Evaluasi Efektifitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP). Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma.

(1)

EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU

DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA

MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

RINGKASAN

MELDA ANIYALISA DAHYAR. Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-CCP) dalam penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dengan metode analisis Lean Six Sigma pada industri pengolahan tuna loin beku. Metodologi penelitian meliputi penilaian kelayakan dasar (pre-requisite program - PRP), identifikasi CCP dan evaluasi pengendalian CCP dengan konsep dasar Lean Six Sigma. Jenis data yang digunakan adalah data hasil rekaman sebagai data evaluasi, data hasil penelitian sebagai data verifikasi dan data hasil pengamatan pada tahapan proses yang menjadi Critical Control Point (CCP).

Evaluasi pengendalian risiko bahaya histamin pada tahap proses yang menjadi CCP pengolahan tuna loin beku dengan pendekatan DMAIC-Lean Six Sigma memperlihatkan bahwa ada tahap penerimaan bahan baku, define menunjukkan kategori pemborosan Defects (D), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 1,0250 dan 1,3183 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin adalah bahan baku, ruang penerimaan dan manusia serta improvement telah dapat dilakukan dengan prinsip 6S.

Pada tahap penyimpanan beku terdapat waste dengan kategori Environmental, Health and Safety (E), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,5077 dan 0,4334 (Cpm < 1,00). Analyze menunjukkan faktor penyebab dekomposisi produk adalah cold storage, mesin dan manusia serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Pada tahap pengecekan akhir (grading) terdapat waste dengan kategori Defects (D) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,9097 (Cpm < 1,00) dan 1,1229 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku adalah cold storage, bahan baku, manusia dan manajemen serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Tahap control dilakukan penerapan kaizen blitz.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengendalian CCP di PT Z belum efektif dan efisien. Ditunjukkan dengan nilai Cpm pada setiap CCP kurang dari 2,00. Adanya wilayah true deviation pada kurva standar deviasi menunjukkan CCP masih belum dapat dikendalikan. Penerapan HACCP yang diintegrasikan dengan Lean Six Sigma akan membuat PT Z mampu mencapai tujuan utamanya untuk selalu meraih keuntungan dan terus berkembang tanpa mengabaikan food safety sehingga penerapan HACCP dapat lebih efektif dan juga efisien.


(3)

EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU

DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma Nama : Melda Aniyalisa Dahyar

NRP : C34051806

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Bambang Riyanto S.Pi, M.Si NIP . 196101281986012001 NIP. 196906031998021001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill NIP. 195805111985031002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, nasihat dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Desniar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji, atas segala saran dan masukan bagi penulis.

3. Bapak Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan atas segala bantuannya.

4. Pihak manajemen, staff dan karyawan PT Z atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Bapak Bambang S, Bapak Nanang dan Mbak Sri Marwati yang telah membantu dan membimbing penulis selama penelitian di PT Z.

6. Kedua orang tua tersayang dan adikku Muthi, harapan yang sangat besar terhadap penulis, doa dan kasih sayang yang tiada henti.

7. Kak Timor Mahendra dan Rizal Novanda yang telah memberikan saran dan waktunya untuk konsultasi skripsi kepada penulis.

8. Ali Mujahid yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ika Zaharani, Ary Apriland, Istifa Rini, Prilisa dan seluruh keluarga THP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.


(7)

v

10.Tim asisten mata kuliah Diversifikasi Hasil Perairan (Zaen, Sofi, Pus, Martca, Fathu, Ado dll) dan tim asisten TPHP (Teteh, Ade, Dan, Rodi dll) atas atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

11.THP 40, 41, 43 dan Bang Mail atas bantuannya.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, September 2009


(8)

vi

RIWAYAT HIDUP

Melda Aniyalisa Dahyar, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, putra dari pasangan Ir. Dahyar, MBA dan Meilina Sari.

Penulis mengawali pendidikan di TK Margaluyu dan menyelesaikannya pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan di SD Pembangunan IAIN Jakarta pada tahun 1992 sampai dengan 1998. Pada tahun 1998, penulis diterima di SMP Al Azhar 3 Bintaro dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Setelah itu, penulis diterima di SMU Al Azhar 1 Pusat Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan, Teknologi Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan. Penulis pernah mengikuti pelatihan ISO22000 di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Semarang tahun 2008 dan mendapat Juara III sebagai Penyaji Terbaik bidang Kewirausahaan dan Juara II dalam Poster Ilmiah Terbaik bidang Kewirausahaan.

Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma” dibawah bimbingan Ibu Ir.Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si.


(9)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix 

DAFTAR GAMBAR ... x 

1. PENDAHULUAN ... 1 

1.1 Latar Belakang ... 1 

1.2 Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 

2.1 Ikan Tuna ... 4 

2.2 Tuna Loin ... 5 

2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan ... 7 

2.4 Histamin ... 9 

2.5 Sistem Manajemen Keamanan Pangan HACCP ... 12 

2.6 Lean Six Sigma ... 14 

2.6.1 Lean ... 14 

2.6.2 Six Sigma ... 15 

2.6.3 Alat peningkatan kualitas lean six sigma ... 16

3. METODOLOGI ... 23 

3.1 Jenis Data ... 23 

3.2 Metode Penelitian ... 23 

3.2.2 Identifikasi titik kendali kritis (critical control point-CCP) ... 24 

3.2.3 Evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma ... 24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32 

4.1 Penilaian Kelayakan Dasar ... 32 

4.2 Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) ... 33 

4.3 Evaluasi dengan Konsep Dasar Lean Six Sigma ... 48 

4.3.1 Pendefinisian (define) ... 48 

4.3.2 Pengukuran (measure) ... 51 

4.3.3 Analisis (analyze) ... 65 

4.3.4 Perbaikan (improvement) ... 72 


(10)

viii

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78 

5.1 Kesimpulan ... 78 

5.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79 


(11)

EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU

DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA

MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

RINGKASAN

MELDA ANIYALISA DAHYAR. Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-CCP) dalam penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dengan metode analisis Lean Six Sigma pada industri pengolahan tuna loin beku. Metodologi penelitian meliputi penilaian kelayakan dasar (pre-requisite program - PRP), identifikasi CCP dan evaluasi pengendalian CCP dengan konsep dasar Lean Six Sigma. Jenis data yang digunakan adalah data hasil rekaman sebagai data evaluasi, data hasil penelitian sebagai data verifikasi dan data hasil pengamatan pada tahapan proses yang menjadi Critical Control Point (CCP).

Evaluasi pengendalian risiko bahaya histamin pada tahap proses yang menjadi CCP pengolahan tuna loin beku dengan pendekatan DMAIC-Lean Six Sigma memperlihatkan bahwa ada tahap penerimaan bahan baku, define menunjukkan kategori pemborosan Defects (D), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 1,0250 dan 1,3183 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin adalah bahan baku, ruang penerimaan dan manusia serta improvement telah dapat dilakukan dengan prinsip 6S.

Pada tahap penyimpanan beku terdapat waste dengan kategori Environmental, Health and Safety (E), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,5077 dan 0,4334 (Cpm < 1,00). Analyze menunjukkan faktor penyebab dekomposisi produk adalah cold storage, mesin dan manusia serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Pada tahap pengecekan akhir (grading) terdapat waste dengan kategori Defects (D) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,9097 (Cpm < 1,00) dan 1,1229 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku adalah cold storage, bahan baku, manusia dan manajemen serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Tahap control dilakukan penerapan kaizen blitz.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengendalian CCP di PT Z belum efektif dan efisien. Ditunjukkan dengan nilai Cpm pada setiap CCP kurang dari 2,00. Adanya wilayah true deviation pada kurva standar deviasi menunjukkan CCP masih belum dapat dikendalikan. Penerapan HACCP yang diintegrasikan dengan Lean Six Sigma akan membuat PT Z mampu mencapai tujuan utamanya untuk selalu meraih keuntungan dan terus berkembang tanpa mengabaikan food safety sehingga penerapan HACCP dapat lebih efektif dan juga efisien.


