Sejarah Penggunaan Lage Hambian Alat Kelengkapan Dalam Upacara Adat

68 Salah seorang informan, yakni Abdul Halim Hasibuan gelar Tongku Dollar Paya-paya Somarsik 43 Tahun mengatakan bahwa : “lage hambian itu tempat duduk dalam kegiatan adat, seperti makkobar, acara perkawinan dan lain lain ... tanpa lage hambian kegiatan adat terasa hambar.” Keterangan informan tersebut memberikan pandangan bahwa lage hambian merupakan suatu hal yang bernilai dan penting dalam setiap kegiatan adat Batak-Angkola, tanpa adanya kehadiran lage hambian dalam kegiatan adat maka kegiatan adat tersebut akan kekurangan nilai bahkan kegiatan adat tersebut akan mengalami suatu gangguan.

3.2 Sejarah Penggunaan Lage Hambian

Lage hambian secara sederhana dibuat dengan cara dianyam dan dilapis yang dalam terminologi masyarakat Batak-Angkola disebut dengan di-hambi. Setiap orang didalam suku Batak-Angkola sudah diberi tanggung-jawab sejak lahir, dewasa hingga kematian yang sejalan dengan ritus hidup yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Angkola. Penggunaan lage hambian dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola dimulai ketika memiliki keturunananak, dimana pada waktu itu lage hambian akan dipergunakan sebagai alat kelengkapan dalam upacara mengayun. Selanjutnya lage hambian juga akan dipergunakan dalam upacara upa-upa ketika seorang ibu memiliki usia kandungan tujuh bulan, namun pada penggunaan upacara upa-upa, lage hambian yang dipergunakan disebut dengan parompa. Hal Universitas Sumatera Utara 69 ini bermakna sebagai pengingat kepada bayi tersebut kelak akan melaksanakan upacara seperti itu pada sanak-saudaranya. Pengguna lage hambian harus menjadi bagian dari adat dengan cara mengikuti dan menjalani beragam proses acara adat dan menyelesaikan utang- utang adat yang belum dibayarkan oleh keluarganya agar dapat menggunakan lage hambian dalam beragam upacara adat, dalam hal ini lage hambian juga berfungsi sebagai simbol terhadap status sosial seorang individu dalam lingkup masyarakat Batak-Angkola. Lage hambian yang dipergunakan dalam upacara adat juga berhubungan dengan bentuk upacara adat yang dilaksanakan, pada umumnya lage hambian hanya dipergunakan pada upacara adat besar adat nagodang yang ditandai oleh penyembelihan hewan seperti kambing dan kerbau.

