24 pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer 1939, dalam Sadikin 2005
berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan
sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat
mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.
Sadikin 2005 mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan
sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua, gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau
mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung.
Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir
dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.
2.1.4.1 Gerakan Petani di Indonesia
Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di
Pekalongan 1860, gerakan Mangkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten 1886, Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro 1886,
pemberontakan petani Banten 1888, pemberontakan petani candi udik 1892, dan peristiwa Gedangan 1904. Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktu
tersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan ataupun dalam struktur dan pola gerakan. Gerakan yang ada bersifat sangat lokal,
sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun
bangsawan lokal. Bahri 1999 berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19
belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas
25 struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat
memberikan seruan keseluruh negeri. Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang lahir pada awal abad ke – 20. Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani
secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera. Sebagai contoh Serikat Islam SI, salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada
waktu itu, berhasil mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru
pengganti tatanan masyarakat kolonial. Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan sistem
politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial. Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil
memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan. Struktur
dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran
masyarakat. Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari
gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan
Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam SI, Indische Partij IP,
dan Indische Social – Democratische Partij ISDP merupakan anak para bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga
kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi Eropa.
Soe Hok Gie 1964 dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah
merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial. Petani yang semula hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang
– pejuang kemerdekaan yang gigih. Orang – orang seperti Tirtoadisuryo, Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah
26 mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya
bangsanya. Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hampir
seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani
Islam Indonesia STII yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani Nahdatul Ulama PETANU yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani
Indonesia PETANI yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia BTI yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan
petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965. Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang –
Undang Pokok Agraria UUPA, di Departemen Agraria dan Dewan Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk
membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai
perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah
yang menjadi simpatisan dari PKI. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh
organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Petani – petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan
dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru. Pada posisi ini petani kembali
pada tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk mempertahankan hidup.
Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan. Bersamaan
dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan
baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun
ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan
27 petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau
mengirim surat protes kepemerintah. Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah
menjalin hubungan dengan kelompok – kelompok gerakan di perkotaan khususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi
pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa
dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor
– kantor Gubernur. Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki
kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal
abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI,
IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan
mahasiswa dan LSM. Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan
yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani
diberbagai daerah. Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi
sebuah gerakan petani. Serikat Petani Pasundan SPP yang ada di wilayah Priangan Timur memiliki keterkaitan yang sangat jelas dengan gerakan
mahasiswa di kota Ciamis, Tasik, dan Garut. Gerakan petani di Desa Keprasan Kabupaten Blitar, juga memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya dan Kesmalita
Kesatuan Mahasiswa Blitar di Jogjakarta.
28
2.2 Kerangka Berpikir
Pembahasan prihal kemunculan dan kelangsungan gerakan petani dapat dipilah dalam dua alur yang berjalan secara paralel, yaitu basis material atau tanah
dan aspek politik petani. Pada periode kemunculan gerakan, terdapat beberapa hal yang dapat dilihat sebagai faktor – faktor penyebab terjadi gerakan petani, yaitu
pada faktor - faktor meterialnya seperti sejarah penguasaan tanah, serta makna tanah bagi petani dan pada faktor – fakto subyektif, seperti radikalisasi petani,
serta pengorganisiran petani. Pasca terbetuknya organisasi gerakan dan terjadinya redistribusi tanah, pembahasan selanjutnya berfokus pada dinamika atau
kelangsungan dari gerakan petani, baik yang dipengaruhi oleh kondisi didalam organisasi gerakan ataupun pengaruh dari kekuatan sosial lain di luar gerakan
petani. Lihat gambar 1.