(13)

EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU

DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(14)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma Nama : Melda Aniyalisa Dahyar

NRP : C34051806

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Bambang Riyanto S.Pi, M.Si NIP . 196101281986012001 NIP. 196906031998021001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill NIP. 195805111985031002


(15)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009


(16)

iv

KATA PENGANTAR

Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, nasihat dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Desniar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji, atas segala saran dan masukan bagi penulis.

3. Bapak Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan atas segala bantuannya.

4. Pihak manajemen, staff dan karyawan PT Z atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Bapak Bambang S, Bapak Nanang dan Mbak Sri Marwati yang telah membantu dan membimbing penulis selama penelitian di PT Z.

6. Kedua orang tua tersayang dan adikku Muthi, harapan yang sangat besar terhadap penulis, doa dan kasih sayang yang tiada henti.

7. Kak Timor Mahendra dan Rizal Novanda yang telah memberikan saran dan waktunya untuk konsultasi skripsi kepada penulis.

8. Ali Mujahid yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ika Zaharani, Ary Apriland, Istifa Rini, Prilisa dan seluruh keluarga THP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.


(17)

v

10.Tim asisten mata kuliah Diversifikasi Hasil Perairan (Zaen, Sofi, Pus, Martca, Fathu, Ado dll) dan tim asisten TPHP (Teteh, Ade, Dan, Rodi dll) atas atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

11.THP 40, 41, 43 dan Bang Mail atas bantuannya.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, September 2009


(18)

vi

RIWAYAT HIDUP

Melda Aniyalisa Dahyar, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, putra dari pasangan Ir. Dahyar, MBA dan Meilina Sari.

Penulis mengawali pendidikan di TK Margaluyu dan menyelesaikannya pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan di SD Pembangunan IAIN Jakarta pada tahun 1992 sampai dengan 1998. Pada tahun 1998, penulis diterima di SMP Al Azhar 3 Bintaro dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Setelah itu, penulis diterima di SMU Al Azhar 1 Pusat Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan, Teknologi Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan. Penulis pernah mengikuti pelatihan ISO22000 di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Semarang tahun 2008 dan mendapat Juara III sebagai Penyaji Terbaik bidang Kewirausahaan dan Juara II dalam Poster Ilmiah Terbaik bidang Kewirausahaan.

Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma” dibawah bimbingan Ibu Ir.Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si.


(19)

vii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix 

DAFTAR GAMBAR ... x 

1. PENDAHULUAN ... 1 

1.1 Latar Belakang ... 1 

1.2 Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 

2.1 Ikan Tuna ... 4 

2.2 Tuna Loin ... 5 

2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan ... 7 

2.4 Histamin ... 9 

2.5 Sistem Manajemen Keamanan Pangan HACCP ... 12 

2.6 Lean Six Sigma ... 14 

2.6.1 Lean ... 14 

2.6.2 Six Sigma ... 15 

2.6.3 Alat peningkatan kualitas lean six sigma ... 16

3. METODOLOGI ... 23 

3.1 Jenis Data ... 23 

3.2 Metode Penelitian ... 23 

3.2.2 Identifikasi titik kendali kritis (critical control point-CCP) ... 24 

3.2.3 Evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma ... 24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32 

4.1 Penilaian Kelayakan Dasar ... 32 

4.2 Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) ... 33 

4.3 Evaluasi dengan Konsep Dasar Lean Six Sigma ... 48 

4.3.1 Pendefinisian (define) ... 48 

4.3.2 Pengukuran (measure) ... 51 

4.3.3 Analisis (analyze) ... 65 

4.3.4 Perbaikan (improvement) ... 72 


(20)

viii

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78 

5.1 Kesimpulan ... 78 

5.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79 


(21)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006). ... 7 

2. Toksisitas histamin ... 11 

3. Penyimpangan persyaratan kelayakan dasar pada unit pengolahan. ... 32 

4. Lembar periksa EDOWNTIME ... 50 

5. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) di PT Z... 52

6. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (verifikasi) pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku di PT Z... 56

7. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin ikan tuna loin beku pada tahap pengecekan akhir (grading) di PT Z... 60

8. Analisis FMEA pada tahap penerimaan bahan baku dan pengecekan akhir... 62

   


(22)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Ikan tuna (Thunnus Sp) ... 5  2. Perubahan histidin menjadi histamin ... 10  3. Simbol standar dari pemetaan proses. ... 17  4. Contoh peta kontrol ... 19  5. Contoh diagram sebab-akibat ... 21  6. Penilaian efektivitas pengendalian CCP dengan kurva standar deviasi .. 29  7. Prosedur kaizen blitz ... 31  8. Diagram alir proses pengolahan tuna loin beku di PT Z ... 36  9. Penerimaan bahan baku... 37  10. Penimbangan 1 ... 38  11. Pembekuan 1 ... 39  12. Cold storage bahan baku ... 39  13. Pembentukan loin dengan mesin ... 40  14. Pembuangan isi perut dan otoro... 40   15. Pembekuan 2 ... 41  16. Pengecekan akhir ... 42  17. Glazing ... 43  18. Pembungkusan ... 44  19. Pendekteksian logam ... 44  20. Penimbangan 2 ... 45  21. Pengemasan dalam master carton ... 46  22. Penyimpanan beku 2 ... 47  23. Stuffing ... 47  24. Value Stream Process Mapping proses pengolahan tuna loin beku ... 49  25. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi kadar histamin

ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) selama bulan Januari-Desember 2008... 53 26. Kurva standar deviasi dan peta kendali data hasil pemantauan atau

penelitian (data verifikasi) kadar histamin ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) selama bulan Februari sampai Maret 2009... ... 54


(23)

xi

27. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku selama bulan November 2008 sampai Januari 2009... ... 57 28. Kurva standar deviasi data hasil pemantauan atau penelitian

(data verifikasi) suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku selama bulan Februari sampai Maret 2009... 58 29. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi kadar histamin

pada tahapan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku selama bulan Januari sampai Desember 2008... 60 30. Kurva standar deviasi dan peta kendali data hasil pemantauan atau

penelitian (data verifikasi) kadar histamin pada tahapan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku selama bulan Februari sampai Maret 2009... 61 31. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) . 67  32. Diagram sebab akibat tahap penyimpanan beku bahan baku ... 69  33. Diagram sebab akibat tahap pengecekan akhir (grading) ... 71 


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Deskripsi produk ... 84  2. Standard Sanitation Operation Procedure ... 85  3. Good Manufacturing Practices (GMP) ... 87  4. Daftar penilaian / check list Unit Pengolahan Ikan (UPI) ... 91  5. Lembar analisis bahaya ... 109  6. Lembar identifikasi CCP ... 114  7. Lembar pengendalian CCP ... 115  8. Prosedur pengujian histamin assay kit ... 116  9. Lay out ruang pengolahan ... 117  10. Contoh perhitungan ... 118  11. Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma ... 119  12. Data verifikasi histamin ... 123  13. Data evaluasi histamin ... 124  14. Data verifikasi suhu cold storage ... 125  15. Data evaluasi suhu cold storage ... 126  16. Dokumentasi kegiatan penelitian ... 128  17. Form 01 Record of receiving raw material ... 129  18. Form 02. Record of final checking ... 130  19. Form 03. Record of process temperature ... 131  20. Form 04. Daily sanitation audit form ... 132  21. Form 05. ABF check report ... 133  22. Form 06 Cold storage check report ... 134  23. Form 07 Scale calibration ... 135  24. Form 08 Record of laboratory inspection ... 136  25. Form 09 Control pest form ... 137  26. Form 10 Tally sheet ... 138  27. Data verifikasi histamin tuna loin beku ... 139  28. Data evaluasi histamin tuna loin beku ... 140 


(25)

xiii

29. Klasifikasi peringkat dari Severity (S), Occurrence (O) dan

Detection (D)... 141 30. Perbedaan klasifikasi kualitas mutu (grade) ikan tuna……… 143


(26)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu produsen utama tuna di dunia. Data ekspor dan impor DKP tahun 2008 menunjukkan nilai ekspor ikan tuna mencapai 337,89 juta dollar AS (DKP, 2008a). Walaupun mengalami peningkatan ekspor secara signifikan pada tahun 2007 sebesar 20,17% dibandingkan dengan tahun 2006 (DKP, 2008b), industri tuna Indonesia masih memiliki permasalahan yakni adanya penolakan oleh negara importir yang berhubungan dengan masalah keamanan pangan, terutama tingginya kadar histamin. Laporan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa tahun 2007 mencatat bahwa terdapat 22 kasus impor tuna dari Indonesia yang produknya mengandung histamin yang melebihi batas keamanan pangan (EC, 2007). Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA) juga melaporkan kasus penolakan tuna Indonesia, dimana pada tahun 2007 terdapat 13 kasus penolakan dan pada tahun 2008 terdapat 7 kasus penolakan akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan (FDA, 2009).

