commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Paku Buwono II 1725-1749 pada tahun 1746, setelah keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran
akibat perang perebutan tahta Ari Dwipayana, 2004: 26. Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi perang-perang antara Mataran dengan
VOC belum selesai sampai Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku Buwono III yang memerintah selama enam tahun sebagai raja Mataram 1749-
1755 dan 33 tahun sebagai raja Surakarta 1755-1788. Peperangan antara Mataram dan VOC berlanjut pada masa pemerintahan
Paku Buwono III dari tahun 1746 sampai 1755. Perang yang berlangsung selama sembilan tahun 1746-1755 itu dapat diatasi dengan tercapainya Perjanjian
Gianti. Sesuai dengan ketentuan Perjanjian Gianti 1755, Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwono III dan Kompeni Belanda. Sebelum perjanjian itu
dilangsungkan, Paku Buwono III telah diminta oleh Gubjen Jacob Mossel untuk menyerahkan separo daerah kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi, dan
Sunan tidak dapat menolak permintaan itu. Bagi Sunan isi perjanjian itu merupakan tamparan yang sangat berat, karena tanah yang harus dilepaskan
meliputi negara, negaragung, dan mancanegara. Dari peristiwa Palihan Nagari pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, selain Pangeran Mangkubumi,
Kompeni Belanda juga memperoleh keuntungan besar, karena berakhirnya perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun 1746-1755 itu dapat mengurangi
beban kompeni, yang pada waktu itu berada dalam keadaan mundur. Selain itu, terbaginya kerajaan Mataram menjadi dua memudahkan kompeni untuk dapat
menguasai kedua kerajaan itu. Daerah-daerah yang diterima oleh Sultan berdasarkan Perjanjian Gianti adalah milik Kompeni Belanda yang dipinjamkan
commit to user 2
dengan hak mewariskan kepada putera-puteranya yang sah Darsiti Soeratman, 2000: 27-29.
Periode 1755-1800 atau tepatnya setelah perjanjian Gianti ditandai dengan kemakmuran ekonomi dan politik. Istana-istana Surakarta mendapatkan lebih
banyak kebebasan dan kemerdekaan ketika kekuasaan VOC meredup. Kedua istana mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.
Penduduk Jawa tumbuh dengan cepat seiring dengan tidak adanya kegagalan panen dan wabah-wabah penyakit, dan meningkatnya produksi pangan. Akan
tetapi setelah tahun 1800, pasang pun surut. Sederetan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan menyebabkan meletusnya Perang Jawa. Faktor-faktor yang
memicu pecahnya Perang Jawa dapat diringkas dalam dua hal pokok. Pertama, sejak tahun1800 dan seterusnya, ada masalah dimana sebuah kekuatan kolonial
yang agresif berusaha menancapkan hegemoninya di Jawa. Pada tahun 1808 Letnan Gubernur Jenderal H.W. Deandels memberlakukan peraturan-peraturan
mengenai tata etiket perilaku, sesuatu yang sangat menghina bagi orang-orang Jawa. Etiket itu menyatakan bahwa pada saat sedang berada didalam istana-istana
itu para residen Eropa tidak lagi harus menunjukkan bahwa mereka lebih rendah dari para penguasa Jawa dalam protokol.