3.3 Simbol Pada Lage Hambian

Lage Hambian yang dipergunakan sebagai tikar dalam upacara adat memiliki simbol tersendiri dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, seperti penggunaan simbol pada bentuk warna dan juga pada penggunaan lapisan pada tikar dengan jumlah tertentu seperti satu, tiga, lima, tujuh dan sembilan 10 Hitungan ganjil pada lapisan lage hambian sebagaimana diungkapkan oleh informan penelitian, Abdul Halim Hasibuan gelar Tongku Dollar Paya-paya . 10 Kehidupan masyarakat Batak-Angkola mempercayai bahwa angka sempurna adalah sembilan, dan angka-angka ganjil lainnya seperti satu, tiga, lima dan tujuh memiliki arti yang baik dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola hal ini didasarkan pemahaman mereka bahwa angka ganjil tidak dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama dikarenakan sistem kekerabatan Batak- Angkola didasarkan pada dalihan na tolu tiga setungku yang juga berjumlah ganjil. Universitas Sumatera Utara 70 Somarsik 43 Tahun yang mengatakan bahwa : “ ... lapisan dibuat ganjil sebagai tanda bahwa tikar tersebut menjadi suatu hal yang penting dalam adat Batak- Angkola, sehingga terasa ganjil apabila tikar tersebut tidak ada dalam acara.” Setiap simbol warna dan lapisan memiliki makna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, seperti simbol warna yang terdiri dari : 1. Warna merah, yang berarti sebagai lapisan dasar yang menggambarkan kehidupan manusia di alam semesta, 2. Warna hijau, yang menggambarkan kehidupan mahluk hidup lainnya yang mendukung kehidupan manusia di bumi ini, dan hubungan diantaranya merupakan hubungan antar mahluk hidup yang saling tolong-menolong, 3. Warna kuning, adalah warna yang digunakan sebagai simbol kebesaran bagi penguasa raja dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, penggunaan warna kuning selain sebagai simbol kebesaran juga menggambarkan sikap raja yang adil dalam menentukan keputusan pada kehidupan masyarakat. Penggunaan simbol warna pada lage hambian merupakan simbol perulangan yang menggambarkan posisi yang diemban seseorang dalam kehidupan, satu lapisan lage hambian dengan warna merah biasanya dipergunakan sebagai tikar mereka yang belum mendapatkan kedudukan dalam kehidupan dan juga sebagai pembungkus barang bawaan ketika dalam upacara perkawinan. Lage hambian dengan satu lapisan merah apabila dilapis dengan lapisan Universitas Sumatera Utara 71 tikar berwarna hijau dan kuning sehingga berjumlah tiga lapisan warna merupakan tikar yang diperuntukkan bagi para undangan dan wakil raja pada upacara-upacara adat. Lage hambian dengan lima lapisan, yaitu merah sebagai dasar dan kemudian hijau, kuning, merah serta hijau dipergunakan sebagai tikar untuk golongan raja kampung atau raja pamusuk sedangkan lage hambian dengan tujuh lapis warna diperuntukkan bagi raja panusunan bulung yang memiliki posisi sebagai raja diantara raja-raja kampung pamusuk. Tab el 7 Jumlah Lapisan dan Warna Serta Peruntukkan Lage Hambian JUMLAH LAPISAN WARNA PERUNTUKKAN UPACARA 1 Lapisan Merah Untuk membungkus barang bawaan pada upacara-upacara adat dan juga sebagai tikar bagi individu yang akan menerima gelar adat dalam upacara perkawinan Perkawinan, penabalan marga dan gelar adat, sidang adat, makkobar 3 Lapisan Merah, hijau dan kuning Tikar dengan tiga lapisan warna Perkawinan, sidang adat, makkobar Universitas Sumatera Utara 72 diperuntukkan bagi undangan dalam upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada tamu dan juga sebagai tikar untuk golongan wakil raja 5 Lapisan Merah, hijau, kuning, merah, hijau Diperuntukkan bagi golongan raja kuriahuta atau raja kampung yang mewakili marga-marga Perkawinan, sidang adat, makkobar 7 Lapisan Merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning, merah Tikar dengan tujuh lapisan warna diperuntukkan bagi raja pamusuk atau raja dari perkumpulan marga dan daerah Perkawinan, sidang adat, makkobar Universitas Sumatera Utara 73 9 Lapisan Merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning, merah, hijau, kuning Tikar dengan lapisan tertinggi yang dipergunakan oleh raja diatas raja pamusuk yang disebut dengan raja panusunan bulung Perkawinan, sidang adat, makkobar Sumber : hasil wawancara selama penelitian antara bulanOktober – Desember 2013

3.3.1 Lage Hambian 1 Lapisan

Lage hambian yang memiliki satu lapisan dipergunakan sebagai kain pembungkus barang bawaan ketika dalam pelaksanaan upacara perkawinan dalam adar Batak-Angkola, selain sebagai pembungkus barang bawaan dalam upacara perkawinan juga dipergunakan sebagai tikar pengantin. Warna pada lapisan lage hambian yang dipergunakan adalah warna merah yang mengelilingi seluruh bidang tikar pandan. Dalam pelaksanaan upacara adat Batak-Angkola, lage hambian yang memiliki satu lapisan juga dipergunakan sebagai tikar bagi individu yang akan menerima gelar adat Batak-Angkola maupun dalam acara penabalan marga, hal ini didasarkan bahwa individu tersebut tidak memiliki gelar adat sebelumnya Universitas Sumatera Utara 74 sehingga hanya diperbolehkan mempergunakan lage hambian satu lapis. Gambar 1: Lage hambian dengan satu lapisan Sumber : penulis

