Makna Simbolis Pariwisata Tinjauan Pustaka

benda materi yang memiliki fungsi yang ditimbulkan oleh akibat penggunaan, dan secara singkat tanpa adanya penggunaan maka fungsi dari materi tersebut tidak akan muncul.

1.2.4 Makna Simbolis

Makna simbolis atau interpretasi simbolik yang terdapat pada Lage Hambian akan dilihat dalam konsep yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Secara khusus Geertz 1973:216 mengatakan proses interpretasi atas simbol yang muncul dalam kegiatan manusia sebagai proses interprestasi simbol dimana bentuk yang tersimpan atau tersembunyi namun memiliki informasi penting yang dapat memberikan penjelasan terhadap kehidupan manusia. Lebih lanjut Geertz 1973: 353 juga mengemukakan bahwa “to produce symbolic structures capable of formulating and communicating objective which is not to say accurate analyses of the social and physical worlds 7 7 Terjemahan : “untuk menghasilkan struktur simbolis yang mampu merumuskan dan mengkomunikasikan tujuan yang tidak berarti akurat analisis dari dunia sosial dan fisik. .” Pendapat tersebut berarti sebagai usaha memproduksi struktur simbol mencapai formulasi dan menyampaikan pesan simbolik sebagai bagian dari analisis sosial dan fisik. Dalam tahapan interpretasi selanjutnya, Geertz 1983:120 memberikan penekanan terhadap usaha interpretasi dalam seni yang disebutnya sebagai : “To be of effective use in the study of art, semiotics must move beyond the consideration of signs as means of communication, code to be deciphered, to a consideration of them as modes of thought, idiom to be interpreted.” Terjemahan : Universitas Sumatera Utara “Agar efektif dalam penggunaan studi seni, semiotika harus bergerak melampaui pertimbangan tanda-tanda sebagai sarana komunikasi, kode harus diuraikan, dengan pertimbangan sebagai cara berpikir, idiom untuk ditafsirkan.”