Pada tahun 1811 kompensasi moneter atas pesisir utara yang telah dianeksasi yaitu apa yang disebut dengan strandgelden atau uang pesisir tidak
lagi diberlakukan. Setahun kemudian, atas perintah dari T.S. Raffles, G.A.G.Ph. van der Capellen melarang para bangsawan Jawa menyewakan tanah-tanah
mereka kepada orang-orang Eropa pengusaha pertanian. Para bangsawan ini mau tidak mau harus mencari sumber-sumber penghasilan pengganti yang jumlahnya
luar biasa besar, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran finansial mereka. Pada tahun 1825 sekali lagi sebagian wilayah direbut dari tangan kedua kerajaan
tersebut, kali ini dengan cara menyerobot sejumlah daerah kantong yang terletak di dalam karesidenan-karesidenan pesisir utara, sebagai imbalan atas kompensasi
finansial. Maka tak heran bila istana itu tersinggung oleh perilaku agresif orang- orang Eropa. Surakarta, dalam usahanya mengambil sikap yang lebih kooperatif
dengan orang-orang Eropa, berupaya untuk mengadu domba Yogya dengan
commit to user 3
orang-orang Eropa demi mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Yogya menanggapinya dengan mengambil sikap yang tegas Vincent J.H. Houben, 2002:
18-20. Faktor kedua yang menyebabkan Perang Jawa meliputi pertentangan
politik di dalam Istana Yogyakarta itu sendiri. Pertentangan-pertentangan pribadi di antara para pengampu Sultan Hamengku Buwana V yang masih kecil itu mulai
terlihat setelah tahun 1822. Kelompok pertama dibentuk oleh Ratu Ibu ibunda Hamengku Buwana IV dan Ratu Kencana ibunda Hamengku Buwana V yang
berada di bawah pengaruh Patih Danureja IV. Pihak oposisi terdiri dari Diponegoro putra tertua Hamengku Buwana III dan pamannya, Pangeran
Mangkubumi Vincent J.H. Houben, 2002: 22. Puncaknya pada bulan Mei 1825 di sebuah jalan baru yang akan dibangun
di dekat Tegalreja, terjadi suatu bentrokan antara para pengikut Diponegoro dengan para pengikut musuhnya, Patih Danureja IV 1813-1847, terjadi ketika
patok-patok untuk jalan raya tersebut dipancangkan. Sesudah itu berlangsung suatu masa ketegangan. Pada tanggal 20 Juli pihak Belanda mengirim serdadu-
serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Segera meletus pertempuran terbuka, Tegalreja direbut dan dibakar, tetapi Diponegoro berhasil
meloloskan diri dan mencanangkan panji pemberontakan dengan meletusnya perang Jawa hingga tahun 1830 yang pada membawa Diponegoro pada titik
kekalahan dan harus menandatangani perundingan-perundingan serta diasingkan oleh pihak Belanda.
Perang Jawa tersebut merupakan perlawanan kelompok elite bangsawan Jawa. Perlawanan ini merupakan suatu gerakan konservatif, suatu usaha yang sia-
sia untuk kembali lagi kepada keadaan-keadaan sebelum meningkatnya kekuatan kolonial yang telah muncul sejak tahun 1808. Luasnya gerakan protes sosial yang
mendukung langkah perang tersebut nyata-nyata dan, dengan menoleh kebelakang, menunjukkan betapa mendalamnya revolusi penjajahan itu sudah
merobek-robek masyarakat Jawa,dan dalam hal ini Perang Jawa seakan-akan membayangi gerakan anti penjajahan dari abad ke-20 M. C Ricklefs, 1991: 178-
181.
commit to user 4
Setelah berakhirnya Perang Jawa, Belanda semakin memikirkan berbagai rencana untuk Jawa untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yaitu dengan
cultuurstelsel sistem pananaman yang membuat rakyat semakin sengsara dan semakin menyudutkan kerajaan-kerajaan di Jawa. Raja-raja baik di Surakarta
maupun Yogyakarta terbelenggu dengan kebijakan-kebijakan Belanda yang menyudutkan pemerintahannya. Periode pasca-1830, ditemukan dalam ekspresi-
ekspresi protes sosial di Surakarta pada masa itu. Baik pusat di istana-istana itu sendiri maupun pinggiran daerah-daerah di sekitar istana atau disebut dengan
gerakan peripheral dan gerakan semiperiferal. Gerakan periferal mengacu pada ekspresi-ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada yang muncul tepat di luar
lingkungan pusat-pusat kota keraton dan yang tidak memiliki hubungan yang terang-terangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam dan sekitar istana.
Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan perlawanan-perlwanan sosial tersebut. Salah satunya adalah pada masa Paku Buwono IX. Surakarta pada
saat itu diperintah oleh Sunan Paku Buwono IX 1861-1893. Paku Buwana IX 1861-1893, memiliki kepribadian yang sangat berbeda daripada kedua raja
sebelumnya. Pada awal pemerintahanya, Sunan ini terdapat dua macam gagasan mengenai usaha agar keamanan di daerah Surakarta tercapai. Pertama, berupa usul
agar kepolisian diletakkan langsung di bawah residen dengan cara mengangkat kontrolir kelas 1 disertai hak mengadili perkara kecil. Kedua, pendapat yang
menyatakan kurang setuju dengan soal pengambilan hak-hak Sunan, karena hal ini akan menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan. Sebab itu perlu diadakan
asisten residen dengan tugas mengusahakan agar para pengusaha asing mendapatkan sesuatu sesuai haknya dan disamping itu juga merintangi para
pengusaha asing itu dalam hal mengadili kawula Sunan yang tinggal dan bekerja di daerah yang disewa. Pada 1866 Sasradiningrat Seda Jabung diberhentikan dan
diberi pensiun karena dinilai tidak dapat menyelenggarakan keamanan. Pada sekitar 1860-an banyak terjadi perampokan, disamping itu juga muncul gerakan
lain. Pengganti Sasradiningrat, R.Ad. Sasranagara 1866-1887, memangku jabatan selama 21 tahun. Pada awal pemerintahannya 1867 di Kasunanan terjadi
sembilan kali perampokan dan sekali di daerah Mangkunegaran. Pada periode
commit to user 5
pemerintahan patih ini diadakan jabatan asisten residen. Rencana pemerintah untuk mengangkat asisten residen diluar ibukota mulai dilancarkan pada 1872,
tetapi ditolak oleh Sunan. Raja ini bermaksud akan memperluas korps polisi pribumi sebagai upaya untuk merintangi campur tangan pemerintah terhadap
urusan intern kerajaan. Namun, karena dana yang dimilikinya sangat terbatas, maka gagasan itu tidak dapat direaliasikan. Akibatnya, Sunan terpaksa membuka
perundingan dengan residen. Perundingan yang berlangsung selama dua tahun itu sering mengalami kemacetan, karena adanya perbedaan paham anatara kedua
pihak Darsiti Soeratman, 2000: 45-46. Usaha-usaha itu tidak menyusutkan berbagai kerusuhan-kerusuhan sosial
yang terjadi di Surakarta. Isu-isu tentang kecu atau perampok yang memiliki tujuan-tujuan yang sifatnya lebih duniawi lebih menggambarkan sebuah kategori
kejahatan ketimbang sebuah pemberontakan. Menjelang akhir tahun 1860-an masalah kecu telah menarik perhatian pemerintah, bahkan perhatian parlemen
Belanda, yang berarti bahwa sejak saat itu jumlah laporan yang masuk pun meningkat. Antara bulan Februari dan Agustus 1867 terjadi kejahatan-kejahatan
regular di daerah Solo. Pada bulan Maret 1868 seorang janda Eropa yang mengelola sebuah rumah gadai dirampok. Dua bulan kemudian ada dua kejahatan
lagi, satu di antaranya terjadi di sebuah perkebunan sewa di desa Kartasura. Totalnya, pada tahun 1867 terjadi sepuluh kejahatan, pada tahun 1868 dua belas
kejahatan, sebelas kejahatan pada tahun 1869 dan pada tahun 1870 ada tujuh insiden kecu yang terdaftar. Selain itu juga ada gerakan semiferiferal yaitu
ekspresi perlawanan terhadap tatanan yang ada, yang bermula di daerah-daerah perbatasan atau yang untuk pertama kalinya diketahui terjadi disana, tetapi
dibenarkan ataupun tidak diduga memiliki kaitan-kaitan dengan keraton Vincent J.H. Houben, 2002: 440-444.
Gerakan ini mendapat tekanan yang tidak ada habisnya dari pihak Belanda, Gerakan-gerakan ini juga yang pada akhirnya membawa kemrosotan
Ekonomi di Surakarta. Selain itu sejak masa Paku Buwono VII, di Surakarta terjadi sistem penyewaan tanah dari para penguasa Jawa dan aristrokrat Jawa yang
menyewakan tanahnya kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Cina.
commit to user 6
Permasalahan-permasalahan ini masih tetap belanjut sampai pada masa akhir kekuasaan Paku Buwono IX, dan penggantinya yaitu Paku Buwono X yang hanya
berkuasa di lingkup keraton, dan nantinya pada awa abad ke-20 dia berperan besar terhadap usahanya melawan Belanda dalam masa Pergerakan Nasional.
