commit to user 45
eyang dalem Kusumoyudo ke-II, yang dimakamkan di Lawean, Kyai Surosemito dan Ngabehi Reksoniti. Jika ayahanda Paku Buwono IX, digambarkan sebagai
Prabu Bolodewo, sakti mendoroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin,
wicaksono narendrotomo sang Jayeng Katon R.M Karno, 1990: 42.
b. Kepribadian
Banyak anggapan yang menilai Sunan Paku Buwono X adalah seorang raja yang hanya berkuasa dalam lingkup keraton. Sekalipun menjadi raja,
berkuasa di keraton dan dan di wilayahnya, tetapi Paku Buwono X bukan orang yang merdeka sepenuhnya. Raja dipandang begitu tinggi oleh rakyatnya, namun
Paku Buwono X tidak pernah menjadi orang bebas. Sunan terikat bermacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja perlu ijin residen. Ia
adalah “tawanan” di keratonnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian beliau mengembangkan lebih banyak politik simbolis daripada politik substantif
Kuntowijoyo, 2004: 19. Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif sukar dipahami,
membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya yang panjang
1893-1939. Beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang Sunan. Seperti yang diperlihatkan dalam uraian Residen G.F van Wijk 1909-1914
dalam George D. Larson 1990: 43-44 yang menilai Sunan Paku Buwono X: Raja ini menurut dan mempunyai perangai yang sangat lemah. Ia ingin
melakukan hal yang tepat tetapi tidak berani menonjolkan dirinya karena takut akan konflik dengan anggota keluarganya atau dengan pegawai
tinggi istananya. Ia sangat sombong dan memberi kesan sebagai seorang anak manja. Kesalahan besar dimulai ketika ia dijadikan putra mahkota
pada usia tiga tahun; sejak itu tak seorang yang berani menolak sesuatu yang diinginkannya; ia tak pernah menghayati dunia dalam keadaan yang
sebenarnya; selalu dikelilingi kelompok pengikut yang besar yang hanya mengeluarkan kata-kata sanjungan dari mulut mereka, semuanya disajikan
kepadanya secara palsu, dan ia telah menjadi seorang raja yang lemah dan bersifat kewanitaan. Ayahnya menganggap tidak perlu memberi asuhan
yang patut kepadanya; ia hanya belajar menulis aksara Jawa dan melayu; berhitung ia tak tau sama sekali. Saya menyadari hal ini untuk pertama
commit to user 46
kali ketika pernah bersama-sama dengan saya ia mau mengetahui berapa banyak tombak yang dilaluinya dalam satu jam dengan mobilnya; dari
pandangan mata pangeran yang cemas saya sudah bisa melihat betapa tinggi mereka memandangnya dalam hal ini; dan tak ada yang dihitungnya
dengan benar. Ketika ia masih pangeran mahkota ia belajar berbahasa Belanda sedikit secara diam-diam, ayahnya melarangnya tetapi hasilnya
amat kurang. Perhatian satu-
satunya adalah „perempuan‟, dan keadaan ini agaknya akan tetap begitu… Tak perlu dikatakan bahwa tak banyak yang
akan dihasilkan oleh seorang yang berperangai lemah dan dibesarkan dalam lingkungan seperti itu serta mempunyai hiburan demikian. Supaya
sehat ia berhenti minum minuman keras dan tidak merokok sejak
lama…Salah satu sifat yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan; ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang. Ia
juga sopan dan suka melayani; salah satu kekurangannya adalah bahwa ia
tak mengenal nilai uang…Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi; sejak awal dari masa jabatanku saya selalu
secara pribadi merundingkan urusan-urusan penting dengan beliau. Akan tetapi ia tak pernah berani mengambil keputusan sendiri karena ia takut
terhadap kelompok yang mengelilinginya, terutama terhadap wazir.
Paku Buwono X merupakan suatu sosok kekuasaan “Jawa” yang tak tampak disekelilingnya setiap hari dibangun wibawa. Namun ada desas-desus
bahwa raja diam-diam memiliki kesenangan tambahan dari medali-medalinya, suatu kesenangan yang melebihi kesenangan normal yang diperoleh dari memiliki
dari sedemikian banyak medali itu. Setelah tugas-tugas hari itu selesai dan dibagian dalam keratonnya, Pakubuwono X dikatakan sering memerintahkan abdi
dalem keraton untuk menyematkan jajaran medali-medali kehormatan dipunggungnya, Raja kemudian duduk megah, tersenyum-senyum sendiri.
