Boedi Oetomo Peran Paku Buwono X Dalam Organisasi Sosial dan Politik

commit to user 73 dengan kepribadian dan penampilan Paku Buwono X yang diperlihatkan selama ini. Oleh karena itu didalam laporan-laporan gubernur Surakarta dikatakan tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan pada diri Paku Buwono X. Jika dipikir dalam-dalam, adanya Sarekat Islam sebenarnya sangat membantu kedudukan Paku Buwono X. Perhatian jutaan penduduk Jawa tertuju pada Surakarta, tertuju kepada Paku Buwono X lewat gerakan nasional ini. Keraton Surakarta tetap dianggap sebagai pembawa panji gerakan nasional yang mana sangat memeprtinggi kedudukan Paku Buwono X. Suara-suara tentang hubungan Sarekat Islam dengan Keraton Surakarta akhirnya juga sampai telinga residen Surakarta Van Wijk. Karena itu Van Wijk mendesak agar Paku Buwono X mengurangi keterlibatannya dengan Sarekat Islam. Dan atas anjuran Van Wijk, Gubernur Jendral juga melarang Paku Buwono X mengadakan perjalanan keluar Vorstenlanden, karena dianggap bahwa perjalanan-perjalanan Paku Buwono X inilah yang membuat gerakan Sarekat Islam meluap-luap. Sementara itu bersama dengan larangan bagi Sinuhun untuk mengadakan perjalanan keliling, ternyata didalam pimipinan Sarekat Islam sendiri, timbul keretakan yang mengakibatkan agak mundurnya Keraton Surakarta dengan Sarekat Islam. Ada insiden-insiden kecil di Surakarta. Sri Mangkunegara yang takut melihat tambah besarnya keanggotaan Sarekat Islam yang pro Kasunanan, mencoba mendirikan Sarekat Islam tandingan yang diberi nama Darmo Hatmoko. Tetapi Darmo Hatmoko ini tidak dapat berkembang karena terkenal atas sifat kekerasannya R.M Karno, 1990: 175-176. Keterlibatan Paku Buwono X dengan organisasi nasional pertama yang ada di Surakarta ini merupakan suatu hal yang sangat besar dan dampaknya pun dapat dirasakan secar meluas baik di Surakarta sendiri maupun daerah-daerah disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.

b. Boedi Oetomo

1 Latar Belakang terbentuknya Boedi Oetomo Boedi Oetomo secara resmi didirikan oleh sekelompok mahasiswa didalam sebuah ruangan kelas di Sekolah kedokteran Stovia di Batavia dalam commit to user 74 bulan Mei 1908, dan merupakan organisasi yang pertama di Hindia Belanda George D. Larson, 1990: 78. Boedi Oetomo menempati tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia, karena organisasi ini menandakan awal kebangkitan nasional di Nusantara. Namun kebangkitan nasional ini pada awalnya bukan kebangkitan nasional Indonesia melainkan kebangkitan nasional Jawa. Jadi pada awalnya kebangkitan nasional ini adalah kebangkitan nasional Jawa, bahkan secara samar- samar mengandung tujuan merestorasi kerajaan Jawa R.M Karno, 1990: 190. Di antara pendirinya terdapat orang-orang yang kemudian menjadi pimpinan-pimpinan nasional yang terkenal yaitu Raden Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan saudaranya Goenawan Mangoenkoesoemo. Mereka didesak oleh dokter Jawa Wahidin Soedirohoesoedo yang telah menjelajahi berbagai kota di Jawa untuk mengajak membangkitkan bangsa Jawa. Terjemahan nama Jawa Boedi Oetomo dalam bahasa Belanda dengan segera menjadi umum, yaitu “het schooner streven”, namun mempunyai konotasi yang lebih luas, dan berarti juga “pengertian”, “kemampuan memahami”, “pembawaan”. “Oetomo” berarti tinggi atau luhur. Boedi Oetomo berarti kata-kata dengan arti yang dalam bagi priyayi Jawa, kata yang mengacu pada etika yang lebih tinggi. Ini tercermin juga dalam semboyan dan lambang perkumpulan itu. Semboyan “Santoso Waspodo nggajoeh Oetomo ” berarti “Dengan kekuatan dan kecerdasan mencapai k eutamaan”. Lambang yang dirancang tahun 1917 itu terdiri dari huruf-huruf B.O. singkatan Boedi Oetomo yang ditembus oleh anak panah bermakna wahyu Tuhan, dan dikelilingi bulu yang menjadi lambang antara lain Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan, juga lambang perkembangan badaniah, rohaniah, dan susila. Lambang itu tergantung pada pita panca warna: menggambarkan keuletan hitam, keberanian merah, kekayaan material kuning, kemakmuran hijau, dan kesucian putih. Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu pemerintah Hans van Miert, 2003: 17. commit to user 75 Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang pensiunan dokter Jawa dari Yogyakarta, adalah yang pertama mengemukakan gagasan agar berupaya menghimpun orang-orang Jawa agar mempunyai pandangan ke depan, mempunyai tujuan bersama yaitu kemajuan rakyat Jawa. Gagasan ini meninggalkan kesan yang dalam pada para mahasiswa kedokteran Batavia, dan gagasan inilah yang akhirnya mendorong kepada pembentukan Boedi Oetomo. Sementara itu pers juga sedang gencar memuat karangan-karangan yang menggambarkan perkembangan pesat di Jepang dan Tiongkok, dan yang sangat menggemparkan ialah kemenangan Jepang atas Rusia 1904-1905. Sebagai organisasi politik yang mempunyai arti sangat penting karena mewakili suatu bangsa yang mengejar kemerdekaan, terutama bagi orang Jawa, Boedi Oetomo tidak boleh tidak harus mencantumkan kemerdekaan nasional sebagai program partainya. Namun karena keadaan belum mengizinkan, maka keinginan diwujudkan dalam suatu klausul dalam anggaran dasar yang mengatakan bahwa perhimpunan ini akan memperjuangkan tingkat hidup yang layak bagi rakyat lewat pembangunan nasional R.M Karno, 1990: 190-191. Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Boedi Oetomo sebagai tanda keberhasilan poltik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya, suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Boedi Oetomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Boedi Oetomo itu. Sepanjang sejarahnya sebenarnya Boedi Oetomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi M. C Ricklefs, 1991: 227-228. Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Aspirasi-aspirasi dan perwujudan-perwujudan yang ditemukan oleh persatuan ini menggambarkan presepsi-presepsi priyayi. commit to user 76 Aspirasi utama Boedi Oetomo adalah peningkatan keserasian ke dalam masyarakat Jawa Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53. Sampai tahun 1917 Boedi Oetomo bukanlah partai politik. Para priyayi adalah abdi negara kolonial Belanda, pelestari tradisi Jawa. Berbagai organisasi pribumi, dengan semangat yang semakin besar memasuki kehidupan politik yang bergelora yang oleh kaum priyayi dipersamakan dengan kekacauan, pemberontakan, dan kemelut. Provokasi politik berarti gangguan terhadap keseimbangan, ancaman terhadap keserasian, karenanya bertentangan dengan apa yang mereka anggap sebagai watak orang Jawa. Lebih lagi aksi politik itu biasanya bersifat melawan pemerintah, majikan kaum priyayi. Tetapi Boedi Oetomo yang menghimpun kaum priyayi menengah dan rendah dengan bersemangat memutuskan untuk memasuki arena politik, lengkap dengan program partainya. Sejak 1918 nasionalisme Jawa seperti yang diangkat oleh Boedi Oetomo memiliki komponen politik yang kuat Hans van Miert, 2003: 24-26. Boedi Oetomo pada pokoknya adalah pendukung kebudayaan Jawa. Organisasi ini mendorong dan mengembangkan orang Jawa yang dianggap masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa menuju kepada suatu perkembangan yang harmonis Robert van Niel, 1984: 84. 