commit to user 73
dengan  kepribadian  dan  penampilan  Paku  Buwono  X  yang  diperlihatkan  selama ini.  Oleh  karena  itu  didalam  laporan-laporan  gubernur  Surakarta  dikatakan  tidak
ada  tanda-tanda  yang  mencurigakan  pada  diri  Paku  Buwono  X.  Jika  dipikir dalam-dalam,  adanya  Sarekat  Islam  sebenarnya  sangat  membantu  kedudukan
Paku Buwono X. Perhatian jutaan penduduk Jawa tertuju pada Surakarta, tertuju kepada  Paku  Buwono  X  lewat  gerakan  nasional  ini.  Keraton  Surakarta  tetap
dianggap  sebagai  pembawa  panji  gerakan  nasional  yang  mana  sangat memeprtinggi kedudukan Paku Buwono X.
Suara-suara  tentang  hubungan  Sarekat  Islam  dengan  Keraton  Surakarta akhirnya  juga  sampai  telinga  residen  Surakarta  Van  Wijk.  Karena  itu  Van  Wijk
mendesak  agar  Paku  Buwono  X  mengurangi  keterlibatannya  dengan  Sarekat Islam. Dan atas anjuran Van Wijk, Gubernur Jendral juga melarang Paku Buwono
X  mengadakan  perjalanan  keluar  Vorstenlanden,  karena  dianggap  bahwa perjalanan-perjalanan  Paku  Buwono  X  inilah  yang  membuat  gerakan  Sarekat
Islam  meluap-luap.  Sementara  itu  bersama  dengan  larangan  bagi  Sinuhun  untuk mengadakan  perjalanan  keliling,  ternyata  didalam  pimipinan  Sarekat  Islam
sendiri, timbul keretakan yang mengakibatkan agak mundurnya Keraton Surakarta dengan Sarekat  Islam. Ada insiden-insiden kecil di Surakarta. Sri Mangkunegara
yang  takut  melihat  tambah  besarnya  keanggotaan  Sarekat  Islam  yang  pro Kasunanan,  mencoba  mendirikan  Sarekat  Islam  tandingan  yang  diberi  nama
Darmo  Hatmoko.  Tetapi  Darmo  Hatmoko  ini  tidak  dapat  berkembang  karena terkenal atas sifat kekerasannya R.M Karno, 1990: 175-176.
Keterlibatan  Paku  Buwono  X  dengan  organisasi  nasional  pertama  yang ada di  Surakarta ini  merupakan suatu hal  yang sangat  besar dan dampaknya pun
dapat  dirasakan  secar  meluas  baik  di  Surakarta  sendiri  maupun  daerah-daerah disekitarnya. Figur Sinuhun masih merupakan daya tarik bagi masyarakat.
b. Boedi Oetomo
1 Latar Belakang terbentuknya Boedi Oetomo
Boedi  Oetomo  secara  resmi  didirikan  oleh  sekelompok  mahasiswa didalam  sebuah  ruangan  kelas  di  Sekolah  kedokteran  Stovia  di  Batavia  dalam
commit to user 74
bulan  Mei  1908,  dan  merupakan  organisasi  yang  pertama  di  Hindia  Belanda George D. Larson, 1990: 78. Boedi Oetomo menempati tempat tersendiri dalam
sejarah Indonesia, karena organisasi ini menandakan awal kebangkitan nasional di Nusantara.  Namun  kebangkitan  nasional  ini  pada  awalnya  bukan  kebangkitan
nasional  Indonesia  melainkan  kebangkitan  nasional  Jawa.  Jadi  pada  awalnya kebangkitan nasional ini adalah kebangkitan nasional Jawa, bahkan secara samar-
samar mengandung tujuan merestorasi kerajaan Jawa R.M Karno, 1990: 190. Di  antara  pendirinya  terdapat  orang-orang  yang  kemudian  menjadi
pimpinan-pimpinan  nasional  yang  terkenal  yaitu  Raden  Soetomo,  Tjipto Mangoenkoesoemo,  dan  saudaranya  Goenawan  Mangoenkoesoemo.  Mereka
