3.3 Stigma Sosial dan Diskriminasi Masyarakat
Stigma sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang ada. Stigma sosial sering
menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok. Dalam Antropologi, stigma sosial berarti cacat sosial.
45
Orang merasa tidak nyaman di hadapan orang lain, apabila dalam keluarganya ada seorang yang berbuat sesuatu yang memalukan, atau ada anggota
keluarga yang dipermalukan orang lain tanpa sebab yang jelas, sehingga mereka merasa terhina, menyandang aib. Cacat ini merupakan beban moral seumur hidup dan diwariskan
pula berketurunan. Maka, setiap anggota keluarga yang menanggung beban moral ini secepatnya harus berusaha menghapus aib tadi dan mengembalikan kehormatan keluarga.
Stigma berhubungan erat dengan kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat. Pada puncaknya, stigma akan menciptakan ketidaksetaraan sosial. Stigma berurat akar di
dalam struktur masyarakat dan norma-norma serta nilai yang mengatur kehidupan sehari- hari. Ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan merasa malu,
sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Dalam konteks HIVAIDS sebagian besar masyarakat memberikan stigma buruk
terhadap penderita AIDS. Stigma ini kemudian mengacu pada prasangka buruk, pengabaian, pendiskreditan dan diskriminasi terhadap individu, kelompok atau
komunitas
46
yang diasosiasikan dengan mereka yang menyebarkan HIVAIDS secara sederhana.
45
Kartini Kartono, Op. Cit., hal 219.
46
Wawancara dengan Noni dan Arif di Kantor LSM Medan Plus pada tanggal 18 Mei 2009. Seperti dialami oleh Arif dan Noni, mereka merupakan penderita HIVAIDS akibat dari pemakaian
narkoba dengan menggunakan jarum suntik yang telah tercemar. Ketika, status HIVnya diketahui oleh keluarga dan masyarakat disekitarnya, ia kemudian diusir oleh masyarakat dan tidak diakui lagi oleh
keluarganya begitu pula dengan istrinya Noni yang dianggap sebagai pembawa virus oleh keluarga suaminya.
Universitas Sumatera Utara
Pada lingkungan masyarakat, orang yang hidup dengan HIVAIDS sering terlihat memalukan. Masyarakat menghubungkan infeksi ini dengan kelompok minoritas atau
tingkah laku, contohnya wanita pekerja seks. Beberapa kasus HIVAIDS mungkin dihubungkan dengan ‘perbuatan yang tidak wajar’ dan mereka yang terinfeksi akan
dihukum. Masyarakat percaya bahwa HIVAIDS dapat membawa aib bagi keluarga dan komunitas. Pada waktu yang sama tanggapan negatif untuk HIVAIDS sayangnya
tersebar secara luas, mereka sering menguatkan ide yang dominan tentang baik dan buruknya mengenai seks dan penyakit, dan pantas atau tidaknya tingkah laku.
Stigma AIDS terbagi menjadi tiga kategori yaitu: a.
Stigma Instrumental AIDS, yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan dapat ditransmisikan.
b. Stigma Simbolis AIDS, yaitu penggunaan HIVAIDS untuk mengekspresikan
sikap melalui grup sosial atau gaya hidup yang berhubungan dengan penyakit. c.
Stigma Kesopanan AIDS, yaitu stigmatisasi orang yang berhubungan dengan isu HIVAIDS atau orang yang positif HIV.
47
Stigma AIDS diekspresikan dengan satu atau lebih stigma, terutama yang menyangkut dengan homoseksual, biseksual, persetubuhan dengan siapa saja dan
penggunaan narkoba. Karena, hubungan antara AIDS, homoseksualitas, biseksualitas, dan hubungan ini berhubungan dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi
seperti sifat homophobia.
48
Mereka yang memiliki pengertian salah mengenai HIVAIDS
47
Proyek Pendokumentasian Dilakukan Oleh Kelompok Sebaya, Dokumentasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Orang Dengan HIVAIDS di Indonesia, Jakarta: Yayasan Spiritia, 1990, hal.
48
Homophobia berasal dari kata “homos” sama dan “phobos” takut. Istilah ini dicetuskan oleh psikolog klinis George Weinberg pertama kali digunakan di majalah Time tahun 1969. homophobia
merupakan ketakutan atau kebencian pada homoseks dan homoseksualitas. Dalam prakteknya homophobia diwujudkan antara lain seperti menghindar, ketidaksetujuan, diskriminasi, penghinaan atau pencelaan kaum
homoseks, gaya hidup mereka, dan perilaku seks mereka.
Universitas Sumatera Utara
kebanyakan adalah orang yang memiliki tingkat pengetahuan rendah dengan tingkat religius yang tinggi.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka buruk
mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi: staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada penderita
HIVAIDS atasan yang memberhentikan karyawannya berdasarkan status atau prasangka akan status HIV mereka keluarga atau masyarakat yang menolak mereka yang hidup,
atau dipercayai hidup dengan HIVAIDS. Tindakan seperti itu sudah sering terjadi terhadap mereka.