2 Pasang Surut Boedi Oetomo Periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menunutut pelajaran dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meniggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan. Boedi Oetomo sebagai suatu pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksi dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya suatu jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kolonialismenya Cahyo Budi Utomo, 1995:49. commit to user 77 Kongres Boedi Oetomo yang pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1908 dan diketuai oleh Dr. Wahidin Soedirihoesodo. Kongres pertama ini diadakan di daerah Vorstenlanden karena mendapat dukungan dari Pangeran Notodiredjo dari keluarga Pakualaman. Kongres ini diadakan untuk mengesahkan anggaran dasar dan untuk memilih pengurus. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira 300 orang Jawa, sebagian besar sendiri dari para priyayi yang datang dari Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pembesar yang hadir adalah Pangeran Notodiredjo. Dalam kongres pertama ini banyak diadakan diskusi mengenai pendidikan barat terhadap masyarakat. Banyak pro dan kontra mengenai hal ini. Dr. Wahidin dan Dr. Tjiptomangoenkoesoemo, mereka adalah dokter keraton dari keraton Kasunanan Surakarta, termasuk yang kontra. Juga ikut bicara Goenawan Mangoenkoesoemo dan Dr. Soetomo. Usul dari Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo agar Boedi Oetomo melangkah keluar, jangan hanya membatasi pada pebdidikan dan kebudayaan saja, melainkan juga harus terjun dalam bidang politik, tidak diterima oleh kongres. Mungkin kongres tidak berani mengambil resiko jika permohonan mendirikan partai ditolak oleh pemerintah Belanda R.M Karno, 1990: 191. Kongres itu menetapkan tujuan perumpulan adalah kemajuan yang selaras harmonis untuk negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industry, kebudayaan kesenian dan ilmu. Sebagai ketua pengurus Besar yang pertama dipilih R.T Tirtokusumo bupati Karanganyar dan Wahidin Soedirohoesoedo sebagai wakil ketuanya. Sedang anggota-anggota pengurus besar yang lain adalah para pegawai negeri atau bekas pegawai negeri. Pusat perkumpulan ditempatkan di Yogyakarta A.K Pringgodigdo, 1994: 1-2. Dari kongres itu akhirnya berhasil diambil keputusan bahwa: 1 Boedi Oetomo tidak ikut mengadakan kegiatan politik. 2 Kegiatan terutama ditujukan kepada bidang pendidikan dan kebudayaan. Ruang gerak terbatas hanya untuk daerah Jawa dan Madura kemudian diluaskan melingkupi Bali karena dianggap mempunyai kebudayaan yang sama Cahyo Budi Utomo, 1995:49. commit to user 78 Menjelang akhir tahun 1908 Boedi Oetomo telah mempunyai 10.000 anggota dalam 40 cabang, tetapi karena kepemimipinan Tirtokoesoemo yang kurang bersemarak maka organisasi ini merana hingga ia mengundurkan diri pada tahun 1911 atau 1912. Sesudah ia diganti sebagai ketua dalam bulan Agustus 1912 oleh Pangeran Notodirojo maka Boedi Oetomo memperlihatkan semangat baru di Vorstenlanden, dengan segera mendirikan dua sekolah di Yogyakarta dan sebuah di Surakarta George D. Larson, 1990: 85. Pendirian Boedi Oetomo di Surakarta tidak begitu jelas kapan tepatnya, tetapi banyak kemungkinan hal ini terjadi kira-kira sekitar paruh terakhir tahun 1908. Kita tahu dengan pasti bahwa sudah ada cabang pada tahun 1909 yang dianggap luar biasa kuatnya. Akan tetapi pada tahun yang sama cabang ini tidak meneruskan kegiatannya sebab tidak bisa setuju dengan policy yang ditetapkan oleh pengurus pusat. Penghentian ini hanya bersifat sementara, dan kemudian cabang Surakarta tampil sebagai salah satu cabang yang paling penting. Misalnya, sekitar tahun 1912 kantor percetakan dari cabang Surakarta telah mengambil alih Darmo Kondo, sebuah surat kabar Melayu Jawa yang didirikan pada tahun 1904 di bawah manajemen Cina. Pada bulan November 1913 ketika Jurnal resmi Boedi Oetomo menghentikan publikasi selam dua tahun, maka peranannya dipegang oleh Darmo Kondo George