Pada awal abad ke-20 Surakarta dan Yogyakarta dijadikan sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903. Vorstenlanden
merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan pemerintahannya dibagi dalam dua keresidenan. Tetapi wilayah ini mempunyai status yang khusus,
walaupun agak mendua, sebab dua keresidenan ini terdiri dari dua kerajaan swapraja yang nominal. Kerajaan semi-otonom ini adalah suatu proses
penguasaan dari imperium Mataram yang pernah berkuasa pada abad ke-17 dan awal abad ke-18 George D. Larson, 1990: 1.
Timbulnya dinamika politik lokal di Surakarta tidak bisa dilepaskan dari peranan Keraton Surakarta, Khususnya pada masa Sunan Paku Buwono X.
Namun perjuangan kemerdekaan bukanlah peristiwa sesaat yang tidak terkait dengan peristiwa sebelumnya. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, pemerintah
Hindia-Belanda tentu sangat memperhitungkan kekuatan politik keraton di mata rakyat.
Menurut Soemarsaid Moertono yang dikutip oleh Purwadi, dkk 2009: 1- 2 mengatakan “Keraton Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono X
pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar tehadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena raja memiliki
kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan di anggap sebaga
i „wakil Tuhan‟ di muka bumi”. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan
keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa. Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah
tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah pribadi yang penuh nilai keteladanan, kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa
karena masa pengabdiannya yang cukup panjang yakni 46 tahun. Salah satu sifat Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan, ia selalu mau
commit to user 7
membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani, salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan
tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang keadaan keuangannya. Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga raja Belanda dan
pemerintah Hindia-Belanda George D. Larson, 1990: 44. Menjelang pergantian abad ke-20 di negeri Belanda terjadi perubahan
politik terhadap Indonesia yaitu menjadi politik etis berdasarkan pikiran bahwa negara Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia. Sebagai perlunasan
hutang itu Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Paku Buwono X dapat melihat perubahan dan perkembangan-perkembangan baru itu dan juga
sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Oleh sebab itu di kampung dan desa didalam wilayah Kasunanan Surakarta didirikan sekolah-sekolah rakyat dan bagi
para sentana didirikan sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandesche School Sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda. Selain
mendirikan sekolah-sekolah umum, Sunan juga mendirikan sekolah khusus untuk mempelajari agama Islam yang dikalangan rakyat dikenal dengan nama
“Mamba‟ul Ulum”. R.M Karno, 1990: 45-46. Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan sosial politik yang sangat besar di
seluruh dunia, tidak terkecuali bangsa Indonesia yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan swasta dan organisasi-organiasasi, seperti Budi
Oetomo dan Syarikat Islam yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional. Perjuangan Budi Oetomo dan Sarekat Islam ini mendapat apresiasi yang cukup
besar dari Sunan Paku Buwono X. Para pangeran dan bangsawan keraton didorong untuk membantu gerakan politik, pendidikan dan kebudayaan modern.
Paku buwono X secara terbuka dan diam-diam memberi sokongan kepada perkumpulan-perkumpulan politik itu. Contoh pemberian dukungan secara
terbuka terjadi pada kongres Syarikat Islam tahun 1913 yang diselenggarakan di
commit to user 8
Taman Sriwedhari atas restu Sunan. Dengan perlindungan ini, SI aman dari pencekalan oleh pihak Belanda. Di sebelah utara pasar Singosaren didirikan
sebuah gedung pertemauan Habi Praya yang dapat digunakan untuk mengadakan rapat-rapat atau pertemuan oleh masyarakat Solo Purwadi, dkk , 2009: 20.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi
yang berjudul
“PERAN PAKU BUWONO X DALAM PERGERAKAN NASIONAL
’’.
B. Rumusan Masalah