Histamin terbentuk dari dekarboksilasi asam amino histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase yang ada pada tubuh ikan itu sendiri ataupun yang ada pada bakteri tertentu. Histamin banyak terdapat pada daging ikan famili Scombroidae seperti tuna (Kim et al., 2000). Keracunan histamin terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas, gatal-gatal, diare dan sakit kepala (Dalgaard et al., 2008).

Masalah keamanan pangan dalam industri tuna tersebut perlu dikontrol dalam suatu sistem manajemen keamanan pangan. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang telah diimplementasikan hampir di semua negara adalah suatu manajemen keamanan pangan dengan pendekatan sistematik yang mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya-bahaya untuk memastikan jaminan keamanan pangan. HACCP difokuskan pada pencegahan dengan cara


(27)

2

menganalisis bahaya yang ada, menentukan titik kendali kritis dan menerapkan kontrolnya pada titik kendali kritis tersebut (CAC, 2003).

Walaupun sistem HACCP dapat diandalkan, namun rencana HACCP (HACCP plan) yang ada umumnya dibuat berdasarkan pernyataan normatif, terutama pada tahapan analisis bahaya (analysis of hazard) yang menjadi fokus kajian bahaya keamanan pangan, sehingga sangat sulit melihat tingkat efektifitas pengendalian bahaya potensial yang nyata yang merupakan titik kendali kritisnya (Vela dan Fernandez, 2003). Menurut penelitian Violaris et al. (2008), sebanyak 44,3 % perusahaan makanan di Cyprus tidak mengenal sistem HACCP. Menurut penelitian Ropkins dan Beck (2000), penerapan HACCP di sejumlah perusahaan makanan di Jerman dan New Zealand masih belum efektif. Ditunjukkan dengan banyaknya perusahaan makanan yang salah mengidentifikasi CCP dan menganggap jika sudah melakukan prosedur sanitasi dengan baik berarti melakukan sistem HACCP. Sedangkan di negara berkembang seperti Thailand, banyak hambatan dalam menerapkan HACCP antara lain karena masalah kurangnya pendidikan dan pelatihan mengenai HACCP. Selain itu data statistik acuan dasar tentang bahaya potensial pada negara tersebut tidak banyak tersedia, sehingga rencana HACCP yang disusun masih harus diuji efektivitasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan suatu kajian program manajemen mutu untuk mengevaluasi penerapan HACCP di perusahaan, sehingga konsep dan pelaksanaan HACCP dapat lebih dirasakan lagi manfaatnya bagi perusahaan (Panisello dan Quantick, 2000). Mazzocco (1996) menyatakan bahwa penerapan HACCP di perusahaan perlu juga diintegrasikan dengan berbagai sistem manajemen mutu lain. Pada prosedur pemantauan misalnya, data yang diperoleh dapat dianalisis secara statistik untuk mengetahui tingkat efektivitas pengendalian CCP yang telah dilakukan.

Perkembangan konsep sistem manajemen mutu yang berkembang saat ini adalah Lean Six Sigma,dimana konsep ini diakui sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan (Jugulum dan Samuel, 2008). Lean Six Sigma yang merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau


(28)

3

aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah (non-value added activities) melalui peningkatan terus-menerus untuk mencapai tingkat kinerja 6-Sigma (Larson, 2003). Lean six sigma yang mempunyai prinsip LSS-DMAIC (Lean Six Sigma enhanced-Define, Measure, Analyze, Improve and Control) ini diakui sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan, selain juga dapat menghilangkan faktor-faktor yang menghambat peningkatan efektivitas suatu sistem produksi yang ada. Prinsip Define digunakan untuk menentukan sasaran proses, prinsip Measure digunakan untuk mengevaluasi proses yang ada dengan target yang diharapkan, prinsip Analyze digunakan untuk menganalisis masalah, prinsip Improvement digunakan untuk perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran dan prinsip Control digunakan untuk memantau dan melakukan pengendalian terhadap proses secara terus menerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma (El-Haik dan Al-Aomar, 2006).

Konsep Lean Six Sigma yang diterapkan pada sistem HACCP diharapkan akan menimbulkan keseimbangan dalam perusahaan yang memfokuskan tujuan perusahaan pada keamanan pangan produk sekaligus juga kepada aspek yang penting lainnya seperti sumberdaya manusia, keuangan, keuntungan, pertumbuhan serta kesinambungan dari perusahaan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-CCP) proses pengolahan tuna loin beku dengan metode lean six sigma.


(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Tuna

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap. Ikan tuna termasuk ikan karnivor dan dapat mencapai panjang 50 – 250 cm (Saanin, 1984).

Pergerakan tuna albacore mencakup wilayah perairan samudra Atlantik dan hanya sedikit terdapat di Samudera Hindia. Tuna mata besar (bigeye tuna) dan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) terdistribusi di sepanjang Samudera Pasifik dari Amerika ke Asia dan terdapat juga di Samudera Hindia. Cara penangkapannya dengan memakai peralatan seperti longline dan pole and line (De Leiva dan Majkowski, 2004). Migrasi ikan tuna di Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perairan antara Samudera Hindia dan Pasifik (DKP, 2008c). Bentuk ikan tuna ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan klasifikasi ikan tuna sebagai berikut (Saanin, 1984; Block dan Stevens, 2001): Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata Kelas : Teleostei Sub kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub ordo : Scombroidei Famili : Scombridae Sub famili : Scombrinae Genus : Thunnus


(30)

5

Species : Thunnus obesus (bigeye tuna, tuna mata besar) T. alalunga (albacore, tuna albacore)

T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang) T. albacares (yellowfin tuna, madidihang)

T. macoyii (southern bluefin tuna, tuna sirip biru selatan) T. thynnus (northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara) T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam)

Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus Sp) (Collette dan Nauen, 1983) 2.2 Tuna Loin

Tuna loin mentah beku adalah produk yang dibuat dari tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penyiangan, pembelahan membujur menjadi 4 bagian (loin), pembuangan daging gelap (dark meat), pembuangan lemak, pembuangan kulit, perapihan, dan pembekuan cepat (rapid freezing) serta suhu pusatnya maksimum -18 0C (Badan Standardisasi Nasional, 2006).

Cara penanganan dan pengolahan ikan tuna loin berdasarkan ketentuan SNI 01-4104.3-2006 meliputi:

1) Penerimaan

Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.

2) Penyiangan atau tanpa penyiangan

Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.


(31)

6

3) Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar).

Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.

4) Pemotongan daging (pembuatan loin)

Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C.

5) Pengulitan dan Perapihan

Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C.

6) Sortasi mutu

Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.

7) Pembungkusan

Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.

8) Pembekuan

Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal –18 °C dalam waktu maksimal 4 jam.

9) Penimbangan

Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C.

10) Pengepakan

Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.


(32)

7

2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan

Mutu atau kualitas adalah sesuatu yang memenuhi kebutuhan atau harapan pelanggan. Mutu ikan identik dengan kesegaran ikan. Bentuk bahan baku ikan segar dapat berupa ikan utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan kebusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu dan tidak membahayakan kesehatan (Bremner, 2000). Syarat mutu tuna loin mentah beku yang dianjurkan sesuai dengan SNI 01-4104.1-2006 tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006).

