digunakan. Penggunaan air dan es yang bersih diharuskan, untuk menghindari terjadinya kontaminasi.
d. Penyimpangan kritis Penyimpangan kritis tidak ditemukan pada unit pengolahan ikan UPI
pada PT. X.
4.3 Penilaian risiko bahaya histamin pada tahapan proses pengolahan
Risk assessment merupakan karakterisasi dari potensial risiko yang
mempengaruhi bahaya, termasuk menyangkut perkiraan besarnya risiko, efek dari keluaran atau hasil yang ada dan melibatkan suatu indikasi dari suatu
ketidakpastian Forsythe dan Hayes 1998. Histamin adalah senyawa amina biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim
dekarboksilase Sumner et al. 2004. Kandungan histamin yang tinggi pada ikan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, apabila di konsumsi oleh manusia.
Ikan golongan scombroid umumnya memiliki kandungan histamin yang lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Kandungan histamin pada ikan
dapat meningkat dengan cepat apabila penanganan tidak dilakukan dengan menggunakan metode C3Q Carefull hati-hati, Clean bersih, Cold dingin,
and Quick cepat. Perkiraan risiko bahaya histamin yang timbul selama proses
pengolahan tuna loin pada PT. X terhadap manusia dilakukan dengan risk assesment,
dengan melihat hazard identification identifikasi bahaya, exposure assesment
penaksiran bahaya, hazard characterization karakterisasi bahaya, dan risk characterization karakterisasi risiko.
4.3.1 Hazard identification identifikasi bahaya
Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia dan
fisika yang mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan dan mungkin ada pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai makanan. Hal ini dapat
dikatakan sebagai langkah pertama dalam menganalisa risiko yang merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada makanan tertentu,
seperti misalnya bakteri pembentuk histamin yang ada pada ikan golongan scombroid.
Sehingga identifikasi bahaya hazard identification merupakan
pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-sumber bahaya Sumner et al. 2004. Identifikasi bahaya hazard identification dalam bidang industri tuna pada
penelitian ini dilakukan terhadap bahaya histamin. Ikan tuna memiliki kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya Ababouch
et al. 1985 diacu dalam Keer et al. 2002.
Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid
karena melibatkan ikan dari famili Scombroidei, yaitu tuna, bonito, tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas
dalam jumlah besar pada dagingnya, yang pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarboksilase dari
bakteri yang mencemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi. Gejalanya berupa
muntah-muntah, diare, pembengkakan pada bibir, kejang-kejang, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini berlangsung kurang dari 12 jam dan
dapat diobati dengan terapi antihistamin Djaafar dan Rahayu 2007. Histidin bebas yang terdapat dalam jaringan tubuh ikan akan
didekarboksilasi menjadi histamin oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase. Kadar histamin yang tinggi dalam produk tuna dapat
menyebabkan efek keracunan pada manusia, sehingga kadar histamin merupakan salah satu syarat mutu produk tuna.
Pembentukan histamin dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kandungan histamin pada ikan, yaitu keberadaan bakteri
histidin dekarboksilase, kandungan histidin bebas pada ikan, dan faktor lingkungan suhu dan waktu penanganan Lehane dan Olley 1999. Selain itu
peningkatan kadar histamin dalam tubuh ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan penangan sehingga akan menybabkan pertumbuhan bakteri yang akan merubah
histidin bebas menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilase. Terdapat 3 bakteri utama yang merupakan bakteri histidin dekarboksilase, yang dapat meningkatkan
kandunga histamin pada ikan, yaitu: Proteus morganii, Klebsiella pneumonia, dan Hafnia alvei
Taylor 1983. Bakteri penghasil histamin lainnya adalah Raoultella terrigena,
Microbacterium testaceum, Brevibacterium mcbrellneri , Micrococcus diversus,
Staphylococcus spp. dan Morganella morganii Mangunwardoyo et al. 2007.