didesak  oleh  dokter  Jawa  Wahidin  Soedirohoesoedo  yang  telah  menjelajahi berbagai kota di Jawa untuk mengajak membangkitkan bangsa Jawa. Terjemahan
nama Jawa Boedi  Oetomo  dalam bahasa Belanda dengan segera menjadi  umum, yaitu  “het  schooner  streven”,  namun  mempunyai  konotasi  yang  lebih  luas,  dan
berarti  juga  “pengertian”,  “kemampuan  memahami”,  “pembawaan”.  “Oetomo”
berarti tinggi atau luhur. Boedi Oetomo berarti  kata-kata dengan arti  yang dalam bagi priyayi Jawa, kata yang mengacu pada etika yang lebih tinggi. Ini tercermin
juga  dalam  semboyan  dan  lambang  perkumpulan  itu.  Semboyan  “Santoso Waspodo nggajoeh Oetomo
” berarti “Dengan kekuatan dan kecerdasan mencapai k
eutamaan”. Lambang yang dirancang tahun 1917 itu terdiri dari huruf-huruf B.O. singkatan  Boedi  Oetomo  yang  ditembus  oleh  anak  panah  bermakna  wahyu
Tuhan,  dan  dikelilingi  bulu  yang  menjadi  lambang  antara  lain  Masa  Lalu,  Masa Kini,  dan  Masa  Depan,  juga  lambang  perkembangan  badaniah,  rohaniah,  dan
susila. Lambang itu tergantung  pada pita panca warna: menggambarkan keuletan hitam,  keberanian  merah,  kekayaan  material  kuning,  kemakmuran  hijau,
dan kesucian putih. Boedi Oetomo adalah gerakan priyayi baru, yang mendapat kedudukan  berkat  pendidikan  Barat  yang  mereka  peroleh,  dan  statusnya  tidak
diperoleh karena mereka adalah keturunan keluarga pangreh praja lama.  Sebagai priyayi baru, mereka itu moderat, dan biasanya loyal pada pemberi nafkah, yaitu
pemerintah Hans van Miert, 2003: 17.
commit to user 75
Dr.  Wahidin  Soedirohoesodo,  seorang  pensiunan  dokter  Jawa  dari Yogyakarta,  adalah  yang  pertama  mengemukakan  gagasan  agar  berupaya
menghimpun  orang-orang  Jawa  agar  mempunyai  pandangan  ke  depan, mempunyai  tujuan  bersama  yaitu  kemajuan  rakyat  Jawa.  Gagasan  ini
meninggalkan  kesan  yang  dalam  pada  para  mahasiswa  kedokteran  Batavia,  dan gagasan  inilah  yang  akhirnya  mendorong  kepada  pembentukan  Boedi  Oetomo.
Sementara  itu  pers  juga  sedang  gencar  memuat  karangan-karangan  yang menggambarkan  perkembangan  pesat  di  Jepang  dan  Tiongkok,  dan  yang  sangat
menggemparkan  ialah  kemenangan  Jepang  atas  Rusia  1904-1905.  Sebagai organisasi  politik  yang  mempunyai  arti  sangat  penting  karena  mewakili  suatu
bangsa  yang  mengejar  kemerdekaan,  terutama  bagi  orang  Jawa,  Boedi  Oetomo tidak  boleh  tidak  harus  mencantumkan  kemerdekaan  nasional  sebagai  program
partainya.  Namun  karena  keadaan  belum  mengizinkan,  maka  keinginan diwujudkan  dalam  suatu  klausul  dalam  anggaran  dasar  yang  mengatakan  bahwa
perhimpunan  ini  akan  memperjuangkan  tingkat  hidup  yang  layak  bagi  rakyat lewat pembangunan nasional R.M Karno, 1990: 190-191.
Gubernur  Jenderal  van  Heutsz  menyambut  baik  Boedi  Oetomo  sebagai tanda  keberhasilan  poltik  Etis.  Memang  itulah  yang  dikehendakinya,  suatu
organisasi  pribumi  yang  progresif-moderat  yang  dikendalikan  oleh  para  pejabat yang  maju.  Pejabat-pejabat  Belanda  lainnya  mencurigai  Boedi  Oetomo  atau
semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah.
Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas  dengan pemerintah untuk mencurigai Boedi  Oetomo itu.
Sepanjang sejarahnya sebenarnya Boedi Oetomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi M. C Ricklefs, 1991: 227-228.
Boedi  Oetomo  pada  dasarnya    merupakan  suatu  organisasi  priyayi  Jawa. Kebanyakan priyayi Jawa melihat kebangkitan kebudayaannya dengan berdirinya
Boedi  Oetomo  pada  tahun  1908.  Aspirasi-aspirasi  dan  perwujudan-perwujudan yang  ditemukan  oleh  persatuan  ini  menggambarkan  presepsi-presepsi  priyayi.
commit to user 76
Aspirasi  utama  Boedi  Oetomo  adalah  peningkatan  keserasian  ke  dalam masyarakat Jawa Savitri Prastiti Scherer, 1985: 53.
Sampai  tahun  1917  Boedi  Oetomo  bukanlah  partai  politik.  Para  priyayi adalah  abdi  negara  kolonial  Belanda,  pelestari  tradisi  Jawa.  Berbagai  organisasi
pribumi, dengan semangat yang semakin besar memasuki kehidupan politik yang bergelora  yang  oleh  kaum  priyayi  dipersamakan  dengan  kekacauan,
pemberontakan,  dan  kemelut.  Provokasi  politik  berarti  gangguan  terhadap keseimbangan, ancaman terhadap keserasian, karenanya bertentangan dengan apa
yang  mereka  anggap  sebagai  watak  orang  Jawa.  Lebih  lagi  aksi  politik  itu biasanya  bersifat  melawan  pemerintah,  majikan  kaum  priyayi.  Tetapi  Boedi
Oetomo  yang  menghimpun  kaum  priyayi  menengah  dan  rendah  dengan bersemangat memutuskan untuk memasuki arena politik, lengkap dengan program
partainya.  Sejak  1918  nasionalisme  Jawa  seperti  yang  diangkat  oleh  Boedi Oetomo memiliki komponen politik yang kuat Hans van Miert, 2003: 24-26.
Boedi  Oetomo  pada  pokoknya  adalah  pendukung  kebudayaan  Jawa. Organisasi  ini  mendorong  dan  mengembangkan  orang  Jawa  yang  dianggap
masuk  dalam  kelompok  yang  berbahasa  Jawa,  Sunda  dan  Madura,  yang keseluruhannya  telah  melebur  ke  dalam  suatu  bentuk  kebudayaan  Jawa  menuju
kepada suatu perkembangan yang harmonis Robert van Niel, 1984: 84.
2 Pasang Surut Boedi Oetomo
Periode  akhir  abad  ke-19  dan  awal  abad  ke-20  merupakan  periode  awal pertumbuhan  modernisasi  masyarakat  bumi  putera.  Modernisasi  dalam  hal  ini
diartikan  sebagai  hasrat  untuk  mencapai  kemajuan  dengan  menunutut  pelajaran dan  pendidikan,  terutama  pendidikan  model  Barat.  Paham-paham  baru  mulai
berlaku, timbul keberanian meniggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang semakin  kuat  untuk  memperoleh  kemajuan.  Boedi  Oetomo  sebagai  suatu
pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan  yang  direfleksi  dalam  bentuk  suatu  organisasi  itu  sebenarnya  suatu
jawaban  terhadap  penetrasi  Barat  dengan  imperialisme  dan  kolonialismenya Cahyo Budi Utomo, 1995:49.