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Organoleptik, minimum Angka (1-9) 7 2. Cemaran mikroba

a. ALT, maksimum Koloni/g 5 x 105

b. Escherichia coli APM/g Maksimal <2

c. Salmonella APM/g Negatif

d. Vibrio cholerae APM/g Negatif

e. V. parahaemolyticus APM/g Negatif 3. Cemaran Kimia

a.Timbal, maksimum mg/kg 0,4

b. Raksa, maksimum mg/kg 1

c. Cadmium, maksimum mg/kg 0,5

d. Histamin, maksimum mg/kg 100

5. Fisika

a.Suhu pusat, maksimum

0

C -18

b. parasit Ekor 0

Sumber: Badan Standarisasi Nasional 2006. ALT: Angka Lempeng Total

APM: Angka paling memungkinkan

Mutu merupakan suatu kata yang paling sering digunakan dan sangat penting dalam penelitian tentang perikanan. Kesegaran ikan memberikan


(33)

8

kontribusi besar terhadap mutu dari ikan tersebut. Kemunduran mutu pada ikan dapat disebabkan oleh penanganan bahan baku pada saat pascapanen ataupun saat diolah (Bremner, 2000). Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang sangat cepat terjadi mulai dari ikan tersebut dibunuh sampai dikonsumsi. Perubahan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu (Eskin, 1990):

1) Tahap prerigor

Pada tahap ini daging ikan kenyal dan lembut. Reaksi biokimia yang terjadi yaitu ATP dan kreatin fosfat menurun dan aktifnya reaksi glikolisis postmortem. Reaksi glikolisis ini mengubah glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan pH menurun.

2) Tahap rigor mortis

Pada tahap rigor mortis, jaringan otot menjadi kaku. Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Pada fase ini terjadi ikatan permanen aktin dan miosin yang disebut aktomiosin. Tingkat kekakuan dan kekenyalan dari jaringan daging ikan biasanya dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ikan tersebut oleh para konsumen. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigor mortis dianggap penting karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar.

3) Tahap postrigor

Pada saat fase post rigor mortis, daging kembali melunak dan proses autolisis mulai terjadi. Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein terpecah menjadi polipeptida, pepton, dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis juga menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun. Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Semua


(34)

9

hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya.

Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigor-mortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa pembusuk berupa indol, skatol, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang dianggap paling bertanggung jawab dalam pembusukan ikan, baik segar maupun olahan. Bakteri merusak ikan lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim (Gram dan Dalgaard, 2002).

Semula bakteri bersarang pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perut. Bakteri ini secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif ketika rigor mortis telah selesai, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi cairan. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai kebusukan (Eskin, 1990).

2.4 Histamin

Keracunan histamin atau Histamine Fish Poisoning (HFP) merupakan suatu intoksikasi akibat mengkonsumsi ikan laut yang umumnya famili scombroid seperti tuna, mackarel, cakalang dan sejenisnya. Histamin adalah senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et al., 2008).

Histamin memiliki struktur molekul C5H9N3 dengan nama IUPAC 2-(1H -imidazol-4-yl) ethanamine berat molekul 111.15 g/mol (Paiva et al. 1970). Satuan kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100g, mg % atau ppm (mg/1000 g) (Kimata, 1961). Perubahan histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2.


(35)

10

Gambar 2. Perubahan histidin menjadi histamin (Huss et al.,2004)

Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama proses autolisis lebih rendah dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan (Kimata, 1961). Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin, jenis dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Kandungan histidin bebas yang tinggi pada daging ikan tuna yang menyebabkan HFP, biasanya terdapat 10.000 mg/kg histidin bebas pada daging tuna. Daging ikan yang menyebabkan HFP biasanya mempunyai nilai pH 6 (Dalgaard et al.,2008).

Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Eitenmiller dan De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley, 2000). Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadverin (Rossi et al., 2002).

Ketika enzim histidin dekarboksilase sudah terbentuk maka enzim tersebut akan terus membentuk histamin walaupun bakterinya sudah tidak aktif (Kimata, 1961). Bakteria jenis Clostridium perfringens, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang


(36)

11

menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 30 0C (Kanki et al., 2002; Kimata, 1961; Taylor et al., 1979; Yoshinaga dan Frank, 1982). Bakteri Morganella psychrotolerant dan Photobacterium phosphoreum dapat memproduksi histamin pada suhu dingin, dimana sebanyak 31% ikan yang disimpan pada suhu -1 0C sampai 5 0C terdapat histamin sampai kadar 500 ppm (Emborg dan Dalgaard, 2008).

Secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan sebagai fungsi normal sistem tubuh. Memakan makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun jika mengandung banyak histamin maka akan bersifat toksik. Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamine oxidase (DAO) dan Histamin N-methyl transferase (HMT) dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et al., 2002).

Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna dan ikan sejenisnya, 5 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang harus diwaspadai dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 gram daging ikan pada satu unit, maka terdapat kemungkinan pada unit yang lain, kadar histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 gram (FDA, 2001). Tingkat toksisitas histamin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Toksisitas Histamin

Kadar histamin per 100 g Tingkat bahaya

Kurang dari 5 mg Aman dikonsumsi

5-20 mg Kemungkinan toksik

20-100 mg Berpeluang toksik

Lebih dari 100 mg Toksik


(37)

12

2.5 Sistem Manajemen Keamanan Pangan HACCP

Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, karena itu sebagai suatu sistem manajemen keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Pierson dan Corlett, 1992). HACCP mempunyai pendekatan sistematik dalam mengidentifikasi bahaya untuk memastikan keamanan pangan. HACCP merupakan alat untuk menilai bahaya dan menerapkan kontrolnya, yang difokuskan pada pencegahan (CAC, 2003).

Survei yang dilakukan pada industri makanan beku di Inggris, menyatakan bahwa sebanyak 82,2% perusahaan telah menerapkan sistem HACCP secara menyeluruh, 14% dari industri tersebut baru menjalankan sistem HACCP dan hanya 4% yang belum menerapkan HACCP (Panisello et al., 1999). Selain itu, survei terhadap industri daging di Kanada menyatakan bahwa 92% dari perusahaan daging skala besar dan 81,2% dari perusahaan daging skala menengah sudah menerapkan HACCP (Herath dan Henson, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan yang sangat diperlukan dalam industri pangan.

Program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah (CAC, 2003):

1) Melakukan suatu analisis bahaya (hazard analysis) dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi bahaya-bahaya terhadap keamananan produk pangan yang dapat terjadi dalam proses produksi serta tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya atau risiko potensial yang membahayakan.

2) Mengidentifikasi titik pengendalian kritis (Critical Control Point - CCP). CCP adalah tahapan dimana jika terjadi kehilangan kendali akan mengakibatkan bahaya keamanan pangan. CCP ditentukan dengan desicion tree.


(38)

13

3) Menetapkan batas-batas kritis (Critical limit). Suatu batas kritis adalah nilai maksimum atau minimum yang harus dikendalikan pada setiap CCP. Biasanya berhubungan dengan kriteria seperti suhu, pH, kadar air dan lain-lain.

4) Prosedur pemantauan (monitoring) yang terdiri atas aktivitas pengamatan, pengukuran atau pengujian yang dilakukan untuk menilai apakah suatu CCP berada dalam batas-batas kritis yang ditetapkan atau tidak.

5) Melakukan tindakan korektif dan pencegahan yang diperlukan. Program HACCP harus mencakup prosedur tindakan korektif dan/atau preventif untuk menghindari pemusnahan produk dari ketidaksesuaian serta melakukan memperbaikinya.

6) Melakukan verifikasi ulang terhadap rencana HACCP secara regular dan periodik untuk melihat apakah sistem efektif sesuai dengan rencana awal dan jika memungkinkan rencana-rencana dapat dimodifikasi untuk mencapai tujuan keamanan produk. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk melihat apakah HACCP berjalan efektif.

7) Mendokumentasikan catatan-catatan untuk mengembangkan suatu prosedur pengendalian catatan yang efektif, konsisten dan dapat diandalkan harus diperoleh selama operasi program HACCP dan harus selalu tersedia untuk penggunaan dan tinjauan manajemen.

Selanjutnya penerapan atau aplikasi program HACCP dilakukan dengan 12 langkah yaitu pembentukan tim HACCP, deskripsi produk, pembuatan diagram alir, verifikasi diagram alir dan penerapan tujuh prinsip HACCP (CAC, 2003). Dalam menerapkan program HACCP umumnya terdapat berbagai hambatan yaitu faktor dari pelanggan, faktor bahasa, faktor lingkungan, kompentensi, motivasi, pemahaman dan kesadaran tentang program HACCP itu sendiri (Giling et al., 2001 dalam Vela dan Fernandez, 2003). Menurut penelitian Hayes et al. (1997), aplikasi SPC yang terintegrasi dalam six sigma pada sistem HACCP digunakan untuk analisis kecenderungan (trend analysis), mengontrol dan mengevaluasi titik-titik kendali kritis (CCP) secara statistik dan memperingatkan tentang status kendali kritis lebih dini.