3.3.2 Lage Hambian 3 Lapisan

Lage hambian yang memiliki lapisan sebanyak tiga lapis, dipergunakan sebagai tikar bagi individu yang memiliki posisi-posisi tertentu, seperti wakil raja dalam konteks adat Batak-Angkola dan juga kepada undangan yang dianggap mewakili tokoh masyarakat dan memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Gambar 2: Lage hambian dengan tiga lapisan Sumber : penulis Penggunaan lage hambian di Kota Medan telah mengalami perubahan bentuk, hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Batak- Angkola seringkali dianggap sebagai bagian dari masyarakat Mandailing sehingga bentuk dan penggunaan lage hambian juga dipertukarkan dengan tikar adat milik Mandailing yang juga memiliki nilai yang sama. Universitas Sumatera Utara 75

3.3.3 Lage Hambian 5 Lapisan

Tikar lage hambian dengan jumlah lapisan sebanyak lima lapis dipergunakan sebagai alas bagi individu yang memiliki posisi sebagai raja kuria atau raja huta yang mewakili satu golongan marga. Lage hambian dengan lima lapisan memiliki lima lapisan warna yang berulang, yaitu warna merah, warna hijau, warna kuning, warna merah dan warna kuning. Hal ini dilihat sebagai simbol posisi yang menduduki lage hambian tersebut memiliki posisi yang tinggi dan kekuasaan untuk menentukan terselenggara atau tidaknya upacara adat tersebut. Gambar 3: Lage hambian dengan lima lapisan Sumber : penulis

3.3.4 Lage Hambian 7 Lapisan

Seperti halnya lage hambian dengan lima lapisan warna, lage hambian dengan tujuh lapisan warna juga memiliki warna yang berulang pada lapisan- lapisannya, yaitu warna merah sebagai warna dasar kemudian warna hijau, warna kuning, warna merah, warna hijau, warna kuning dan warna merah sebagai warna Universitas Sumatera Utara 76 yang berada paling atas lapisan. Gambar 4: Lage hambian dengan tujuh lapisan Sumber : penulis Pada saat ini lage hambian dengan tujuh lapisan sangat jarang dipergunakan, hal ini dikarenakan posisi raja pamusuk sudah digantikan posisinya oleh individu lain yang memiliki pengaruh dalam adat Batak-Angkola di Kota Medan. Selain itu, bentuk lage hambian dengan tujuh lapisan ini juga memiliki lapisan warna yang berbeda dengan warna asalnya yang disebabkan oleh penggunaan rompayan atau tikar adat Mandailing dalam kegiatan upacara adat Batak-Angkola. Universitas Sumatera Utara 77 Gambar 5: Rompayan Mandailing dengan tujuh lapisan Sumber : penulis

3.3.5 Lage Hambian 9 Lapisan

Lage hambian yang memiliki sembilan lapisan warna sudah sangat jarang diketemukan maupun dipergunakan dalam berbagai upacara adat Batak-Angkola, hal ini disebabkan lage hambian dengan sembilan lapisan warna merupakan bentuk penghormatan kepada raja panusunan bulung sebagai posisi tertinggi dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola. Posisi raja panusunan bulung dalam kehidupan masyarakat Batak- Angkola di Kota Medan tidak dapat digantikan oleh siapapun sehingga hal ini semakin menghilangkan peran penggunaan lage hambian dengan sembilan lapisan warna, dan pada saat ini lage hambian dengan sembilan lapisan warna juga dianggap sebagai benda dalam kebudayaan Batak-Angkola yang memiliki nilai sakral.