commit to user 77
Kongres Boedi Oetomo yang pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada bulan  Oktober  1908  dan  diketuai  oleh  Dr.  Wahidin  Soedirihoesodo.  Kongres
pertama  ini  diadakan  di  daerah  Vorstenlanden  karena  mendapat  dukungan  dari Pangeran  Notodiredjo  dari  keluarga  Pakualaman.  Kongres  ini  diadakan  untuk
mengesahkan  anggaran  dasar  dan  untuk  memilih  pengurus.  Kongres  ini  dihadiri oleh  kira-kira  300  orang  Jawa,  sebagian  besar  sendiri  dari  para  priyayi  yang
datang  dari  Jawa  Timur,  Jawa  Barat  dan  Jawa  Tengah.  Pembesar  yang  hadir adalah  Pangeran  Notodiredjo.  Dalam  kongres  pertama  ini  banyak  diadakan
diskusi  mengenai  pendidikan  barat  terhadap  masyarakat.  Banyak  pro  dan  kontra mengenai  hal  ini.  Dr.  Wahidin  dan  Dr.  Tjiptomangoenkoesoemo,  mereka  adalah
dokter keraton dari keraton Kasunanan Surakarta, termasuk yang kontra. Juga ikut bicara  Goenawan  Mangoenkoesoemo  dan  Dr.  Soetomo.  Usul  dari  Dr.  Tjipto
Mangoenkoesoemo  agar  Boedi  Oetomo  melangkah  keluar,  jangan  hanya membatasi  pada  pebdidikan  dan  kebudayaan  saja,  melainkan  juga  harus  terjun
dalam bidang politik, tidak diterima oleh kongres. Mungkin kongres tidak berani mengambil  resiko  jika  permohonan  mendirikan  partai  ditolak    oleh  pemerintah
Belanda R.M Karno, 1990: 191. Kongres itu menetapkan tujuan perumpulan adalah kemajuan yang selaras
harmonis  untuk  negeri  dan  bangsa,  terutama  dengan  memajukan  pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industry, kebudayaan kesenian dan
ilmu.  Sebagai  ketua  pengurus  Besar  yang  pertama  dipilih  R.T  Tirtokusumo bupati  Karanganyar  dan  Wahidin  Soedirohoesoedo  sebagai  wakil  ketuanya.
Sedang  anggota-anggota  pengurus  besar  yang  lain  adalah  para  pegawai  negeri atau  bekas  pegawai  negeri.  Pusat  perkumpulan  ditempatkan  di  Yogyakarta  A.K
Pringgodigdo, 1994: 1-2. Dari kongres itu akhirnya berhasil diambil keputusan bahwa:
1 Boedi Oetomo tidak ikut mengadakan kegiatan politik.
2 Kegiatan terutama ditujukan kepada bidang pendidikan dan kebudayaan.
Ruang  gerak  terbatas  hanya  untuk  daerah  Jawa  dan  Madura  kemudian diluaskan  melingkupi  Bali  karena  dianggap  mempunyai  kebudayaan  yang  sama
Cahyo Budi Utomo, 1995:49.
commit to user 78
Menjelang  akhir  tahun  1908  Boedi  Oetomo  telah  mempunyai  10.000 anggota  dalam  40  cabang,  tetapi  karena  kepemimipinan  Tirtokoesoemo  yang
kurang bersemarak maka organisasi ini merana hingga ia mengundurkan diri pada tahun  1911  atau  1912.  Sesudah  ia  diganti  sebagai  ketua  dalam  bulan  Agustus
1912  oleh  Pangeran  Notodirojo  maka  Boedi  Oetomo  memperlihatkan  semangat baru di Vorstenlanden, dengan segera mendirikan dua sekolah di Yogyakarta dan
sebuah di Surakarta George D. Larson, 1990: 85. Pendirian  Boedi  Oetomo  di  Surakarta  tidak  begitu  jelas  kapan  tepatnya,
tetapi  banyak  kemungkinan  hal  ini  terjadi  kira-kira  sekitar  paruh  terakhir  tahun 1908.  Kita  tahu  dengan  pasti  bahwa  sudah  ada  cabang  pada  tahun  1909  yang
dianggap luar biasa kuatnya. Akan tetapi pada tahun yang sama cabang ini tidak meneruskan  kegiatannya  sebab  tidak  bisa  setuju  dengan  policy  yang  ditetapkan