1.2.5 Pariwisata

Untuk dapat menjadikan Lage Hambian sebagai komoditi yang dihasilkan melalui proses kegiatan wisata, maka diperlukan adanya konsep mengenai pariwisata yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Mengutip tulisan Sukadijo 1996:2 mengenai pariwisata yang mengatakan bahwa pariwisata merupakan keseluruhan segala kegiatan yang berhubungan dengan wisatawan, hal ini membuktikan bahwa ini erat hubungannya dengan antropologi yang tampak dalam kajian mengenai manusia dan aspek sosialnya dan dituntut untuk belajar mengetahui apa yang diinginkan orang-orang sebagai calon wisatawan sebagai dasar atau awal usaha pemenuhan kebutuhan yang benar-benar mereka inginkan. Hal ini diciptakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, yaitu mendatangkan banyak pengunjung atau wisatawan karena mereka berhasil “dipuaskan” kebutuhannya. Mengutip Suastika 2011: 14-15 yang menuliskan bahwa terdapat berbagai pendapat dalam mendefinisikan kata pariwisata tersebut, namun hal yang paling penting adalah harus memandang pariwisata secara menyeluruh berdasarkan cakupan atau komponen yang terlibat dan mempengaruhi pariwisata, yang dalam hal ini dipergunakan tiga hal, yaitu wisatawan, industri penyedia barang dan jasa dan masyarakat setempat : Universitas Sumatera Utara 1. Wisatawan, setiap wisatawan ingin mencari dan menemukan pengalaman fisik dan psikologis yang berbeda – beda antara satu wisatawan dengan wisatawan lainnya. Hal inilah yang membedakan wisatawan dalam memilih tujuan dan jenis kegiatan di daerah yang dikunjungi. 2. Industri Penyedia Barang dan Jasa, orang – orang bisnis atau investor melihat pariwisata sebagai suatu kesempatan untuk mendatangkan keuntungan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan. 3. Masyarakat setempat, masyarakat lokal biasanya melihat pariwisata dari faktor budaya dan pekerjaan karena hal yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat lokal adalah bagaimana pengaruh interaksi wisatawan dengan masyarakat lokal baik pengaruh yang menguntungkan maupun yang merugikan. Berdasarkan pendapat mengenai pariwisata tersebut, penelitian yang akan dilakukan ini melihat bahwa menjadikan Lage Hambian sebagai komoditi pariwisata berbasis hasil kerajinan tradisi Batak-Angkola di Kota Medan memiliki beberapa unsur yang terkait satu dan lainnya, seperti hubungan antara masyarakat setempat lokal yang memiliki kemampuan dan pengetahuan atas nilai tradisi dengan pihak lain yang memiliki kemampuan menjadi Lage Hambian sebagai komoditi pendukung kegiatan pariwisata di Kota Medan. Komponen yang mempengaruhi pariwisata dalam hal ini memberi penekanan pada aspek masyarakat lokal atau masyarakat Batak-Angkola yang memiliki nilai adat-budaya dan menjadi komoditas wisata, yang diharapkan dapat Universitas Sumatera Utara memberi penjelasan secara mendalam mengenai nilai adat-budaya Batak- Angkola. Aspek berikutnya adalah aspek wisatawan yang memiliki peranan menentukan nilai komoditas pariwisata, yaitu Lage Hambian sehingga perubahan bentuk dan warna merupakan bentuk kesepakatan antara masyarakat Batak- Angkola di Kota Medan dengan wisatawan. Selain kedua komponen tersebut juga akan dilibatkan komponen penyedia barang dan jasa yang berguna sebagai perantara antara masyarakat Batak-Angkola dan wisatawan dalam memasarkan Lage Hambian sebagai produk wisata yang berbasiskan nilai adat-budaya Batak-Angkola. Lage Hambian sebagai bentuk komoditi wisata merupakan bentuk jamak yang terjadi pada setiap kehidupan masyarakat yang masih memegang nilai adat- budaya dan berproses menjadikan nilai adat-budaya sebagai bagian dari komoditi wisata, contoh mengenai penggunaan nilai adat-budaya sebagai komoditi pariwisata terlihat seperti dalam kajian Niessen 2010 yang berjudul “Legacy of Cloth” yang memberi penjelasan mendetail mengenai fungsi dan peran ulos dalam kehidupan masyarakat Batak-Toba dan strategi memasarkan ulos dalam dunia wisata. Kajian mengenai tenunan tradisional sutra mandar di Sulawesi Barat oleh Bahrum dan Anwar 2009 yang melihat proses pembuatan, perubahan corak serta usaha merevitalisasi tenunan tradisional sebagai bagian dari penguatan nilai adat- budaya serta mendorong aspek eksternal penggunaan tenun tradisional sebagai daya tarik wisata, dengan memberi penekanan terhadap perubahan bentuk motif sebagai strategi mendekatkan antara nilai adat-budaya terhadap kegiatan wisata Universitas Sumatera Utara dan terbukti bahwa hal tersebut dapat menambah nilai ekonomis serta menguatkan kembali nilai adat-budaya melalui penggunaan tenun tradisional sutra mandar. Selain bentuk nilai adat-budaya yang dimanifestasikan dalam tenun, kain dan hal lainnya yang bersinggungan dengan hasil karya, juga terdapat bentuk nilai adat-budaya lainnya yang juga turut menjadi komoditi kegiatan pariwisata, seperti tulisan dari Atmojo 2011 yang mendeskripsikan mengenai barong dan garuda yang mengalami perubahan dari bentuk sakral pada bentuk profan serta penggunaannya sebagai barang cinderamata bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali dan sebagai bagian dari menjaga kelangsungan nilai barong dan garuda dalam kehidupan masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh religi Hindu. Tulisan dari Liyansyah 2010 tentang kesenian tradisional rondang bintang pada masyarakat Batak-Simalungun yang merupakan bagian dari upacara kehidupan masyarakat Batak-Simalungun sebagai persembahan atas hasil panen yang berlimpah yang dikaitkan dengan konsep pariwisata untuk mendatangkan wisatawan serta memunculkan potensi-potensi yang dimiliki sebagai komoditi pariwisata. Contoh-contoh keterkaitan antara nilai adat-budaya dalam kegiatan wisata seperti dijelaskan sebelumnya, memiliki satu tujuan utama yaitu memperluas penggunaan dan memperkenalkan seni tradisi dalam balutan kegiatan pariwisata. Hal ini memberikan penambahan nilai bagi nilai adat-budaya dalam kehidupan masa kini. Antara pariwisata dengan kebudayaan memiliki hubungan yang dapat dijelaskan berdasarkan dari cerita. Dimana hubungan antara pariwisata dan Universitas Sumatera Utara kebudayaan berawal dari rasa ingin tahu seseorang. Perasaan ini yang mendorong orang untuk melakukan perjalanan berwisata. Lebih lanjut dilakukan penyimpulan bahwa makin banyak orang melakukan perjalanan, makin bertambah pula pengetahuan serta pengalamannya. Kemudian berlanjut pada bertambahnya ‘kekayaan’ intelegensia dan jiwanya. Hal inilah yang dinamakan emansipasi seseorang Pendit, 2003: 195. Emansipasi seseorang lazim pula disebut budaya pribadi personal culture atu subjective culture. Makin tinggi nilai watak dan sifat seseorang, makin tinggi pula emansipasi yang dicapai olehnya. Dalam hal ini ia disebut seseorang yang berkebudayaan, manusia budaya a cultured man yang dihasilkan oleh pengetahuan serta pengalamannya dalam melakukan perjalanan selama hidupnya. Kebudayaan tampak dalam tingkah laku dan hasil karya manusia culture in act and artifact. Manifestasi kebudayaan itulah yang diharapkan kepada wisatawan untuk dinikmati sebagai atraksi wisata. Dengan kata lain, di belakang manifestasi kebudayaan terdapat nilai kebudayaan yang dapat dijual Soekadijo, 1996: 288-289.

1.3 Perumusan Masalah