D. Larson, 1990: 85-86. Orang besar di belakang layar kebangunan kembali budaya Jawa adalah Prangwedana, kepala pura kedua di Surakarta yang maju, yaitu Mankunegaran. Ketika Prangwedana masih dengan nama R.M.A Soerjosoeparto, dari tahun 1914 sampai 1915 R.M.A Soerjosoeparto tinggal di negeri Belanda dan belajar di Leiden. Sekembalinya di Hindia, bulan Agustus 1915 ia menjadi ketua Boedi Oetomo, Maret 1916 ia menggantikan pamannya, Mangkunegoro VI. Akibatnya Soerjosoeparto harus melepaskan jabatan-jabatan politiknya. Soerjosoeparto adalah orang modern dan berpendidikan, yang berlainan dengan raja-raja lain secara aktif ikut campur dalam pemerintahan negerinya.Semangatnya untuk tidak hanya di dalam nama menjadi kepala swapraja menyebabkannya sering bentrok dengan residen-residen Surakarta yang konservatif seperti F.P Sollewijn Gelpke 1914-1918 dan A.J.W. Harloff 1918-1922. Sunan Paku Buwono X sebagai commit to user 79 penguasa kerajaan yang lebih besar di Surakarta sama sekali tidak suka dengan aktivitasnya. Usaha-usaha Sunan untuk mengingatkan Prangwedana selalu mengakibatkan konflik Hans van Miert, 2003: 120-121. R.M.A Soerjosoeparto calon Mangkunegoro VII memainkan peran yang sangat menonjol dalam tahun-tahun pertama Boedi Oetomo cabang Surakarta. Pada tahun 1917 Pangeran Hadiwidjojo, salah seorang putra Paku Buwono X yang lebih terkenal, menjadi ketua cabang, dan sekitar Juni 1919 kedua calon terpenting untuk tahta Surakarta juga telah menjadi peserta. Pangeran Hangabehi, putra sulung Paku Buwono X, masuk dalam pengurus cabang, sedangkan putra kedua, Pangeran Koesoemojoedo, telah menjadi pelindung. Dibawah pimpinan dua ketua nasional yang pertama Boedi Oetomo membatasi dirinya pada soal sosio-kultural dan menjadi relative kurang dikenal karena munculnya organisasi lain, terutama Sarekat Islam yang mendapat dukungan massa.Tetapi dalam bulan September 1914 Boedi Oetomo untuk pertama kalinya mencoba memasuki dunia politik di bawah pimpinan Dr. Radjiman, dokter Istana Kasunanan Surakarta yang memegang kedudukan sebagai pejabat ketua dalam bulan Agustus 1914 sesudah Notodirodjo mengundurkan diri karena sakit. Radjiman adalah seorang nasionalis yang bergairah tetapi konservatif dengan loyalitas yang mendalam terhadap Susuhunan George D. Larson, 1990: 86. Pada kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya, Soerjosoeparto mengundurkan diri sebagai ketua Boedi Oetomo. Sebagai penggantinya terpilih RMA. Woerjaningrat, seirang yang terkenal anti Belanda dari Keraton Surakarta. Woerjaningrat memegang jabatan ketua sampai 9 tahun, dengan diselingi berhenti sebentar. Woerjaningrat sangat dongkol terhadap Belanda dalam masalah penggantian pepatih-dalem lama kepada yang baru Djojonegoro. Woerjaningrat merasa lebih berhak menggantikan Sosrodiningrat, bahkan sebenarnya sudah dicalonkan oleh Sinuhun. Tetapi Belanda tidak suka dengan Woerjaningrat karena selalu menentang Belanda, sampai-sampai salah seorang gubernur Surakarta member sebutan padanya “setan jahat dari keraton”. Dengan tidak diangkatnya menjadi pepatih-dalem, Woerjaningrat semakin membenci Belanda. Pepatih- dalem keraton merupakan abdi-dalem Sinuhun. Berhubung pentingnya kedudukan commit to user 80 pepatih-dalem, pengangkatannya benar-benar dilakukan oleh Sinuhun sendiri, namun dari calon yang dipilh Belanda. Dibawah pimpinan Woerjaningrat, Boedi Oetomo menjadi lebih mantap. Pada tahun 1918 Boedi Oetomo cabang Surakarta berada digaris depan. Cabang Surakarta memiliki 315 anggota, Yogyakarta 70 anggota, Surabaya 139 anggota, Batavia 94 anggota dan weltevreden paling banyak yaitu 601 anggota, dengan keseluruhan anggota sekitar 10.000 orang. Cabang-cabangnya meningkat, yang tercatat pada tahun 1918 