(39)

14

2.6 Lean Six Sigma

Lean Six Sigma yang merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk memaksimalkan nilai proses dengan mencapai peningkatan tercepat dalam menyelesaikan masalah kepuasan konsumen, biaya, kualitas dan kecepatan proses(George, 2002). Pendekatan Lean bertujuan untuk menghilangkan pemborosan (waste reduction), memperlancar aliran material, produk dan informasi serta peningkatan secara terus menerus. Pendekatan Six Sigma bertujuan untuk mereduksi variasi (variation reduction), pengendalian proses dan peningkatan secara terus menerus. Integrasi Lean-Sigma akan meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui peningkatan kecepatan (shorter cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean akan menyingkapkan proses yang tidak bernilai tambah (non value added) dan yang bernilai tambah (value added) serta membuat proses yang value added mengalir secara lancar sepanjang aliran proses-proses bernilai tambah (value stream processes), sedangkan Six Sigma akan mereduksi variasi dari proses yang value added itu (Jugulum dan Samuel, 2008).

2.6.1 Lean

Lean adalah suatu upaya terus menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk (barang dan atau jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan. Fokus Lean, yaitu fokus pelanggan dan pereduksian biaya dengan mereduksi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value added activities) (George, 2002).

Terdapat lima prinsip dasar Lean yaitu mengidentifikasi nilai produk berdasarkan keinginan pelanggan, mengidentifikasi pemetaan proses pada value stream (value stream process mapping) untuk setiap produk, membuat value flow, menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas sepanjang proses value stream tersebut, mengorganisasikan agar produk itu mengalir secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream dan tetap mencari berbagai teknik dan alat peningkatan (improvement tools and techniques) untuk mencapai kesempurnaan (Breyfogle, 2003).

Lean berfokus pada identifikasi dan mereduksi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah (non value adding activities) yang merupakan pemborosan


(40)

15

(waste). Waste adalah semuanya selain jumlah orang, usaha, material, informasi dan peralatan minimum yang digunakan dalam suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah produk. Waste harus dihilangkan guna meningkatkan nilai produk dan selanjutnya meningkatkan customer value (George, 2002).

2.6.2 Six Sigma

Six Sigma merupakan suatu evolusi dari total quality management (TQM). Six Sigma adalah metode yang digunakan oleh kalangan industri didukung oleh ahli-ahli statistik agar dapat memperbaiki kemampuan proses untuk menghasilkan produk sebesar Six Sigma, yaitu 3,4 kemungkinan kesalahan dalam 1 juta kali kesempatan produksi (defects per million opportunities – DPMO) sehingga hasilnya adalah 99,9996 % (Tang et al., 2006). Six sigma menggunakan model DMAIC, yaitu akronim dari Define, Measure, Analyze, Improvement and Control yang secara tidak langsung setiap tahap berhubungan dengan lean dan six sigma (George, 2002):

a) Define, tujuan dari tahap ini adalah memperjelas tujuan dari proyek lean six sigma. Tim mendesain rencana proyek secara keseluruhan dan sasaran peningkatan proses yang konsisten.

b) Measure, yaitu tahap dalam mengumpulkan data dalam suatu masalah dan dilakukan pemetaan proses. Pada tahap ini juga kinerja proses diukur menggunakan alat analisis seperti peta kontrol, pareto dan lain-lain.

c) Analyze, pada tahap ini tim menganalisis penyebab cacat atau variasi pada produk dari pemetaan proses. Tahap ini juga menganalisa hubungan sebab akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya.

d) Improve, pada tahap ini tim menggunakan alat analisis untuk mengeliminasi cacat juga mengoptimalisasikan kecepatan dan kualitas proses.

e) Control, setelah proses mencapai kualitas yang diinginkan maka tahap ini digunakan untuk memantau dan melakukan pengendalian terhadap proses secara terus menerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma.

Kapabilitas proses merupakan kemampuan proses dalam menghasilkan produk yang diinginkan. Secara umum kapabilitas proses menggambarkan


(41)

16

performansi terbaik dari proses tersebut, dengan demikian kapabilitas proses berkaitan dengan variasi proses. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, maka proses tersebut akan menghasilkan produk yang berada dalam batasan spesifikasi dan sebaliknya (Breyfogle, 2003).

Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Analisis kapabilitas proses merupakan bagian yang sangat penting dari keseluruhan program peningkatan mutu. Manfaat dari analisis kapabilitas proses terhadap peningkatan mutu adalah dapat menduga seberapa baik proses akan memenuhi toleransi, dapat membantu pengembang atau perancang produk dalam memilih atau mengubah proses dan mengurangi keragaman dalam proses produksi (Tang et al., 2006).

2.6.3 Alat Peningkatan Kualitas Lean Six Sigma

Lean Six Sigma mempunyai berbagai alat peningkatan kualitas untuk menerapkan program tersebut dengan prinsip Lean Six Sigma (LSS)-DMAIC. Alat peningkatan kualitas ini dapat digunakan untuk identifikasi masalah, mendefinisikan masalah dan problem solving (Larson, 2003).

2.6.3.1Value stream process mapping

Value stream process mapping (VSPM) adalah pemetaan proses mulai dari bahan baku sampai produk jadi. Pemetaan proses yang baik seharusnya menggambarkan proses secara keseluruhan apakah adanya proses menunggu, proses pengambilan keputusan, kegiatan yang tidak menghasilkan nilai tambah dan rework. Pembuatan VSPM menggunakan simbol-simbol tertentu (Gambar 3) untuk menggambarkan proses menunggu, penyimpanan, pengambilan keputusan, antrian dan inspeksi (El-Haik dan Al-Aomar, 2006).


(42)

17

Gambar 3. Simbol standar dari pemetaan proses (El-Haik dan Al-Aomar, 2006). 2.6.3.2Statistical Process Control (SPC)

Statistika dapat diartikan sebagai metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Metode statistika dapat digunakan dalam pengumpulan, penyajian, analisis dan penafsiran data. Statistika diartikan sebagai seni pengambilan keputusan tentang suatu proses atau populasi berdasarkan pada suatu analisis informasi yang terkandung di dalam suatu sampel dari populasi tersebut. Metode statistika memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistika memberikan cara-cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasinya dan informasi di dalam data itu digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan proses pembuatan (Montgomery, 1996).

Statistika pengendalian proses adalah suatu sistem yang dikembangkan untuk menjaga agar hasil produksi memiliki mutu yang seragam pada tingkat biaya minimum dan merupakan bantuan untuk mencapai efisiensi perusahaan. Peningkatan mutu ini dapat memberikan kepuasan kepada pemakai atau pelanggan serta untuk meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dan perusahaan (Joglekar, 2003)

Variasi-variasi tersebut dapat diukur menggunakan peta kontrol (control chart). Sementara untuk mengetahui apakah kondisi proses mampu untuk menghilangkan variasi penyebab khusus dan menghasilkan produk yang sesuai

dengan spesifikasi, dapat dilihat dari nilai kapabilitas prosesnya (Breyfogle, 2003).

= Tahapan proses = Penyimpanan

= Pengambilan keputusan

= Inspeksi


(43)

18

2.6.3.3 Peta kendali

Peta kendali adalah grafik yang secara khusus memberi informasi dalam dua dimensi, distribusi proses dan kecenderungan proses. Peta kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud menghilangkan variasi yang tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common causes variation). Tujuan penggunaan peta kendali secara rutin adalah untuk mengetahui secara mudah dan cepat jika terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam suatu proses (Breyfogle, 2003).

