77 Seluruh kegiatan koperasi akan dievaluasi satu kali pada setiap bulannya.
Evaluai tersebut dilakukan oleh petugas dari Dinas Koperasi Propinsi Jawa Barat Dinkop Jabar. Selain mengevaluasi, Dinkop Jabar juga memtugas membimbing
pengurus koperasi kredit, baik itu berupa pengiriman anggota pada berbagai pelatihan terkait ataupun turorial secara langsung.
Berdirinya koperasi ini juga membawa harapan besar terhadap peningkatan kemampun para anggota koperasi, khususnya dalam bidang
pengelolaan keuangan. Para anggota koperasi, tidak hanya mendapatkan kesempatan untuk meminjam dan menabung sejumlah uang, tetapi juga diberikan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan melalui berbagai pelatihan. Pentingnya pendidikan sebagai dasar berjalannya kegiatan koperasi, terlihat jelas
dalam slogan yang tertulis di setiap buku tabungan anggota.
“Koperasi kredit mencapai hasil gilang gemilang.... Koperasi kredi dimulai dengan pendidikan...
Koperasi kredit berkembang melalui pendidikan... Kopreasi kredit dikontrol melalui pendidikan...
Dan bergantung pada pendidikan...”
6.5 Lumbung leyit
Lumbung merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat di Kampung Bulaksitu, Desa Banjaranyar kesebuah tempat penyimpanan gabah yang berada di
belakang rumah Ibu Wati. Menurut penuturan Hermawan, salah seorang pendamping SPP, pada masyarakat Sunda terdapat istilah sendiri untuk menyebut
lumbung yaitu dengan istilah “leyit”. Sehingga masyarakat lebih nyaman menyebut bangunan tersebut dengan sebutan lumbung daripada leyit.
Apabila kita telisik lebih dalam, lumbung yang ada di Desa Banjaranyar bukanlah semata – mata nama dari sebuah tempat penyimpanan gabah milik
petani. Lumbung merupakan kelembagaan rakyat yang dibangun atas inisiasi bersama antara petani Banjaranyar dengan lembaga dari luar desa yaitu KRKP
Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan. Jaringan yang dibangun oleh SPP Kesekertariatan Sekjen dengan
berbagai Organisasi Non – Pemerintah ORNOP, gerakan mahasiswa, dan
78 kelompok – kelompok masyarakat, membuat hubungan antara petani dengan
kekuatan sosial diluar desa menjadi lebih sering terjadi. Penelitian – penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri, program – program
bantuan, dan pengenalan teknologi baru acap kali ada di Desa Banjaranyar. Salah satu program yang masih berjalan pada saat penelitian ini dilakukan ialah program
leyit atau lumbung masyarakat. Pembangunan lumbung atau leyit dilatarbelakangi oleh adanya bencana
gempa Tasik yang terjadi pada tahun 2009. Gempa Bumi sebesar 7,3 SR berhasil merusak beberapa bangunan dan rumah warga. Di Desa Banjaranyar sebanyak
delapan rumah warga tercatat rusak berat dan dua puluh tujuh rumah rusak ringan. Bencana yang dialami warga Banjaranyar sesungguhnya tidak hanya gempa bumi,
tetapi kelangkaan pangan yang terjadi setelah gempa tersebut. Jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar dengan pasar yang berada di Kota
Banjarsari, Ibukota Kecamatan, membuat warga kesulitan dalam memperoleh bahan pangan. Sedangkan di tingkat desa, warga tidak bisa mengharapkan bahan
pangan dari hasil pertanian karena sawah mereka belum memasuki masa panen. Hal ini juga diperparah dengan ketiadaannya cadangan pangan yang dimiliki oleh
warga. Sehingga, warga hanya bergantung pada bantuan yang datang dari luar desa. Menurut penuturan Ibu Wati, bantuan dari pemerintah pun tidak terlalu bisa
diharapkan karena lambatnya pengiriman bantuan. Bantuan yang pertama kali masuk ke wilayah desa bukanlah bantuan yang berasal dari pemerintah tetapi
bantuan dari Serikat Petani Pasundan SPP. Keberadaan Lumbung sebagai tempat penyimpanan gabah yang dimiliki
secara kolektif oleh masyarakat, diharapkan dapat mencegah terjadinya kelangkaan pangan dikemudian hari. Baik itu yang disebabkan karena bencana
alam ataupun karena kegagalan panen. Lumbung memiliki anggota yang dilihat berdasarkan kepala keluarga.
Satu kepala keluarga akan memiliki satu keanggotaan dilumbung. Menurut Ibu Wati apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sudah menikah, maka anak
tersebut diperbolehkan untuk memilki keanggotaan terpisah dengan keluarga lamanya. Keanggotaan disini berarti anggota diperbolehkan untuk menyimpan
atupun meminjam gabah dilumbung tersebut. Keanggotaan lumbung pun tidak
79 tertutup hanya pada masyarakat yang memiliki lahan saja. Bagi warga yang tidak
mempunyai lahan, tetapi ingin menyimpan gabah dilumbung hal itu dapat dilakukan. Keanggotaan lumbung bersifat sukarela, seorang warga diberikan
kebebasan untuk menjadi anggota lumbung dan ketika ia merasa tidak nyaman, ia pun diberikan kebebasan untuk keluar dari keanggotaan lumbung.
Terdapat beberapa peraturan yang diterapkan dalam proses simpan pinjam di lumbung ini. Setiap anggota diperbolehkan meminjam gabah yang ada
dilumbung dan diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut dengan melebihkan lima kilogram dari total pinjaman. Hal ini dimaksudkan agar cadangan gabah
yang ada didalam lumbung dapat terus bertambah. Sehingga apabila sewaktu – waktu dibutuhkan gabah masih tersedia didalam lumbung. Pengembalian
pinjaman tidak dapat digantikan dengan uang, gabah yang dipinjam oleh anggota haruslah dikembalikan dalam bentuk gabah.
Pengembalian pinjaman anggota banyak dilakukan sewaktu musim panen tiba. Proses penyimpananpun biasanya dilakukan anggota sewaktu musim panen
tiba. Sebagai contoh, apabila diibaratkan dalam satu kali panen seorang anggota mendapatkan tujuh pocong padi, maka ia harus menyisihkan dua pocong untuk
disimpan ke dalam lumbung. Pada umumnya, peminjaman gabah banyak dilakukan pada periode musim
panen menuju musim tanam. Menurut Bapak Oman, peminjaman gabah tidak hanya disebabkan karena bencana alam atau terjadinya kegagalan panen pada
sawah anggota. Apabila anggota mengadakan hajatan seperti pernikahan atau sunatan, sehingga ia membutuhkan gabah, itupun diperbolehkan untuk meminjam.
Dari keberadaan lumbung ini sedikit banyak dapat terlihat seperti apa sesungguhnya pola hubungan yang dibangun antara gerakan petani Banjaranyar
dengan kekuatan sosial lain yang berada di luar desa. Keterbukaan yang ada di dalam gerakan petani Banjaranyar, serta jejaring yang dibangun melalui Serikat
Petani Pasundan SPP sebagai organisasi induk menjadikan gerakan petani Banjaranyar menjadi gerakan petani yang inklusive. Keterbukaan semacam ini
pula yang kemudian membuat OTL Banjaranyar menjadi sebuah organisasi gerakan yang begitu dinamis dalam menanggapi perubahan dari luar organisasi.
80
6.6 “Aku” Anggota SPP