakit ini ditularkan terutama dari hubungan seksual yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Dengan anggapan yang demikian ini maka hubungan seksual apabila menyimpang dari norma akan mengakibatkan tertular HIV. Akan tetapi perlu kita garis bawahi sebelumnya bahwa penularan virus ini hanya dapat terjadi dalam kondisi yang sangat spesifik dan hubungan seksual yang tidak aman, yaitu tanpa memakai kondom yang mempunyai persentase terbesar untuk dapat tertular virus ini. Selain itu penularan virus ini juga menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar atau jarum suntik yang tercemar virus HIV. Seperti yang kita ketahui bahwa sebenarnya penularan terbesar dari virus ini terdapat pada pengguna narkoba dengan menggunkan alat suntik akan tetapi masyarakat cenderung beranggapan bahwa penderita HIV seluruhnya berasal dari perilaku seksual saja.44

Permasalahan ini kemudian timbul akibat kurangnya pemberitaan tentang bagaimana cara penularan dari virus ini, sehingga masyarakat masih sangan awam tentang cara penularan virus ini. Akibatnya rasa takut tertular melalui pergaulan biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apabila pandangan yang keliru ini masih terus dipelihara tanpa ada perbaikan dari pihak-pihak terkait maka perlakuan masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS dan keluarga dari penderita itu sendiri tidak akan pernah berubah. Perlakuan masyarakat yang mendiskriminasi penderita HIV/AIDS akan tetap subur


(53)

3.3 Stigma Sosial dan Diskriminasi Masyarakat

Stigma sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang ada. Stigma sosial sering menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok. Dalam Antropologi, stigma sosial berarti cacat sosial.45 Orang merasa tidak nyaman di hadapan orang lain, apabila dalam keluarganya ada seorang yang berbuat sesuatu yang memalukan, atau ada anggota keluarga yang dipermalukan orang lain tanpa sebab yang jelas, sehingga mereka merasa terhina, menyandang aib. Cacat ini merupakan beban moral seumur hidup dan diwariskan pula berketurunan. Maka, setiap anggota keluarga yang menanggung beban moral ini secepatnya harus berusaha menghapus aib tadi dan mengembalikan kehormatan keluarga.

Stigma berhubungan erat dengan kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di dalam struktur masyarakat dan norma-norma serta nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu, sedangkan kelompok lainnya merasa superior.

Dalam konteks HIV/AIDS sebagian besar masyarakat memberikan stigma buruk terhadap penderita AIDS. Stigma ini kemudian mengacu pada prasangka buruk, pengabaian, pendiskreditan dan diskriminasi terhadap individu, kelompok atau komunitas46 yang diasosiasikan dengan mereka yang menyebarkan HIV/AIDS secara sederhana.

45Kartini Kartono, Op. Cit., hal 219.

46Wawancara dengan Noni dan Arif di Kantor LSM Medan Plus pada tanggal 18 Mei 2009.

Seperti dialami oleh Arif dan Noni, mereka merupakan penderita HIV/AIDS akibat dari pemakaian narkoba dengan menggunakan jarum suntik yang telah tercemar. Ketika, status HIVnya diketahui oleh keluarga dan masyarakat disekitarnya, ia kemudian diusir oleh masyarakat dan tidak diakui lagi oleh keluarganya begitu pula dengan istrinya Noni yang dianggap sebagai pembawa virus oleh keluarga suaminya.


(1)

Tujuan kegiatan-kegiatan dalam lingkup program ini adalah :

a. menjamin pengobatan, pelayanan dan perawatan yang berkelanjutan pada saat dibutuhkan dengan ciri-ciri : berperikemanusiaan, tidak diskriminatif, cepat dan tepat; b. merijamin keamanan pribadi bagi mereka yang memberikan pelayanan kepada para pengidap HIV dan penderita AIDS.

Yang menjadi kepedulian dalam program ini adalah :

a. pengidap HIV dan penderita AIDS dari awal sakit sampai kematiannya, termasuk pelayanan jenazah dan penguburannya;

b. lingkungannya yang terdekat yaitu keluarga, teman sekerja dan sepergaulannya;

c. pemberi layanan/perawatan baik tenaga-tenaga profesionalmaupun keluarga yang merawat/melayani di rumah; bidang kesehatan, ekonomi, sosial, psikologis dan lain-lain. Konseling yang sudah dimulai saat testing, dilanjutkan dan diberikan sesuai kebutuhan penderita dan keluarganya. Sedapat mungkin, kegiatan dalam lingkup program ini juga berusaha mengembangkan ketrampilan dan komitmen dari keluarga dan anggota masyarakat untuk memberikan perawatan dan layanan di rumah dan dalam masyarakat (“home and community based care”).

Penyusunan peraturan perundang-undangan dan standar untuk perawatan dan pengelolaan kasus “case management”) yang etis, teknis tepat, tidak diskriminatif dan berperikemanusiaan perlu segera diupayakan sesuai prinsip-prinsip dasar Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS ini.

