41 Gambar 3 Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya Tahun 1796 – 1810
Sumber : Sartono Kartodirdjo, dalam Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi, 1991.
Getirnya kehidupan yang dialami oleh para pekerja di perkebunan – perkebunan kopi Priyangan berbekas dalam ingatan para petani di Desa
Banjaranyar. Hal tersebut kemudian terabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Dengkleung dengdek”. Pada bait awal lagu ini bercerita tentang pahitnya
kehidupan dimasa taman kopi Priyangan. Pada bait selanjutnya lagu ini bercerita tentang seorang gadis yang sedih berkepanjangan karena ditinggal sang pujaan
hati yang harus bekerja di perkebunan kopi. Menurut para tetua desa, lagu Dengkleung Dengdek diciptakan oleh para buruh yang bekerja di Perkebunan
Kopi Priyangan. Sedangkan, menurut kisah sejarah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis, lagu tersebut diciptakan oleh Bupati Aria pada
saat beliau menjabat sebagai Bupati Galuh pada tahun 1839 – 1886. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, lagu Dengkleung dengdek masih sering dinyanyikan
oleh para petani tua Desa Banjaranyar, ketika beekerja di tanah garapannya.
4.2.2 Perkebunan AGRIS NV
Lahirnya Undang – Undangn Agraria Hindia Belanda Agrarische Wet pada tahun 1870 memberikan warna baru bagi perjalanan sejarah perkebunan di
20.000 40.000
60.000 80.000
100.000 120.000
1796 1797
1798 1799
1807 1808
1809 1810
Kopi
Kopi
42 Indonesia. Apabila pada masa sewa tanah terdapat pemisahan antara pemerintah
dengan perkebunan. Pada masa sistem tanam paksa pemerintah menghendaki adanya penyatuan kembali antara pemerintah dengan kehidupan perusahaan
dalam menangani produksi tanaman ekspor. Maka, pasca diterbitkannya Agrarische Wet 1870 pemerintah secara formal memberikan kebebasan dan
keluasaan kepada para pemodal untuk melakukan usaha – usaha perkebunan. Para penguasaha perkebunan diberikan akses langsung kepada para petani untuk
melakukan penyewaan tanah dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi, pada kenyataannya struktur sosial – politik masyarakat yang masih tradisional dan semi
feodal, membuat posisi petani tidak dalam kondisi yang kuat dan cenderung dirugikan.
Salah satu hal yang dapat disoroti didalam Agrariche Wet adalah keberadaan dari Hak Erfpacht yaitu hak untuk melakukan pengolahan diatas
sebidang tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial kepada pihak swasta dalam jangka waktu tertentu. Pada awalnya, kesempatan yang ada banyak
dipergunakan oleh pengusaha perseorangan. Para penguasaha perseorangan tersebut merupakan orang - orang yang telah berpengalaman dalam teknik
penanaman dan penglolaan perkebunan pada massa Sistem Tanam Paksa Mustain, 2007.
Pada perjalanannya, timbul berbagai permasalahan seperti krisis yang terjadi pada tahun 1875 dan 1895, serta wabah penyakit pada tanaman kopi yang
terjadi pada tahun 1890an yang mengakibatkan kebangkrutan pada banyak perusahaan perseorangan. Hal tersebut menimbulkan desakan untuk mengganti
perusahaan perseorangan dengan perusahaan besar berbentuk NV, salah satunya ialah AGRIS NV. Perusahaan – perusahaan ini secara kolektif bernaung di bawah
Cultuuralbank atau Unie guna mengatasi permasalah dalam hal permodalan. Pada momentum inilah perusahan perkebunan masuk kedalam jaringan perbankan.
