Proses Kemunduran Mutu Ikan

Jenis Uji Satuan Persyaratan a Organoleptik, minimum Angka 1-9 7 b Cemaran mikroba - ALT Kolonigram maksimal 5,0x10 5 - Escheria coli APMgram maksimal 2 - Salmonella APMgram Negatif - Vibrio cholerae APMgram Negatif c Cemaran Kimia - Raksa Hg Mgkg maksimal 1 - Timbal Pb Mgkg maksimal 0,4 - Histamin Mgkg maksimal 100 - Kadmium Cd Mgkg maksimal 0,5 d Fisika - Suhu pusat o C maksimal - 18 e Parasit Ekor maksimal 0 Sumber : BSN 2006 Keterangan: ALT : Angka Lempeng Total APM : Angka paling memungkinkan

2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan

Kerusakan ikan diawali dengan terjadinya autolisis yang disebabkan oleh enzim yang berasal dari ikan itu sendiri, yang diikuti dengan kerusakan secara mikrobiologis, fisik, atau secara kimiawi. Kerusakan autolisis pada ikan dimulai segera setelah ikan mati Huss 1986. Proses penurunan mutu ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari perubahan pra-rigormortis, rigormortis, aktifitas enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke pembusukan Junianto 2003. 2.3.1 Pre-rigor Ikan yang telah mati akan secara cepat memasuki tahap pre-rigor, yang ditunjukkan dengan adanya glikolisis anaerobik dan penurunan adenosine triphosphate ATP dan creatine phosphate Setiyono 2006. Pre-rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri. Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 dari berat tubuhnya Junianto 2003. 2.3.2 Rigor mortis Rigor-mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi darah berhenti suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin trifosfat ATP serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan kekenyalannya. Kondisi inilah yang dikenal dengan istilah rigor mortis. Fase rigor mortis ditandai dengan perubahan pH tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari mula-mula pH 6,9-7,2. Nilai pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga buffering power pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap Junianto 2003. Proses rigor-mortis berlangsung selama beberapa jam atau hari, tergantung spesies, ukuran ikan, cara penangkapan dan penanganan, suhu serta kondisi fisik ikan. Proses rigor-mortis ditandai dengan otot ikan yang mengejang dalam beberapa jam sehingga ikan menjadi kaku karena perubahan senyawa nukliotida akibat terhentinya pasokkan oksigen dan energi setelah ikan mati Huss 1986. Tahap rigor-mortis merupakan indikator mutu ikan yang perlu dipertimbangkan untuk dikonsumsi. Tahap rigor-mortis ditandai dengan terjadinya proses autolisis dan pertumbuhan mikroba serta aktivias enzim setelah beberapa hari pada suhu sekitar 5 o C Setiyono 2006. 2.3.3 Aktivitas enzim Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa-senyawa penyusun ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil. Pemecahan penyusun jaringan ikan ini akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna Huss 1986. Proses penguraian jaringan secara enzimatis autolisis berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin dalam daging, enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin dalam organ pencernaan serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein proteolitik berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan Junianto 2003. 2.3.4 Aktivitas mikroba Penelitian terhadap ikan yang ditangkap pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan Elinor et al. 1985 diacu dalam Alfred 1998. Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigor-mortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam pembusukan ikan, baik segar maupun olahan. Kerusakan mikrobiologis lain yang perlu diperhatikan adalah yang menyebabkan penyakit, keracunan, atau alergi pada konsumen walaupun ikan tidak mengalami pembusukan Huss 1986. Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat badan ikan mulai melunak maka kecepatan pembusukan akan meningkat Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai ”busuk”. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium dan Streptococcus Junianto 2003.

2.4 Histamin