9 dimiliki petani amat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Hal inilah yang
kemudian disebut sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi
pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya Kitching, 1982.
Petani tidak dapat ditempatkan pada pilihan yang dikotomis di dalam pemaknaan mereka terhadap tanah. Tanah bagi petani memiliki makna yang
multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat
menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah – masalah transendental Handayani, 2004
2.1.2 Sumber Radikalisasi Petani
Awal abad ke-20, bermunculan kajian gerakan sosial di Indonesia yang lebih menonjolkan pada gagasan atau simbol gerakan mesianik, seperti mitos akan
datangnya Ratu Adil atau juru selamat. Dalam tulisan Drewes, seperti yang dikutip oleh Bahri 1999, gerakan sosial di Jawa banyak diawali oleh para ulama
yang pada mulanya hanya menyebarkan agama Islam tetapi pada kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan rakyat terhadap pemeritah kolonial.
Ajaran – ajaran yang mereka kembangkan, harapan – harapan mesianik dan eskatologi menjadi motivasi utama dalam gerakan perlawanan. Para ulama yang
berperan sebagai motor penggerak petani banyak menanamkan harapan – harapan akan datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Hal senada juga dapat kita lihat
pada perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin di Jawa Tengah. Studi yang ada pada awal abad 20 banyak membahas latar belakang dan
nilai – nilai yang dianut oleh para pelaku pemberontakan, motivasi – motivasi subyektif menjadi aspek utama yang dikaji. Dilain pihak latar belakang sosial
ekonomi dan politik yang berkembang pada saat itu, serta pada lapisan mana ajaran tersebut tumbuh subur tidak terlalu dibahas. Dengan kata lain aspek
sosiologis dari gerakan tersebut tidak terlalu dimunculkan Bahri, 1999.
10 Studi yang dilakukan oleh Scott 1974 dan 1989 dan Popkin 1976, di
pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan
kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif.
Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi
dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.
Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta
mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi Scott, 1976.
Kartodirjo 1991 berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari
yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan
militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem
pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari
tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan.
Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria
yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada
pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap
fluktuasi pasar Kartodirjo, 1984. Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri.
Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat
11 petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa
hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.
Bentuk dari adaptasi petani dalam menghadapi keadaan di sekelilingnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intensifikasi kerja, migrasi jangka pendek,
mengurangi konsumsi atau mengubah pola konsumsi, dan memecah keluarga besar menjadi keluarga – keluar kecil untuk mengurangi beban mulut yang
ditanggung Shanin, 1966. Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan
ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan
secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring
pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Scott 1976 mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan – kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas
eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba – tiba
sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban tambahan dan tingkat subsistensinya.
Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan
usaha – usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan
pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan oleh negara Kuntowijoyo, 1993.
Noer Fauzi 1999 berpendapat bahwa, pada massa pemerintahan Orde Baru terdapat sejumlah penyebab yang dikemudian hari dapat menjadi pemicu
terjadinya gerakan petani. Pertama, pemerintah mewajibkan petani mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau demi tercapai dan terjaganya
swasembada beras. Isu yang terkait dengan hal ini seperti: i pihak petani ingin
12 mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional, ii
kesempatan kerja yang menyempit karena penggunaan traktor dan mekanisme tebasan, iii harga pupuk dan pestisida yang naik tidak sebanding dengan kenaikan
harga gabah, iv Kredit Usaha Tani KUT yang tidak mampu terbayarkan, v praktek Koperasi Unit Desa KUD.
Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Isu yang terkait seperti: i penolakan petani atas
pencerabutan hubungannya dengan tanah, ii ganti rugi tanah yang tidak memadai, iii proletarisasi petani, karena hilangnya hubungan dengan tanah, iv pemukiman
kembali resetlement, petani yang tergusur sama sekali dari tanahnya. Variasi konflik agraria ini, adalah konflik perkebunan dengan petani dalam hubungan
intiplasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan PIR-Bun. Isu yang muncul antara lain: i pengambilan tanah-tanah produktif rakyat petani untuk
PIR - Bun, ii tercerabutnya rakyat petani dari tanahnya sendiri, menjadi ‘buruh di tanah sendiri’, iii langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan inti, sehingga
tidak terjadi transfer of technology, iv rendahnya produktivitas lahan yang dikelola oleh plasma, v monopoli pemasaran hasil-hasil komoditi oleh pihak inti,
vi penentuan harga komoditi yang lebih rendah dari harga pasar, vi proses kredit yang tidak diketahui oleh petani plasma dan jumlah hutang yang tidak bisa
terbayarkan, dan vii korupsi hak petani plasma, baik oleh oknum inti maupun pihak perantara lainnya.
Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan pengambilalihan penggusuran tanah yang mengatasnamakan “program
pembangunan”, baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Isu yang terkait seperti: i penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya, ii ganti
rugi yang tidak layak, dan iii pemukiman kembali penduduk resetlement yang tidak memadai.
Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan. Isu yang muncul adalah: i penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim, ii kehancuran sumber
daya subsistensi masyarakat adat, iii penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai, serta iv kemunduran kualitas ekologis di
tingkat lokal hingga global.
13
2.1.3 Pengorganisasian Petani