Peta kendali dalam Six Sigma digunakan untuk melandasi kinerja proses, evaluasi sistem pengukuran, perbandingan multiproses, perbandingan proses sebelum dan sesudah perubahan dan lain sebagainya. Grafik kontrol atau peta kendali dapat digunakan hampir semua keadaan yang berhubungan dengan karakterisasi dan analisis proses. Rath dan Strong (2005) mengemukakan bahwa setiap peta kontrol dasarnya memiliki garis tengah, batas kontrol dan tebaran nilai-nilai. Contoh peta kontrol dapat dilihat pada Gambar 4. Berikut adalah penjelasan dari karakter yang terdapat dalam peta kontrol.

a) Garis tengah (central line) yang biasa dinotasikan sebagai CL.

b) Sepasang batas kontrol, dimana satu batas kontrol ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) dan satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol bawah (lower control limit – LCL).

c) Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Jika semua nilai berada dalam batas kontrol tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu maka proses yang berlangsung ada pada keadaan terkontrol atau terkendali. Namun, jika nilai-nilai yang ditebarkan pada peta itu berada di luar batas kontrol atau memperlihatkan kecenderungan tertentu atau memiliki bentuk yang aneh maka proses yang berlangsung dianggap berada di luar kontrol sehingga perlu diambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada.


(44)

19

Gambar 4. Contoh peta kontrol (www.isixsigma.com)

Bila proses terkendali, hampir semua titik contoh akan berada diantara kedua batas pengendali (UCL dan LCL). Variasi yang terjadi dalam batas pengendali disebabkan oleh penyebab umum. Titik yang berada di luar batas pengendali menandakan bahwa proses tidak terkendali dan disebabkan oleh variasi penyebab khusus, dalam hal ini perlu diadakan penyelidikan untuk menemukan penyebabnya dan perbaikan pada proses untuk menghilangkan penyebab tersebut (Breyfogle, 2003).

Peta kontrol tidak hanya dapat sebagai alat monitoring tetapi juga dapat menunjukkan jalan ke arah peningkatan. Peta kontrol dapat memisahkan variasi penyebab khusus dan umum. Variasi adalah ketidakseragaman dalam proses operasional sehingga menimbulkan perbedaan mutu produk yang dihasilkan. Variasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Breyfogle, 2003):

a) Variasi penyebab khusus (special-cause variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem proses yang mempengaruhi variasi dalam proses tersebut. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor khusus seperti manusia, mesin dan lain-lain. Biasanya special cause variation ini lebih jarang muncul dibandingkan dengan common cause variations.

b) Variasi penyebab umum (common-cause/random variation) adalah faktor-faktor di dalam proses atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem itu beserta hasil-hasilnya. Variasi ini umumnya sering terjadi pada proses tetapi proses tetap stabil.


(45)

20

2.6.3.4Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan bentuk analisis yang sistematis pada setiap tahapan aktivitas untuk dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi tingkat kegagalan/bahaya (failure) potensial yang ada pada sistem, produk, proses terutama akar-akar fungsi yang mempengaruhi sistem, produk dan proses tersebut. Fokus FMEA adalah strategi preventif terhadap meningkatnya nilai faktor-faktor ketidaksesuaian dan merupakan salah satu perangkat kerja dalam menganalisis risiko-risiko dari bahaya yang akan timbul dalam sistem, produk dan proses yang ada (Scipioni et al., 2002).

Aspek yang penting dalam FMEA adalah evaluasi risiko dari potensi kegagalan (potential failure) untuk setiap subsistem. Setiap kegagalan dinilai dari Risk Priority Number (RPN). Angka RPN (1 sampai 1000) adalah indeks hasil kali dari keparahan (severity), peluang kegagalan muncul (occurrence) dan peluang kegagalan terdeteksi (detection). Severity adalah dampak yang kemungkinan akan muncul akibat kegagalan dalam sistem. Occurrence merupakan peluang kegagalan akan timbul pada sistem. Detection merupakan peluang kegagalan terdeteksi pada sistem dengan menggunakan alat kontrol yang ada (Varzakaz dan Arvanitoyannis, 2007).

Integrasi antara FMEA dengan HACCP dapat dilakukan karena adanya pendekatan yang mirip antara keduanya. Hasil dari nilai resiko pada FMEA dapat digunakan dalam HACCP plan perusahaan (Scipioni et al., 2002).

2.6.3.5 Diagram Sebab-Akibat

Diagram sebab-akibat (cause and effect diagram) sering disebut juga “diagram tulang ikan” (fishbone diagram) atau diagram ishikawa (ishikawa diagram) sesuai dengan nama Prof. Kaoru Ishikawa dari Jepang yang memperkenalkan diagram ini, adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan terjadi. Contoh diagram sebab-akibat dapat dilihat pada Gambar 5.


(46)

21

Gambar 5. Contoh diagram sebab-akibat (Larson, 2003)

Diagram sebab-akibat dapat dipergunakan untuk hal-hal sebagai berikut: a) Untuk mengumpulkan sebab-akibat variasi dalam proses.

b) Untuk mengidentifikasi kategori dan sub-kategori sebab-sebab yang mempengaruhi suatu karakteristik mutu tertentu.

c) Untuk memberikan petunjuk mengenai macam-macam data yang perlu dikumpulkan.

d) Diagram sebab-akibat dapat membantu mengidentifikasi sebab-sebab proses yang mempunyai peranan bagi timbulnya efek yang tidak dikehendaki pelanggan.

Fungsi diagram sebab-akibat, yaitu berperan dalam memusatkan perhatian operator, bagian produksi dan pimpinan dalam masalah mutu. Diagram sebab-akibat yang dikembangkan dengan baik biasanya memajukan tingkat pemahaman terhadap proses tersebut (Jugulum dan Samuel, 2008).

2.6.3.5Implementasi 6S

Perusahaan yang sudah menerapkan Lean Six Sigma memulai program peningkatan secara terus menerus secara mendasar melalui perbaikan menggunakan prinsip 6S untuk menciptakan dan memelihara agar tempat kerja menjadi teratur, bersih, aman dan memiliki kinerja tinggi. 6S merupakan landasan untuk peningkatan terus menerus, zero defects, reduksi biaya dan untuk menciptakan area kerja yang aman dan nyaman (Gaspersz, 2006).

6S memiliki akronim berikut:

a) Sort, yaitu menyingkirkan atau membuang dari tempat kerja semua benda yang tidak digunakan lagi dalam pelaksanaan tugas atau aktivitas. Jika suatu benda diragukan apakah masih digunakan lagi atau tidak, benda

Akibat

Sebab Sebab

Sebab Sebab


(47)

22

tersebut perlu disingkirkan dari tempat kerja, dan disimpan di gudang. Apabila tidak digunakan lagi, benda itu dibuang.

b) Stabilize, yaitu mengatur atau menyusun benda-benda yang diperlukan dalam area kerja, kemudian mengidentifikasi dan memberikan label atau tanda, sehingga setiap orang dapat menemukan benda-benda itu dengan mudah dan cepat.

c) Shine, yaitu menjaga atau memelihara agar area kerja tetap bersih dan rapih.

d) Standardize, yaitu menstandarisasikan implementasi sort, stabilize dan shine yang berarti mengerjakan sesuatu yang benar dengan cara yang benar setiap waktu

e) Safety, yaitu memberikan karyawan suatu praktik kerja yang aman dan prosedur-prosedur yang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) untuk mencegah kecelakaan kerja.

f) Sustain, yaitu menjamin keberhasilan dan kontinuitas program 6S. 2.6.3.7 Kaizen Blitz

Kaizen adalah suatu istilah dalam bahasa Jepang yang dapat diartikan sebagai perbaikan secara terus menerus (continous improvement), sedangkan Blitz adalah terminologi dalam bahasa Jerman yang berarti cepat (lightning fast). Kaizen Blitz adalah suatu metode peningkatan secara cepat dilakukan pada area proses yang terbatas. Tujuan Kaizen Blitz adalah menggunakan pemikiran-pemikiran inovatif untuk menghilangkan pemborosan atau aktivitas-aktivitas kerja yang tidak bernilai tambah (Lee et al., 1999).

Biasanya Kaizen Blitz digunakan pada tahap control dari LSS-DMAIC. Pendekatan Kaizen Blitz biasanya dalam waktu singkat yaitu lima hari kerja. Dalam melaksanakan Kaizen Blitz, kita dapat menggunakan panduan bertanya 5W-2H, yaitu who, what, where, when, why, how dan how much (El-Haik dan Al-Aomar, 2006).