oleh  pengurus  pusat.  Penghentian  ini  hanya  bersifat  sementara,  dan  kemudian cabang Surakarta tampil sebagai salah satu cabang yang paling penting. Misalnya,
sekitar tahun 1912 kantor percetakan dari cabang Surakarta telah mengambil alih Darmo Kondo, sebuah surat kabar Melayu Jawa yang didirikan pada tahun 1904
di bawah manajemen Cina. Pada bulan November 1913 ketika Jurnal resmi Boedi Oetomo  menghentikan  publikasi  selam  dua  tahun,  maka  peranannya  dipegang
oleh Darmo Kondo George D. Larson, 1990: 85-86. Orang  besar  di  belakang  layar  kebangunan  kembali  budaya  Jawa  adalah
Prangwedana,  kepala  pura  kedua  di  Surakarta  yang  maju,  yaitu  Mankunegaran. Ketika Prangwedana masih dengan nama R.M.A Soerjosoeparto, dari tahun 1914
sampai  1915  R.M.A  Soerjosoeparto  tinggal  di  negeri  Belanda  dan  belajar  di Leiden.  Sekembalinya  di  Hindia,  bulan  Agustus  1915  ia  menjadi  ketua  Boedi
Oetomo,  Maret  1916  ia  menggantikan  pamannya,  Mangkunegoro  VI.  Akibatnya Soerjosoeparto  harus  melepaskan  jabatan-jabatan  politiknya.  Soerjosoeparto
adalah  orang  modern  dan  berpendidikan,  yang  berlainan  dengan  raja-raja  lain secara aktif ikut campur dalam pemerintahan negerinya.Semangatnya untuk tidak
hanya  di  dalam  nama  menjadi  kepala  swapraja  menyebabkannya  sering  bentrok dengan  residen-residen  Surakarta  yang  konservatif  seperti  F.P  Sollewijn  Gelpke
1914-1918  dan  A.J.W.  Harloff  1918-1922.  Sunan  Paku  Buwono  X  sebagai
commit to user 79
penguasa  kerajaan  yang  lebih  besar  di  Surakarta  sama  sekali  tidak  suka  dengan aktivitasnya.  Usaha-usaha  Sunan  untuk  mengingatkan  Prangwedana  selalu
mengakibatkan konflik Hans van Miert, 2003: 120-121. R.M.A Soerjosoeparto calon Mangkunegoro VII memainkan peran yang
sangat  menonjol  dalam  tahun-tahun  pertama  Boedi  Oetomo  cabang  Surakarta. Pada  tahun  1917  Pangeran  Hadiwidjojo,  salah  seorang  putra  Paku  Buwono  X
yang  lebih  terkenal,  menjadi  ketua  cabang,  dan  sekitar  Juni  1919  kedua  calon terpenting untuk tahta Surakarta juga telah menjadi peserta. Pangeran Hangabehi,
putra  sulung  Paku  Buwono  X,  masuk  dalam  pengurus  cabang,  sedangkan  putra kedua,  Pangeran  Koesoemojoedo,  telah  menjadi  pelindung.  Dibawah  pimpinan
dua  ketua  nasional  yang  pertama  Boedi  Oetomo  membatasi  dirinya  pada  soal sosio-kultural  dan  menjadi  relative  kurang  dikenal  karena  munculnya  organisasi
lain, terutama Sarekat  Islam yang mendapat dukungan massa.Tetapi dalam bulan September 1914 Boedi Oetomo untuk pertama kalinya mencoba memasuki dunia
politik di bawah pimpinan Dr. Radjiman, dokter Istana Kasunanan Surakarta yang memegang  kedudukan  sebagai  pejabat  ketua  dalam  bulan  Agustus  1914  sesudah
Notodirodjo mengundurkan diri karena sakit. Radjiman adalah seorang nasionalis yang  bergairah  tetapi  konservatif  dengan  loyalitas  yang  mendalam  terhadap
Susuhunan George D. Larson, 1990: 86. Pada  kongres  tanggal  8-9  Juli  1916  di  Surabaya,  Soerjosoeparto
mengundurkan  diri  sebagai  ketua  Boedi  Oetomo.  Sebagai  penggantinya  terpilih RMA. Woerjaningrat, seirang yang terkenal anti Belanda dari Keraton Surakarta.