49
Stigma dan diskriminasi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Stigma yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologis berat tentang bagaimana
penderita HIV melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong terjadinya beberapa kasus depresi, kurangnya kepercayaan diri dan keputusasaan. Stigma dan diskriminasi
juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui mereka terinfeksi atau tidak. Bisa pula menyebabkan mereka yang telah terinfeksi
meneruskan praktik seksual tidak aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka. Akhirnya penderita HIV dillihat sebagai masalah, bukan sebagai
solusi untuk mengatasi epidemi ini. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV disebabkan karena kurangnya
informasi yang benar tentang cara penularan HIV, adanya ketakutan terhadap HIVAIDS, dan fakta AIDS adalah penyakit mematikan. Kita juga sering mendengar rumor dan
49
Wawancara dengan Bapak Victory Brahmana di Kantor LSM Medan Plus pada tanggal 18 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
mitos-mitos tentang AIDS.
50
Ini semua menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang HIV dan AIDS sangatlah kurang. Sikap dan pandangan masyarakat
terhadap penderita HIVAIDS sangat buruk sehingga melahirkan permasalahan serta tindakan yang melukai fisik maupun mental bagi penderita HIVAIDS bahkan kelurga
dan orang-orang terdekatnya. Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi adanya stigma buruk yang berhubungan dengan HIVAIDS adalah:
a. HIVAIDS adalah penyakit yang mengancam kehidupan.
b. Masyarakat takut mengidap HIVAIDS.
c. Penyakit ini berhubungan dengan tingkah laku seperti seks di antara pria dan
pengguna jarum suntik yang menjadi stigma di dalam masyrakat. d.
Masyarakat yang hidup dengan HIVAIDS sering berfikir untuk terinfeksi juga. e.
Agama atau moral percaya bahwa beberapa orang yang mengidap HIVAIDS adalah hasil dari kesalahan moral seperti persetubuhan dengan siapa saja atau
seks yang menyimpang yang pantas untuk menerima hukuman dari Tuhan.
51
Sesungguhnya hak penderita HIVAIDS sama dengan manusia lain, tetapi karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat hak penderita HIVAIDS sering dilanggar.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan menyangkut hak asasi penderita HIVAIDS yaitu:
a. Hak atas perlakuan non-diskriminatif termasuk hak atas kedudukan yang sama di
dalam hukum dan segala bentuk diskriminasi baik itu berdasarkan warna kulit, ras, jenis kelamin, tingkat sosial-ekonomi dan sebagainya. Tindakan diskriminatif
50
Wawancara dengan Suhendra, di kantor LSM SPKS pada tanggal 20 Juli 2009. Ia mengatakan bahwa sempat beredar kabar untuk berhati-hati berada di tempat umum seperti didalam bus ataupun
didalam bioskop karena adanya orang-orang iseng dengan sengaja menaruh jarum suntik yang sudah terinfeksi HIVAIDS untuk mencelakai orang lain.
51
Wawancara dengan Ibu Asih di klinik VCT RSUP H. Adam Malik pada tanggal 28 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
hanya tidak hanya keliru dan salah, tapi juga akan menimbulkan dan mempertahankan kondisi yang memudahkan penularan HIVAIDS.
b. Hak untuk memperoleh kemerdekaan dan rasa aman, penderita HIVAIDS
hendaknya tetap berada ditengah-tengah masyarakat tanpa adanya diskriminasi dan penggucilan dari masyarakat. Di penjara seorang tahanan yang terinfeksi
HIVAIDS tidak boleh dipisahkan atau diisolasi dari tahanan lain. c.
Hak untuk menikah. Penderita HIVAIDS mempunyai hak untuk menikah, dan untuk menghormati hal tersebut seharusnya tersedia untuk penderita penyakit ini
dan pasangannya. d.
Hak untuk mendapatkan pendidikan. Masalah pendidikan untuk penderita HIVAIDS seharusnya tidak dibatasi dan interaksi sosial di sekolah perlu dibina
dengan baik agar penderita HIVAIDS tidak tersingkir. e.
Hak asasi manusia untuk perempuan berstatus penderita HIVAIDS. f.
Hak asasi manusia untuk penderita HIVAIDS anak-anak. Hak anak adalah hak yang juga berlaku untuk layanan kesehatan, perlakuan non-diskriminatif dan
sebagainya.
52
Apabila kita lihat masalah hak asasi pada HIVAIDS sebetulnya kita mengkaji masalah hak asasi manusia yang paling hakiki dan universal. Dan sebenarnya kita sedang
melihat masalah kemanusiaan secara umum, baik yang berhubungan maupun yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan HIVAIDS.
3.4 Pelayanan Medis Yang Tidak Memihak