(48)

3. METODOLOGI

3.1 Jenis Data

Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis data pertama yang digunakan diistilahkan sebagai data hasil evaluasi, dimana data ini merupakan data yang diperoleh dari hasil rekaman (record keeping) pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku di PT Z selama periode Januari 2008 sampai Desember 2008. Untuk data evaluasi suhu penyimpanan beku (cold storage) bahan baku ikan tuna selama pelaksanan program HACCP di PT Z hanya diperoleh dari periode November 2008 sampai Januari 2009, karena baru dilakukan pencatatan oleh PT Z.

Adapun jenis data yang kedua diistilahkan sebagai data verifikasi atau data pembandingan, karena data ini digunakan untuk melihat tingkat efektivitas seluruh aktivitas pengendalian titik kendali kritis yang telah dilakukan. Data ini merupakan data primer yang diambil langsung selama penelitian. Pengambilan data penelitian proses pengolahan tuna loin beku di PT Z dilakukan selama bulan Februari 2009 sampai Maret 2009. Teknik pengukuran kadar histamin dilakukan dengan menggunakan histamine assay kit. Cara pengukuran kadar histamin tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penilaian kelayakan dasar, identifikasi CCP dan evaluasi pengendalian CCP dengan konsep dasar Lean Six Sigma. Secara lengkap rincian kegiatan pada masing-masing tahapan tersebut adalah :

3.2.1 Penilaian kelayakan dasar

Sebelum dilakukan penilaian kelayakan dasar, terlebih dahulu diamati proses pembuatan tuna loin di PT Z, kemudian memverifikasi GMP dan SSOP milik perusahaan dengan proses di lapangan. Penilaian kelayakan dasar mengacu pada daftar penilaian/check list UNIT PENGOLAHAN IKAN (UPI), Direktorat Jendaral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, lembar penilaian dapat dilihat pada Lampiran 4. Aspek-aspek yang dinilai selanjutnya dihitung


(49)

24

untuk melihat jumlah penyimpangan yang dimilikinya, yang meliputi jumlah penyimpangan kategori Minor (MN), Mayor (MY), Serius (S) maupun Kritis (K) sesuai dengan yang telah ditentukan dalam daftar tersebut.

3.2.2 Identifikasi titik kendali kritis (critical control point-CCP)

Identifikasi CCP didasarkan pada 7 prinsip HACCP, yang diawali dengan melakukan analisis bahaya. Identifikasi titik kendali kritis (CCP) dilakukan dengan mengamati tahapan proses produksi tuna loin di perusahaan yang selanjutnya dituangkan dalam tabel analisis bahaya dan identifikasi CCP (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Selanjutnya dilakukan penentuan batas kritis (critical limit) dan prosedur monitoring untuk tahapan yang menjadi titik kritis di perusahaan. Kemudian disusun suatu tindakan koreksi (corrective action) apabila CCP melewati batas kritis dan dilakukan verifikasi ulang terhadap rencana HACCP secara periodik untuk melihat apakah sistem efektif sesuai dengan rencana awal (Lampiran 7). Tahap terakhir adalah mendokumentasikan catatan mengenai keseluruhan proses. Contoh form dokumentasi dapat dilihat pada Lampiran 17-26.

3.2.3 Evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma

Metode ini hanya difokuskan pada tahapan proses yang menjadi kajian, yaitu tahapan yang menjadi CCP. Pengkajian dan penerapan dasar konsep Lean Six Sigma dilakukan dengan prinsip six sigma yaitu:

3.2.3.1Define

Define yaitu mendefinisikan secara formal sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan. Penerapan metode ini menggunakan Value Stream Process Mapping yang mengacu pada Tang et al. (2008) dan lembar kerja EDOWNTIME yang mengacu pada Gaspersz (2006) dalam rangka mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) yang tidak bernilai tambah di perusahaan pada tahap yang menjadi CCP. Value Stream Process Mapping disusun berdasarkan tahapan sebagai berikut:

1. Definisikan proses


(50)

25

3. Membuat pemetaaan proses dengan menggunakan symbol standard dan tidak menggunakan bahasa yang membingungkan.

4. Validasi dan verifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan. 5. Analisis dari pemetaan proses dan membuat kesimpulan. 6. Mengkomunikasikan temuan dan rekomendasi.

Sedangkan EDOWNTIME merupakan akronim untuk memudahkan praktisi bisnis dan industri mengidentifikasi 9 jenis pemborosan yang selalu ada dalam bisnis dan industri, yaitu:

E = Environmental, Health and Safety (EHS), jenis pemborosan yang terjadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip EHS.

D = Defects, jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang dan/atau jasa).

O = Overproduction, jenis pemborosan yang terjadi karena produksi melebihi kuantitas yang dipesan oleh pelanggan.

W = Waiting, jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu.

N = Not utilizing employees knowledge, skills and abilities, jenis pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan secara optimum.

T = Transportation, jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream.

I = Inventories, jenis pemborosan yang terjadi karena inventori yang berlebihan.

M = Motion, jenis pemborosan yang terjadi karena pergerakan yang lebih banyak daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream.

E = Excess processing, jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses yang lebih panjang daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream.

3.2.3.2Measure

Measure adalah mengukur kinerja proses pada saat sekarang agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Kajian tahap measure menggunakan identifikasi wilayah true deviation yang mengacu pada Domenech et al. (2008)


(51)

26

dan statistika pengendalian proses (Statistical Process Control/SPC) terintegrasi dengan konsep analisis Six Sigma yang mengacu pada Gaspersz (2001).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data evaluasi yang diperoleh dari hasil rekaman (record keeping) CCP di PT Z untuk proses produksi selama kurun waktu Januari 2008 – Desember 2008, yang selanjutnya dianalisis menggunakan metode Statistical Process Control. Untuk verifikasi data digunakan data hasil rekaman (record keeping) tahapan CCP di perusahaan yang sama selama bulan Februari - Maret 2009. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Office Excell 2007.

Proses analisis data dilakukan melalui tahapan berikut:

a. Penentuan nilai rata-rata (X-bar) dan nilai standar deviasi (S) proses serta nilai batas spesifik atas dan atau nilai batas spesifik bawah, dengan persamaan sebagai berikut:

ƒ Rata-rata proses (X-bar) =

data banyaknya

data n keseluruha jumlah

ƒ Standar deviasi proses (S) =

(

)

(

1

)

2

− −

n X x

ƒ Nilai batas spesifik atas (upper specific limit - USL), merupakan nilai batas maksimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.

ƒ Nilai batas spesifik bawah (lower specific limit - LSL), merupakan nilai batas minimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.

b. Penentuan nilai DPMO (Defect per Million Opportunities) dan nilai Sigma. ƒ Nilai DPMO merupakan ukuran kegagalan yang menunjukkan peluang

kegagalan per sejuta kali kesempatan produksi. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan:

DPMO USL = P [ z ≥ (USL – Xbar) / s ] x 1000000 DPMO LSL = P [ z ≤ (LSL – Xbar) / s ] x 1000000

Nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku (z), diperoleh dari Tabel distribusi normal kumulatif. Sementara nilai Sigma diperoleh dari Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma berdasarkan konsep Motorola (Gaspersz, 2002).


(52)

27

c. Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) dan uji hipotesis variasi proses terhadap nilai standar maksimum.

ƒ Standar deviasi maksimum (Smaks) merupakan nilai batas toleransi maksimum terhadap nilai standar deviasi proses. Nilai standar deviasi maksimum diperoleh dengan menggunakan persamaan:

Smaks =

(

USL LSL

)

sigma× − ×

2 1

Bila proses tersebut hanya memiliki satu batas spesifik, batas spesifik atas

(upper specific limit – USL) atau batas spesifik bawah (lower specific limit – LSL), maka persamaan yang digunakan :

™ Hanya memiliki batas spesifik atas (USL): Smaks =

(

USL Xbar

)

sigma × − 1

™ Hanya memiliki batas spesifik bawah (LSL): Smaks = x

(

LSL Xbar

)

sigma

1

d. Penentuan nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) dan atau batas kontrol bawah (lower control limit – LCL).