Woerjaningrat memegang jabatan ketua sampai 9 tahun, dengan diselingi berhenti sebentar.  Woerjaningrat  sangat    dongkol  terhadap  Belanda  dalam  masalah
penggantian  pepatih-dalem  lama  kepada  yang  baru  Djojonegoro.  Woerjaningrat merasa  lebih  berhak  menggantikan  Sosrodiningrat,  bahkan  sebenarnya  sudah
dicalonkan oleh Sinuhun. Tetapi Belanda tidak suka dengan Woerjaningrat karena selalu  menentang  Belanda,  sampai-sampai  salah  seorang  gubernur  Surakarta
member  sebutan  padanya  “setan  jahat  dari  keraton”.  Dengan  tidak  diangkatnya menjadi  pepatih-dalem,  Woerjaningrat  semakin  membenci  Belanda.  Pepatih-
dalem keraton merupakan abdi-dalem Sinuhun. Berhubung pentingnya kedudukan
commit to user 80
pepatih-dalem,  pengangkatannya  benar-benar  dilakukan  oleh  Sinuhun  sendiri, namun dari calon  yang dipilh Belanda. Dibawah pimpinan  Woerjaningrat, Boedi
Oetomo menjadi lebih mantap. Pada tahun 1918 Boedi Oetomo cabang Surakarta berada  digaris  depan.  Cabang  Surakarta  memiliki  315  anggota,  Yogyakarta  70
anggota,  Surabaya  139  anggota,  Batavia  94  anggota  dan  weltevreden  paling banyak  yaitu  601  anggota,  dengan  keseluruhan  anggota    sekitar  10.000  orang.
Cabang-cabangnya meningkat,  yang tercatat pada tahun 1918 dari 40 menjadi 51 cabang.  Ini  menunjukan  bahwa  Boedi  Oetomo  bukan  partai  massa.  Inilah
sebenarnya  yang  kurang  disukai  Woerjaningrat,  karena  itu  Weorjaningrat berupaya  memperbesar  basis  partai.  Pada  tahun  1920  cabang  partai  meningkat
menjadi  65  cabang  dan  14  calon  cabang,  pada  tahun  1921  manjadi  90  cabang R.M Karno, 1990: 192-193.
Pada  kongres  Boedi  Oetomo  antara  5-7  Juli  1917  Pengurus  Besar mengusulkan agar paragraf keagamaan yang bersifat netral dalam program partai
digantikan dengan paragraf yang menguntungkan Islam. Tujuannya adalah untuk meluaskan  keanggotaan.  Sesudah  Radjiman  Widiodiningrat  mengucapkan  pidato
garang,  dimana  ia  mengemukakan  pendiriannya  bahwa  budaya  Jawa  bukanlah budaya  Islamis,  melainkan  Hinduis-Buddhis,  maka  versi  lama  dipertahankan
Hans van Miert, 2003: 165-166. Pada tahun 1920 muncul muka baru di Keraton  RT. Mr. Wongsonegoro,
pimpinan pusat Jong Java, dan juga merupakan tangan kanan Woerjaningrat. Dr. Soetomo mendirikan Indonesische Studie Club di Surabaya pada tahun 1924. Dua
tahun kemudian Surakarta menyusul mendirikan Studi Club ini. Keanggotaannya tidak besar, hanya beberapa politisi terkemuka diantaranya Woerjaningrat dan Dr.
Rajiman  Widiodiningrat.  Salah  satu  kegiatannya  adalah  menerbitkan  majalah Timboel,  yang  pro  keraton  Surakarta  dan  nasionalistis.  Terbit  dua  bulan  sekali
sejak  Januari  1927.  Redaksinya  Dr.  Rajiman  dan  RP.  Mr.  Singgih.  Majalah  ini menerima  subsidi  200  gulden  tiap  bulan  dari  kas  keraton  Surakarta  dan  dana
pribadi  dari  Pangeran  Koesoemojudo.  Timboel  berkampanye  menyerang  politik Belanda  dan  terus  menuntut  otonomi  yang  lebih  longgar.  Mr.  Singgih,  redaktur
Timboel  merupakan  tokoh  baru  yang  memperkuat  suara  keraton  Surakarta.  Ia
commit to user 81
sendiri berasal  dari Pasuruan, sejak belajar ilmu  hukum  di  negeri  Belanda sudah menjadi  anggota  Perhimpunan  Indonesia,  suatu  perkumpulan  mahasiswa
– mahasiswa  Indonesia  yang nasionalistis dan militant. Sekembalinya di  Indonesia
banyak diantara mereka yang menjadi pemuka gerakan nasional. Mr. Singgih juga ikut  aktif  di  Boedi  Oetomo  sekretaris  pertama  pimpinan  pusat.  Dengan
kembalinya  Mr.  Singgih  ke  Surakarta  pada  28  April  1928,  keraton  Surakarta kembali  akrab  dengan  Boedi  Oetomo.  Dalam  pimpinan  pusat  Boedi  Oetomo
nampak duduk banyak tokoh-tokoh  keraton  Surakarta. RMA. Koesoemo  Oetojo: ketua; RM. Woerjaningrat : wakil ketua; RP. Mr. Singgih : sekretaris pertama; M.