5.Penelitian dan Kajian

Tujuan kegiatan-kegiatan dalam lingkup program ini adalah melaksanakan penelitian dan kajian yang berkualitas (objektif, bertanggungjawab dan andal) serta mengupayakan penyebarluasan dan pemantauan hasil-hasilnya secara tepat dan bertanggung jawab, untuk mendukung Strategi Nasional.

Penanggulangan HIV/AIDS dan pelaksanaanya baik lokal, nasional maupun internasional. Penelitian dan kajian dalam strategi nasional ini diarahkan antara lain untuk a. pengembangan/penyampurnaan kebijaksanaan, strategi rnaupun program; untuk ini dibutuhkan penelitian/kajian untuk memahami penyebab dan perjalanan penyakit, mengetahui cara-cara/metodologi upaya penanggulangan yang efektif dan efisien, menemukan terobosan baru, serta cara untuk mengatasi masalah teknis operasional; b. monitoring perkembangan epidemi diseluruh wilayah Indonesia;

c. memahami dan mengembangkan cara-cara untuk mengatasi berbagai masalah teknis medis, sosial, hukum, agama, ekologis dan lain-lain.


(2)

Penelitian dan kajian dibutuhkan dalam skala nasional, regional dan internasional maupun dalam lingkup yang lebih kecil seperti kelompok orang atau wilayah dengan gaya hidup, perilaku dan kepercayaan tertentu. Untuk itu pertu keterlibatan dan kepedulian sektor pemerintah dan swasta.

Koordinasi penyebarluasan dan pendayagunaan hasil-hasil penelitian baik lokal, nasional, regional maupun internasional sangat penting untuk menghindari biaya yang tinggi dan duplikasi kegiatan. Berbagai lembaga penelitian dl Indonesia memegang peranan penting dalam upaya ini.

6. Monitoring dan evaluasi

Tujuan kegiatan monitoring dan evaluasi adalah untuk :

a. memantau perkembangan penyebaran HIV/AIDS danpelaksanaan upaya-upaya/kegiatan dalam lingkup strategi ini di seluruh Indonesia;

b. mengadakan penilaian dan analisa terhadap situasi epidemi dan pelaksanaan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS untuk dimanfaatkan bagi penyempurnaan rencana dan kegiatan selanjutnya. “Sentinel seroprevalence surveillance” adalah program testing selektif pada kelompok tertentu untuk mendapatkan informasi tentang skala, distribusi dan kecenderungan (‘trend’) perkembangan infeksi HIV dalam masyarakat. Hal ini dibutuhkan untuk perencanaan dan pengembangan kebijaksanaan, dan program yang efektif, dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS secara nasional maupun lokal.

Karena pentingnya kegiatan monitoring dan evaluasi dalam strategi ini, maka dalam penyusunan setiap rencana kegiatan dari semua organisasi dan kelompok, harus dianggarkan waktu, dana dan tenaga untuk monitoring dan evaluasi.

Komisi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS bertanggung jawab untuk monitoring dan evaluasi secara nasional.

C. Peran dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat

Efektivitas upaya nasional untuk menanggulangi ancaman HIV/AIDS di Indonesia tergantung pada kerjasama semua pihak. Rencana yang rinci dan tanggung jawab operasional akan dikembangkan untuk masing-masing kegiatan namun secara garis besar pembagian tugas dan tanggung jawab adalah sebagai berikut :

1.Pemerintah a.TingkatPusat

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Komisi dibantu oleh beberapa Menteri sebagai Wakil Ketua dan Anggota, mengkoordinasikan penyusunan


(3)

rencana kebijakan nasional tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan titik berat pada ketahanan keluarga.

Tugas dan tanggung jawab Komisi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS secara rinci adalah :

1) membina dan menyediakan layanan teknis dan layanan sosial yang dibutuhkan program penanggulangan HIV/AIDS berada di luar jangkauan/kemampuan masyarakat; 2) bekerjasama dengan para mitra dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, dengan mengembangkan petunjuk-petunjuk yang tepat untuk menjamin pengelolaan kasus dan pelayanan langsung yang merata dan berkualitas, sesuai kebutuhan;

3) mengembangkan dan memelihara lingkungan dan tata cara kerja yang mendorong, memudahkan dan mendukung kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang kreatif dan bertanggung jawab dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat dan lembaga non pemerintah

b.TingkatPropinsidanKabupaten/Kotamadya

Upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikota KDH TK II, dengan peran aktif para pejabat Pemerintah dari sektor terkait, wakil-wakil dari lembaga dan Organisasi Non Pemerintah serta universitas/lembaga pendidikan tinggi di daerah.

Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah adalah :

1) memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di daerah;

2) mengindentifikasi lokasi/wilayah yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat;

3) menghimpun, menggerakkan dan memanfaatkan sumber-sumber daya secara efektif; 4) menjamin alokasi anggaran/dana untuk penanggulangan HIV/AIDS dari sumber-sumber lokal;

5) secara efektif dan efisien memanfaatkan sumber daya dan dana baik yang berasal dari tingkat pusat, daerah, masyarakat maupun luar negeri;

6) membantu dan memudahkan upaya masyarakat, lembaga dan Organisasi Non Pemerintah dalam memobilisasi sumber daya dan dana untuk kegiatan penanggulangan HIV/AIDS.