Sehingga perusahaan perkebunan berubah menjadi perusahaan besar dengan kapital-intensif Kartodirdjo, 1991.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang dihimpun hingga tahun 2010. AGRIS NV merupakan perkebunan yang
berdiri diatas lahan seluas 755,07 Ha. Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS
43 NV dikeluarkan pada tanggal 30 November 1928, dengan kode No. 472, yang
terbagi atas dua blok. Blok pertama berada disebelah utara dengan luas tanah 377,53 Ha Erf. Verf No.20, yang berbatasan dengan Desa Cikaso. Blok kedua
berada diselatan dengan luas tanah 377,53 Ha Erf Verf No. 214 berbatasan dengan Desa Cigayam, Cikaso, dan Pasawahan. Hak yang dimiliki AGRIS NV
atas tanah tersebut akan habis pada 24 Januari 1975. Didalam laporan berita acara perkebunan VOC tahun 1720, tercatat bahwa
Blok Cigayam merupakan perkebunan dengan tanaman kopi sebagai komoditas utamanya. Blok Cigayam inilah yang kemudian pada tahun 1928 menjadi tanah
erfpacht yang hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan perkebunan AGRIS NV. Perkebunan AGRIS NV tidak lagi menanam kopi, melainkan
menanam pohon karet sebagai komoditas utama. Perubahan komoditas yang ditanam, dari kopi menjadi karet, di perkebunan AGRIS NV pada periode awal
1900an, dikarenakan dua hal yaitu faktor alam dan kebijakan liberalisasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial.
Pertama yaitu faktor alam. Pada periode awal tahun 1900an, Pemerintah Hindia Belanda mencoba memperkenalkan beberapa tanaman pengganti kopi
seperti karet, teh, indogo, dan kina. Karena pada periode tersebut tanaman kopi terjangkit wabah penyakit yang menyebar dibeberapa tempat di Priyangan, hingga
akhirnya masuk ketanaman kopi yang berada di daerah Galuh Ciamis. Penyebaran wabah penyakit tersebut memiliki dampak besar pada hasil produksi
kopi di Hindia Belanda secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari data komoditas hasil perkebunan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1900 hingga tahun
1909. Pada tahun 1900 - 1904, hasil keseluruhan panen kopi mencapai 615.000 pikul, dimana kemudian terjadi penurunan drastis pada tahun 1905 - 1909 yang
hanya menghasilkan kopi sebesar 371.000 pikul.
44 Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda, Perkebunan Pemerintah dan
Swasta Tahun 1895 – 1909 dalam pikul Tahun Produksi
Kopi Perkebunan Pemerintah
pikul Produksi Kopi
Perkebunan Swasta pikul
1895 – 1899 314.000
446.000 1900 – 1904
212.000 403.000
1905 – 1909 98.000
273.000 Sumber : Cowan, 1961, Economic Development of Southeast – Asia.
Kedua yaitu diterbitkannya Agrarisch Wet pada tahun 1870 sebagai bentuk dari kebijakan liberaliasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda Wiradi, 2000. Pasca Agrarisch Wet, perkebunan AGRIS NV dengan memegang Hak Erfpacht yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda, memiliki
kemerdekaan penuh untuk mengatur segala sesuatu di dalam perkebunan. Pemerintah Kolonial tidak lagi dapat memaksakan pihak perkebunan, baik itu
berkaitan dengan komoditas yang ditanam ataupun sistim pengelolaan perkebunan, seperti yang terjadi pada massa Sistem Tanam Paksa. Sehingga,
meskipun pada tahun 1925 dilakukan introdusir varietas kopi robusta yang dikenal tanahan terhadap wabah penyakit oleh Pemerintah Kolonial. Perkebunan
AGRIS NV tetap melakukan penanaman karet dan tidak berubah kembali menjadi perkebunan kopi. Karena perkebunan memiliki kebebasan untuk menentukan
komoditas yang akan ditanam. Strukur organisasi perusahaan perkebunan AGRIS NV tidak berbeda jauh
dengan perusahaan perkebunan berbentuk “NV” pada umumnya. Perusahan perkebunan berbentuk “NV” selain bercirikan kapital – intensif, juga menuntut
adanya R and D atau pengembangan dan penelitian dalam hal peningkatan hasil produksi Kartodirdjo, 1991. Stasiun percobaan dan penelitian disokong dengan
adanya teknologi maju, tata kerja yang lebih efisien dan juga kepekaan terhadap pasar global. Ditanamnya pohon karet sebagai komoditas utama di perkebunan
AGRIS NV, dapat dilihat sebagai jalan yang ditempuh perusahaan perkebunan guna menjawab kebutuhan pasar global.