dari 40 menjadi 51 cabang. Ini menunjukan bahwa Boedi Oetomo bukan partai massa. Inilah sebenarnya yang kurang disukai Woerjaningrat, karena itu Weorjaningrat berupaya memperbesar basis partai. Pada tahun 1920 cabang partai meningkat menjadi 65 cabang dan 14 calon cabang, pada tahun 1921 manjadi 90 cabang R.M Karno, 1990: 192-193. Pada kongres Boedi Oetomo antara 5-7 Juli 1917 Pengurus Besar mengusulkan agar paragraf keagamaan yang bersifat netral dalam program partai digantikan dengan paragraf yang menguntungkan Islam. Tujuannya adalah untuk meluaskan keanggotaan. Sesudah Radjiman Widiodiningrat mengucapkan pidato garang, dimana ia mengemukakan pendiriannya bahwa budaya Jawa bukanlah budaya Islamis, melainkan Hinduis-Buddhis, maka versi lama dipertahankan Hans van Miert, 2003: 165-166. Pada tahun 1920 muncul muka baru di Keraton RT. Mr. Wongsonegoro, pimpinan pusat Jong Java, dan juga merupakan tangan kanan Woerjaningrat. Dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya pada tahun 1924. Dua tahun kemudian Surakarta menyusul mendirikan Studi Club ini. Keanggotaannya tidak besar, hanya beberapa politisi terkemuka diantaranya Woerjaningrat dan Dr. Rajiman Widiodiningrat. Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah Timboel, yang pro keraton Surakarta dan nasionalistis. Terbit dua bulan sekali sejak Januari 1927. Redaksinya Dr. Rajiman dan RP. Mr. Singgih. Majalah ini menerima subsidi 200 gulden tiap bulan dari kas keraton Surakarta dan dana pribadi dari Pangeran Koesoemojudo. Timboel berkampanye menyerang politik Belanda dan terus menuntut otonomi yang lebih longgar. Mr. Singgih, redaktur Timboel merupakan tokoh baru yang memperkuat suara keraton Surakarta. Ia commit to user 81 sendiri berasal dari Pasuruan, sejak belajar ilmu hukum di negeri Belanda sudah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia, suatu perkumpulan mahasiswa – mahasiswa Indonesia yang nasionalistis dan militant. Sekembalinya di Indonesia banyak diantara mereka yang menjadi pemuka gerakan nasional. Mr. Singgih juga ikut aktif di Boedi Oetomo sekretaris pertama pimpinan pusat. Dengan kembalinya Mr. Singgih ke Surakarta pada 28 April 1928, keraton Surakarta kembali akrab dengan Boedi Oetomo. Dalam pimpinan pusat Boedi Oetomo nampak duduk banyak tokoh-tokoh keraton Surakarta. RMA. Koesoemo Oetojo: ketua; RM. Woerjaningrat : wakil ketua; RP. Mr. Singgih : sekretaris pertama; M. Seodarjo : sekretaris kedua; S. Martodiharjo : sekretaris kedua; Dr. Radjiman; Widiodiningrat : komisaris; R. Mr. Soepomo : komisaris; R. Slamet : komisaris R.M Karno, 1990: 196. 3 Dukungan Terhadap Boedi Oetomo Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan berkat pendidikan Barat yang mereka peroleh, dan statusnya tidak diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama. Sebagai priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu pemerintah. Pengurus pusat Boedi Oetomo berada di Surakarta dan Yogyakarta, kecuali di tahun 1925 dan 1926. Pengurus itu didominasi oleh amtenar menengah dan tinggi yang kadang-kadang tidak bekerja pada pemerintah, melainkan pada salah satu dari keempat kerajaan itu. Hubungan dengan keluarga raja cukup kuat. Ketua tahun 1915 sampai 1916 adalah R.M.A Soerjosoeparto, yang harus melepaskan jabatannya karena di tahun 1916 ia menggantikan pamannya sebagai prangwedana, yaitu penguasa Pura Mangkunegaran Hans van Miert, 2003: 17. Peranan bangsawan Surakarta di Boedi Oetomo setelah itu diteruskan dengan keterlibatan Wuryaningrat sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Surakarta, yang dilanjutkan sebagai Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo 1916-1921 AA GN Ari Dwipayana, 2004: 93. Menurut Sanusi Pane yang dikutip