Bakteri Raoultella terrigena dan Microbacterium testaceum belum pernah dilaporkan sebelumnya sebagai bakteri pembentuk histamin, akan tetapi penelitian
yang dilakukan oleh Indriati et a.l 2006 diacu dalam Mangunwardoyo et al. 2007 membuktikan bahwa kedua bakteri tersebut mampu membentuk histamin.
Menurut Mangunwardoyo et al. 2007 Enterobacter spp. menghasilkan kadar histamin yang tinggi 305,49 mg100 ml dibandingkan dengan M. morganii
92,49 mg100 ml. Bakteri Enterobacter spp. merupakan bakteri kelompok Enterobacteriaceae yang memiliki kemampuan membentuk histamin dalam
jumlah besar dan umum diketahui membentuk histamin pada ikan dan kultur cair. Beberapa jenis genus Enterobacter yang diketahui memiliki kemampuan
membentuk histamin adalah: Enterobacter aerogenes, Enterobacter agglomerans, Enterobacter amnigenus, Enterobacter cloacae,
dan Enterobacter intermedium Mangunwardoyo et al. 2007.
Peningkatan kadar histamin dalam produk perikanan dapat ditekan dengan cara penanganan yang benar dengan memperhatikan sanitasi lingkungan tempat
pengolahan, sehingga pertumbuhan bakteri histidin dekarbksilase dapat dihambat. Penanganan produk perikanan yang baik juga harus dilakukan dengan suhu
dingin. FDA menetapkan batas suhu untuk proses pembentukan histamin adalah di atas suhu 4,4
o
C, sehingga proses penanganan hasrus dilakukan dibawah suhu tersebut.
Keberadaan histamin dalam jumlah besar dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian bagi manusia yang mengkonsumsinya. Konsumsi makanan yang
mengandung kadar histamin yang kecil akan memberikan efek yang kecil pula bagi tubuh manusia. Hal tersebut karena sistem intestinal tubuh manusia
mengandung enzim DAO diamine oxidase dan HMT histamin N-methyl transferase dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak
berbahaya, seperti: imidazoleacetic acid, methylhistamine, methylimidazole acetic acid, imidazoleacetic acid riboside,
dan acethylhistamine. Kemampuan enzim DAO dan HMT di dalam tubuh manusia juga dapat dihambat oleh putresin dan
kadaverin. Oleh karena itu konsumsi ikan tuna yang mengandung histamin dapat menyebabkan efek keracunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi
histamin secara murni Lehane and Olley 1999. Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia dengan adanya enzim DAO dan HMT dapat ditunjukkan pada
Gambar 8.
Gambar 8. Proses katabolisme histamin pada tubuh manusia Taylor 1986 diacu dalam Lehane and Olley 1999
Dalam tubuh ikan histidin tidak hanya diubah menjadi histamin melalui reaksi dekarboksilasi, namun juga oleh reaksi histidin amonia lisase HAL
menjadi urocanic acid dan amonia. Dalam kondisi yang sama, proses perubahan histidin menjadi histamin lebih sedikit daripada proses perubahan histidin menjadi
urocanic acid dan amonia. Hal ini dikarenakan histidin amonia lisase HAL
memiliki distribusi yang luas pada hampir semua bakteri Lehane and Olley 1999. Degradasi perubahan histidin oleh HAL menjadi urocanic acid dan
amonia dapat ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Degradasi histidin menjadi urocanic acid dan amonia oleh HAL White et al. 1973 diacu dalam Lehane and Olley 1999
Kadar histamin dibawah 100 mg tidak dapat menimbulkan efek toksik, karena adanya mekanisme dari enzim diamine oxidase DAO dan histamin N-
methyl transferase HMT dalam tubuh manusia yang dapat menghancurkan histamin Taylor 1986 diacu dalam Lehane and Olley 1999.
4.3.2 Exposure assesment penaksiran bahaya