3.4 Jenis Upacara yang Menggunakan Lage Hambian

Setiap individu dalam kehidupan mengalami tiga siklus yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiga momen tersebut menjadi lingkaran kehidupan yang dijalani oleh masyarakat dimana terdapat momen yang direncanakan namun ada juga yang tidak dapat direncanakan karena di luar konteks akal pikiran manusia, yang telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Penyelenggaran upacara yang menandakan tiga siklus kehidupan tersebut Universitas Sumatera Utara 78 selalu disertai dengan penggunaan lage hambian, hal ini sebagai wujud pelaksanaan nilai adat dan juga penghormatan terhadap tamu yang mewakili golongan raja di Batak-Angkola. Selain membagi upacara yang menandakan tiga siklus dalam kehidupan, masyarakat Batak-Angkola juga membagi upacara adat menjadi tiga bagian berdasarkan besar-kecilnya cakupan upacara adat tersebut, yaitu: • Adat namenek upacara adat kecil Dalam upacara ini diadakan upacara sederhana yang terdiri dari keluarga dan juga kerabat. Ketika mangupa pangoli mereka memotong ayam sebagai makanan pangupa. Hal ini menujukkan bahwa upacara adat ini sangatlah sederhana dan keluarga yang mengadakan juga berasal dari keluarga yang sangat sederhana sekali. • Adat pakupangi upacara adat sedang Upacara adat ini juga tergolong sederhana namun dari pihak yang menghadiri sudah terdapat unsur dalihan na tolu kahanggi, anak boru, dan mora dan juga keluarga serta kerabat. Dalam upacara adat ini bahan untuk mangupa dipotong kambing. Upacara ini biasanya diadakan oleh keluarga dari golongan menengah ke atas. • Adat nagodang upacara besar Upacara adat nagodang adalah bentuk upacara adat yang melibatkan banyak orang, mulai dari dalihan na tolu, hatobangon-harajaon, dan pisang raut. Kata “godang” dalam nagodang berarti besar. Dikatakan besar selain melibatkan dalihan natolu, juga melibatkan kerabat dari jauh dan dekat begitu Universitas Sumatera Utara 79 juga warga sekampung. Dalam adat nagodang ini, setiap pihak mendapatkan tugas dalam pesta nagodang dimana raja-raja telah menentukan terlebih dahulu dalam sidang adat raja-raja. Adat nagodang juga menunjukkan besarnya upacara dengan dipotongnya kerbau sebagai binatang yang besar. Dalam adat nagodang, raja-raja turut mengambil bagian dalam menentukan dan menetapkan bagaimana supaya upacara adat tersebut dapat berjalan dengan baik sesuasi dengan harapan. Upacara adat nagodang hanya diadakan oleh keturunan raja-raja dan sudah mendapat gelar. Dan selama proses persiapan perkawinan ini, raja-raja akan membicarakan hal terbaik demi berjalannya adat dengan baik pula. Sehingga ada proses-proses upacara nagodang yang perlu dipersiapkan.