Seodarjo  :  sekretaris  kedua;  S.  Martodiharjo  :  sekretaris  kedua;  Dr.  Radjiman; Widiodiningrat  :  komisaris;  R.  Mr.  Soepomo  :  komisaris;  R.  Slamet  :  komisaris
R.M Karno, 1990: 196.
3 Dukungan Terhadap Boedi Oetomo
Boedi  Oetomo  adalah  gerakan  priyayi  baru,  yang  mendapat  kedudukan berkat  pendidikan  Barat  yang  mereka  peroleh,  dan  statusnya  tidak  diperoleh
karena  mereka  adalah  keturunan  keluarga  pangreh  praja  lama.  Sebagai  priyayi baru,  mereka  itu  moderat,  dan  biasanya  loyal  pada  pemberi  nafkah,  yaitu
pemerintah.  Pengurus  pusat  Boedi  Oetomo  berada  di  Surakarta  dan  Yogyakarta, kecuali di tahun 1925 dan 1926. Pengurus itu didominasi oleh amtenar menengah
dan  tinggi  yang  kadang-kadang  tidak  bekerja  pada  pemerintah,  melainkan  pada salah satu dari keempat kerajaan itu. Hubungan dengan keluarga raja cukup kuat.
Ketua  tahun  1915  sampai  1916  adalah  R.M.A  Soerjosoeparto,  yang  harus melepaskan jabatannya karena di tahun 1916 ia menggantikan pamannya sebagai
prangwedana, yaitu penguasa Pura Mangkunegaran Hans van Miert, 2003: 17. Peranan  bangsawan  Surakarta  di  Boedi  Oetomo  setelah  itu  diteruskan
dengan keterlibatan Wuryaningrat sebagai ketua Boedi Oetomo cabang Surakarta, yang dilanjutkan sebagai Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo 1916-1921 AA
GN Ari Dwipayana, 2004: 93. Menurut Sanusi Pane yang dikutip oleh Purwadi, dkk  2009:
24  mengatakan  bahwa  “Di  Solo,  nama  yang  dapat  dihubungkan dengan  Boedi  Oetomo,  yang  sangat  menonjol  adalah  Raden  Mas  Arya
commit to user 82
Wuryaningrat, seorang bupati nayaka yang menjadi menantu Sri Susuhunan Paku Buwono  X,  Ia  adalah  cucu  Paku  Buwono  IX,  karena  ibunya  adalah  putri  Paku
Buwono  IX  atau  kakak  Paku  Buwono  X.  Sunan  mendorong  Raden  Mas  Arya Wuryaningrat untuk melakukan pergerakan melalui organisasi ini”.
Keterlibatan  keraton  istana  Surakarta  adalah  yang  terbesar.  Beberapa putra Susuhunan Paku Buwono X adalah anggota. Putra dan calon pengganti Paku
Buwono  X,  yaitu  Pangeran  Hadiwidjojo  bertahun-tahun  memimpin  cabang Surakarta,  dan  antara  tahun  1921-1922  sebentar  menjadi  ketua  pengurus  pusat.