ƒ Nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas atas dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut.

UCL = X-bar + (1,5 x Smaks) dengan:

X-bar : nilai rata-rata proses

Smaks : standar deviasi maksimum proses

ƒ Nilai batas kontrol bawah (lower control limit – LCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas bawah dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut.

LCL = X-bar - (1,5 x Smaks) dengan:

X-bar : nilai rata-rata proses


(53)

28

e. Penentuan nilai kapabilitas proses

Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Perhitungan kapabilitas proses hanya dilakukan untuk proses yang stabil.

Cpm =

(

)

(

)

2 2

6 Xbar T S

LSL USL

+ − −

Namun, jika proses hanya memiliki satu batas spesifik (SL), maka digunakan persamaan sebagai berikut:

Cpm =

(

)

2

3 S

Xbar SL

dengan:

SL : nilai batas spesifik X-bar : nilai rata-rata proses S : nilai standar deviasi proses Jika:

Cpm ≥ 2,0 : Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

1 ≤ Cpm < 1,99 : Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Cpm < 1,0 : Keadaan proses industri berada dalam keadaan

tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Penilaian efektivitas pengendalian dari CCP di perusahaan mengacu pada Domenech et al. (2008). Record keeping hasil monitoring CCP di perusahaan dituangakan dalam kurva standar deviasi seperti pada Gambar 6. Wilayah di bawah kurva standar deviasi yang masih di dalam batas kritis disebut success (S). Wilayah di bawah kurva standar deviasi yang berada di luar batas kritis disebut true deviation (TD). Daerah yang termasuk TD menunjukkan pengendalian CCP masih belum efektif (Domenech et al., 2008) atau deviation berarti kegagalan memenuhi batas kritis (CAC, 2003). Penilaian efektivitas pengendalian dari CCP


(1)

(2)

Lampiran 27. Data verifikasi histamin tuna loin beku

Sampel Histamin

1 7.8 2 6.4 3 10.1 4 9.8 5 7.7 6 5.6 7 10.1 8 9.8 9 7.7 10 5.6 11 9.7 12 10.6 13 10.8 14 10.1 15 10.9 16 11.3 17 8.7 18 10.8 19 36.5 20 12.4 21 11.5 22 11.9 23 8.8 24 10.1 25 1.52 26 10.42 27 7.8


(3)

Lampiran 28. Data Evaluasi Histamin Tuna Loin Beku

Sampel Histamin Sampel Histamin

1 4.8 41 4.8

2 10.2 42 3.9

3 11.7 43 9.5

4 13.8 44 9.8

5 13.8 45 8.2

6 15.7 46 8.1

7 14.2 47 8.4

8 10.8 48 7.6

9 6.3 49 6.5

10 3.1 50 10.5

11 11.7 51 9.8

12 3.4 52 8.7

13 9.6 53 9.2

14 6.8 54 47.4

15 4.6 55 38.2

16 2.7 56 22.7

17 7.8 57 20.8

18 10.8 58 14.6

19 8.9 59 11.4

20 6.7 60 9.2

21 8.8 61 11.7

22 9 62 12.4

23 2.1 63 19.7

24 5.6 64 19.2

25 7.7 65 12.3

26 8.6 66 13.1

27 4.6 28 7.8 29 8.8 30 8.9 31 8.3 32 9.8 33 8 34 11 35 12 36 11 37 6.7 38 7.4 39 8.4


(4)

Lampiran 29. Klasifikasi peringkat dari

Severity

(S),

Occurrence

(O) dan

Detection

(D).

Klasifikasi Keparahan (S)

Rank/ Peringkat

Efek Keparahan

1 None Tidak ada efek

2 Very minor Histamin dianggap tidak ada di produk 3 Minor Histamin hampir tidak ada di produk 4 Very low Histamin dianggap tidak penting

5 Low Histamin dianggap hampir tidak penting bagi kesehatan konsumen 6 Medium importance Menurut peraturan pemerintah, histamin dianggap cukup penting

7 Important Keparahan histamin menurut pemerintah cukup berbahaya dan membutuhkan pengujian sebelum dilakukan ekspor dan adanya sertifikat untuk ekspor

8 Very important Diperlukan labelling bebas histamin pada setiap produk, membutuhkan pengujian histamine sebelum dilakukan ekspor dan adanya sertifikat untuk ekspor

9 Hazardous Lebih dari 50% konsumen produk merasakan keracunan histamin 10 Severe Lebih dari 80% konsumen produk merasakan keracunan histamin

Klasifikasi Peluang Kemunculan (O) Rank/

Peringkat

Peluang Kemunculan Kemungkinan Kegagalan

1 Negligible ≤ 1 in 1500000 Peluang histamin muncul minimal 2 Low 1 in 1500000 Peluang histamin muincul rendah 3 Low 1 in 15000

4 Possible 1 in 2000 Peluang histamin muncul sedang 5 Possible 1 in400

6 Possible 1 in 80

7 Very possible 1 in 20 Peluang histamin muncul tinggi 8 Very possible 1 in 8

9 Certain 1 in 3 Pasti terdapat histamin 10 Certain 1 in 3


(5)

Klasifikasi Peluang Terdeteksi Rank/

Peringkat

Peluang Terdeteksi Kriteria

1 Certain Detection Pengontrolan melalui pemeriksaan 100%, jika ada histamine terdeteksi 100%, Traceability lengkap, ELISA dapat digunakan.

2 Very high detection probability

3 High detection probability Histamin dapat terdeteksi dengan mudah karena selalu diuji periodik, ada akses bagi perusahaan untuk datang ke pemasok, tracebility ada dan lengkap, ELISA dapat digunakan.

4 Quite high detection probability

5 Possible detection Pengontrolan histamine efektivitasnya sedang karena pengujian tidak tentu, tracebility kompleks dantidak lengkap, sulit bagi perusahaan mempunyai akses ke pemasok, ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi histamine.

6 Low detection probability

7 Very low detection probability Pengontrolan histamin efektivitasnya sedang, tidak ada tracebility, sangat sulit bagi perusahaan mempunyai akses ke pemasok, PCR dibutuhkan untuk mendeteksi histamin

8 Particularly low detection probability

9 Almost impossible detection Histamin sangat sulit terdeteksi, tidak ada tracebility, tidak ada kemungkinan akses ke pemasok. PCR dibutuhkan untuk mendeteksi histamin.


(6)

Lampiran 30. Perbedaan klasifikasi kualitas mutu (

grade

) ikan tuna

Karakteristik

Grade

A

Grade

B

Grade

C

Grade

D

Mata

Bersih,

terang, dan

menonjol

Bersih,

terang, dan

menonjol

Bersih, agak

keruh, dan

agak

tenggelam

Mata keruh

dan

tenggelam

Kulit

Kulit normal,

warna bersih,

dan cerah

Kulit normal,

warna bersih,

dan sedikit

lendir

Kulit sedikit

terkelupas,

warna bersih,

dan berlendir

Kulit mulai

tidak normal

(terkelupas),

dan berlendir

Bau

Bau ikan

segar

Bau ikan

segar

Bau ikan

kurang segar,

ada bau lain

Bau ikan

tidak segar,

ada bau lain

Tekstur

daging

Keras,

kenyal,

elastis, lebih

lembut dan

elastis

(

yellow fin

),

jaringan

daging tidak

pecah

Agak kenyal

dan elastis,

jaringan

daging tidak

pecah

Agak lunak,

kurang elastis,

jaringan

daging sedikit

pecah

Lunak,

jaringan

daging pecah

Warna daging Warna

daging merah

tua seperti

bunga mawar

(

big eye

),

warna daging

merah seperti

darah segar

atau buah

semangka

(

yellow fin

),

yake

tidak

ada

Warna

daging merah

agak terang,

ada sedikit

yake

Warna daging

kurang merah,

ada

yake

Warna

daging merah

pudar agak

kecoklatan,

ada

yake

Kondisi ikan

Penampakan

bagus dan

utuh, tidak

ada

kerusakan

fisik

Penampakan

bagus dan

utuh, tidak

ada

kerusakan

fisik

Ikan tidak utuh

(ada sedikit

cacat)

Terjadi

kerusakan

fisik pada

tubuh ikan

(daging

sobek)