3.4.1 Bentuk Upacara Adat

Bentuk upacara adat yang menggunakan lage hambian dalam pelaksanaannya adalah : 1. Upacara Adat Perkawinan Upacara adat perkawinan yang meliputi upacara adat perkawinan marlojong, diparbuat dan marhabuatan. Diluar upacara adat perkawinan tersebut tidak dipergunakan lage hambian ataupun tidak menjadi keharusan untuk menyediakan lage hambian. Lage hambian dalam upacara perkawinan dipergunakan sebagai tikar bagi tamu yang datang saudara, tetangga dan raja, selain itu juga sebagai bahan pembungkus bawaan dan juga sebagai tikar bagi pasangan pengantin yang Universitas Sumatera Utara 80 melaksanakan upacara perkawinan tersebut. 2. Martahi Marunungunug Ni Bodat Martahi marunungunug ni bodat yaitu rapat adat yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Rapat adat ini dihadiri oleh suhut bolon, anak boru, dan mora, dikatakan martahi marunungunug nibodat adalah karena diibaratkan binatang monyet ketika menyampaikan sesuatu hanya kelompok mereka saja yang tahu. Rapat adat ini dapat terselenggara dengan baik dan juga akan menghasilkan suatu keputusan yang baik apabila yang menghadiri rapat adat tersebut duduk diatas lage hambian, dikarenakan lage hambian dianggap dapat menghantarkan pesan kepada Tuhan. 3. Upacara Manabalkon Goar Manabalkon goar artinya memberi gelar kepada seseorang individu. Dalam upacara adat nagodang, peserta upacara adat ataupun mereka yang akan ikut serta dalam upacara adat nagodang akan diberi gelar terlebih dahulu dan juga kepada individu yang telah memiliki gelar akan diperbaharui dengan gelar sesuai dengan keadaan individu saat mengikuti upacara adat tersebut, dimana gelar baru tersebut seperti yang telah dimiliki oleh orangtua mereka. Gelar ini hanya diberikan kepada keturunan raja dan yang mengadakan upacara adat nagodang serta individu yang dianggap memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan adat Batak-Angkola. Kebanyakan gelar ini diambil dari gelar kakek atau ayah dari peserta upacara adat, namun bisa saja nama gelar itu diusulkan oleh keluarga kepada raja- Universitas Sumatera Utara 81 raja adat. Adapun gelar adat tersebut mencakup Sutan, Mangaraja, Baginda, Tongku dan lain sebagainya. Setelah mendapatkan gelar adat, maka nama yang paling sering mereka pergunakan adalah nama mereka setelah ditabalkan. Bahkan dalam menyebut dan memanggil nama, lebih sering mempergunakan gelar tersebut. Lage hambian dalam upacara adat manabalkon goar merupakan sebagai tanda bahwa terdapat tanggung-jawab yang harus ditanggung oleh individu yang menerima gelar tersebut, baik itu tanggung-jawab terhadap diri sendiri, keluarga maupun terhadap adat budaya Batak-Angkola. 4. Upacara Kematian Siluluton Lazimnya dalam kehidupan masyarakat Batak-Angkola, lage hambian menyertai segala proses kehidupan dari lahir hingga kematian, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk adat yang selalu menyertai tiap kehidupan masyarakat Batak-Angkola. Informan penelitian yaitu Bapak H. Persatuan Harahap gelar Tongku Raja Adat 62 Tahun mengatakan bahwa : “Adat merupakan norma dan peraturan yang berlaku dalam kehidupan Batak-Angkola, sehingga dari lahir hingga meninggal dunia orang Batak-Angkola akan selalu disertai oleh adat.” Pendapat informan ini setidaknya memberikan gambaran kehidupan masyarakat Batak-Angkola dan kuatnya adat dalam kehidupan mereka, sehingga menciptakan suatu kondisi yang saling terjalin dengan kuat antara manusia – adat Universitas Sumatera Utara 82 – kehidupan.

