46 Titik – titik sentuh antara perusahaan perkebunan dengan rakyat yang
mudah menimbulkan konflik seperti perampasan tanah garapan dan lahan pemukiman warga, tidak ditemukan di perkebunan AGRIS NV. Fenomena Tricle
down effect atau efek tetesan justru dirasakan oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Keberadaan perkebunan membuka lapangan pekerjaan bagi
penduduk desa sekitar. Letak perkebunan yang dekat dengan desa membuat kehidupan di perkebunan tidak terisolasi dari dunia luar. Bahkan, terdapat buruh
perkebunan yang telah selesai bekerja, pada sore harinya dapat kembali ke desa untuk melanjutkan perkerjaan di rumah.
Perbedaan yang mencolok memang terlihat pada taraf hidup golongan atas administratuer dan opzicher dengan taraf hidup golongan bawah buruh
perkebunan. Perbedan tersebut terdapat pada berbagai macam sisi seperti akses pendidikan, transportasi, hiburan, dan berbagai pelayanan lainnya. Cerita – cerita
prihal kebiasaan para administratuer dan opzcher yang suka menghabiskan waktu di Kota Bandung dan Ciamis untuk bersenang – senang, sudah menjadi rahasia
umum dikalangan buruh dan penduduk sekitar perkebunan. Namun, karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang dimasyarakat, maka rakyat
menerima perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang biasa.
4.2.3 Periode Pasca Kemerdekaan
Pasca diproklamirkannya teks proklamasi oleh Soekarno Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan besar pada peta politik di Indonesia.
Hal ini juga mempengaruhi kondisi perusahaan – perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia. Agrarische Wet 1870 yang menjadi dasar dari hak penggunaan
lahan bagi banyak perusahaan perkebunan kemudian dihapuskan. Produk kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tersebut dianggap tidak memihak pada
kepentingan rakyat Indonesia, tetapi lebih bertujuan untuk memberi kemudahan bagi para pemodal asing.
AGRIS NV sebagai salah satu perusahaan perkebunan asing yang mendapatkan hak penglolaan lahan dari Pemerintah Hindia Belanda terjebak
dalam kondisi yang tidak jelas. Lahan yang semula dikelola sebagai perkebunan karet, dibakar oleh warga. Para administratuer dan opczhier tidak lagi diketahui
47 keberadaannya. Besar kemungkinan, para petinggi perkebunan tersebut ikut dalam
eksodus warga Eropa yang keluar dari Indonesia pada massa Pendudukan Jepang 1943 – 1945. Praktis pada saat itu tidak ada kegiatan dari perusahaan
perkebunan di atas tanah perkebunan, baik itu berupa penanaman, penyadapan pohon karet, atupun pengasapan getah karet.
Pada akhir tahun 1940an, warga sekitar perkebunan AGRIS NV mulai melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Penggarapan yang dilakukan
oleh warga tidak dilaksanakan secara berkelompok, tetapi digarap oleh masing – masing keluarga. Luasan tanah yang digarap oleh masing – masing kelurga pun
berbeda – beda, bergantung dari jumah anggota keluarganya. Pada keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga besar akan menggarap luasan tanah yang besar,
begitu sebaliknya. Penggarapan yang dilakukan oleh warga, salah satunya dipicu oleh pidato Presiden Soekarno yang tersebar melalui radio – radio, hingga bisa
terdengar ditelinga warga Banjaranyar. Di dalam podato tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan warga untuk menggarap tanah - tanah perkebunan asing
dan seluruh tanah perkebunan asing akan dikembalikan kepada rakyat. Pada tahun 1950an, terdapat dua kejadian penting ditingkat nasional yang
cukup mempengaruhi kondisi perkebunan di Kabupaten Ciamis. Pertama, yaitu pasca Perundingan Meja Bundar di tahun 1949, seluruh perkebunan milik asing
harus dikembalikan, sedangkan perkebunan milik Pemerintah Kolonial diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kedua, yaitu nasionasasi seluruh aset
terutama aset perkebunan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan – perkebunan yang ada pada saat itu akan berdiri di bawah Pusat Perkebuna Negara
Baru PPN – Baru dan Perusahaan Negara Perkebunan PNP yang kesemuanya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dua kejadian penting yang terjadi pada periode tahun 1950an tersebut, praktis tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam menggarap lahan bekas
perkebunan AGRIS NV. Pada saat ditetapkannya keputusan Konferensi Meja Bundar KMB, warga tetap menggarap lahan AGRIS NV. Pada tahun 1955,
ketika Pemerintah Republik menasionalisasi aset perkebunan, tanah bekas perkebunan Agris NV tidak masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola
Pemerintah, sehingga pengarapanpun terus dilanjutkan. Dari 42 Hak Erfpacht
48 yang ada di Kabupaten Ciamis, hanya lahan perkebunan di daerah Batulawang,
Cigugur, Cikupa, Cimanggu, Karangkamiri, Ciparanti, dan Bangunharja yang masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola oleh Pemerintah melalui
Perusahaan Negara Perkebunan PNP. Tanah perkebunan Blok Cigayam AGRIS NV tidak termasuk dalam daftar tanah tersebut. Pada saat ini, seluruh lahan yang
dikelola oleh PNP tersebut, dikelola PT.Perkebunan Nusantara PTPN VIII.
4.2.4 Era Orde Baru