(4)

Upaya pananggulangan HIV/AIDS di Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Camat,dengan kerjasama para pelaksana sektor terkait, wakil-wakil dari masyarakat lembaga dan Organisasi Non Pemerintah setempat.

Tugas dan tanggung jawab Camat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kecamatan adalah :

1) memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di kecamatannya:

2) mengindentifikasi lokasi/wilayah yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat:

3) menghimpun menggerakan dan memanfaatkan sumber daya dan dana setempat secara efektif dan membantu kelancaran upaya masyarakat dan lembaga/Organisasi Non Pemerintah dalam kegiatan penanggulangan HIV/ AIDS

d.TingkatKelurahandandesa.

Lurah/Kepala Desa memegang peran kunci dalam memimpin pelaksanaan pencegahan/penanggulangan HIV/AIDS dalam wilayahnya masing-masing.

Tugas dan fungsinya adalah :

1) Mendorong upaya masyarakat dan memberikan kemudahan untuk kegiatan kelompok-kelompok masyarakat sesuai jiwa dan semangat Strategi Nasional;

2) bekerjasama dengan perangkat pemerintah untuk menjamin pelakasanaan kegiatan yang efektif dan efisien program penanggulangan HIV/AIDS ditingkat Kelurahan dan Desa.

2. Masyarakat

a.Rumahtanggadankeluarga

Keluarga merupakan unit sosial yang sangat penting untuk mengembangkan pola perilaku yang sehat dan bertanggung jawab dan yang memberikan pelayanan dan dukungan pertama dan utama bagi mereka yag hidup dengan HIV/AIDS.

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat perlu ditingkatkan ketahanannya dengan meningkatkan dan memantapkan peran serta fungsi-fungsi keluarga agar ikut bertanggung jawab membina anggotanya untuk mencegah penularan HIV/AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap pengidap HIV/serta penderita AIDS.

b. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Organisasi/Lembaga Non Pemerintah.


(5)

LSM dan Organisasi/lembaga Non Pemerintah memainkan peranan yang penting dan diakui sebagai mitra setara dalam usaha nasional untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Untuk menjangkau orang-orang dan kelompoknya, dengan kebutuhan khusus antara lain kelompok remaja, agama, wanita, profesi yang biasanya tidak atau sulit-terjangkau oleh petugas pemerintah.

Untuk mendukung kegiatan LSM, Organisasi/Lembaga Non Pemerintah secara optimal dapat dikembangkan pusat data dan informasi serta jaringan kerjasama yang efektif. 3. Dunia usaha/swasta

Peranan dunia usaha/swasta sebagai mitra setara dalam usaha Nasional Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sangat penting untuk rnempercepat dan memperluas jangkauan upaya penanggulangan HIV/AIDS dalam lingkungan sendiri serta menunjang dana, sarana, tenaga ahli dan lain-lain upaya penanggulangan HIV/AIDS Nasional.

D. Kerjasama Internasional

Indonesia mendukung sepenuhnya upaya penanggulangan HIV/AIDS secara global. Sebagai negara anggota WHO, kebijaksanaan nasional AIDS Indonesia dikembangkan sesuai dan selaras dengan "WHO Global AIDS Strategy".

Pengalaman negara-negara tetangga Indonesia, ASEAN dan Australia dalam penanggulangan HIV/AiDS sangat luas dan penting, sehingga bermanfaat untuk dipelajari oleh Indonesia. Karena lalu lintas dan mobilitas manusia yang tinggi, maka penting sekali dilakukan kerjasama dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS secara regional dan internasional.

Badan-badan lnternasional, Donor dan NGO (Non Governmental Organization) internasional berperan penting sebagai mitra dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Koordinasi kerjasama lnternasional dilakukan oleh Komisi Penanggulangan HIV/AIDS dengan kerjasama Bappenas.

E.Pendanaan

Pendanaan untuk kegiatan yang dikembangkan dalam Strategi Nasional ini, bersumber pada APBN, APBD Tk I, APBD Tk II, sumbangan masyarakat, dunia usaha dan bantuan kerjasama luar negeri.

IV. PENUTUP

Strategi Nasional ini merupakan aktualisasi dari tekad bangsa Indonesia untuk menghadapi ancaman bahaya HIV/AIDS yang makin besar, guna mengamankan hasil dan laju pembangunan nasional. Bangsa Indonesia sebagal negara dunia ikut bertanggung jawab dalam upaya global penanggulangan HIV/AIDS di dunia. Tugas yang dihadapi


(6)

tidaklah mudah, tetapi Indonesia mempunyai beragam pengalaman yang telah berhasil menggerakkan bangsa untuk kepentingan bersama. Dengan kepedulian setiap insan Bangsa Indonesia diyakini bahwa bangsa Indonesia akan dapat menanggulangi HIV/AIDS untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi masa mendatang.