Beberapa abdi dalem mengatakan bahwa ini adalah tindakan protes terhadap campur tangan Belanda dalam urusan-urusan keraton, yang lain mengatakan
bahwa walau Pakubuwono X dianugerahi tubuh yang sedemikian besar, namun Raja masih kekurangan tempat untuk memasang semua kehormatan yang
dipersembahkan kepadanya. Apapun kebenarannya, desas-desus itu manunjukkan adanya status yang terlalu berlebihan dari wibawa para Pakubuwono abad-20, dan
terutama adanya suatu dunia tersembunyi yang terletak dibalik penampilan- penampilan keagungan seremonial keraton. Pakubuwono X lebih merupakan
serang eksentrik dalam ruang tertutup, yang kosmos pribadinya membatasi dirinya
commit to user 47
sementara kosmos itu sendiri juga terbatas, sebagaimana ditunjukkan oleh kisah medali-medali kehormatan itu John Pemberton, 2003: 166-167.
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagai seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda
dan pemerintah Hindia-Belanda. Hal itu terbukti dari kebiasaannya memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan kegemarannya menggunakan
pakaian resmi George D. Larson, 1990: 44. Meskipun ia tidak banyak memiliki pengetahuan teknis atau minat terhadap soal keuangan dan administrasi
kerajaannya, tetapi ia sangat menaruh perhatian terhadap dua hal yaitu upacara da politik. Hal ini terlihat dari peranan Susuhunan paku Buwono X yang selalu
memberikan bantuan moril dan keuangan kepada Sarekat Islam Suarakarta. Pada dasarnya Sri Susuhunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang
patut ditiru, antara lain: 1.
Kepribadian yang kuat, dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat. Jika menghadapi orang yang bertentangan dengan pendirian
sendiri tidak dihadapi secara keras, seolah-olah mengadu kekuatan, melainkan dihadapi dengan sikap yang lentur walaupun tanpa mengubah
pendirian diri sendiri. 2.
Kemampuan menganalisa yang tajam, hingga dapat menyadari apa yang sungguh penting bagi masa depan.
3. Perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, lebih suka
membuat orang lain senang, hingga member kesan yang keliru bahwa beliau seolah-olah tidak memiliki keberanian.
4. Keterbukaan terhadap hal-hal yang baru yang bermanfaat bagi rakyat dan
negaranya. 5.
Rasa keadilan yang tinggi. R.M Karno, 1990: 42 Sri Susuhunan Paku Buwono X yang setelah wafat berganti nama menjadi
Minulyo soho Wicaksono. Hasil karyanya berupa: a.
Pemugaran dan pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat. b.
Pemugaran listrik di keraton dan di tempat-tempat yang penting.
commit to user 48
c. Pembangunan Taman Sriwedari, Museum Radyapustaka, Stadion
Sriwedari, pemancar radio, S.R.I d.
Membangun pasar-pasar pasar Gedhe Harjonagoro, sekolah-sekolah, masjid-masjid, jembatan-jembatan besar, tanggul dan irigasi.
e. Macam-macam
pembangunan lainnya
dibidang pertanian,
pendidikan,sosial budaya. f.
Dibidang Pendidikan g.
Dibidang politik h.
Dalam Bidang Ekonomi Sinuhun memerintahkan untuk mendirikan sebuah bank yang diberi nama
“Bondo Lumakso” yang secara harfiah barati “harta berjalan atau bergerak”. Sinuhun juga mendirikan sebuah pabrik gula di Delanggu dan
sebuah pabrik serat nanas di Karanggeneng yang masing-masing dipimpin oleh seorang Belanda. Selain itu juga didirikan pabrik teh beserta
kebunnya di Ampel, dibawah pimpinan R.M Sayogo Brotodjojo yang telah disekolahkan pada Cultuur School di Deventer, Belanda. Dan juga
diadakan pula penanaman tembakau untuk pembuatan cerutu dibawah pimpinan seorang Belanda.