oleh Purwadi, dkk 2009: 24 mengatakan bahwa “Di Solo, nama yang dapat dihubungkan dengan Boedi Oetomo, yang sangat menonjol adalah Raden Mas Arya commit to user 82 Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sri Susuhunan Paku Buwono X, Ia adalah cucu Paku Buwono IX, karena ibunya adalah putri Paku Buwono IX atau kakak Paku Buwono X. Sunan mendorong Raden Mas Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini”. Keterlibatan keraton istana Surakarta adalah yang terbesar. Beberapa putra Susuhunan Paku Buwono X adalah anggota. Putra dan calon pengganti Paku Buwono X, yaitu Pangeran Hadiwidjojo bertahun-tahun memimpin cabang Surakarta, dan antara tahun 1921-1922 sebentar menjadi ketua pengurus pusat. Salah satu pejabat tertinggi keraton, R.M.A Woerjaningrat, bahkan memimpin Boedi Oetomo sampai tiga kali, yaitu 1916-1921, 1923-1925, 1934-1935. Tokoh- tokoh penting Surakarta yang lain yang bersangkutan dengan Boedi Oetomo adalah Radjiman Wideodiningrat, dokter pribadi Sunan, dan R.M Soetatmo Soeriokoesoemo, pengawas Departemen Pekerjaan Umum. Soetatmo adalah kerabat pura Pakualaman, yang menjadi orang kepercayaaan Prangwedana. Di kalangan priyayi Solo inilah di awal abad yang muncul nasionalisme Jawa yang khas. Nasionalisme ini pertama-tama memperjuangkan renaisans budaya. Kalangan Priyayi yang mengagungkan budaya Jawa itu menyadari bahwa sedang terjadi krisis yang mendalam di tengah dunia Jawa sebagai akibat kemerosotan politik raja-raja dan priyayi Jawa. Keraton dan penghuninya yang berada dibawah kekuasaan Belanda telah menjadi contoh ketidakberdayaan politik yang menimbulkan rasa kasihan Hans van Miert, 2003: 17-18. Boedi Oetomo yang mewakili budaya afirmatif memandang Paku Buwono X sebagai personifikasi nasionalisme Jawa. Kepriyayian Boedi Oetomo dengan maksud untuk menunjukkan bahwa Boedi Oetomo setuju dengan stratifikasi zamannya dan Boedi Oetomo menjadi pengajur dari milite plicht. Jadi bukan saja afirmatif pada Sunan dan stratifikasi sosial, tetapi juga pada pemerintah Belanda Kuntowijoyo, 2004: 94-96. Pada tahun-tahun pertama keterlibatan keraton Surakarta dalam Boedi Oetomo masih agak berhati-hati, tetapi pada akhir 1921 ketika Sunan Pakubuwono X mulai mengadakan kunjungan ke daerah-daerah lain di pulau Jawa. Pada Januari 1916 Sunan mengadakan perjalanan ke Priangan dengan commit to user 83 rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah berhenti di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Paku Buwono X mengadakan kunjungan yang lama di Garut dan Tasikmalaya. Massa sangat tertarik untuk membeli air bekas dan sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat rendah maupun pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu memberi nasib baik kepada yang memilikinya M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 565-566. Pada tahun 1922, Paku Buwono X mengadakan perjalanan ke Jawa Barat dan Jawa Timur, yang menimbulkan peningkatan semangat radikalisme Boedi Oetomo, setelah itu Sinuhun berhenti melakukan perjalanan. Tetapi pada tahun 1924 Sinuhun berangkat lagi ke Malang. Gubernur Jendral Fock menyuruh residen Surakarta Nieuwenhuis menyusul dan menghubungi Paku Buwono X untuk mempersilahkan pulang. Setelah Nieuwenhuis pindah dari Surakarta, Paku Buwono X pada tahun 1927 kembali mengadakan perjalanan ke Gresik, Surabaya dan Bangkalan selama satu minggu, dengan diiringi 44 pengikut. Pada tahun 1929 selama dua minggu, Paku Buwono X pergi ke Bali dan Lombok , juga dengan 44 pengiring. Kemudian pada tahun1935 ke Bogor, Batavia dan Lampung dengan 51 pengikut. Paku Buwono X terus melakukan perjalanan sampai wafatnya pada tahun 1939 R.M Karno, 1990: 195.

C. REAKSI BELANDA TERHADAP PERAN PAKU BUWONO X