45 Lapisan atas struktur organisasi perusahaan perkebunan berbentuk “NV”,
terdapat seorang administratuer dan beberapa opzichter, yang diisi oleh orang – orang Eropa. Administratuer ialah pimpinan umum yang merupakan sutu jabatan
puncak yang ada di perusahaan perkebunan. Opzicher merupakan pembantu pemimpin umum yang mengepalai beberapa mandor dan bertugas mengawasi
kinerja perkebunan. Sedangkan, pada lapisan bawah terdapat buruh – buruh yang dikelompokan ke dalam beberapa regu ploeg dan dipimpin oleh seorang kepala
regu ploeg baas Kartodirdjo, 1991. Di dalam perusahaan perkebunan AGRIS NV kepala regu sering kali disebut sebagai “mandor”.
Komunikasi yang terjadi antara orang Eropa yang berada pada lapisan atas, dengan para pribumi yang berada pada lapisan bawah terjalin dalam suatu
mekanisme tertentu. Mandor selain bertugas sebagai kepala regu juga bertidak sebagai penghubung antara para buruh perkebunan dengan para Opzicher.
Sedangkan pada lapisan atas para Opzicher-lah yang bertindak sebagai “schakel” atau penghubung mata rantai. Sehingga praktis tidak pernah terjadi komunikasi
secara langsung antara seorang pemipin perkebunan atau Administratuer dengan para buruh perkebunan.
Lokasi perkebunan AGRIS NV tidak terlalu jauh dari pemukiman warga, dalam artian mudah dijangkau oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Tidak
diketahui secara jelas apakah desa disekitar perkebunan AGRIS NV merupakan hasil evolusi dari bedeng buruh kopi dimasa Prijangansteelsel atau bukan. Hanya
saja, menurut para tetua Desa Banjaranyar, terdapat buruh perkebunan yang berasal dari penduduk desa. Bahkan, para wanita desa juga ada yang bekerja di
perkebunan, terutama dibagian penyadapan getah karet. Guna memenuhi kebutuhan perkebunan akan tenaga kerja. Perkebunan
AGRIS NV juga mengambil tenaga kerja dari luar daerah Ciamis, selain para pekerja yang berasal dari desa sekitar perkebunan. Titik pembeda antara buruh
pendatang dengan orang desa sekitar yang menjadi buruh, terdapat pada logat bahasa yang digunakan. Walaupun seluruh buruh perkebunan AGRIS NV
menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari - hari. Tetapi, dialek sunda yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain dapat
dijadikan salah satu indikator penentu darimana buruh tersebut berasal.
46 Titik – titik sentuh antara perusahaan perkebunan dengan rakyat yang
mudah menimbulkan konflik seperti perampasan tanah garapan dan lahan pemukiman warga, tidak ditemukan di perkebunan AGRIS NV. Fenomena Tricle
down effect atau efek tetesan justru dirasakan oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Keberadaan perkebunan membuka lapangan pekerjaan bagi
penduduk desa sekitar. Letak perkebunan yang dekat dengan desa membuat kehidupan di perkebunan tidak terisolasi dari dunia luar. Bahkan, terdapat buruh
perkebunan yang telah selesai bekerja, pada sore harinya dapat kembali ke desa untuk melanjutkan perkerjaan di rumah.
Perbedaan yang mencolok memang terlihat pada taraf hidup golongan atas administratuer dan opzicher dengan taraf hidup golongan bawah buruh
perkebunan. Perbedan tersebut terdapat pada berbagai macam sisi seperti akses pendidikan, transportasi, hiburan, dan berbagai pelayanan lainnya. Cerita – cerita
prihal kebiasaan para administratuer dan opzcher yang suka menghabiskan waktu di Kota Bandung dan Ciamis untuk bersenang – senang, sudah menjadi rahasia
umum dikalangan buruh dan penduduk sekitar perkebunan. Namun, karena kesadaran akan diskriminasi belum berkembang dimasyarakat, maka rakyat
menerima perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang biasa.
4.2.3 Periode Pasca Kemerdekaan