i. Dalam Bidang Sosial
Secara rutin setiap hari kamis malam, Sinuhun beserta pengikutnya mengadakan perjalanan keliling Solo, semula dengan naik kereta,
kemudian dengan naik mobil untuk mencari angin sambil menyebar mata uang sen, gobang dan sebagainya kepada rakyat yang berkerumun
dipinggir jalan melihat rajanya berlalu dengan pelan-pelan. Orang-orang miskin dan para pengemis tidak dilupakan oleh Sinuhun. Mereka
dibuatkan sebuah rumah besar oleh Sinuhun yang diberi nama “Wangkoeng” disebelah barat Lawean. Di rumah itu mereka mendapatkan
pendidikan ketrampilan dalam membuat peralatan rumah tangga R.M Karno, 1990: 46-49.
Anggapan orang bahwa keraton adalah tempat untuk makan enak dan berfoya-foya saja, atau putra raja makan enak dan berfoya-foya saja adalah salah.
commit to user 49
Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan tempat untuk mendidik dan menggembleng para putra, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni
keraton diwajibkan tekun menuntut ilmu termasuk ilmu kebatinan, belajar topo broto, sesirik dan segala ilmu kejawen lainnya termasuk menekuni segala
kesenian, agama dan lainnya. Sri Susuhunan Paku Buwono X dalam hidupnya sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya tetap sama tidak pernah
berubah ajeg, sangat disiplin dan memiliki rasa tanggungjawab besar, selalu bersikap keras terhadap putra-putrinya akan tetapi penuh kasih sayang. R.M
Karno, 1990: 97. Orang-orang Surakarta dewasa ini mengenang Pakubuwono X bertahta
1893-1939 sebagai Paku Buwono yang terbesar. Penilaian ini sebagian adalah karena Paku Buwono X satu-satunya Paku Buwono yang berasal dari zaman
penjajahan yang masih diingat oleh orang-orang tua Surakarta sekarang ini, termasuk orang-orang yang dulu mengabdi di keratonnya yang sibuk dengan
segala macam upacara. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki kewibawaan sejati seorang raja. Dengan demikian, Paku Buwono
yang “sejati” yang terakhir dan karena itu, dari perspektif orang Surakarta, raja Jawa sejati yang terakhir. Lamanya bertahta menyebabkan Paku Buwono
mengalami masa perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari John Pemberton, 2003: 155.
Paku Buwono X hidup dalam sampai usia tujuh puluh dua tahun, walau menjelang usia tiga puluh tiga pada tahun 1899 kesehatannya dinilai kurang
karena suka minum-minum. Namun sampai lama Paku Buwono X dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, semakin terlihat wibawanya sebagai raja dimata
beberapa generasi rakyat Surakarta yang menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin menonjolkan wibawanya yang besar itu adalah
kebesaran tubuh Kanjeng Sunan ini. Sebuah tubuh yang menggelembung yang semakin tahun semakin membesar seakan-akan untuk memberi tempat medali-
medali kehormatan dari luar negeri yang semakin bertambah jumlahnya. Pakubuwono X hidup seakan-akan sebagai perwujudan puncak sejarah
Pakubuwanan, tetapi dia melakukan itu sebagai suatu peringatan besar bahwa
commit to user 50
sebuah transformasi besar sedang berlangsung , bahwa dunia sedang akan berlalu John Pemberton, 2003: 156-157.
Paku Buwono sangat mementingkan simbol-simbol budaya. Kalau Paku Buwono X sungguh-sungguh menjalankan kerajaaannya, maka ia akan dituduh
berusaha jadi kaisar Jawa atau terpengaruh cita-cita Pan-Islamisme bersimpati pada Sarekat Islam Kuntowijoyo, 2004: 21. Dengan sifat beliau yang bijaksana
serta berbagai hasil karya dan perannnya dalam berbagai bidang, terutam dalam bidang pendidikan dan politik inilah yang nantinya membawa Sunan dalam peran
yang sangat besar yaitu dalam usahanya membangun kehidupan politik di Surakarta dan perjalanan Pergerakan Kebangsaan di Surakarta pada abad ke-20.
4. Membangun Landasan Kehidupan Politik