Salah  satu  pejabat  tertinggi  keraton,  R.M.A  Woerjaningrat,  bahkan  memimpin Boedi Oetomo sampai tiga kali, yaitu 1916-1921, 1923-1925, 1934-1935. Tokoh-
tokoh  penting  Surakarta  yang  lain  yang  bersangkutan  dengan  Boedi  Oetomo adalah  Radjiman  Wideodiningrat,  dokter  pribadi  Sunan,  dan  R.M  Soetatmo
Soeriokoesoemo,  pengawas  Departemen  Pekerjaan  Umum.  Soetatmo  adalah kerabat  pura  Pakualaman,  yang  menjadi  orang  kepercayaaan  Prangwedana.    Di
kalangan  priyayi  Solo  inilah  di  awal  abad  yang  muncul  nasionalisme  Jawa  yang khas.  Nasionalisme  ini  pertama-tama  memperjuangkan  renaisans  budaya.
Kalangan Priyayi yang mengagungkan budaya Jawa itu menyadari bahwa sedang terjadi  krisis  yang  mendalam  di  tengah  dunia  Jawa  sebagai  akibat  kemerosotan
politik raja-raja dan priyayi Jawa. Keraton dan penghuninya yang berada dibawah kekuasaan  Belanda  telah  menjadi  contoh  ketidakberdayaan  politik  yang
menimbulkan rasa kasihan Hans van Miert, 2003: 17-18. Boedi Oetomo yang mewakili budaya afirmatif memandang Paku Buwono
X  sebagai  personifikasi  nasionalisme  Jawa.  Kepriyayian  Boedi  Oetomo  dengan maksud  untuk  menunjukkan  bahwa  Boedi  Oetomo  setuju  dengan  stratifikasi
zamannya dan Boedi Oetomo menjadi pengajur dari milite plicht. Jadi bukan saja afirmatif pada Sunan dan stratifikasi  sosial,  tetapi  juga pada pemerintah  Belanda
Kuntowijoyo, 2004: 94-96. Pada  tahun-tahun  pertama  keterlibatan  keraton  Surakarta  dalam  Boedi
Oetomo  masih  agak  berhati-hati,  tetapi  pada  akhir  1921  ketika  Sunan Pakubuwono  X  mulai  mengadakan  kunjungan  ke  daerah-daerah  lain  di  pulau
Jawa.  Pada  Januari  1916  Sunan  mengadakan  perjalanan  ke  Priangan  dengan
commit to user 83
rombongan 52 orang dan pelayan istana telah menimbulkan kegemparan. Sesudah berhenti  di  Semarang,  Pekalongan,  dan  Cirebon,  Paku  Buwono  X  mengadakan
kunjungan  yang  lama  di  Garut  dan  Tasikmalaya.  Massa  sangat  tertarik  untuk membeli air bekas dan sisa makanan yang dijual oleh anggota rombongan tingkat
rendah maupun pegawai hotel. Makanan dan air ini sangat dicari karena dianggap mengandung  kekuatan  magis  yang  mampu  memberi  nasib  baik  kepada  yang
memilikinya M. Hari Mulyadi, dkk 1999 : 565-566. Pada tahun 1922, Paku Buwono X mengadakan perjalanan ke Jawa Barat
dan  Jawa  Timur,  yang  menimbulkan  peningkatan  semangat  radikalisme  Boedi Oetomo,  setelah  itu  Sinuhun  berhenti  melakukan  perjalanan.  Tetapi  pada  tahun
1924  Sinuhun  berangkat  lagi  ke  Malang.  Gubernur  Jendral  Fock  menyuruh residen  Surakarta  Nieuwenhuis  menyusul  dan  menghubungi  Paku  Buwono  X
untuk mempersilahkan pulang. Setelah Nieuwenhuis pindah dari Surakarta, Paku Buwono X pada tahun 1927 kembali mengadakan perjalanan ke Gresik, Surabaya
dan Bangkalan selama satu minggu, dengan diiringi 44 pengikut. Pada tahun 1929 selama dua minggu, Paku Buwono X pergi ke Bali dan Lombok , juga dengan 44
pengiring. Kemudian pada tahun1935 ke Bogor, Batavia dan Lampung dengan 51 pengikut.  Paku  Buwono  X  terus  melakukan  perjalanan  sampai  wafatnya  pada
tahun 1939 R.M Karno, 1990: 195.
C. REAKSI BELANDA TERHADAP PERAN PAKU BUWONO X