3.5 Alat Kelengkapan Dalam Upacara Adat

Upacara adat Batak-Angkola mensyaratkan adanya lage hambian dalam pelaksanaan upacara adat, selain sebagai bentuk kelengkapan adat juga sebagai bukti bahwa lage hambian memiliki hubungan terhadap kehidupan masyarakat Batak-Angkola. Selain mensyaratkan kehadiran lage hambian dalam upacara adat, terdapat alat kelengkapan lainnya yang harus dipergunakan sejalan dengan penggunaan lage hambian, adapun alat kelengkapan lainnya tersebut mencakup : • Burangir Partahian Sitolu Rangkap, merupakan seperangkat sirih yang dipersembahkan kepada golongan raja-raja yang hadir dalam upacara adat tersebut. • Santan pamurgo-murgoi, adalah air santan yang menjadi simbol penyucian bagi alat kelengkapan acara lainnya dan upacara tersebut dapat berjalan dengan baik hingga akhir nanti, selain itu juga sebagai pertanda bahwa upacara tersebut dapat dimulai apabila telah dipercikkan oleh raja panusunan bulung ke alat kelengkapan upacara adat lainnya. • Abit Godang, merupakan kain adat Batak-Angkola yang selalu menyertai upacara adat dan bermakna melindungi bagi yang memakainya dari beragam gangguan. • Payung Rarangan, podang dengan tombak, adalah alat kelangkapan dalam upacara adat yang menandakan bahwa upacara tersebut dihadiri oleh Universitas Sumatera Utara 83 seluruh anggota masyarakat Batak-Angkola dan juga menyimbolkan sikap kemegahan dan kehebatan masyarakat Batak-Angkola • Tuku • Gondang saraban, adalah seperangkat alat musik yang mengiringi upacara adat yang berarti sebagai permohonan kepada Tuhan untuk dapat melaksanakan upacara adat dengan baik dan juga sebagai medium perantara antara Tuhan dan manusia. Dalam pelaksanaannya keseluruhan alat kelengkapan upacara adat tersebut dipersiapkan diatas tikar lage hambian yang telah disiapkan di bagas godang tersebut. Kemudian perlengkapan ini diletakkan ditengah pertemuan harajaon- hatobangon, suhut habolonan, kahanggi, anak boru, pisangraut, dan mora. Selanjutnya dilakukan penyerahan burangir kepada hatobangon-harajaon oleh anak boru dan setelah itu diletakkan di depan raja pamusuk. Kemudian dilanjutkan dengan menyampaikan maksud mulai dari bagian ama dari suhut bolon, kahanggi, anak boru, pisang raut, dan mora. Maksud ini akan dijawab oleh hatobangon-harajaon bonabulu bahwa mereka sudah menerima maksud kedatangan tersebut. Raja pamusuk akan menyampaikan kembali bagaimana niat pelaksanaan upacara adat tersebut kepada raja pangondian bulung, raja panusunan bulung, haruaya mardomu bulung, torbing balok dalam musyawarah besar maralok-alok untuk mengadakan adat nagodang dalam upacara adat tersebut. Raja Pamusuk akan menyampaikan kepada pemain gondang supaya memainkan gondang dengan sebaik-baiknya. Kepada anak boru diberi tugas Universitas Sumatera Utara 84 untuk membuka payung rarangan, podang dan tombak dipajang dan dikibarkan di depan rumah hasuhuton dan kahanggi. Setelah itu mereka memasuki acara mangan santan makan santan sebagai tanda upacara adat telah dimulai. Universitas Sumatera Utara 85

BAB IV LAGE HAMBIAN SEBAGAI KOMODITI PARIWISATA

Lage hambian pada saat sekarang ini tidak hanya sekedar sebagai alat kelengkapan dalam upacara adat Batak-Angkola yang mengiringi setiap tahapan kehidupan mereka melainkan juga telah menjadi benda yang memiliki nilai jual dalam pariwisata sebagai cenderamata. Bab ini akan membahas mengenai lage hambian sebagai cendermata khas dari Batak-Angkola yang dapat menaikkan nilai Batak-Angkola sebagai daerah tujuan wisata di Sumatera Utara.

4.1 Pembuatan Lage Hambian

Lage hambian secara sederhana dapat diartikan sebagai tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Hal ini dimungkinkan daerah yang didiami oleh masyarakat Batak-Angkola di Tapanuli Selatan memenuhi pasokan mereka terhadap ketersediaan daun pandan sebagai bahan utama pembuatan lage hambian. Pada kehidupan masyarakat Batak-Angkola lage hambian dikenal sebagai tikar yang memiliki nilai dalam adat budaya mereka namun dalam penggunaannya diperlukan seperangkat alat lainnya dan proses upacara yang kompleks dan memakan waktu yang lama. Untuk itu dalam penggunaan keseharian dibuat tikar adat yang bebas dari nilai adat sehingga seluruh masyarakat dapat menggunakannya, tikar ini dibuat Universitas Sumatera Utara